Wednesday, June 27, 2012

LAMENTASI JUMAT AGUNG


RENUNGAN LAMENTASI JUMAT AGUNG
Mrk.26,32-42

Simon Sedang Tidurkah Engkau?

Injil tadi menampilkan dua hal pokok yaitu tentang orang yang terjaga dan tentang orang yang suka tidur. Tiga murid yang dibawa bersama Yesus ke taman Getzemani adalah wakkil dari orang-orang yang suka tidur. Sikap itu berlawanan dengan Yesus yang terjaga. Tiga murid lebih senang memilih tidur sementara Yesus berdoa agar bebas dari pencobaan.
Pilihan tiga murid untuk terus tidur tidur terus menjadi gambaran tentang pilihan hidup pengikut Kristus yang pasif, tidak mau terlibat, tidak mau bersikap solider, apatis, masa bodoh, kurang tanggap terhadap apa yang sedang terjadi. Sikap ketiga murid itu  berlawanan dengan maksud Yesus mengajak mereka ke Taman Getzemani. Yesus mengajak mereka untuk berdoa bersama Yesus. Mereka diajak untuk terlibat dan melibatkan diri dalam pengalaman Yesus. Pendek kata mereka diajak untuk aktif bukan tidur pasif. Sikap tiga murid tadi jelas sekali bahwa mereka tidak mau terlibat. Tiga kali Yesus bangunkan mereka tetapi tiga kali juga Yesus mendapati mereka sedang tidur. Mereka telah dikuasai kehendak fisik mereka. Mata mereka berat untuk bisa berjaga bersama Tuhan biar hanya satu jam. Inilah gambaran pengikut Kristus yang tidak bisa bertahan dalam tantangan, orang yang tidak rela berkorban bersama orang lain. Gambaran tentang pengikut Kristsus yang tidak memiliki rasa solider dengan orang lain.
Satu hal yang menarik berhadapan dengan tingkah laku tiga murid dalam injil tadi yakni munculnya satu pertanyaan dari Yesus. Pertanyaan itu singkat dan sederhana: Simon, sedang tidurkan engkau? Pertanyaan seperti itu jelas sekali menggambarkan bahwa memang tiga murid yang diketuai Simon Petrus tidak lagi punya rasa solider. Mereka mau mengikuti Yesus tetapi tetap bersikap pasif. Mau disebut murid tetapi tidak bisa menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan sebagai murid.
Kita semua telah menyebut diri pengikut Kristus dan senang kalau disebut sebagai murid Yesus. Hala itu tentu saja baik tetapi belum cukup karena kalau mau menjadi murid Yesus sejati kita harus selalalu terjaga atau harus selalu dalam kondisi aktif melakukan sesuatu untuk kebaikan sesama.
Pada zaman ini masih banyak orang yang bermental dan bergaya hidup seperti Simon dan dua temannya.Kita bisa temukan dalam diri orang beriman yang mati rasa, masa bodoh, apatis dengan segala urusan yang berkaitan dengan hla rohani. Ajakan dan pengalaman Yesus dalam  injil tadi adalah ajakan agar orang melibatkan diri dalam urusan rohani, agar orang katif dan berpartisipasi.  Ajakan Yesus adalah ajakan untuk keselamatan. Para murid diajak terusterjaga sambil berdoa agar selamat dari aneka pencobaan.Hari ini Yesus menderita dan mengajhak kita untuk berparstrispasi dalam derita itu dalam kehoidupan kita. Pada xaman ini masih banyak yesus-yesus yang menderita dan mengharapkan partispasi kita. Kita adalah simon, Yakobus dan Yohanes zaman ini yang diminta untuk meringankan sesama. Pertanyaannya apakah kita mau selalu kedapatan dalam kondisi terjaga, aktif menolong orang lain sebagai Yesus zaman kita. Mudah-mudah kita tidak termasuk tiga murid yang suka tidur, masa bodoh, apatis dengan urusan iman kita. Hari ini Yesus akan menyebut nama kita masing-masing disertai dengan pertanyaan: …. sedang tidurkah engkau? Tidur di sini tidak berarti tidur secara fisik tetapi tidur secara rohani. Marilah kita terus terjaga agar kita bebas dari jeratan masalah kehidupan. Amin

RABU BIASA PEKAN I THN B


Renungan Pekan I Thn B.2

Samuel 3:1-10.19-20; Markus 1:29-39
Efata, Rabu 11 Januari 2012 (Sidang Pastoral)

Buka

Bacaan yang ditawarkan gereja untuk kita renungkan hari ini pada intinya berbiacara tentang panggilan. Dan, kalau kita berbicara tentang pangggilan maka umumnya kita berbicara tentang pihak yang memanggil dan pihak yang menjawab. Kita sering berpikir tidak proporsional ketika panggilan itu kita maknai  masalah bagaimana Tuhan memanggil lalu meremehkan manusia yang menerima panggilan. Dalam konteks bacaan hari ini panggilan itu sesungguhnya berbicara tentang manusia dan sikap serta tanggapannya atas panggilan. Persoalannya bukan karena Tuhan berhenti  atau tidak memanggil tetapi teruatama karena manusia tidak mau memberikan jawaban. Tidak mau memberikan jawaban juga terjadi karena kita manusia tidak mau mendengarkan. Samuel terpanggil untuk mendengarkan apa kehendak Tuhan. Kita bersukur telah men jadi orang teranggil. Pertanyaannya apakah kita terus memberikan jawaban dengan terus mendengarkan Tuhan atau sebaliknya kita menilai Tuhan tidal lagi memanggil. Kesetiaan Tuhan tidak bergantung pada jawaban manusia. Lampu rumah Allah belum juga padam dan suara panggilan-Nya terus berkumandang. Kita bedoa semoga kita menjadi orang yang setia mendengarkan Dia bersabda. Kita akuis kesalahan dan dosa kita...

Renungan
Saya tidak tahu apakah ada dari antara kita ini, semalam terjaga beberapa kali hanya karena ada panggilan seperti yang dinarasikan dalam kitab Samuel pagi ini? Yang bisa saya duga semalam mungkin  dan bisa saja ada yang terbangun lebih dari tiga kali karena gangguan pencernaan atau karena deringan atau getaran telepon genggamnya. Bacaan pertama hari ini terkesan menarik dan dramatis karena ada dua aksi atau tindakan yang ditampilkan secara seimbang yang akhirnya membingkai sebuah kisah yang bermuatan pesan yang aktual dan relevan bagi kehidupan manusia. 
Membaca judul bacaan pertama amat jelas bagi kita berkaitan dengan Panggilan Samuel. Kata panggilan ini mendapat tekanan dan intesitas maknanya sedemikian mendalam justru karena kata panggilan dihubungkan dengan dua model reaksi dalam bentuk aksi Samuel. Dua aksi yang dominan dan relatif ditampilkan seimbang ada dalam kata ”tidur” dan ”bangun”. Tidur dalam teks tadi menjadi sangat penting. Samuel dipanggil dalam keadaan tidur. Tidur adalah gambaran yang menampilkan nuansa pasif. Yang mengherankan kita justru Tuhan memanggil Samuel dalam kondisi yang terkesan pasif seperti itu. Bagi saya cara seperti ini jelas mau menekankan bahwa inisiatif memanggil itu datang dari Allah.
Tiga kali Samuel dipanggil dalam keadaan tidur artinya Allah tak henti-hentinya memanggil. Karena itu, bagi saya kalau ada orang mengatakan bahwa dirinya tidak dipanggil, itu tidak benar. Tuhan selalu memanggil dan panggillan selalu ada dan terjadi. Yang tidak ada adalah jawaban atas panggilan itu. Mengapa tidak ada jawaban? Alasannya karena orang hanya sampai pada tingkat mendengar dan belum sampai pada tingkat mendengarkan. Sepintas kata mendengar dan mendengarkan itu sama karena berkaitan dengan perkara berfungsi tidaknya daun telinga kita, tetapi sesungguhnya  ada perbedaan yang amat mendasar antara kata mendengar dan mendengarkan. Mendengar adalah gambaran berfungsinya telinga menangkap bunyi dan suara apa saja. Kita bisa mendengar bunyi sepeda motor yang lalu lalang di jalan. Mendengarkan menggambarkan berfungsinya telinga menangkap bunyi-bunyi  dengan tujuan tertentu. Kalau telinga saya menangkap bunyi sepeda motor dan mengatakan bunyi sepeda motor seperti itu adalah bunyi sepeda motornya rm Dion Labur, maka saya bukan sekadar mendengar bunyi sepeda motor tetapi saya telah mendengarkan bunyi sepeda motor.
Imam Eli memberi petunjuk dan kalimat yang benar untuk Samuel: Bersabdalah ya Tuhan, hamba-Mu mendengarkan. Rumusan itu, tidak diubah sedikitpun oleh Samuel. Di sini jelas bagi kita bahwa ada tingkatan dalam respon manusia terhadap panggilan Tuhan. Jawaban Panggilan yang benar harus sampai pada tingkat mendengarkan.  Itulah yang terjadi dalam kisah panggilan Samuel. Kita semua juga merupakan orang yang setiap saat dipanggil Tuhan karena Tuhan setia memanggil. Panggilan itu bukan soalnya pada Tuhan, tetapi soalnya ada pada jawaban manusia. Jawaban itu terukur dalam kualitasnya apakah hanya sekadar mendengar atau sudah sampai pada pilihan mendengarkan.
Dalam konteks panggilan Sameul mendengarkan bukan lagi perkara telinga tetapi sudah menyentuh ranah hati untuk menentukan keputusan dan pilihan. Samuel dipanggil dalam kondisi tidur tetapi ia mendengarkan. Itu artinya ada model tidur yang memberi peluang untuk dipanggil Tuhan. Dan itu tidur yang model apa? Tidur sungguhan atau tidur-tiduran? Mata tertutup tidak selalu berarti tidur, mata terbuka tidak selalu berarti terjaga karena ada yang matanya tertutup tetapi hatinya tetap bangun dan ada yang mata terbuka tetapi sesungguhnya ia tidur.
Dalam ungkapan populer ada perbedaan makna antara ungkapan toko wela wa dan wela eta toko wa. Samuel tergolong penganut aliran toko wela wa. Secara fisik tubuhnya melintang mata tertutup tapi telinga dan hati terus terbuka. Lain halnya dengan mereka yang menganut filosofi wela eta toko wa, fisiknya berdiri tegak mata terbuka tetapi telinga dan hatinya tertidur. Para pendukung filosofi wela eta toko wa biasanya mengatakan dirinya tidak pernah dipanggil. Dia mempersoalkan Tuhan yang memanggil dan bukan dirinya yang harus memberi jawaban setelah mendengarkan.
Semauel mendengarkan Panggian  Tuhan dalam keheningan Bait Allah di Yerusalem. Untuk teman yang sudah pulang dari tanah Suci tentu tahu persis berapa lamanya kita berjalan dari Yerusalem ke Kafernaum yang menjadi seting tempat terjadinya kisah injil tadi. Kisah penyembuhan dalam injil tadi terjadi di Kafernaum yang telah menjadi kampung kerja Yesus setelah ditolak dari Nasareth. Injil hari ini sesungguhnya menampilkan siklus hidup Yesus secara lengkap karena disebutkan: Rumah ibadat sebagai gambaran tentang pentingnya doa bersama, pelayanan orang sakit, berdoa di tempat yang sunyi untuk menggambarkan pentingnya doa pribadi, meditasi dan kontemplasi, dan tugas memberitakan Injil.
Kisah injil memang tidak eksplisit berbicara tentang panggilan dan sikap mendengarkan tetapi masalah panggilan dan sikap mendengarkan itu implisit dinyatakan dalam beberapa hal tekait penyembuhan. Saya sudah melihat beberapa tempat di Kafernaum termasuk rentuhan rumah ibadat dan reruntuhan rumah Simon Petrus dan murid lainnya yang disebutkan dalam injil tadi. Kafernaum yang menjadi seting peristiwa injil hari ini sesungguhnya mau menegaskan kepada kita bahwa dalam arti tertentu sebenarnya Kafernaum menjadi  awal aktivitas penginjian, evangelisasi, dan tempat strategis bagi orang yang mendengarkan panggilan Tuhan melalui pewartaan Yesus. Ini terbukti, karena banyak murid pertama Yesus berasal dari Kafernaum dan bukan dari Yerusalem.
Kalau dalam injil tadi ada begitu banyak orang mencari Yesus  dengan pelbagai macam alasan, sesungguhnya mereka itulah orang yang telah mendengarkan panggilan Tuhan. Kalau di Yerusalem yang mendengarkan itu Samule, di Kafernaum yang mendengarkan itu adalah para murid dan semua saja mereka yang datang mendnegarkan dan mau mengikuti Yesus. Lalu, apa sebenarnya yang perlu kita maknai dari injil terkait tugas panggilan kita?
 Injil hari ini pada da­sarnya menampilkan sikap solidaritas Allah kepada manusia. Simpa­ti dan perhatian Allah secara nyata digambarkan dalam episode penyembuhan orang-orang sakit. Orang banyak yang disembuhkan Yesus itu diharapkan bisa menjadi tabib bagi orang lain. Kita semua dalam arti terntu juga dipanggil untuk menjadi tabib memerangi pelbagai penyakit yang mendera kehidupan mereka yang kita jumpai dan layani dalam tugas kita. Kehadiran yang menyembuhkan adalah kehadiran yang bermakna bagi orang lain. Kehadiran yang menyem­buhkan adalah kehadiran manusia yang dirasuki semnagat dan cinta Allah sendiri. Yesus yang digambarkan Injil tadi merupakan sosok cinta Allah yang membutuhkan daya tanggap manusia. Kisah penyembuhan Ibu Mertua Petrus mengisyaratkan dua kebenaran penting ini. Pertama, peristiwa penyembuhan itu merupakan simbol pembebasan dan pemerdekaan yang dibawakan Kristus yang secara sempurna dilaksanakan pada akhir zaman. Kesembuhan dari penyakit adalah simbol pembebasan.
Kedua, proses dan rahmat penyembuhan yang diperoleh haruslah mendorong manusia untuk aktif dan kreatif dalam kehidupan. Wanita yang disembuhkan dalam Injil tadi pada akhirnya  bangkit dan langsung melayani. Ia mengalami penyembuhan dan mendorongnya untuk terlibat aktif dalam pelayanan baik itu bagi Allah maupun bagi sesama. Dengan kata lain pengalaman pernah disembuhkan harus membuat seseorang untuk membuktikannya dalam kehidupan nyata. Sebagai manusia jelas kita semua pernah mengala­mi sakit. Pengalaman rasa sakit kita tidak saja terbatas pada pengertian sakit fisik serangan penyakit, tetapi sebenarnya dalam pelbagai situasi di mana kita merasa tidak aman, tidak tenang, merasakan kekurangan di sana sebenarnya kita juga merasa sakit. Penyembuhan yang dibuat Yesus dalam Injil adalah simbol penyembu­han situasi dunia. Dunia kita sekarang inipun lagi sakit. Sebagai orang yang dipanggil kita telah disembuhkan untuk dapat menyembuhkan sesama dalam wujud karya bakti dan pelayanan kita masing-masing. Mari kita berusaha bukan hanya agar bisa mendengar suara panggilan Tuhan tetapi lebih dari itu mau mendengarkan Tuhan yang terus memanggil. Semoga

MISA PERUTUSAN DARI KISOL


Renungan Misa Perutusan

Rm.Bone, Rm.Don, Fr.Kristian, Fr.Redy

Kis.3,1-10; Mrk.10,46-52

Seminari Kisol Kamis, 14 Juni 2012

Emas dan Perak tidak ada pada kami….

Bukanlah hal yang baru bagi Komunitas ini untuk menjadikan moment perpisahan sebagai moment perutusan. Karena itu kita lebih suka menggunakan rumusan misa perutusan daripada menggunakan rumusan misa perpisahan. Perpisahan itu konotasinya pasif negatif sedangkan perutusan konotasinya aktif dan positif. Aktif dan positif karena perutusan itu identik dengan tugas yang diterima untuk dilaksanakan sesuatu. Pertanyaan pokoknya satu saja: diutus untuk apa? Pertanyaan lainnya akan mengarah pada pertanyaan pokok ini. Pertanyaan itu, hari ini diarahkan kepada kami berempat dan jawaban kami tentu berbeda-beda sesuai konteks kami. Meskipun demikian sebagai orang beriman tentu kita menyatukan semuanya  dalam makna perutusan yang lebih luas lagi. Kami berempat yang telah menjejakkan kaki di tempat ini akan pergi. Kami pergi kamu tinggal, kamu punya harapan atas kami dan kami punya perjuangan untuk harapan kamu. Saat ini kita berada dalam konteks perutusan sebagai orang beriman. Karena itulah, moment ini jangan dilihat sebagai hal istimewa hanya buat kami yang akan pergi tetapi sebagai saat istimewa buat kita semua. Keistimewaan moment ini bagi kita bisa ditemukan melalui pesan firman Tuhan yang diperdengarkan untuk kita saat ini.

Dua kisah tadi terjadi di tempat yang berbeda. Pertama terjadi di Gerbang indah Yerusalem yang merupakan salah satu dari delapan gerbang masuk ke kota Yerusalem. Gerbang indah merupakan gerbang yang paling banyak dilalui para peziarah. Saya pertama kali masuk kota Yerusalem tahun lalu justru melalui gerbang indah ini meski berdesakan dengan ribuan peziarah dari seluruh dunia. Di sana pemandu menunjukkan kami tempat Petrus dan Yohanes menyembuhkan orang lumpuh yang dikisahkan dalam bacaan pertama tadi.  Bacaan injil menampilkan kisah yang mirip tetapi lokasinya ada di gerbang kota Yerikho. Pemandu juga telah menunjukkan kami tempat itu setelah melintasi pohon Zakeus dan bukit pencobaan. Sepintas dua kisah tadi memang berkaitan dengan dunia medis karena berbicara tentang penyembuhan orang lumpuh dan orang buta, tetapi bagi saya sebenarnya dua teks ini juga mewacanakan perutusan orang beriman yang berkaitan dengan proses belajar.

Setiap perutusan dapat dikatakan sebagai saat untuk belajar dalam konteks yang seluas-luasnya. Setiap orang yang diutus untuk suatu tugas tertentu dengan sendirinya dan bahkan tanpa disadari ditempatkan ke dalam kerangka prilaku dan peritindak belajar. Mengapa? Karena untuk menjalankan misi perutusan secara benar orang dituntut untuk mempelajari banyak hal. Untuk dapat mempelajari banyak hal orang yang diutus itu harus mampu mendisposisikan dri sebagai orang yang membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain.  Orang yang diutus itu harus dan mesti menempatkan diri dan seluruh sikapnya dalam spirit perjuangan seorang lumpuh atau seorang yang buta. Proses perutusan, proses belajar bermula dan terjadi ketika seseorang merasakan adanya keterbatasan pada dirinya. Perutusan juga membahasakan keterbatasan. Orang lumpuh diusung ke gerbang Yerusalem karena keterbatasan fisik. Orang buta ke gerbang Yerikho juga karena keterbatasan fisik.

Dua bacaan tadi menampilkan tokoh-tokoh yang memiliki keterbatasan. Dua bacaan ini tampaknya mirip karena tokoh yang ditampilkan relatif sama-sama berada dalam keterbatasan fisik. Dalam bacaan pertama kita mendengarkan kisah seorang tokoh yang lumpuh secara fisik berhadapan dengan Petrus dan Yohanes. Injil menanmpilkan kisah orang yang buta berhadapan dengan Yesus. Alur kisah dua bacaan yang melibatkan dua tokoh yang sama-sama cacat fisik dengan seting tempat yang berbeda; Gerbang Indah Yerusalem dan Gerbang Yeriko. Yerusalem itu terletak sembilan kilo meter sebelah Timur kota Yerikho. Apa yang terjadi di Gerbang Indah Yerusalem itu? Dan apa yang bisa kita dapatkan dari peristiwa itu? Pesan pokok dari kisah orang lumpuh di Gerbang Yerusalem itu berkaitan dengan adanya empat model manusia berhadapan dengan tawaran Keselamatan Tuhan untuk manusia. Baiklah kita lihat ayat demi ayat bacaan pertama tadi.

Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait .  Di situ ada seorang laki-laki, yang lumpuh sejak lahirnya sehingga ia harus diusung. Tiap-tiap hari orang itu diletakkan dekat pintu gerbang Bait Allah, yang bernama Gerbang Indah, untuk meminta sedekah kepada orang yang masuk ke dalam Bait Allah. (ay.1-2). Ayat ini mau menegaskan kepada kita bahwa  Tidak semua orang yang pergi ke Bait Allah memiliki motivasi untuk menyembah Allah. Dari teks tadi kita mengenal  beberapa golongan orang yang datang ke Bait ALLAH. Golongan pertama diwakili  Petrus dan Yohanes. Keduanya "naik" ke Bait ALLAH untuk berkomunikasi dengan Allah, mendekatkan diri kepada Allah. Kata "naik" memiliki arti mencari perkara-perkara yang di atas. Petrus dan Yohanes mewakili manusia yang sungguh-sungguh beribadah. Ayat ini sejalan dengan bagian lain penginjil Markus yang menulis bahwa Yesus mengutus murid-murid-Nya berdua-dua dan melengkapi mereka dengan Firman dan Kuasa Roh Kudus sebagai senjata dalam melawan kuasa roh-roh jahat(Mrk. 6,7)

Model kedua yaitu orang lumpuh. Nama orang lumpuh itu tidak dinyatakan; hanya  disebutkan "seorang laki-laki". Orang lumpuh ini mewakili orang-orang yang belum memiliki "nama", artinya orang yang belum menerima keselamatan. Posisi orang lumpuh ini baru berada di dekat pintu gerbang Bait Allah, belum masuk melalui pintu gerbang. Hanya tinggal selangkah lagi baginya untuk memasuki Bait Allah, namun langkah yang menentukan ini belum ditempuhnya. Dia hanya meminta para pengusung meletakkan dirinya di gerbang karena targetnya memintah sedekah. Kita ingat apa yang ditulis Yohanes tentang kata-kata Yesus: Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui AKU, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput (Yoh.10,9)

Orang yang belum diantar, masuk lewat pintu gerbang Bait Allah sebenarnya belum dapat disebut orang Kristen sejati. Sebab pintu gerbang itu adalah Kristus sendiri. Sebagai seorang yang belum melangkahkan kakinya melewati pintu gerbang, orang lumpuh ini belum menerima Kristus sebagai Juruselamat.

Dinamika perjumpaan kedua murid dengan orang lumpuh itu berlanjut. Ketika orang lumpuh itu melihat, bahwa Petrus dan Yohanes hendak masuk ke Bait Allah, ia meminta sedekah.  Mereka menatap dia dan Petrus berkata: "Lihatlah kepada kami."  Lalu orang itu menatap mereka dengan harapan akan mendapat sesuatu dari mereka. (ay.3-5) Kata-kata Petrus ini seolah-olah orang lumpuh itu tidak bisa melihat Petrus dan Yohnaes. Padahal sebelumnya si lumpuh  melihat keduanya sebab dia bermaksud meminta sedekah. Pasti dan jelas ada makna khusus yang terkandung dalam kata-kata Petrus  kepada si pengemis lumpuh ini, "Lihatlah kepada kami!" Bukan sekadar memandang wajah Petrus dan Yohanes. Yang dimaksudkan Petrus adalah mengubah cara pandang. "Ubahlah cara engkau memandang."  Bagi Petrus orang lumpuh itu hanya mata fisiknya yang terbuka melihat tetapi mata hatinya buta tertutup. Berbeda dengan Bartimeus yang mata fisik buta tetapi mata hatinya terbuka. Cara pandang Petrus dan Yohanes sangat bertolak belakang dengan cara pandang si pengemis lumpuh itu.

Petrus dan Yohanes sebagai murid Kristus menegaskan bahwa mereka dapat meminta kepada Allah, tetapi bukan mengemis seperti si lumpuh itu. Orang lumpuh itu justru tidak meminta dan berharap kepada Allah; dia hanya berharap menerima belas kasihan dari manusia yang hanya memberi sedekah sekadarnya. Mengarapkan menerima karena rasa belas kasih sesama manusia adalah mental seorang pengemis. Tidak terbersit kerinduan dan keinginan dalam dirinya untuk mendapatkan kesembuhan melalui para imam dan rasul yang setiap hari lewat di hadapannya menunju Bait Allah. Yang ada dalam pikiran si lumpuh itu hanyalah uang. Pola pikir seperti ini mau  diubah Petrus dan Yohanes.

Harapan orang lumpuh untuk menerima banyak uang dari Petrus dan Yohanes adalah harapan yang sia-sia. Sebab Yesus mengutus para murid dengan pesan agar tidak membawa bekal atau pun uang. Hanya tongkat -gambaran salib TUHAN- yang boleh mereka bawa dan menjadi andalan mereka dalam perutusan. Perkataan Petrus, "Lihatlah kepada kami" mengingatkan si lumpuh itu, bahwa Petrus juga tidak memiliki uang, namun tidak membuat Petrus menjadi pengemis. "Lihatlah kami" merupakan ajakan Petrus kepada si lumpuh untuk memikirkan perkara-perkara di atas, untuk melangkahkan kaki masuk ke dalam Bait Allah. Setelah langkah yang terpenting itu dijalani, maka orang akan menerima segala berkat Allah yang mencukupkan segala kebutuhan hidupnya.

Di samping kedua rasul dan orang lumpuh itu, ada kelompok ketiga yaitu orang-orang yang meletakkan si pengemis lumpuh di depan pintu gerbang Bait Allah Kelompok ini menggambarkan orang yang penuh semangat bersaksi dan menolong  agar orang lain mau datang kepada Tuhan. Namun sayangnya, niatnya tidak tuntas, kesaksiannya tidak membawa berkat keselamatan bagi orang lain, sebab mereka memberi kesaksian yang salah. Mereka hanya menggembar-gemborkan kesembuhan, berkat kekayaan dan berkat-berkat jasmani lainnya, tetapi tidak menceritakan kasih Allah yang rela mati menyelamatkan orang berdosa. Kesaksian yang tidak memberitakan salib Tuhan tidak akan membawa perubahan pada si pengemis lumpuh itu: orang lumpuh selamanya akan tetap lumpuh!

Salib adalah kuasa kematian dan kebangkitan  yang membawa kesembuhan bagi si lumpuh seperti yang dinyatakan Petrus sendiri. Itulah modal perutusan Petrus dan kawan-kawannya. Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!(Kis.3,6). Petrus dan Yohanes hanya memiliki modal Nama Yesus. Di sini jelas bagi kita bahwa  pertolongan materi tidak akan mengubah profesi orang lumpuh itu sebagai pengemis. Hanya Nama Yesuslah yang telah mengubahnya secara rohani menjadi pengikut Kristus yang sanggup berjalan dan tidak lagi meminta-minta. Hal ini jelas terlihat dalam ayat berikutnya:

Lalu Petrus  memegang tangan kanan orang itu dan membantu dia berdiri. Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu.  Ia melonjak berdiri lalu berjalan kian ke mari dan mengikuti mereka ke dalam Bait Allah, berjalan dan melompat-lompat serta memuji Allah (ay.7-8). Petrus membantu si lumpuh itu berdiri merupakan gambaran orang-orang yang telah mengenal kuasa kebangkitan TUHAN memiliki kerelaan membantu orang-orang yang imannya masih lemah. Orang lumpuh ini baru mendengar Nama YESUS dan masih perlu dibantu dan didorong pertumbuhan imannya.  Petrus dan Yohanes  yang dikuasai Roh Kristus yang bangkit dengan ringan tangan membimbing dan mendoakan orang yang baru mengenal TUHAN agar tetap teguh dalam iman.  Lazimnya orang lumpuh sejak lahir tidak akan langsung berdiri, apalagi berjalan. Pasti membutuhkan waktu untuk belajar berjalan. Namun orang lumpuh ini dapat segera berdiri, berjalan, bahkan melompat! Jamahan TUHAN atas orang lumpuh ini membuktikan kuasa  Nama Tuhan yang tidak terbatas.

Pertolongan Tuhan yang dialami si lumpuh ini membawanya ke Bait Allah mengikuti Yohanes dan Petrus. Tanpa dikomando, orang yang disembuhkan ini memuji Tuhan sambil melompat-lompat untuk mengekspresikan rasa syukur dan sukacita yang luar biasa. Dan bersama pemazmur berdoa  "berbahagialah orang-orang yang diam di rumah Tuhan" (mzr.84,5) Diam di rumah Tuhan berarti  sudah masuk melewati pintu gerbang keselamatan, seperti yang dialami si pengemis lumpuh itu. 

Golongan keempat adalah orang banyak atau rakyat kebanyakan.  Seluruh rakyat itu melihat dia berjalan sambil memuji Allah,  lalu mereka mengenal dia sebagai orang yang biasanya duduk meminta sedekah di Gerbang Indah Bait Allah, sehingga mereka takjub dan tercengang tentang apa yang telah terjadi padanya (ay.9-10). Ayat ini jelas menampilkan satu model sikap manusia berhadapan dengan karya Tuhan. Rakyat yang  menyaksikan peristiwa kesembuhan si lumpuh di gerbang Indah Yerusalem itu hanya takjub, tidak lebih dari itu. Hati mereka tidak tergerak memuji TUHAN seperti si lumpuh yang disembuhkan. Mereka hanya menjadi penonton yang pasif. Bila sikap seperti ini dipertahankan, sudah pasti selamanya golongan ini hanya akan "menonton" dan menjadi penonton mujizat, bukan mengalami dan menjadi penikmat mujizat.

Tanpa berniat menyamakan diri dengan Petrus dan Yohanes, kami berempat yang diutus hari ini juga tidak punya emas dan perak untuk siapa saja yang selama ini kami jumpai dan kami layani. Frater Redy, dan Frater Kristian, Rm.Don dan saya juga datang ke Seminari ini bukan membawa emas atau perak untuk dibagikan. Kami datang hanya membawa keyakinan bahwa Tuhan sendiri bisa memakai kami untuk sesuatu yang kiranya baik untuk dibagikan. Karena itu kalau memang ada hal baik yang dirasakan sudah kami berikan, janganlah memuji kami. Pujilah Tuhan yang memakai kami untuk meneruskan kebaikan-Nya kepada kita dan siapa saja yang memerlukan keterlibatan kami. Saya berharap ketiga saudara saya yang diutus hari ini juga sepakat bahwa kita datang dan hidup di sini untuk memperkenalkan Kristus yang telah memanggil kita tanpa emas dan perak. Semangat yang sama kiranya terus kami bawa dalam tugas perutusan yang baru. Harapannya semakin banyak orang yang diantar masuk ke rumah Tuhan untuk mengenal dan memuji  Tuhan.

Sebagai pengikut Kristus kami berempat kemungkinan masih bertemu dengan banyak orang lumpuh dan orang buta yang membutuhkan setuhan, perhatian Tuhan, jamahan Kasih Tuhan dan menggunakan kami sebagai alat di tangan-Nya untuk melaksanakan karya sebersar dan seagung itu. Kalau Petrus dan Yohanes dihadapkan dengan orang lumpuh di gerbang kota Yerusalem, maka mungkin kami akan menghadapi orang lumpuh yang lain dalam perutusan kami. Kalau Yesus yang mengutus kami dahulu berhadapan dengan Bartimeus yang meminta matanya dicelikkan maka kemungkin kami berempat akan bertemu dengan model kebutaan manusia zaman ini dalam tugas perutsuan yang baru. Terus terang dari kami berempat belum ada yang bisa membuat mujizat membuat orang lumpuh bisa berjalan dan membuat orang buta bisa melihat. Meskipun demikian kami yakin Tuhan telah memakai kami dalam cara Tuhan sendiri untuk membebaskan orang dari model kelumpuhan dan kebutaan dalam bentuk yang lain melalui tugas, pekerjaan kami. Semua itu jelas kami tidak tahu tetapi Tuhan mengetahui semuanya dan tentu orang lain yang bisa mengatakan itu kalau memang mereka merasa mendapatkan kebaikan Tuhan melalui diri kami.

Perutusan itu, sore ini memang difokuskan kepada kami berempat tetapi sesungguhnya semua kita adalah utusan Tuhan karean kita telah menjadi murid Tuhan. Zaman sekarang amat kurang jumlah orang yang lumpuh secara fisik tetapi tetapi di mana-mana kita temukan orang yang lumpuh mentalnya, lumpuh nuraninya, lumpuh karakternya. Zaman sekarang amat kurang orang buta fisik seperti Bartimeus tetapi tidak berkurang manusia yang buta nuraninya, buta mata hatinya, buta mata kehendaknya. Ketika praktik ketidakjujuran, ketidakadilan, kurupsi, menyontek ambisi berkuasa dibiarkan tumbuh dan ditoleransi di sana kelumpuhan demi kelumpuhan, kebutaan demi kebutaan akan bertumbuh. Kalau semua itu dibiarkan, termasuk dibiarkan terjadi di lembaga terhormat lembaga calon imam ini maka hapuslah slogan dan jargon pendidikan karakter dari silabus pendidikan kita. Menyembuhkan orang lumpuh dan buta fisik jauh lebih mudah daripada menyembuhkan orang yang lumpuh dan buta secara mental, kejiwaan dan rohani. Keadilan, kejujuran, kebenaran tidak bisa dibeli dan dinilai dengan uang. Karena itu, sungguh merupakan penghinaan kepada Tuhan yang adil, Tuhan yang benar ketika orang beriman mengukur kejujran, kebenaran, dan keadilan itu dengan uang. Uang bukanlah alat yang pas untuk dipakai sebagai kompensasi sebuah kebenaran dan keadilan. Saya percaya kita semua mau disembuhkan dari lumpuh dan buta metal. Saya percaya kita semua ingin masuk ke dalam rumah Tuhan dan mau berjalan bersama Tuhan membawa kebenaran. Semua kita bisa mengambil kata-kata Petrus: Emas dan Perak tidak ada pada kami tetapi kebenaran tentang Kristus yang bangkit itulah yang kami bawa dan wartakan. Dalam semangat ini kita akan selalu berkata dalam harapan seperti Bartimeus: Tuhan, semoga aku melihat. Kata-kata Bartimeus inilah menjadi semangat perutsan kami berempat di tempat yang baru. Doakan kami berempat agar dalam perutusan kami, kami membawa semangat Petrus dan Yohanes kerinduan Bartimeus. Semoga