HARI MINGGU BIASA XXV THN B1 20 September
2015
Keb 2:12.17‑20; Yak 3:16‑4:3; Mrk 9:29‑36
Kapela STKIP St.Paulus Ruteng
==============================================
==============================================
Buka
Semua
yang baik dan semua yang jahat bisa datang dari sumber yang sama yaitu hati
kita. Niat baik dan niat jahat bisa datang dari hati yang mengendalikan arah
gerak dan orientasihidup kita. Pesan Tuhan untuk kita hari ini tidak lain
membebaskan hati kita dari perasaan iri karena akan membusukan hidup kita. Mari
kita memohonkan Tuhan membersihkan hari kita dari semua perasaan iri hati,
dengki, dan dendam agar kita diberi hati yang baru untuk suatu kehidupan yang
lebih damai dan menyenangkan. Kita awali perayaan ini dengan mengakui kelmahan
dan semua dosa yang menguasai hati kita.
Renungan
Jika kepada setiap orang (kita) diminta menyebutkan
satu tanda bahwa seseorang itu orang baik, apa jawaban kita? Apa tandanya
seorang itu termasuk orang baik? Tandanya yang tepat adalah seorang itu
dibenci. Kalau seseorang dibenci karena seseorang itu baik, maka orang itu
memang baik. Idealnya, orang baik itu disayangi, disenangi. Logika dan hukum
kehidupan yang biasa adalah orang baik disayangi, dan orang jahat dibenci dan
dijauhi. Kenyataan membuktikan bahwa pada umumnya orang
baik itu bukannya disayangi tetapi
justru dibenci dan menjadi sasaran kebencian orang jahat. Kenyataan lain
mebuktikan bahwa setiap kejahatan mendatangkan malapetaka dan penderitaan. Kejahatan
menaburkan dan menumbuhkan penderitaan. Setiap kejahatan menyebakan
penderiataan baik bagi orang lain maupun terlebih untuk pelaku kejahatan. Kitab
Amsal mengingatkan, "Siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejahatan"
(Ams 11:27) karna kejahatan seserang akan menelan dirinya sendiri (Pkh 8:6). Ini logika atau hukum kejahatan. Sebaliknya
tidak ada kebaikan yang menyebabkan penderitaan bagi orang lain dan bagi diri
sendiri. Setiap kebaikan yang dihidupkan melahirkan ketenangan, keamanan, dan
tenteram dalam kehidupan.
Kenyataan
menunjukkan kita bahwa kejahatan bukan hanya menimpa penjahat, tetapi justru lebih
banyak dialami orang baik. Ketika penjahat melakukan kejahatan, dampaknya bukan
saja dialami si penjahat tetapi juga
dialami orang baik. Saat kejahatan
dilakukan pelaku bisa bergembira tetapi orang lain yang menderita akibat
kejahatan itu. Korban pertama untuk setiap kejahatan adalah orang‑orang baik
yang tidak bersalah.
Semua
bacaan yang diperdengarkan kepada kita hari ini menegaskan bahwa dampak
kejahatan dialami orang baik. Sastra Kebijaksanaan Salomo dalam bacaan pertama
memberikan kita informasi tentang bagaimana niat, rancangan, strategi, dan rencana
orang jahat terhadap orang baik. Rencana penjahat itu menucul karena orang baik
dianggap sebagai pengganggu dan penghalang pekerjaan mereka yang jahat.
"Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi
gangguan serta menentang pekerjaan kita ... Mari kita mencobainya dengan aniaya
dan siksa agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya.
Hendaklah kita menjatuhkan hukuman mati keji terhadapnya, sebab menurut katanya
ia pasti mendapat pertolongan" (Keb 2:12.19‑20).
Teks
ini menyadarkan kita bahwa penderitaan, penyiksaan, dan penganiayaan yang
dialami orang‑orang baik itu datang dari luar, dari para penjahat. Orang baik
tidak akan merencanakan dan melakukan kejahatan yang membuat orang lain
menderita. Orang baik tidak akan menyiksa diri dan sesamanya, tidak akan
menciptakan beban bagi orang lain. Orang baik menderita sengsara karena datang dari luar, dari orang‑orang jahat. Persis
kondisi seperti itulah yang dialami orang-orang baik, para nabi yang
digambarkan di dalam kisah-kisah kitab suci. Injil mencatat bahwa Yesus menderita karena kejahatan orang yang
merasa terganggu karena kebaikan Yesus. Yesus menegaskan, "Anak Manusia
akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga
hari sesudah dibunuh Ia akan bangkit" (Mrk 9:31). Yesus benar‑benar
menderita sengsara dan merasa terasing dan dikelilingi oleh permusuhan. Semua
bentuk penderitaan yang dialami Yesus datang dari luar, dari manusia jahat dan
berdosa.
Jika
kita mengkritisi dan bertanya tentang alasan paling mendasar sampai kejahatan itu
menimpa orang-orang baik, maka hanya ada dua jawabannya. Surat Santu Yakobus
dalam bacaan kedua mencatat dua hal itu tidak lain adalah iri hati dan egoisme.
"Setiap iri hati dan egoisme melahirkan kejahatan. Di mana ada iri hati
dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan
jahat. Kamu iri hati, namun kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar
dan kamu berkelahi" (Yak 3:16; 4:2). Kekacauan dan perbuatan jahat lahir
dari iri hati dan egoisme. Karena iri hati manusia bertengkar dan bermusuhan. Karena
ada iri hati manusia mengejar sesamanya, menyaingi, dan bahkan membinasakan
sesamanya. Kitab Amsal mencatat bahwa satu-satunya kekuatan yang mampu
membusukan tulang, adalah sikap iri hati. "iri hati membusukkan
tulang" (Ams 14:30). Sesungguhnya iri hati tidak hanya membusukkan tulang tetapi
juga membusukkan hati. Hati yang busuk tidak hanya menghasilkan perbuatan
busuk, tetapi juga penderitaan yang busuk. Begitulah iri hati membuat orang
busuk di dalam hatinya, busuk juga dalam perbuatannya dan akhirnya menciptakan
penderitaan yang busuk untuk kehidupan orang lain. Iri hati dan egoisme merupakan
kekuatan jahat yang berdaya menghancurkan tatatan kehidupan yang aman dandamai.
Kekuatan
iri hati dan egoisme yang menghancurkan itu dibangun dan ditopang hawa nafsu
yang saling berjuang dan menguasai manusia. Rasul Yakobus dalam suratnya
menulis, "Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara
kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam
tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, namun kamu tidak memperolehnya, lalu kamu
membunuh" (Yak 4:1‑2). Sengketa dan pertengkaran datang dari dan karena hawa
nafsu. Permusuhan antara manusia juga lahir dari banyaknya hawa nafsu yang
"saling bersaing" dalam diri, merebut keinginan yang tidak tercapai. Benarlah
kalau orang mengatakan bahwa manusia itu
sesungguhnya merupakan nafsu yang berjalan.
Gambaran
tentang manusia sebagai nafsu berjalan tampak dalam penggalan injil hari ini.
Dalam perjalanan para murid Yesus bertengkar satu sama lain karena nafsu akan
kuasa. Di tengah jalan "mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di
antara mereka" (Mrk 9:34). Nafsu untuk memperoleh kekuasaan, jabatan, dan
prestise serta nafsu untuk menjadi yang terbesar di atas orang‑orang lain
melahirkan pertengkaran, perkelahian dan bahkan pembunuhan di antara manusia.
Dengan nafsu yang tidak terkendali untuk mempertahakan dan mengejar kekuasaan
dan menjadi orang besar, manusia berperang melawan dirinya sendiri dan melawan
orang lain. Saat nafsu menguasai manusia maka ia tidak akan mampu memandang
orang lain sebagai "saudara atau sahabat", melainkan sebagai musuh
yang harus dilawan, dikalahkan, dan dimusnahkan.
Sebagai
orang baik bagaimana kita harus menghadapi orang‑orang jahat yang dikuasai oleh
iri hati, egoisme dan hawa nafsu seperti itu? Apakah kita mesti berhenti
menjadi baik, jujur, rendah hati, setia dan menjalankan segala kebaikan dan
kebajikan yang ada pada kita, hanya karena taidak mau disebut sebagai
pengganggu yang mengancaman menentang pekerjaan orang‑orang jahat? Apakah kita
harus menyerah pada perbuatan jahat, biar aman dan tidak lagi diganggu atau
dicobai oleh orang‑orang jahat? Aman dalam kejahatan dan dengan kejahatan
bukanlah suatu kebajikan yang terpuji. Kebajikan yang terpuji adalah perasaan
aman dalam kebaikan dan dengan kebaikan, sebab kebajikan seperti itu akan
menguatkan dan meneguhkan kita untuk tetap dan teguh melakukan yang baik. Berada
dalan kebajikan kebaikan memungkinkan kita terus melakukan perbuatan baik dan terus
menghasilkan yang terbaik seturut kemampuan kita meskipun ada risiko orang
jahat terganggu seperti pengalaman
Yesus.
Iri hati, egoisme, dan nafsu sering membawa
orang pada sikap tidak mau mencari jalan keluar yang baik untuk setiap masalah.
Membalas dendam tidak akan menyelesaikan persoalan, tetapi dendam justru menyuburkan,
menumbuhkan, dan membuahkan banyak persoalan baru pada masa depan. Dalam persoalan
rasa dendam Paus Yohanes Paulus I menasihatkan, “ lebih baik mengambil sikap
diam daripada memilih rencana balas dendam. Dalam sikap diam, engkau akan mampu
bertobat untuk mengasihi juga musuh‑musuhmu. Maka, dengan memilih
"diam", "perdamaikanlah mula‑mula dirimu dengan Allah,
perbaruilah hatimu, tunjukkanlah cinta untuk menggantikan dengki, gantilah
kemarahan dengan kesabaran, gantilah ketamakan yang tak terkendalikan dengan
kesederhanaan dan ugahari. Jika engkau telah bertobat dalam batinmu dan membarui
dirimu, maka engkau akan melihat dunia ini dengan mata yang lain dan engkau
menemukan suatu dunia yang berubah. Nasihat seperti ini sesungguhnya merupakan
penjabaran atau parafrase dari apa yang Yesus ajarkan, "Kamu telah
mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Namun Aku
berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya
kamu" (Mat 5:43‑44). "Kamu
telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Namun Aku berkata
kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu" (Mat
5:38).
Semua
kita, kapan dan di mana saja, pasti merindukan suatu model kehidupan yang aman
dan damai. Suasana aman dan damai yang didambakan itu harus mulai dari hati
setiap manusia, setiap kita. Kalau hati
kita dipenuhi semangat damai dan aman maka apa yang kita katakan dan lakukan
pasti dituntutn oleh semangat damai dan aman itu. Dan musuh hati yang damai,
hati yang aman adalah iri hati, ingat diri yang dikendalikan oleh
kencenderungan yang disebut nafsu. Dan nafsu itu macam-macam antara lain mau
berkuasa, mau dihormati, mau dinilai hebat, mau dianggap paling penting,
menjadi yang terkaya, mau menjadi yang paling pintar, mau menjadi segalanya.
Semakin banyak kemauan yang tidak realistis menguasa kita semakin hati kita
terbagi-bagi dan itu yang membuat kita tidak damai dengan diri sendiri dan juga
sulit berdamai dengan orang lain dan lingkungan kita.
Semoga
pesan yang Tuhan sampaikan melalui bacaan hari ini mendorong kita untuk terus
berupaya mengikis rasa iri yang mengkin sudah mudlai atau telah mengisi ruang
hati kita. Kita menyingkirkan iri hati dan egoisme itu karena iri hati
membusukan kehidupan kita. Semoga.
Menjadikan Hati Putih tanpa Iri dan Dendam