Wednesday, August 7, 2013

MINGGU PRAPASKA KE-4A

MINGGU PRAPASKA IV TAHUN A

1Sam.16,1-13; Ef.5,8-18; Yoh.9,1-41



Dalam kehidupan kita, kita sering mendengar kata ‘buta”. “Buta mata”, artinya matanya tidak dapat melihat. Kita juga sering mendengar ungkapan-ungkapan yang sinonim dengan “buta”, seperti “buta politik”; maksudnya bukan tidak bisa melihat politik tetapi tidak tahu berpolitik dan tidak tahu selukbeluk tentang politik. Kita juga sering mendengar istilah “buta hukum” maksudnya untuk melukiskan ketidaktahuannya dalam bidang hukum. Ada juga istilah”buta aturan” artinya tidak tahu aturan dan tidak mau tahu dengan aturan. Ada juga”buta huruf” tidak tahu baca, ada juga istilah “buta nurani”. artinya hati nuraninya tidak berfungsi / tertutup.Dan jenis ini yang terbanyak di Indonesia.

Dari beberapa jenis “buta” yang sudah saya sebutkan tadi, ada dua jenis buta yang cukup dominan diceritakan dalam bacaan Injil hari ini yakni : “buta mata” dan “ buta Nurani”. Satu orang memiliki cacat buta mata. Orang inilah yang disembuhkan matanya oleh Yesus. Dan sesudah peristiwa penyembuhan itu ia melihat Yesus lebih jelas lagi. Tetapi ada juga sekelompok orang lagi yang bukan buta mata tetapi buta nurani. Mata mereka normal / dapat melihat tetapi nuraninya tertutup. Kelompok inilah yang disebut Yesus, “orang yang melihat tetapi buta”.

Kita lihat orang pertama. Ketika Yesus sedang dalam perjalanan karya keselamatannya, ia berhadapan dengan “orang yang matanya buta”. Para murid bereaksi dan berkata kepada Yesus. “rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini atau orangtuanya sehingga ia dilahirkan buta”. Pada waktu itu, umumnya orang melihat penyakit sebagai hukuman / kutukan Tuhan karena dosa-dosanya atau dosa nenek moyangnya. Para murid juga menganut pandangan ini. (Pandangan seperti ini masih cukup kuat juga dalam masyarakat kita). Yesus tidak melihat itu sebagai kutukan atas dosa, tetapi kenyataan itu dipakai Yesus sebagai kesempatan emas baginya untuk membuka nurani setiap manusia terhadap karya-keselamatan Allah. Atas dasar itu, walaupun tidak diminta oleh orang buta itu untuk menyembuhkan dia, Yesus terpanggil untuk menyembuhkannya. Dan terjadilah peristiwa itu, orang yang buta sejak dilahirkan dapat melihat kembali.

Peristiwa itu membawa pertemuan iman antara orang mantan buta ini dengan Yesus walaupun imannya akan Yesus sebagai Putra Allah itu, prosesnya panjang dan bertahap, tidak sekali jadi, mulai dari kepercayaannya akan Yesus sebagai orang yang biasa, ini nampak dalam ungkapannya “orang yang disebut Yesus mengadukkan tanah, mengoles pada mataku dan menyuruh aku membasuh”, lalu berkembang pada ungkapan”ia seorang nabi’, lalu berkembang lagi pada ungkapan, Yesus sebagai “utusan Allah” dan yang terakhir ia percaya dan menyebut Yesus sebagai Tuhan , “ Putera manusia” yang sama artinya dengan Allah. Ini perjalanan iman atau tahap-tahap iman orang yang mantan buta.

Peristiwa penyembuhan itu seharusnya membantu orang-orang yang menyaksikannya agar semakin percaya kepada karya-karya Allah dan harus semakin percaya siapa Yesus yang sebenarnya, tetapi justru menimbulkan pertentangan yang besar karena munculnya orang yang “buta nurani”. Siapa yang buta nurani itu ? yaitu para pemimpin agama, (tetapi tidak semua pemimpin agama itu buta nurani, gawat ini kalau ambil kesimpulan seperti itu). Mereka adalah orang-orang farisi. Mengapa mereka disebut orang yang buta nurani. Pertama, mereka tidak bersyukur atas penyembuhan orang buta tadi.Orang buta tadi sudah menderita bertahun-tahun, seharusnya mereka bersyukur ada orang yang membantu dia untuk melihat. Kedua, hati nurani mereka tidak mampu melihat apa yang dikerjakan oleh Yesus. Dengan melihat peristiwa penyembuhan itu seharusnya mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa Yesus ini bukan orang biasa, hanya mesias yang mampu melakukan hal-hal seperti ini. Ketiga mereka terlalu mengutamakan aturan sabat dan memakai aturan itu untuk membelenggu orang lain atau untuk mempersalahkan orang lain dan menjerat orang lain.. Memang aturan, supremasi hukum harus ditegakkan (seperti di Indonesia hukum itu harus ditegakan tidak memandang kedudukan dan status orang ) tetapi aturan itu harus memerdekakan orang, dan bukannya untuk membelenggnya.

Dan akar dari kebutaan nurani ini adalah kesombongan dan rasa iri hati mereka terhadap Yesus, sebab kehadiran Yesus menggoyahkan status quo mereka.Kesombongan dan keirihatian adalah sikap-sikap yang dapat membutakan hati nurani mereka. Karena itu, Yesus mengatakan “mempunyai mata tetapi tidak melihat” Melihat tetapi buta..

Pesan apa yang mau kita petik dari kisah dua jenis buta yang disampaikan dalam injil ini.

Pertama, kesombongan dan rasa irihati adalah hal-hal yang dapat membutakan nurani kita; dapat membuat kita tidak mampu untuk bersyukur atas kelebihan orang lain, bersyukur atas nasib baik orang. Kesombongan dan irihati dapat membutakan nurani kita untuk melihat karya-karya Allah dalam hidup kita, dapat membuat kita tidak mampu untuk membaca dan melihat Yesus yang berkarya. Karena itu dalam masa tobat ini, apabila kita masih memiliki sifat kesombongan dan irihati perlu disikapi secara serius karena hal-hal seperti ini dapat membutakan nurani kita. Dalam masa tobat ini kita perlu mempertajam hati nurani kita untuk melihat penderitaan dan kesusahan orang lain dan berusaha membantunya sekurang-kurangnya tidak menambah bebannya, melihat karya-karya Allah, melihat hal-hal yang positif pada orang lain, dan lain sebagainya.Kedua, Dalam masa tobat ini, kita perlu mempertajam iman kita seperti iman orang buta, mengenal Yesus walaupun pelan tapi pasti. Dari mengenal Yesus sebagai manusia biasa sampai mengenal Yesus sebagai Tuhan. Iman orang buta itu boleh dikatakan , “iman pelan tapi pasti”. Kita perlu memiliki iman seperti itu “pelan tapi pasti”. Amin

No comments:

Post a Comment