Thursday, December 12, 2013

SMAK FRATERAN: KEBERSAMAAN & KEPEDULIAN

Renungan
Misa Rekoleksi Siswa Kelas X SMAK Frateran Malang
Rumah Retret CP Loandeng Malang Jumat, 13 Des.2013
Flp.  2,1-7; Yoh.5, 1-9
 Buka
Hari ini kita bersyukur kepada Tuhan dalam perayaan ekaristi bersama. Kita mau bersyukur karena Tuhan menghadirkan kita di dunia ini melalui orang dan akahir juga kita hidup bersama orang lain. Kita bersyukur karena Tuhan hadir dan membantu kita dalam rekoleksi dan camping rohani ini melalui orang lain, melalui para guru dan para pendamping. Kita bersyukur karena kita hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Kita bersyukur karena kita mendapat kesempatan untuk merenungkan makna kebersamaan itu dalam rangka membangun tekad dan niat untuk menjadi diri pribadi yang tanggap, peka atau berkepedulian terhadap orang lain. Dalam keyakinan akan Tuhan sebagai sumber kekuatan dan rahmat, melalui perayaan ini kita serahkan semua kerinduan, harapan, keinginan, niat, dan tekad untuk mengisi kebersamaan hidup kita dengan semangat saling memperhatikan dan saling membantu. Juga kita berdoa bagi semua orang yang telah membantu kita dalam kehidupan kita: orangtua, pembina, guru, pendidik, dan teman-teman kita. Agar perayaan ini berkenan kepada Tuhan dan berdaya guna untuk kebersamaan kita membangun kepedulian di antara kita, marilah kita akui kelemahan dan dosa kita.

Renungan
Mengawali renungan ini, saya ingin memberikan Anda tiga pertanyaan tetapi jawabannya hanya satu untuk tiga pertanyaan itu. Mengapa Anda merasa malu? Mengapa di sekolah Anda ada aturan dan tata tertib? Mengapa di perempatan jalan kota ada lampu lalu lintas? Jawabannya: Karena ADA ORANG LAIN (SELAIN SAYA)
Orang akan merasa malu kalau ia menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya. Malu adalah perasaan dan reaksi yang muncul karena menyadari kebersamaan. Saya kira kata malu tidak mungkin ada kalau di dunia ini ada hanya satu orang.  Sekolah menetapkan aturan karena yang ada di sekolah itu bukan hanya satu orang. Di sekolah ada banyak orang. Di sekolah, kita berada bersama orang lain.  Kalau di sekolah kita, ada hanya satu orang, tidak perlu ada aturan. Rambu-rambu lalu lintas di jalan yang kita lihat dibuat karena jalan itu bukan milik seorang saja. Jalan itu milik bersama banyak orang. Semua rambu lalulintas bisa dihilangkan, tak perlu ada kalau pemakai jalan tinggal satu orang.  Dalam konteks tema yang kita usung dalam perayaan ini: kehadiran perasaan malu, keberadaan aturan, dan keberadan rambu lalulitas merupakan bukti pengakuan kita akan adanya orang lain atau bentuk pengakuan bahwa kita berada bersama orang lain dalam kebersamaan. Malu, aturan dan rambu lalulintas boleh dikatakan sebagai   bahasa dan tanda kebersamaan.
Tema perayaan misa yang ditawarkan kepada saya untuk kegiatan rekoleksi para siswa kelas X SMAK Frateran Malang ini sangat singkat: Kebersamaan dalam Kepedulian. Tema ini  memang singkat tetapi sesungguhnya tema ini bermuatan pesan penting berkaitan dengan hakikat hidup kita sebagai makhluk sosial, makhluk yang ada dan hidup bersama orang lain. Tema ini menegaskan sekaligus mengafirmasi hakikat kita yang tidak hidup sendiri tetapi hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.  Hidup bersama, ada bersama, kebersamaan yang bermakna adalah kebersamaan yang dintadai dengan pelbagai hal yang sifatnya menumbuhkan, mengembangkan setiap individu yang terikat dalam kebersamaan itu. Kebersamaan yang bermakna adalah kebersamaan yang memungkinkan setiap orang bisa bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kualitas diri, kualitas pribadi yang tidak saja unggul secara fisik, tetapi juga unggul secara mental. Keunggulan mental harus bisa diekspresikan dalam prilaku fisik yang tampak dan kelihatan.
Kualitas diri, kualitas kepribadian ini juga harus ada dalam kebersamaan di dalam komunitas-komunitas termasuk komunitas belajar yang kita sebut sekolah. Kualitas diri, kualitas kepribadiaan itu untuk konteks pendidikan sekarang ini diarahkan pada apa yang disebut sebagai karakter. Pendidikan bernuansa karakter yang merasuki  jiwa dunia pendidikan kita saat ini pada dasarnya diarahkan pada terbentuk dan lahirnya manusia berkepribadian unggul dalam pola perilaku, unggul dalam pola peribahasa. Manusia unggul, manusia berkarakter tidak lain adalah manusia yang menyadari dirinya sebagai bagian dari anggota komunitas, bagian dari kelompok, bagian dari sekolah, bagian dari kelas, bagian dari kebersamaan.
Kalau setiap orang, setiap kita menyadari bahwa kita hidup bersama orang lain, sadar sungguh dan sungguh sadar akan keberadaan orang lain maka kehadiran kita dengan segala model ekspresinya pada setiap saat dan di setiap tempat  dalam segala situasi akan menjadi ekspresi yang kaya makna, akan menjadi kehadiran yang berarti dan akan memberi inspirasi bagi orang lain. Hanya orang yang sadar bahwa ia hidup dengan orang lain yang bisa menempatkan dirinya secara tepat. Orang yang sadar akan kebersamaan  biasanya mampu membentuk dirinya dalam proses olah pikir, olah tindakan, dan olah rasa dalam suatu keseimbangan yang tidak tergoyahkan. Para siswa yang sedang dalam proses pembentukan diri melalui sekolah harus dan mesti menyadari dimensi kebersamaan itu. Camping Rohani dan kegiatan rekoleksi dengan tema Kebersamaan dalam Kepedulian seperti ini tentu tepat dan amat strategis bagi para siswa. Penting dan strategis karena ketika Anda, para siswa, dituntun untuk menyadari makna hidup dan makna berada bersama orang lain sesungguhnya Anda sedang diarahkan untuk suatu proses pertumbuhan menuju diri pribadi yang diharapkan  dapat mengasah nalar untuk berpikir benar, menata perikau untuk berbuat yang baik, dan mengolah rasa untuk hal yang menyenangkan.
Orang yang sadar bahwa ia hidup dengan orang lain biasanya berusaha untuk berpikir benar, bertindak baik, dan mengekspresikan perasaannya secara  menyenangkan. Berpikir benar, bertindak baik, mengungkapkan perasaan hati secara menyenangkan adalah gambaran tentang diri prinadi yang utuh dan seimbang. Tiga aspek inilah yang dirumuskan para pakar pendidikan sebagai titik sasar semua kegaiatan dan proses pendidikan yakni terbentuknya pribadi berkarakter. Pribadi berkarakter menurut  hemat saya adalah pribadi yang mampu berpikir benar, berbuat baik, dan hidup dalam susana hati yang menyenangkan. Secara lebih teknis ilmiah orang berkarakter adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara dimensi kognitif (berpikir, logika), dimesi psikomotorik (bertindak, etika), dan dimensi afektif (merasakan, estetika). Hanya orang yang berkarakterlah yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kesadaran akan  adanya orang lain dalam hidup, membuat kita berpikir benar tentang orang lain, menggerakan kita untuk berbuat baik demi orang lain, dan mendorong kita mengngkapkan perasaan hati yang menyenangkan orang lain. Tiga kekuatan: pikiran, perbuatan, dan perasaan jika dimanfaatkan secara maksimal, akan menjadikan  seseorang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kepedulian itu hakikatnya terarah untuk orang lain. Kepedudian berarti saya mempersoalkan tentang dia, kamu, dan mereka dan bukan tentang diri sendiri. Kepedulian adalah sikap dan tindakan untuk orang lain. Kepeduliaan adalah sikap hidup yang melihat orang lain lebih penting daripada diri sendiri. Dengan demikian tema Kebersamaan dalam Kepedulian dapat dibalik menjadi Kepedulian dalam Kebersamaan.
Dua teks kitab suci yang kita dengarkan tadi bukan saja berbicara tentang kebersamaan dalam kepedulian tetapi juga menekankan kepedulian dalam kebersamaan. Kepedulian dalam kebersamaan berarti sikap peduli itu harus pertama dan terutama ditjukan kepada orang lain. Bukan mengtamakan diri sendiri.  Modelnya adalah model kepedulian Yesus sendiri. Santu Paulus dalam surat untuk jemaat Filipi tadi menegaskan hal itu: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp.2,4-5).
Kata-kata Paulus ini diperjelas lagi oleh Yohanes dalam Injil yang menghadirkan Yesus sendiri sebagai tokoh, pribadi yang sungguh peduli terhadap orang lain. Yesus memaknai kepedulian itu dalam kebersamaan dengan orang yang cacat, sakit, dan menderita seperti yang dikisahkan Yohanes tadi. Lokasi kisah penyembuhan tadi terjadi di salah satu gerbang kota Yerusalem. Gerbang Domba merupakan salah satu dari delapan gerbang yang banyak dikunjungi peziarah selain gerbang Stefanus, gerbang Indah, gerbang emas. Tanggal 26 Juni 2011 sebelum melihat kubur Raja Daud saya menginjakkan kaki di kolam Betesda. Saat itu saya menyaksikan ada begitu banyak orang sakit dari pelbagai belahan dunia atau para peziarah yang diantar ke kolam itu dan mereka berdoa di sana. Ada yang digotong ada yang menggunakan kursi roda. Memang di sana masih terjadi mukjizat peyembuhan bagi mereka yang sungguh beriman. Air kolamnya memang tidak banyak dan tidak bersih tetapi banyak orang berusaha agar menyentuh air di kolam Betesda itu. Orang tidak bisa mandi seperti di sungai Yordan. Orang ke sana karena yakin Tuhan akan memberikan kesembuhan seperti yang terjadi atas diri orang lumpuh yang dikisahkan injil tadi.
Kisah penyembuhan di kolam Betesda adalah kisah tentang kepedilian dalam kebersamaan. Kepedulian manusia, dan kepedulian Yesus terhadap orang banyak. Di tempat itu ada sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-orang timpang, dan orang-orang lumpuh. Mereka menantikan Tuhan yang datang menyembuhkan. Mereka semua berada dalam satu kebersamaan. Dari sekian banyak orang yang sakit itu ada seorang yang telah menderita lumpuh selama 38 tahun. Sulit kita bayangkan bagaimana menderitanya orang itu. Sudah bertahun-tahun ia berbaring di tempat itu berdoa merindukan kesembuhannya.
Ketika Yesus datang ke dalam kebersamaan sekian banyak orang sakit itu Yesus bertanya kepada orang lumpuh itu “Maukah engkau sembuh?”. Jawaban orang lumpuh itu untuk pertanyaan Yesus tampaknya tidak cocok dengan pertanyaan. Jawaban yang benar dan paling singkat sebenarnya: ya, mau atau ya saya mau. Jawaban orang itu aneh. Ia bukannya menjawab tetapi justru bercerita panjang lebar: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku." Kalau ini soal ujian untuk siswa SMAK Frateran  jelas siswa yang menjawab seperti ini tidak lulus. Hal yang mengherankan, orang itu diperintahkan untuk bangun dan berjalan dan itu terjadi. Itu artinya orang itu sembuh meski ia salah memberi jawaban kepada Yesus.
Apakah benar orang itu salah menjawab. Saya pastikan dia tidak salah menjawab. Sesungguhnya bagi dia pertanyaan itu memang tidak perlu dijawab. Ia percaya bahwa penantiannya selama 38 tahun sudah ada dalam buku agenda Yesus. Karena itu baginya kehadiran Yesus saat itu merupakan kepastiannya untuk mendapatkan kesembuhan. Yang diceritakannya secara panjang lebar kepada Yesus  merupakan laporan pengalamannya tentang sikap orang lain, sikap sesamanya yang ada bersama-sama di seputar kolam itu. Ia melaporkan bahwa orang tidak mempedulikannya. Tidak menganggap dirinya penting untuk diperhatikan, ditolong untuk mendapatkan kesembuhan. Semua orang berjuang berebutan untuk mendapatkan kesembuhan diri sendiri. Orang yang telah disembuhkan juga tidak ada yang rela atau peduli terhadap nasib si lumpuh itu. Kebersamaan orang-orang sakit di kolam Betesda itu menjadi kebersamaan tanpa makna, kebersmaaan semu karena kebersamaan itu tanpa kepedulian terhadap satu sama lain. Itulah yang disampaikan orang lumpuh kepada Yesus. Yesus menangkap maksud cerita orang itu sebagai ungkapan tidak langsung bahwa bagi si lumpuh Yesus menjadi satu-satunya yang peduli terhadap nasibnya. Bagi orang lumpuh itu Yesuslah satu-satunya yang melihat dirinya penting sehingga pertanyaan dan perhatian ditujukan kepadanya.
Bagi orang lumpuh, kebersamaan mereka sebagai orang-orang sakit sebelum Yesus datang adalah kebersamaan tanpa makna, kebersamaan semu. Kebersamaan tanpa kepedulian seperti itu memang tidak membawa perubahan dan perbaikan bagi yang lainnya. Terbukti yang disembuhkan Yesus saat itu hanyalah orang lumpuh yang telah mengungkapkan pengalaman pribadinya kepada Yesus. Mereka yang lain tidak menerima kesembuhan saat itu. Cerita orang lumpuh itu adalah cerita tentang perlu dan pentingnya sikap peduli dalam kehidupan bersama.
Kisah tentang orang-orang dalam injil adalah kisah kehidupan manusia. Secara alegoris orang-orang yang menderita itu merujuk pada semua orang yang mengalami kesulitan, kekurangan dalam hidup. Mungkin kita jarang bertemu dengan orang buta, bisu, tuli, timpang, pincang, kecuali kalau kita ke panti asuhan untuk orang cacat. Di sekolah kita, di keluarga kita mungkin tidak ada yang buta, bisu, tuli, pincang secara fisik tetapi tentu kita tidak bisa menyangkal bahwa orang-orang yang sehat secara fisik belum tentu sehat secara rohani. Kalau kita sendiri melihat, mendengar, mengalami pelbagai cara hidup sesama yang tidak jujur, tidak adil di kelas atau di sekolah, tetapi kita berlaku seolah-olah tidak melihat, tidak mendengar, tidak merasakan maka kita tergolong orang yang sakit karena tidak memiliki kepedulian dalam kebersamaan kita. Di kelas, di sekolah, di rumah, kita mungkin secara fisik kelihatan ada bersama dan dalam kebersamaan tetapi apakah ada bersama itu bermakna atau sekadar ada bersama. Ada bersama tanpa kepedulian satu sama lain adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan kita dari dalam. Kemajuan dunia komunikasi saat ini membuat kebersamaan itu semakin banyak yang semu. Orang yang dekat dengan kita terasa asing dan jauh sementara orang yang asing dan jauh terasa dekat dengan kita.
Kalau ada bersama kita dengan orang  tanpa kepedulian maka kebersamaan kita tidak lebih dari kerumunan massa anonim dan merasa asing satu sama lain. Kerumunan masaa anonim di tempat keramaian seperti pasar, tempat pertunjukan adalah bentuk kebersamaan tanpa kepedulian. Di tempat seperti itu setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri. Kalau itu terjadi di kelas kita, di sekolah kita maka kita tidak bisa mengharapkan akan berkembang menjadi pribadi unggul berkarakter. Semoga tema Kebersamaan dalam kepedulian dan saya tambahkan Kepedulian dalam kebersamaan yang kita renungkan hari ini sungguh-sungguh membantu kita untuk membuktikan diri sebagai pribadi unggul berkarakter yang mengharumkan gereja, bangsa dan tanah air. Berkat Tuhan untuk kita semua. Amin