Injil
tadi menampilkan dua hal pokok yaitu tentang orang yang terjaga dan tentang
orang yang suka tidur. Tiga murid yang dibawa bersama Yesus ke taman Getzemani
adalah wakkil dari orang-orang yang suka tidur. Sikap itu berlawanan dengan
Yesus yang terjaga. Tiga murid lebih senang memilih tidur sementara Yesus
berdoa agar bebas dari pencobaan.
Pilihan
tiga murid untuk terus tidur tidur terus menjadi gambaran tentang pilihan hidup
pengikut Kristus yang pasif, tidak mau terlibat, tidak mau bersikap solider,
apatis, masa bodoh, kurang tanggap terhadap apa yang sedang terjadi. Sikap
ketiga murid itu berlawanan dengan
maksud Yesus mengajak mereka ke Taman Getzemani. Yesus mengajak mereka untuk
berdoa bersama Yesus. Mereka diajak untuk terlibat dan melibatkan diri dalam
pengalaman Yesus. Pendek kata mereka diajak untuk aktif bukan tidur pasif.
Sikap tiga murid tadi jelas sekali bahwa mereka tidak mau terlibat. Tiga kali
Yesus bangunkan mereka tetapi tiga kali juga Yesus mendapati mereka sedang
tidur. Mereka telah dikuasai kehendak fisik mereka. Mata mereka berat untuk
bisa berjaga bersama Tuhan biar hanya satu jam. Inilah gambaran pengikut
Kristus yang tidak bisa bertahan dalam tantangan, orang yang tidak rela
berkorban bersama orang lain. Gambaran tentang pengikut Kristsus yang tidak
memiliki rasa solider dengan orang lain.
Satu hal
yang menarik berhadapan dengan tingkah laku tiga murid dalam injil tadi yakni
munculnya satu pertanyaan dari Yesus. Pertanyaan itu singkat dan sederhana:
Simon, sedang tidurkan engkau? Pertanyaan seperti itu jelas sekali
menggambarkan bahwa memang tiga murid yang diketuai Simon Petrus tidak lagi
punya rasa solider. Mereka mau mengikuti Yesus tetapi tetap bersikap pasif. Mau
disebut murid tetapi tidak bisa menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan
sebagai murid.
Kita
semua telah menyebut diri pengikut Kristus dan senang kalau disebut sebagai
murid Yesus. Hala itu tentu saja baik tetapi belum cukup karena kalau mau
menjadi murid Yesus sejati kita harus selalalu terjaga atau harus selalu dalam
kondisi aktif melakukan sesuatu untuk kebaikan sesama.
Pada
zaman ini masih banyak orang yang bermental dan bergaya hidup seperti Simon dan
dua temannya.Kita bisa temukan dalam diri orang beriman yang mati rasa, masa
bodoh, apatis dengan segala urusan yang berkaitan dengan hla rohani. Ajakan dan
pengalaman Yesus dalam injil tadi adalah
ajakan agar orang melibatkan diri dalam urusan rohani, agar orang katif dan
berpartisipasi. Ajakan Yesus adalah
ajakan untuk keselamatan. Para murid diajak terusterjaga sambil berdoa agar
selamat dari aneka pencobaan.Hari ini Yesus menderita dan mengajhak kita untuk
berparstrispasi dalam derita itu dalam kehoidupan kita. Pada xaman ini masih
banyak yesus-yesus yang menderita dan mengharapkan partispasi kita. Kita adalah
simon, Yakobus dan Yohanes zaman ini yang diminta untuk meringankan sesama.
Pertanyaannya apakah kita mau selalu kedapatan dalam kondisi terjaga, aktif
menolong orang lain sebagai Yesus zaman kita. Mudah-mudah kita tidak termasuk
tiga murid yang suka tidur, masa bodoh, apatis dengan urusan iman kita. Hari
ini Yesus akan menyebut nama kita masing-masing disertai dengan pertanyaan: ….
sedang tidurkah engkau? Tidur di sini tidak berarti tidur secara fisik tetapi
tidur secara rohani. Marilah kita terus terjaga agar kita bebas dari jeratan
masalah kehidupan. Amin
Bacaan yang ditawarkan gereja untuk kita renungkan
hari ini pada intinya berbiacara tentang panggilan. Dan, kalau kita
berbicara tentang pangggilan maka umumnya kita berbicara tentang pihak yang
memanggil dan pihak yang menjawab. Kita sering berpikir tidak proporsional ketika
panggilan itu kita maknai masalah
bagaimana Tuhan memanggil lalu meremehkan manusia yang menerima panggilan. Dalam
konteks bacaan hari ini panggilan itu sesungguhnya berbicara tentang manusia
dan sikap serta tanggapannya atas panggilan. Persoalannya bukan karena Tuhan
berhenti atau tidak memanggil tetapi
teruatama karena manusia tidak mau memberikan jawaban. Tidak mau memberikan
jawaban juga terjadi karena kita manusia tidak mau mendengarkan. Samuel
terpanggil untuk mendengarkan apa kehendak Tuhan. Kita bersukur telah men jadi
orang teranggil. Pertanyaannya apakah kita terus memberikan jawaban dengan
terus mendengarkan Tuhan atau sebaliknya kita menilai Tuhan tidal lagi
memanggil. Kesetiaan Tuhan tidak bergantung pada jawaban manusia. Lampu rumah
Allah belum juga padam dan suara panggilan-Nya terus berkumandang. Kita bedoa
semoga kita menjadi orang yang setia mendengarkan Dia bersabda. Kita akuis
kesalahan dan dosa kita...
Renungan
Saya tidak tahu apakah
ada dari antara kita ini, semalam terjaga beberapa kali hanya karena ada
panggilan seperti yang dinarasikan dalam kitab Samuel pagi ini? Yang bisa saya
duga semalam mungkin dan bisa saja ada
yang terbangun lebih dari tiga kali karena gangguan pencernaan atau karena
deringan atau getaran telepon genggamnya. Bacaan pertama hari ini terkesan
menarik dan dramatis karena ada dua aksi atau tindakan yang ditampilkan secara
seimbang yang akhirnya membingkai sebuah kisah yang bermuatan pesan yang aktual
dan relevan bagi kehidupan manusia.
Membaca judul bacaan
pertama amat jelas bagi kita berkaitan dengan Panggilan Samuel. Kata panggilan
ini mendapat tekanan dan intesitas maknanya sedemikian mendalam justru karena
kata panggilan dihubungkan dengan dua model reaksi dalam bentuk aksi Samuel.
Dua aksi yang dominan dan relatif ditampilkan seimbang ada dalam kata ”tidur”
dan ”bangun”. Tidur dalam teks tadi menjadi sangat penting. Samuel dipanggil
dalam keadaan tidur. Tidur adalah gambaran yang menampilkan nuansa pasif. Yang
mengherankan kita justru Tuhan memanggil Samuel dalam kondisi yang terkesan
pasif seperti itu. Bagi saya cara seperti ini jelas mau menekankan bahwa
inisiatif memanggil itu datang dari Allah.
Tiga kali Samuel
dipanggil dalam keadaan tidur artinya Allah tak henti-hentinya memanggil.
Karena itu, bagi saya kalau ada orang mengatakan bahwa dirinya tidak dipanggil,
itu tidak benar. Tuhan selalu memanggil dan panggillan selalu ada dan terjadi.
Yang tidak ada adalah jawaban atas panggilan itu. Mengapa tidak ada jawaban?
Alasannya karena orang hanya sampai pada tingkat mendengar dan belum sampai
pada tingkat mendengarkan. Sepintas kata mendengar dan mendengarkan itu sama
karena berkaitan dengan perkara berfungsi tidaknya daun telinga kita, tetapi
sesungguhnya ada perbedaan yang amat
mendasar antara kata mendengar dan mendengarkan. Mendengar adalah gambaran
berfungsinya telinga menangkap bunyi dan suara apa saja. Kita bisa mendengar
bunyi sepeda motor yang lalu lalang di jalan. Mendengarkan menggambarkan
berfungsinya telinga menangkap bunyi-bunyi
dengan tujuan tertentu. Kalau telinga saya menangkap bunyi sepeda motor
dan mengatakan bunyi sepeda motor seperti itu adalah bunyi sepeda motornya rm
Dion Labur, maka saya bukan sekadar mendengar bunyi sepeda motor tetapi saya
telah mendengarkan bunyi sepeda motor.
Imam Eli memberi
petunjuk dan kalimat yang benar untuk Samuel: Bersabdalah ya Tuhan, hamba-Mu
mendengarkan. Rumusan itu, tidak diubah sedikitpun oleh Samuel. Di sini jelas
bagi kita bahwa ada tingkatan dalam respon manusia terhadap panggilan Tuhan.
Jawaban Panggilan yang benar harus sampai pada tingkat mendengarkan. Itulah yang terjadi dalam kisah panggilan
Samuel. Kita semua juga merupakan orang yang setiap saat dipanggil Tuhan karena
Tuhan setia memanggil. Panggilan itu bukan soalnya pada Tuhan, tetapi soalnya
ada pada jawaban manusia. Jawaban itu terukur dalam kualitasnya apakah hanya
sekadar mendengar atau sudah sampai pada pilihan mendengarkan.
Dalam konteks panggilan
Sameul mendengarkan bukan lagi perkara telinga tetapi sudah menyentuh ranah
hati untuk menentukan keputusan dan pilihan. Samuel dipanggil dalam kondisi
tidur tetapi ia mendengarkan. Itu artinya ada model tidur yang memberi peluang
untuk dipanggil Tuhan. Dan itu tidur yang model apa? Tidur sungguhan atau
tidur-tiduran? Mata tertutup tidak selalu berarti tidur, mata terbuka tidak
selalu berarti terjaga karena ada yang matanya tertutup tetapi hatinya tetap
bangun dan ada yang mata terbuka tetapi sesungguhnya ia tidur.
Dalam ungkapan populer
ada perbedaan makna antara ungkapan toko wela wa dan wela eta toko wa.
Samuel tergolong penganut aliran toko wela wa. Secara fisik tubuhnya
melintang mata tertutup tapi telinga dan hati terus terbuka. Lain halnya dengan
mereka yang menganut filosofi wela eta toko wa, fisiknya berdiri tegak
mata terbuka tetapi telinga dan hatinya tertidur. Para pendukung filosofi wela
eta toko wa biasanya mengatakan dirinya tidak pernah dipanggil. Dia
mempersoalkan Tuhan yang memanggil dan bukan dirinya yang harus memberi jawaban
setelah mendengarkan.
Semauel mendengarkan
Panggian Tuhan dalam keheningan Bait
Allah di Yerusalem. Untuk teman yang sudah pulang dari tanah Suci tentu tahu
persis berapa lamanya kita berjalan dari Yerusalem ke Kafernaum yang menjadi
seting tempat terjadinya kisah injil tadi. Kisah penyembuhan dalam injil tadi
terjadi di Kafernaum yang telah menjadi kampung kerja Yesus setelah ditolak
dari Nasareth. Injil hari ini sesungguhnya menampilkan siklus hidup Yesus
secara lengkap karena disebutkan: Rumah ibadat sebagai gambaran tentang
pentingnya doa bersama, pelayanan orang sakit, berdoa di tempat yang sunyi untuk
menggambarkan pentingnya doa pribadi, meditasi dan kontemplasi, dan tugas
memberitakan Injil.
Kisah injil memang
tidak eksplisit berbicara tentang panggilan dan sikap mendengarkan tetapi
masalah panggilan dan sikap mendengarkan itu implisit dinyatakan dalam beberapa
hal tekait penyembuhan. Saya sudah melihat beberapa tempat di Kafernaum
termasuk rentuhan rumah ibadat dan reruntuhan rumah Simon Petrus dan murid
lainnya yang disebutkan dalam injil tadi. Kafernaum yang menjadi seting
peristiwa injil hari ini sesungguhnya mau menegaskan kepada kita bahwa dalam
arti tertentu sebenarnya Kafernaum menjadi
awal aktivitas penginjian, evangelisasi, dan tempat strategis bagi orang
yang mendengarkan panggilan Tuhan melalui pewartaan Yesus. Ini terbukti, karena
banyak murid pertama Yesus berasal dari Kafernaum dan bukan dari Yerusalem.
Kalau dalam injil tadi
ada begitu banyak orang mencari Yesus
dengan pelbagai macam alasan, sesungguhnya mereka itulah orang yang
telah mendengarkan panggilan Tuhan. Kalau di Yerusalem yang mendengarkan itu
Samule, di Kafernaum yang mendengarkan itu adalah para murid dan semua saja
mereka yang datang mendnegarkan dan mau mengikuti Yesus. Lalu, apa sebenarnya
yang perlu kita maknai dari injil terkait tugas panggilan kita?
Injil hari ini pada dasarnya menampilkan
sikap solidaritas Allah kepada manusia. Simpati dan perhatian Allah secara
nyata digambarkan dalam episode penyembuhan orang-orang sakit. Orang banyak
yang disembuhkan Yesus itu diharapkan bisa menjadi tabib bagi orang lain. Kita
semua dalam arti terntu juga dipanggil untuk menjadi tabib memerangi pelbagai
penyakit yang mendera kehidupan mereka yang kita jumpai dan layani dalam tugas
kita. Kehadiran yang menyembuhkan adalah kehadiran yang bermakna bagi orang
lain. Kehadiran yang menyembuhkan adalah kehadiran manusia yang dirasuki
semnagat dan cinta Allah sendiri. Yesus yang digambarkan Injil tadi merupakan
sosok cinta Allah yang membutuhkan daya tanggap manusia. Kisah penyembuhan Ibu
Mertua Petrus mengisyaratkan dua kebenaran penting ini. Pertama, peristiwa
penyembuhan itu merupakan simbol pembebasan dan pemerdekaan yang dibawakan
Kristus yang secara sempurna dilaksanakan pada akhir zaman. Kesembuhan dari
penyakit adalah simbol pembebasan.
Kedua, proses dan
rahmat penyembuhan yang diperoleh haruslah mendorong manusia untuk aktif dan
kreatif dalam kehidupan. Wanita yang disembuhkan dalam Injil tadi pada
akhirnya bangkit dan langsung melayani.
Ia mengalami penyembuhan dan mendorongnya untuk terlibat aktif dalam pelayanan
baik itu bagi Allah maupun bagi sesama. Dengan kata lain pengalaman pernah
disembuhkan harus membuat seseorang untuk membuktikannya dalam kehidupan nyata.
Sebagai manusia jelas kita semua pernah mengalami sakit. Pengalaman rasa sakit
kita tidak saja terbatas pada pengertian sakit fisik serangan penyakit, tetapi
sebenarnya dalam pelbagai situasi di mana kita merasa tidak aman, tidak tenang,
merasakan kekurangan di sana sebenarnya kita juga merasa sakit. Penyembuhan
yang dibuat Yesus dalam Injil adalah simbol penyembuhan situasi dunia. Dunia
kita sekarang inipun lagi sakit. Sebagai orang yang dipanggil kita telah
disembuhkan untuk dapat menyembuhkan sesama dalam wujud karya bakti dan
pelayanan kita masing-masing. Mari kita berusaha bukan hanya agar bisa
mendengar suara panggilan Tuhan tetapi lebih dari itu mau mendengarkan Tuhan
yang terus memanggil. Semoga
Bukanlah hal yang baru bagi Komunitas ini untuk menjadikan moment
perpisahan sebagai moment perutusan. Karena itu kita lebih suka menggunakan
rumusan misa perutusan daripada menggunakan rumusan misa perpisahan. Perpisahan
itu konotasinya pasif negatif sedangkan perutusan konotasinya aktif dan
positif. Aktif dan positif karena perutusan itu identik dengan tugas yang
diterima untuk dilaksanakan sesuatu. Pertanyaan pokoknya satu saja: diutus
untuk apa? Pertanyaan lainnya akan mengarah pada pertanyaan pokok ini.
Pertanyaan itu, hari ini diarahkan kepada kami berempat dan jawaban kami tentu
berbeda-beda sesuai konteks kami. Meskipun demikian sebagai orang beriman tentu
kita menyatukan semuanya dalam makna perutusan yang lebih luas lagi. Kami
berempat yang telah menjejakkan kaki di tempat ini akan pergi. Kami pergi kamu
tinggal, kamu punya harapan atas kami dan kami punya perjuangan untuk harapan
kamu. Saat ini kita berada dalam konteks perutusan sebagai orang beriman.
Karena itulah, moment ini jangan dilihat sebagai hal istimewa hanya buat kami
yang akan pergi tetapi sebagai saat istimewa buat kita semua. Keistimewaan
moment ini bagi kita bisa ditemukan melalui pesan firman Tuhan yang
diperdengarkan untuk kita saat ini.
Dua kisah tadi terjadi di tempat yang berbeda. Pertama terjadi di
Gerbang indah Yerusalem yang merupakan salah satu dari delapan gerbang masuk ke
kota Yerusalem. Gerbang indah merupakan gerbang yang paling banyak dilalui para
peziarah. Saya pertama kali masuk kota Yerusalem tahun lalu justru melalui
gerbang indah ini meski berdesakan dengan ribuan peziarah dari seluruh dunia.
Di sana pemandu menunjukkan kami tempat Petrus dan Yohanes menyembuhkan orang
lumpuh yang dikisahkan dalam bacaan pertama tadi. Bacaan injil
menampilkan kisah yang mirip tetapi lokasinya ada di gerbang kota Yerikho.
Pemandu juga telah menunjukkan kami tempat itu setelah melintasi pohon Zakeus
dan bukit pencobaan. Sepintas dua kisah tadi memang berkaitan dengan dunia
medis karena berbicara tentang penyembuhan orang lumpuh dan orang buta, tetapi
bagi saya sebenarnya dua teks ini juga mewacanakan perutusan orang beriman yang
berkaitan dengan proses belajar.
Setiap perutusan dapat dikatakan sebagai saat untuk belajar dalam
konteks yang seluas-luasnya. Setiap orang yang diutus untuk suatu tugas
tertentu dengan sendirinya dan bahkan tanpa disadari ditempatkan ke dalam
kerangka prilaku dan peritindak belajar. Mengapa? Karena untuk menjalankan misi
perutusan secara benar orang dituntut untuk mempelajari banyak hal. Untuk dapat
mempelajari banyak hal orang yang diutus itu harus mampu mendisposisikan dri
sebagai orang yang membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain. Orang
yang diutus itu harus dan mesti menempatkan diri dan seluruh sikapnya dalam
spirit perjuangan seorang lumpuh atau seorang yang buta. Proses perutusan,
proses belajar bermula dan terjadi ketika seseorang merasakan adanya
keterbatasan pada dirinya. Perutusan juga membahasakan keterbatasan. Orang
lumpuh diusung ke gerbang Yerusalem karena keterbatasan fisik. Orang buta ke
gerbang Yerikho juga karena keterbatasan fisik.
Dua bacaan tadi menampilkan tokoh-tokoh yang memiliki
keterbatasan. Dua bacaan ini tampaknya mirip karena tokoh yang ditampilkan
relatif sama-sama berada dalam keterbatasan fisik. Dalam bacaan pertama kita
mendengarkan kisah seorang tokoh yang lumpuh secara fisik berhadapan dengan
Petrus dan Yohanes. Injil menanmpilkan kisah orang yang buta berhadapan dengan
Yesus. Alur kisah dua bacaan yang melibatkan dua tokoh yang sama-sama cacat
fisik dengan seting tempat yang berbeda; Gerbang Indah Yerusalem dan Gerbang
Yeriko. Yerusalem itu terletak sembilan kilo meter sebelah Timur kota Yerikho.
Apa yang terjadi di Gerbang Indah Yerusalem itu? Dan apa yang bisa kita
dapatkan dari peristiwa itu? Pesan pokok dari kisah orang lumpuh di Gerbang
Yerusalem itu berkaitan dengan adanya empat model manusia berhadapan dengan
tawaran Keselamatan Tuhan untuk manusia. Baiklah kita lihat ayat demi ayat
bacaan pertama tadi.
Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga
petang, naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait . Di situ ada seorang
laki-laki, yang lumpuh sejak lahirnya sehingga ia harus diusung. Tiap-tiap hari
orang itu diletakkan dekat pintu gerbang Bait Allah, yang bernama Gerbang
Indah, untuk meminta sedekah kepada orang yang masuk ke dalam Bait Allah.
(ay.1-2). Ayat ini mau menegaskan kepada kita bahwa Tidak semua orang
yang pergi ke Bait Allah memiliki motivasi untuk menyembah Allah. Dari teks
tadi kita mengenal beberapa golongan orang yang datang ke Bait ALLAH.
Golongan pertama diwakili Petrus dan Yohanes. Keduanya "naik"
ke Bait ALLAH untuk berkomunikasi dengan Allah, mendekatkan diri kepada Allah.
Kata "naik" memiliki arti mencari perkara-perkara yang di atas.
Petrus dan Yohanes mewakili manusia yang sungguh-sungguh beribadah. Ayat ini
sejalan dengan bagian lain penginjil Markus yang menulis bahwa Yesus mengutus
murid-murid-Nya berdua-dua dan melengkapi mereka dengan Firman dan Kuasa Roh
Kudus sebagai senjata dalam melawan kuasa roh-roh jahat(Mrk. 6,7)
Model kedua yaitu orang lumpuh. Nama orang lumpuh itu tidak
dinyatakan; hanya disebutkan "seorang laki-laki". Orang lumpuh
ini mewakili orang-orang yang belum memiliki "nama", artinya orang
yang belum menerima keselamatan. Posisi orang lumpuh ini baru berada di dekat
pintu gerbang Bait Allah, belum masuk melalui pintu gerbang. Hanya tinggal
selangkah lagi baginya untuk memasuki Bait Allah, namun langkah yang menentukan
ini belum ditempuhnya. Dia hanya meminta para pengusung meletakkan dirinya di
gerbang karena targetnya memintah sedekah. Kita ingat apa yang ditulis Yohanes
tentang kata-kata Yesus: Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui AKU, ia akan
selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput (Yoh.10,9)
Orang yang belum diantar, masuk lewat pintu gerbang Bait Allah
sebenarnya belum dapat disebut orang Kristen sejati. Sebab pintu gerbang itu
adalah Kristus sendiri. Sebagai seorang yang belum melangkahkan kakinya
melewati pintu gerbang, orang lumpuh ini belum menerima Kristus sebagai
Juruselamat.
Dinamika perjumpaan kedua murid dengan orang lumpuh itu berlanjut.
Ketika orang lumpuh itu melihat, bahwa Petrus dan Yohanes hendak masuk ke Bait
Allah, ia meminta sedekah. Mereka menatap dia dan Petrus berkata:
"Lihatlah kepada kami." Lalu orang itu menatap mereka
dengan harapan akan mendapat sesuatu dari mereka. (ay.3-5) Kata-kata Petrus ini
seolah-olah orang lumpuh itu tidak bisa melihat Petrus dan Yohnaes. Padahal
sebelumnya si lumpuh melihat keduanya sebab dia bermaksud meminta
sedekah. Pasti dan jelas ada makna khusus yang terkandung dalam kata-kata
Petrus kepada si pengemis lumpuh ini, "Lihatlah kepada kami!"
Bukan sekadar memandang wajah Petrus dan Yohanes. Yang dimaksudkan Petrus
adalah mengubah cara pandang. "Ubahlah cara engkau memandang."
Bagi Petrus orang lumpuh itu hanya mata fisiknya yang terbuka melihat tetapi
mata hatinya buta tertutup. Berbeda dengan Bartimeus yang mata fisik buta
tetapi mata hatinya terbuka. Cara pandang Petrus dan Yohanes sangat bertolak
belakang dengan cara pandang si pengemis lumpuh itu.
Petrus dan Yohanes sebagai murid Kristus menegaskan bahwa mereka
dapat meminta kepada Allah, tetapi bukan mengemis seperti si lumpuh itu. Orang
lumpuh itu justru tidak meminta dan berharap kepada Allah; dia hanya berharap
menerima belas kasihan dari manusia yang hanya memberi sedekah sekadarnya.
Mengarapkan menerima karena rasa belas kasih sesama manusia adalah mental
seorang pengemis. Tidak terbersit kerinduan dan keinginan dalam dirinya untuk
mendapatkan kesembuhan melalui para imam dan rasul yang setiap hari lewat di
hadapannya menunju Bait Allah. Yang ada dalam pikiran si lumpuh itu hanyalah
uang. Pola pikir seperti ini mau diubah Petrus dan Yohanes.
Harapan orang lumpuh untuk menerima banyak uang dari Petrus dan
Yohanes adalah harapan yang sia-sia. Sebab Yesus mengutus para murid dengan
pesan agar tidak membawa bekal atau pun uang. Hanya tongkat -gambaran salib
TUHAN- yang boleh mereka bawa dan menjadi andalan mereka dalam perutusan.
Perkataan Petrus, "Lihatlah kepada kami" mengingatkan si
lumpuh itu, bahwa Petrus juga tidak memiliki uang, namun tidak membuat Petrus
menjadi pengemis. "Lihatlah kami" merupakan ajakan Petrus kepada si
lumpuh untuk memikirkan perkara-perkara di atas, untuk melangkahkan kaki masuk
ke dalam Bait Allah. Setelah langkah yang terpenting itu dijalani, maka orang
akan menerima segala berkat Allah yang mencukupkan segala kebutuhan hidupnya.
Di samping kedua rasul dan orang lumpuh itu, ada kelompok ketiga
yaitu orang-orang yang meletakkan si pengemis lumpuh di depan pintu gerbang
Bait Allah Kelompok ini menggambarkan orang yang penuh semangat bersaksi dan
menolong agar orang lain mau datang kepada Tuhan. Namun sayangnya,
niatnya tidak tuntas, kesaksiannya tidak membawa berkat keselamatan bagi orang
lain, sebab mereka memberi kesaksian yang salah. Mereka hanya
menggembar-gemborkan kesembuhan, berkat kekayaan dan berkat-berkat jasmani
lainnya, tetapi tidak menceritakan kasih Allah yang rela mati menyelamatkan
orang berdosa. Kesaksian yang tidak memberitakan salib Tuhan tidak akan membawa
perubahan pada si pengemis lumpuh itu: orang lumpuh selamanya akan tetap lumpuh!
Salib adalah kuasa kematian dan kebangkitan yang membawa
kesembuhan bagi si lumpuh seperti yang dinyatakan Petrus sendiri. Itulah modal
perutusan Petrus dan kawan-kawannya. Petrus berkata: "Emas dan perak tidak
ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus
Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!(Kis.3,6). Petrus dan Yohanes hanya
memiliki modal Nama Yesus. Di sini jelas bagi kita bahwa pertolongan
materi tidak akan mengubah profesi orang lumpuh itu sebagai pengemis. Hanya
Nama Yesuslah yang telah mengubahnya secara rohani menjadi pengikut Kristus
yang sanggup berjalan dan tidak lagi meminta-minta. Hal ini jelas terlihat
dalam ayat berikutnya:
Lalu Petrus memegang tangan kanan orang itu dan membantu dia
berdiri. Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu. Ia
melonjak berdiri lalu berjalan kian ke mari dan mengikuti mereka ke dalam Bait
Allah, berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah (ay.7-8). Petrus
membantu si lumpuh itu berdiri merupakan gambaran orang-orang yang telah
mengenal kuasa kebangkitan TUHAN memiliki kerelaan membantu orang-orang yang
imannya masih lemah. Orang lumpuh ini baru mendengar Nama YESUS dan masih perlu
dibantu dan didorong pertumbuhan imannya. Petrus dan Yohanes yang
dikuasai Roh Kristus yang bangkit dengan ringan tangan membimbing dan mendoakan
orang yang baru mengenal TUHAN agar tetap teguh dalam iman. Lazimnya
orang lumpuh sejak lahir tidak akan langsung berdiri, apalagi berjalan. Pasti
membutuhkan waktu untuk belajar berjalan. Namun orang lumpuh ini dapat segera
berdiri, berjalan, bahkan melompat! Jamahan TUHAN atas orang lumpuh ini
membuktikan kuasa Nama Tuhan yang tidak terbatas.
Pertolongan Tuhan yang dialami si lumpuh ini membawanya ke Bait
Allah mengikuti Yohanes dan Petrus. Tanpa dikomando, orang yang disembuhkan ini
memuji Tuhan sambil melompat-lompat untuk mengekspresikan rasa syukur dan
sukacita yang luar biasa. Dan bersama pemazmur berdoa "berbahagialah
orang-orang yang diam di rumah Tuhan" (mzr.84,5) Diam di rumah Tuhan
berarti sudah masuk melewati pintu gerbang keselamatan, seperti yang
dialami si pengemis lumpuh itu.
Golongan keempat adalah orang banyak atau rakyat kebanyakan.
Seluruh rakyat itu melihat dia berjalan sambil memuji Allah, lalu
mereka mengenal dia sebagai orang yang biasanya duduk meminta sedekah di
Gerbang Indah Bait Allah, sehingga mereka takjub dan tercengang tentang apa
yang telah terjadi padanya (ay.9-10). Ayat ini jelas menampilkan satu model
sikap manusia berhadapan dengan karya Tuhan. Rakyat yang menyaksikan
peristiwa kesembuhan si lumpuh di gerbang Indah Yerusalem itu hanya takjub,
tidak lebih dari itu. Hati mereka tidak tergerak memuji TUHAN seperti si lumpuh
yang disembuhkan. Mereka hanya menjadi penonton yang pasif. Bila sikap seperti
ini dipertahankan, sudah pasti selamanya golongan ini hanya akan
"menonton" dan menjadi penonton mujizat, bukan mengalami dan menjadi
penikmat mujizat.
Tanpa berniat menyamakan diri dengan Petrus dan Yohanes, kami
berempat yang diutus hari ini juga tidak punya emas dan perak untuk siapa saja
yang selama ini kami jumpai dan kami layani. Frater Redy, dan Frater Kristian,
Rm.Don dan saya juga datang ke Seminari ini bukan membawa emas atau perak untuk
dibagikan. Kami datang hanya membawa keyakinan bahwa Tuhan sendiri bisa memakai
kami untuk sesuatu yang kiranya baik untuk dibagikan. Karena itu kalau memang
ada hal baik yang dirasakan sudah kami berikan, janganlah memuji kami. Pujilah
Tuhan yang memakai kami untuk meneruskan kebaikan-Nya kepada kita dan siapa
saja yang memerlukan keterlibatan kami. Saya berharap ketiga saudara saya yang
diutus hari ini juga sepakat bahwa kita datang dan hidup di sini untuk
memperkenalkan Kristus yang telah memanggil kita tanpa emas dan perak. Semangat
yang sama kiranya terus kami bawa dalam tugas perutusan yang baru. Harapannya
semakin banyak orang yang diantar masuk ke rumah Tuhan untuk mengenal dan
memuji Tuhan.
Sebagai pengikut Kristus kami berempat kemungkinan masih bertemu
dengan banyak orang lumpuh dan orang buta yang membutuhkan setuhan, perhatian
Tuhan, jamahan Kasih Tuhan dan menggunakan kami sebagai alat di tangan-Nya
untuk melaksanakan karya sebersar dan seagung itu. Kalau Petrus dan Yohanes
dihadapkan dengan orang lumpuh di gerbang kota Yerusalem, maka mungkin kami
akan menghadapi orang lumpuh yang lain dalam perutusan kami. Kalau Yesus yang
mengutus kami dahulu berhadapan dengan Bartimeus yang meminta matanya
dicelikkan maka kemungkin kami berempat akan bertemu dengan model kebutaan
manusia zaman ini dalam tugas perutsuan yang baru. Terus terang dari kami
berempat belum ada yang bisa membuat mujizat membuat orang lumpuh bisa berjalan
dan membuat orang buta bisa melihat. Meskipun demikian kami yakin Tuhan telah
memakai kami dalam cara Tuhan sendiri untuk membebaskan orang dari model
kelumpuhan dan kebutaan dalam bentuk yang lain melalui tugas, pekerjaan kami.
Semua itu jelas kami tidak tahu tetapi Tuhan mengetahui semuanya dan tentu
orang lain yang bisa mengatakan itu kalau memang mereka merasa mendapatkan kebaikan
Tuhan melalui diri kami.
Perutusan itu, sore ini memang difokuskan kepada
kami berempat tetapi sesungguhnya semua kita adalah utusan Tuhan karean kita
telah menjadi murid Tuhan. Zaman sekarang amat kurang jumlah orang yang lumpuh
secara fisik tetapi tetapi di mana-mana kita temukan orang yang lumpuh
mentalnya, lumpuh nuraninya, lumpuh karakternya. Zaman sekarang amat kurang
orang buta fisik seperti Bartimeus tetapi tidak berkurang manusia yang buta
nuraninya, buta mata hatinya, buta mata kehendaknya. Ketika praktik
ketidakjujuran, ketidakadilan, kurupsi, menyontek ambisi berkuasa dibiarkan
tumbuh dan ditoleransi di sana kelumpuhan demi kelumpuhan, kebutaan demi
kebutaan akan bertumbuh. Kalau semua itu dibiarkan, termasuk dibiarkan terjadi
di lembaga terhormat lembaga calon imam ini maka hapuslah slogan dan jargon
pendidikan karakter dari silabus pendidikan kita. Menyembuhkan orang lumpuh dan
buta fisik jauh lebih mudah daripada menyembuhkan orang yang lumpuh dan buta
secara mental, kejiwaan dan rohani. Keadilan, kejujuran, kebenaran tidak bisa
dibeli dan dinilai dengan uang. Karena itu, sungguh merupakan penghinaan kepada
Tuhan yang adil, Tuhan yang benar ketika orang beriman mengukur kejujran,
kebenaran, dan keadilan itu dengan uang. Uang bukanlah alat yang pas untuk
dipakai sebagai kompensasi sebuah kebenaran dan keadilan. Saya percaya kita
semua mau disembuhkan dari lumpuh dan buta metal. Saya percaya kita semua ingin
masuk ke dalam rumah Tuhan dan mau berjalan bersama Tuhan membawa kebenaran.
Semua kita bisa mengambil kata-kata Petrus: Emas dan Perak tidak ada pada kami
tetapi kebenaran tentang Kristus yang bangkit itulah yang kami bawa dan
wartakan. Dalam semangat ini kita akan selalu berkata dalam harapan seperti
Bartimeus: Tuhan, semoga aku melihat. Kata-kata Bartimeus inilah menjadi
semangat perutsan kami berempat di tempat yang baru. Doakan kami berempat agar
dalam perutusan kami, kami membawa semangat Petrus dan Yohanes kerinduan
Bartimeus. Semoga