Saturday, May 16, 2015

RENUNGAN MISA REKOLEKSI DOSEN STKIP RUTENG

Misa Penutupan Rekoleksi Para Dosen STKIP Ruteng
Sir. 48,1-4; 9-11; Luk.2,41-52
Sabtu, 13 Desember 2014

Bacaan
Sirakh 48,1-4; 9-11;
48:1 Lalu tampillah nabi Elia bagaikan api, yang perkataannya laksana obor membakar. Kelaparan didatangkan-Nya atas mereka, dan jumlah mereka dijadikannya sedikit berkat semangatnya. Atas firman Tuhan langit dikunci olehnya, dan api diturunkannya sampai tiga kali. Betapa mulialah engkau, hai Elia, dengan segala mujizatmu, dan siapa boleh bermegah-megah bahwa sama dengan dikau? Dalam olak angin berapi engkau diangkat, dalam kereta dengan kuda-kuda berapi. Engkau tercantum dalam ancaman-ancaman tentang masa depan untuk meredakan kemurkaan sebelum meletus, dan mengembalikan hati bapa kepada anaknya serta memulihkan segala suku Yakub. Berbahagialah orang yang telah melihat dikau, dan yang meninggal dengan kasih mereka, sebab kamipun pasti akan hidup pula.
Luk.2,41-52
Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu. Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka. Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?" Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.
Renungan Misa
Kisah injil tadi menyebutkan dua tempat yaitu Nasareth dan Yerusalem. Nasaret disebutkan sebagai tempat asal perjalanan Yesus dan kedua orangtua-Nya Maria dan Yosef. Teks injil ini merupakan salah satu penggalan kisah dari keluarga Nasaret. Dari teks ini kita dapat menemukan banyak pesan berkaitan dengan kehidupan keluarga Katolik. Untuk itu kita bisa lihat berdasarkan ayat-ayat teks tadi.
Tiap-tiap tahun orang tua Yesus pergi ke Yerusalem pada hari raya Paskah. Ayat ini menggambarkan kesetiaan, kepatuhan, ketaatan Maria dan Yosef sebagai orangtua untuk memenuhi aturan adat budaya Yahudi. Sebagai orangtua atau pasutri Maria dan Yosef pertama kali ke Yerusalem justru ketika Maria hamil dan melahir Yesus di Kandang Betlehem. Sejak saat itu Keduanya tidak kembali ke Nasaret tetapi mereka harus mengunsi ke Mesir untuk menyelamatkan Yesus yang dicari Raja Herodes. Perjalanan dan pelarian mereka ke Mesir ditempuh selama tiga tahun. Mereka bersembunyi di Mesir yang sekarang dikenal dengan sebutan gereja Gantung selama satu tahun.
Saya sudah melihat tempat keluarga kudus itu bersembunyi di Gereja Gantung di tepi sungai berdekatan dengan bekas istana dan sinagga Firaun. Setelah usia Yesus 4 tahun Herodes meninggal sehingga keluarga kudus kembali ke Nasaraet. Mereka mengungsi butuhkan waktu tiga tahun perjalanan waktu kembali kemungkinan lebih lama karena tidak takut dikejar sehingga kemungkinan mereka butuhkan waktu lebih lama sekitar 8 tahun sehingga tiba di Nasaret pada saat Yesus memasuki usia 12 tahun. Sekadar perbandingan: bangsa Israel keluar dari Mesir menuju Israel selama 40 tahun.
Sebagai pasangan yang taat pada budaya Maria dan Yosef harus ke Yerusalem bersama Yesus dengan warga Nasaret lainnya. Ketika Yesus telah berumur dua belas tahun pergilah mereka ke Yerusalem seperti yang lazim pada hari raya itu. Perjalanan dari Nasareth ke Yerusalem itu sangat jauh dan injil mencatat mereka berjalan 3 ketika harus kembali Yerusalem mencari Yesus. Kemungkinan 3 hari itu cepat karena mereka mau secepatnya temukan Yesus. Kalau normal kemungkinan berminggu-minggu. Bulan Juli lalu saya dengan bus ke Danau Tiberias butuhkan waktu 8 jam. Kota Nasaret masih jauh lagi karena untuk bisa ke sana kita harus dengan perahu berlayar di danau Galilea dan dari sana terus ke Kafernaum belasan kilo meter dan dari Kafernaum ke Nasaret berjarak 31 km.
Gambaran ini sengaja saya sampaikan agar kita sungguh menyadari betapa Maria dan Yusef sebagai orangtua menjalankan tugas tanggung jawab mereka secara luar biasa. Tanggungjawab mereka juga diuji dengan kasus menghilangnya Yesus yang kemudian ditemukan di Yesusalem di dalam Bait Allah. Sehabis hari-hari perayaan itu, ketika mereka berjalan pulang, tinggallah Yesus di Yerusalem tanpa diketahui orang tua-Nya. Kasus menghilangnya Yesus ini membuat keduanya harus segera kembali ke Yerusalem dan menempuh jarak yang begitu panjang. Sudah satu hari mereka tinggalkan Yerusalem dan baru hari keempat mereka menemukan Yesus. Karena mereka menyangka bahwa Ia ada di antara orang-orang seperjalanan mereka, berjalanlah mereka sehari perjalanan jauhnya, lalu mencari Dia di antara kaum keluarga dan kenalan mereka.
Karena mereka tidak menemukan Dia, kembalilah mereka ke Yerusalem sambil terus mencari Dia. Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Hal yang mengejutkan Yesus ditemukan di dalam Bait Allah. Berada di antara para ahli agama dan asyik bersoal jawab dengan mereka. Keletihan mereka mencari selama 4 hari seakan terhapus oleh kenyataan bahwa Yesus berada di Bait Allah dan dikagumi banyak orang termasuk kelompok ahli agama dan ahli hukum taurat.  Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya.
Yesus berada di bait Allah berarti dia berada di pusat iman Yahudi. Yerusalem yang diyakini sebagai tempat tnggal Yahwe di pilih Yesus sebagai rumah Bapa-Nya. Ia sengaja ada di sana untuk membuktikan kepada orangtuanya dan orang banyak bahwa Ia harus berada di dalam dan dekat pada Allah yang disebutnya sebagai Bapa. Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau." Jawab-Nya kepada mereka: "Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?"
Dari jawaban dan kata-kata Yesus jelas bagi kita bahwa keduanya juga harus belajar untuk berada dekat dengan Allah yang hadir dalam kenisah di Yerusalem. Di sana Maria dan Yusef belajar untuk dekat selalu pada Tuhan mesekipun masih banyak hal yang belum mereka mengerti. Tetapi mereka tidak mengerti apa yang dikatakan-Nya kepada mereka. Setelah kedua orangtua Yesus menyaksikan apa yang seharusnya dilakukan di Bait Allah yaitu mendalami dan memhami Firman Allah atau Kitab Taurat mereka harus berjalan lagi ke Nasaret bersama Yesus. Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. 
Maria dan Yosef kembali bersama Yesus dan terus menjalankan tugas tanggungjawab mereka terhadap masa depan tugas panggilan Yesus. Dalam asuhan kedua orangtua itulah Yesus bukan saja bertumbuh secara fisik menjadi semakin besar, tetapi lebih dari itu ia bertumbuh dalam relasi dengan Tuhan dan sesama. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. Maria dan Yosef berhasil membimbing Yesus untuk menjadi semakin berhikmat yang memungkinkan Dia dikasih Allah dan dikasihi manusia.

Tentu saja ini hanya sepenggalan kisah keterlibatan Maria dan Yosef sebagai orangtua dalam kehidupan Yesus. Kita semua percaya bahwa misi Yesus menebus dan menyelamatkan manusia tidak bisa lepas dari peran kedua orangtua fisiknya ini. Dari penggaan injil ini paling kurang kita diiingatkan lagi bahwa menjadi keluarga berspirit rajawali adalah menjadi keluarga yang unggul dalam pengorbanan, unggul dalam kesetiaan, unggul dalam ketekunan dan ungggul dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Marilah kita belajar pada semangat keluarga Kudus yang telah mendahului kita menjadi keluarga Rajawali. Semoga

RENUNGAN MINGGU I PRAPASKA THN B

Renungan Minggu I Prapaska Thn.B 22 Feberuari 2015
Kej 9:8‑15; 1Ptr 3:18‑22; Mrk 1:12‑15
Kapela Biara Suster Ekaristi, Perumnas Ruteng

Buka
Hari Rabu kemarin semua kita menerima abu yang menggambarkan kesementaraan hidup kita yang mengharuskan kita menata hidup kita dari waktu ke waktu. Pemerimaan abu mengawali masa puasa dan tobat kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sesama, da lingkungan ciptaan lainnya. Hari ini kita memasuki minggu pertama masa puasa, prapaska, masa tobat. Setiap kita tentu mempunyai rencana niat, janji untuk diri kita sendiri tentang apa yang sepantasnyam sebaiknya, dan seharuskan kita lakukan dalam rentang masa puasa ini. Niat kita pada intinya adalah pertobatan dalam segala bentuk dan ekspresinya. Salah satu bentuk tobat kita adalah kesetiaan dan ketepatan kita mewujudkan janji-janji dan niat-niat kita. Dalam bimbingan roh Tuhan kita mau menjadi lebih setia sebagaimana Tuhan sendiri yang mengikat perjanjian untuk setia menepati janji-Nya. Sambil membawa semua niat dan rencana kita dalam kuasa bimbingan TUhan kita berdoa memohonkan kesetiaan kita dalam hidup kita. Untuk itu kita awali perayaan ini dengan mengakui kelemahan dan dosa-dosa kita.

Renungan
Kita semua telah mengenal dan sering menggunakan ungkapan ini, “Janji adalah utang”. Mengapa janji menjadi utang? Jawabannya tidak lain karena setiap janji itu harus ditepati, dilaksanakan, dibuktikan, diwujudkan, ditepati. Karena itu, jika orang, kita tidak setia pada janji maka itu adalah utang yang paling mahal yang tidak bisa dinilai dengan uang atau harta benda lainnya. Janji dan kesetiaan itu ibarat dua kata pada mata uang yang sama. Kalau seseorang mengikrarkan janji, mengucapkan janji, menandatangani suatu perjanjian itu sama artinya seseorang itu menginginkan kesetiaan dan terikat untuk setia menepati, melaksanakan, mewujudkan, janji itu. Kesetiaan adalah jiwa, semangat, dan roh dari setiap janji dan perjanjian yang dibuat, diucapkan, dan dilakukan di antara manusia. Seseorang dikatakan setia sejauh ia mampu menepati janjinya, mewujudkan janji itu.
Dalam perkembangan dan sejarah hidup manusia sepanjang zaman hingga zaman kita saat ini kesetiaan itu menjadi sesuatu yang langka, menjadi sangat mahal, sulit didapatkan, sulit ditemukan dan bahkan dijauhkan dari kehidupan. Mengapa? Karena kata setia dan kesetiaan itu telah disembunyikan manusia di balik dinding kebohongan, egoisme, manipuasi dan sandiwara kehidupan dengan aneka topengnya. Manusia dari berbagai zaman lebih lancar dan mudah mengucapkan janji, dan membuat perjanjian daripada harus berusaha menepati dan setia pada perjanjian itu.
Orang yang mengingkari janji, tidak setia pada janji biasanya tidak disukai banyak orang. Kalau beberapa waktu belakangan ikan-ikan tidak lagi diminati warga saat adanya isu formalin karena nafsu mendapatkan keuntungan maka hidup manusia yang tidak setia dan tidak menempati janji akan dijauhkan karena hidupnya telah diracuni formalin ketidaksetiaan, kebohongan dan egoisme.
Gambaran ketidaksetiaan manusia tidak saja dalam relasinya dengan sesama teapi terlebih lagi dalam relasinya dengan Tuhan. Kisah yang disampaikan kepada kita hari ini juga mengungkapkan gambaran relasi manusia dengan Tuhan. Kisah air bahwa yang memusanahkan sebagian besar makhluk dalam kitab kejadian terjadi hanya karena mananusia tidak setia dan tidak menepati janji mereka kepada TUhan. Kisah pemusnahan karena air bah aadalah kisah tentang ketidak setiaan manusia dan bukan kisah kekejaman Tuhan. Tuhan menciptakan semuanya baik adanya dan itu hanya untuk manusia sejauh manusia setia pada perintah dan hukum TUhan.
Selepas bencana air bah Tuhan yang setia kembali mengingatkan bangsa manusia untuk kembali setia. Karena itulah bacaan pertama hari ini memuat Perjanjian antara  Allah dengan Nuh sungguh menjadi berita sukacita, berita gembira karena Tuhan yang setia kembali menegaskan kesetiaan itu untuk menjamin kelangsungan hidup manusia.  Perjanjian  Allah itu menjadi berita gembira karena di dalam perjanjian itu Allah membebaskan kita dari kematian, dari kemusnahan. Kepada Nuh dan keluarganya Allah menegaskan: "Sesungguhnya, Aku mengadakan perjanjian‑Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersama‑sama dengan kamu ... bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi" (Kej 9:9‑11). Inilah berita gembira dari perjanjian Allah itu, yaitu bahwa tidak ada lagi yang hidup akan dimusnahkan oleh air bah.  
Menanggapi berita gembira ini mungkin  ada yang bertanya, apabila janji Allah itu benar, mengapa sampai saat ini masih terjadi bencana alam, gempa bumi, banjir bandang dan longsor? Mengapa masih ada musim kering yang berkepanjangan sehingga banyak orang mati kelaparan? Mengapa masih terjadi peperangan atau pembantaian manusia secara massal dalam negara atau antarsuku? Mengapa masih meraja lela kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini dan di daerah kita? Di manakah kebenaran janji Allah terhadap Nuh dan semua keturunannya termasuk kita, berhadapan dengan kenya­taan penderitaan dan kesengsaraan manusia  hari ini?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenar tidak tepat dialamatkan kepada Tuhan karena sejak semula Tuhan menghendaki manusia hidup, Pertanyaan seperti ini sesungguhnya diarahkan kepada diri manusia sendiri. Kita manusia semenstinya bertanya: mengapa justru dalam setiap penderi­taan, bencana dan kematian manusia  selalu bertanya kepada Tuhan? Mengapa kita tidak bertanya kepada manusia dan kepada  kepada dirinya? Apakah Tuhan penyebab segala bencana yang menimpa manusia?
Apa pun keberatan kita, yang pasti penderitaan kita manusia, penderitaan dunia  tetap merupakan milik kita manusia di dunia dan ada bersama dengan manu­sia yang berakar secara mendalam pada diri manusia." "Penderitaan itu bersifat hakiki bagi kodrat manusia. bukan agenda TUhan. Kalau penderitaan itu milik manusia dan dunia, maka tak pantas jika dialihkan kepada TUhan. Kalau penderitaan itu berakar dalam diri manusia, jangan melem­parkannya kepada Tuhan.
Jika kita kembali kepada firman Tuhan maka kita menemukan pada Dia hanya ada kehidupan, sebab Tuhan itu hidup (bdk. Yer 4:2). "Hidup itu senantiasa ada dalam Dia." Karena Tuhan itu hidup dan hanya di dalam Dia ada hidup itu, maka satu‑satunya yang dikehendaki Tuhan hanyalah kehidupan bagi manusia dan bukannya kematian atau kehancuran. Maut itu tidak diciptakan Allah, dan Tuhan tidak bergembira menyaksikan hidup manusia itu musnah dan lenyap. Tuhan menciptakan segalanya untuk kebakaan, sehingga manusia yang percaya berpartispasi dalam kebakaan itu. 
Hidup dan kehidupan bagi dunia dan manusia, merupakan agenda besar Allah. Allah hanya menghendaki kehidupan, kesela­matan dan kebakaan bagi manusia, dan bukannya kehancuran, kebina­saan dan kematian. Itulah alasannya mengapa Allah berjanji dengan Nuh dan kita semua keturunannya untuk tidak memusnahkan manusia dengan air bah atau bencana lainnya. Allah tidak menghenda­ki kehancuran atau kemusnahan menimpa manusia. Sesudah peristiwa air bah Allah hanya memberi kehidupan kepada manusia. "Dengan mengaruniakan hidup kepada manusia, Allah meminta agar manusia sendiri harus bisa mencintai, menghormati dan memajukan hidup itu.
Jaminan yang paling sempurna dan pas untuk janji Tuhan perihal kehidupan ini adalah Kristus. Sebagai jaminan, "Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang‑orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah. Ia yang telah dibunuh dalam keadaan‑Nya sebagai manusia, namun yang telah dibangkitkan menur­ut Roh" (1Ptr 3:18‑19). Kristus itu pemenuhan janji Allah akan kehidu­pan bagi kita manusia. Yesus sendiri menegaskan Akulah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan 
Pemenuhan janji yang dilakukan Kristus bersifat kekal. Orang yang percaya kepada Yesus dan memasuki persekutuan bersama‑Nya akan memiliki  hidup kekal. Dengan keyakinan ini semua bentuk penderitaan atau bencana yang dialami manusia setelah kisah air bah bukan karena Tuhan murka atau marah.  Peristiwa air bah menimpa manusia dan memusnahkan segala jenis makhluk hidup karena Tuhan melihat "keja­hatan besar manusia menguasai bumi. Manusia tidak lagi setia dan menepati janjinya kepada Tuhan. Air bah mengalir dari dan karena  kejahatan manusia. Meskipun demikian Allah tetap setia menyatakan komitmen menjamin kehidupan manusia.
Dari pihak manusia dituntut untuk bersikap setia pada perjanjian dengan Tuhan. Jika derita dan bencana menjadi tanggungan manusia dalam hidupnya. Berbicara tentang kesetiaan pada janji itu sering terdengar mudah tetapi berjuang agar hidup dalam kesetiaan ternyata bukanlah mudah. Dalam kondisi seperti itu hanya ada satu jalan yang harus manusia lewati yang bertobat dan percaya kepada Injil sebagaimana kita dengar dalam rumusan saat kita ditandai abu.  Injil yang dimaksudkan kepadanya kita harus bertobat dan percaya adalah "Injil kehidupan" yang konkret dan bersifat pribadi Dengan bertobat dan percaya kepada Injil kehidupan, setiap manu­sia, setiap kita akan mampu "menerima dan memenuhi janji kita untuk setia kepada Tuhan.
Orang yang setia dan menepati janji disayangi  sesama dan dicintai Tuhan. Masa puasa yang tengah kita jalani ini hendaknya dilihat sebagai saat kita melihat kualitas hidup kita terutama  kualitas kemintmen kita akan semua pernyataan, niat, dan janji-janji yang kita ucapkan kepada Tuhan dan sesama kita. Janji-janji, niat-niat yang kita ucapkan dan nyatakan baru bermakna untuk dan menjamin masa depan hidup jiwa kita hanya sekjauh kita menepatinya, dan mewujudkannya. Niat dan janji yang tidak diwaujudkan adalah kebohongan yang membusukkan hidup kita.
Masyarakat Tikus mengadakan munas luar biasa menyusul bencana yang menimpa bangsa Tikus. Pemimpin para tikus mengundang semua  tikus untuk bersidang karena serangan para kucing semakin tak terkendali. Munas luar biasa para tikus itu membahasan satu agenda penting yaitu mencari cara yang tepat melawan kebengisan kucing yang memangsai banyak tikus. Dalam sidang itu terjaring pelbagai tawaan alternatif dan cara melawan kucing biar tikus-tikus tidak musnah dimangsa kucing.
Cara yang disepakati bersama adalah pilihan untuk menggantung lonceng kecil pada leher setiap kucing. Dengan itu kalau kucing hendak menangkap tikus, tikus bisa bersembunyi karena mendengar bunyi lonceng yang digantung pada leher kucing. Pemimpin tikus meminta semua tikus menandatngani kesepakatan dan janji yang isinya: lonceng kecil harus digantung di leher kucing. Setelah semua sepakat dan menandatangani perjanjian itu, muncul masalah besar. Siapa dari antara tikus-tikus itu yang berani menggantungkan lonceng pada leher kucing. Pemimpin tikus meminta anggotanya tetapi semuanya menolak. Kesepakatan dan janji tinggal janji. Kucing terus mengancam hidup mereka.
Ancaman kehidupan manusia adalah dosa. Dan salah satu dosa yang sering menguasai manusia adalah kebohongan dan lemahnya komitmen untuk melaksanakan janji-janji dan niat-niat. Zaman ini banyak yang berlaku seperti para tikus yang hanya bisa berjanji dan bersepakat tetapi tidak mampu melaksanakannya. Tuhan itu setia pada janji-Nya yang menghidupkan kita. Semoga kita bisa belajar untuk setia dan menepati janji-janji kita. Amin

Rm.Bone Rampung,

Wednesday, May 13, 2015

RENUNGAN HUT KE-19 TAHBISAN

Renungan Misa Syukur HUT Imamat ke-19
Bacaan: 1Kor.1,4-9 Luk.5,1-11
Keka, Jumat 17 Oktober 2014
Buka
Rekan-rekan Imam, Bapak, Ibu, Saudara/i. Hidup dan karya kita tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan Tuhan. Semua kita, hidup dan berkarya hanya karena Tuhan yang menciptakan kita, dengan setia hadir untuk menyertai kita. Sore  hari ini semua kita dalam kasih dan karena kasih Tuhan hadir di sini untuk bersama kami dan keluarga besar bersama-sama mensyukuri semua anugera dan pengalaman hidup yang telah dialami sepajang waktu yang telah lalu. Kami, keluarga besar, dan kita semua telah mengalami kasih dan berkat Tuhan itu dalam cara yang berbeda. Selama 19 tahun Tuhan telah menunjukkan kebesaran, cinta, dan kesetiaan-Nya menyertai kami dalam memaknai panggilan kami sebagai imam.
Tuhan yang sama, dalam kesetiaan-Nya yang abadi menyertai kami dalam perjuangan mencari pengetahuan. Tuhan penjaga dan pengawal setia telah menyertai kami selama 19 tahun sebagai imam dan telah menyertai kami selama kami dipercayakan mencari ilmu yang menunjang pelayanan kami sebagai imam di lembaga pendidikan. Perjalanan memaknai panggilan sebagai imam 19 tahun dan pergulatan mencari ilmu pengetahuan dengan segala suka dukanya adalah pengalaman yang sepantasnya disyukuri. Dalam konteks itulah, kita semua hadir dalam perayaan syukur ini sambil terus berharap dan percaya bahwa Tuhan itu akan setia menyertai kami, menyertai kita semua dalam tugas dan karya kami dan karya kita. Dalam nada syukur, baiklah kita memohon pengampunan dan belas kasih Tuhan karena sebagai manusia mungkin mengingkari kesetiaaan TUhan ketikan kita kurang setia pada tugas dan panggilan kita. Agar syukur kita berkenan kepada Tuhan baiklah kita akui semua salah dan dosa kita.

Renungan
Ada banyak pokok pikiran yang penting untuk kita maknai dari dua bacaan yang kita pakai dalam perayaaan Syukur ini.   Melalui bacaan pertama kita mendengarkan bagaiamana Paulus meyakinkan dan menyadarkan jemaat Korintus untuk senantiasa mengucapkan syukur. Ucapan syukur itu bukan tanpa alasan. Alasannya tegas dan jelas karena jemaat Korintus telah menerima banyak diperkaya dalam segala perkara. Jemaat Korintus digambarkan Paulus sebagai jemaat yang telah kaya dalam perkataan, kaya dalam pengetahuan. Paulus mengajak dan mengimbau jemaat Korintus untuk selalu bersyukur sbagaimana Paulus sendiri bersyukur atas kasih yang diperolehnya dari Kristus yang diwartannya.
Kaya dalam perkataan dan kaya dalam pengetahuan bagi masyarakat Korintus merupakan gambaran betapa Tuhan menyertai jemaat itu dengan senantiasa mengalirkan aneka rahmat dan berkat. Rahmat dan berkat itulah yang menguatkan dan meneguhkan mereka untuk bersaksi tentang Tuhan yang setia. Kasih dan kesetiaan Tuhan tidak terbatalkan oleh ketidaksetiaan manusia. Tuhan itu setia dan dalam kesetiaan itu Tuhan terus mengaliri setiap orang yang percaya dengan berkat yang melimpah. Konsep kaya yang dimaksudkan Paulus bukanlah kaya dalam pengertian takaran material tetapi lebih pada pengertian kaya secara rohani  yang disebutnya sebagai kaya dalam perkataan dan pengetahuan. Kaya dalam perkataan dan pengetahuan mau menegaskan kondisi manusia yang dilengkapi dengan aneka kebajikan yang menjadi dasar bagi seseorang bertindak bijak.  Kaya dalam perkataaan dan pengetahuan bagi Paulus jauh lebih penting daripada kaya secara material. Dalam konteks seperti ini kita bisa mengatakan bahwa Paulus sesungguhnya mau membedakan antara orang pintar atau orang bijak dengan orang kaya. Orang yang kaya kebijaksanaan terhindar dari perihidup yang cacat karena Tuhan setia berpihak kepada orang bijak. Paulus menegaskan keyakinannya bahwa Tuhan yang memangil dan memilih itu setia sampai akhir. Setia dan tetap setia pada perihidup yang bijaksana merupakan gamabaran kekayaan yang tidak dapat diambil dari seseorang. Kepintaran, pengetahuan dan kebijaksanaan hidup adalah kekayaan yang tidak akan berkurang dan tidak mungkin dicuri orang.
Cara hidup orang yang bijaksana adalah cara hidup yang selalu mencari tempat yang tepat. Dalam bahasa Injil Lukas tadi dikatakan bahwa orang yang kaya secara rohani adalah mereka yang berjuang mencari dan menemukan sesuatu yang menjamin kehidupannya pada tempat yang lebih dalam, yang lebih menantang tetapi menjanjikan. Kisah yang dinarasikan penginjil Lukas bersetingkan tepi danau Genasaret. Genasaret merupakan salah satu kota  yang ada di tepi danau yang oleh orang Tiberias menyebutnya danau Tiberias, orang Galilea menyebutnya danau Galiea. Danau yang sama hanya diberi nama berbeda berdasarkan kota yang ada di tepi danau itu. Genenasaret berada dekat Kafernaum yang menjadi tempat Yesus berkarya dan melakukan mukjizat dan memilih para muridnya. Gereja pengangkatan Santo Petrus dan Gereja Perbanyakan Roti berada di tepi danau yang sama tetapi tidak seramai kota Tiberias dan kota Galilea. Tiberias dan Galilea tampak ramai karena orang bisa sampai Kafernaum harus berlayar dari kota Tiberias ke Kota Galilea. Di Galilea kita bisa melihat sisa-sisa kayu dari perahu yang dipakai Yesus dahalu di dalam museum perahu. Bulan Juni 2011 saya berlayar dengan perahu motor dari Kota Tiberias menuju kota Galilea  dan terus dengan kendaraan menuju Kafernaum dan tepi danau Genasaret tempat Yesus bertemu dengan Simon seperti dikisahkan dalam injil tadi.
Injil tadi mengisahkan Yesus yang berada di tepi danau. Yesus berhadapan dengan para nelayan yang telah turun dari perahu dan sedang membereskan jala mereka. Yesus mengambil alih posisi pemilik perahu, duduk di dalammnya dan meminta Petrus, pemilik perahu agar perahunya ditolak ke tempat yang lebih dalam. Setelah perahunya berada pada tempat yang tepat agak jauh dari tepi danau barulah Yesus mengajarkan para murid-Nya. Yesus mengambil posisi yang tepat, posisi yang aman bagi pewartaan-Nya. Setelah itu Yesus meminta Simon Petrus untuk bertolak ke tempat yang lebih jauh dan dalam lagi.
Dinamika dan perubahan tempat atau posisi yang dipilih Yesus itu ternyata tidak hanya sekadar berpindah tetapi perpindahan tempat itu membawa dampak yang luar biasa. Semula Yesus berpindah ke dalam perahu dan bertolah lebih jauh lalu mengajarkan para murid. Selanjutnya, Yesus meminta Simon agar perahu itu berpindah ke tempat yang lebih dalam lagi. Tujuannya bukan supaya Yesus semakin jauh melainkan supaya Simon bisa menangkap ikan. Semula Simon berkeberatan karena sudah sepanjang malam mereka berada di danau tetapi tidak mendaptkan ikan. Dalam nada putus asa dan terkesan marah Petrus mengikuti perintah Yesus. Yang menarik, Injil tidak menjelaskan apakah Yesus turun dari perahu atau justru Yesus tetap di dalam perahu lalu bersama-sama di dalam perahu itu ke tempat yang lebih dalam. Kalau mengacu pada teks injil tadi tampaknya Yesus tetap ada di dalam perahu itu dan bersama simon menuju ke bagian danau yang paling dalam. Dalam posisi seperti itulah Petrus dapat menjaring begitu banyak ikan yang menjadi titik awal kekaguman mereka akan kuasa Yesus. Setelah berada  di tempat yang dalam mereka mendapatkan banyak yang mereka cari dan ucapan syukur mereka bukan dengan memberikan Yesus banyak ikan yang mereka tangkap melainkan justru meninggalkan semua fasilitas itu dan mengikuti Yesus. Setelah berada di tempat yang dalam Petrus dan temannya menangkap banyak ikan. Setelah mendapat banyak ikan dari bagian dana terdalam Petrus dan temannya meninggalkan segalanya.
Apa yang bisa kita maknai dari cuplikan teks injil ini untuk kehidupan kita. Yang paling mudah untuk kita maknai adalah mengaitkan peristiwa ini dengan pengalaman kerja kita dalam mendapatkan sesuatu. Kalau Yesus meminta bertolak ke tem[pat yang lebih dalam, itu artinya sebelumnya Simon Petrus mencari ikan di tempat yang dangkal. Itu artinya mereka mencari sesuatu di tempat yang tidak tepat dan mau mencari gampang, menghindari tantangan. Yesus menantang mereka untuk mencari sesuatu dalam perjuangan yang sungguh-sungguh. Yesus mengajaak bertolak ke tempat yang dalam dapat dimaknai bahwa untuk mendapatkan sesuatu orang harus berjuang sungguh-sungguh dan sungguh-sungguh berjuang. Yesus menunjukkan kepada Petrus bahwa untuk mendapatkan banyak harus berani menghadap tantangan. Yesus juga dengan cara demikian meyakinkan Petrus bahwa dalam tantangan motivasi akan dijernihkan. Setelah Petrus mengalami sesuatu di tempat yang dalam barulah ia termotivasi untuk meninggalkan segalanya dan mengikuti Yesus. Itu artinya jakan Yesus tidak sia-sia. Itu artinya Petrus merasakan seuatu dalam perjumpaannya dengan Yesus.
Dalam konteks misa syukur ulang tahun tahbisan kami yang ke-19 dan selesainya tugas belajar saya, teks ini bisa dimaknai secara lain dalam pengertian analogis. Satu pertanyaan refleksi untuk saya pribadi adalah setelah 19 tahun menjadi imam dan menjalankan tugas apakah saya masih berada di tepi danau atau sudah berada di tempat yang dalam? Saya tentu tidak bisa menjawabnya. Yang bisa menjawab mungkinu mereka-mereka yang pernha bersama saya dan mengalami, menyaksikan apa yang telah saya lakukan selama 19 tahun sebagai imam yang menjalankan tugas di lembaga pendidikan. Ketika ditahbiskan tahun 1995 saya diminta bertolak ke tempat yang dalam yaitu Seminari Kisol. Setelah itu saya minta bertolak ke tempat yang dalam dan harus pergi belajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dari sana saya kembali ke Kisol dan menjadi pembia dan guru selama 11 tahun. Setelah 11 tahun mengajar di seminari Kisol, pimpinan keuskupan menilai Kisol menjadi tempat yang tidak dalam lagi bagi saya dan saya harus bertolak ke tempat yang dalam berikutnya yaitu harus bertolak ke Malang dan belajar 2 tahun di Universitas negeri Malang untuk mengambil jenjang Magister  Pendidikan. Setelah berjuang di Malang saya akhirnya bertolak ke tempat yang dalam berikutnya yaitu Lembaga STKIP Ruteng. Sejak akhir September saya menjadikan STKIP sebagai tempat yang lebih dalam.
Kehadiran kita semua dalam perayaan syukur ini tentu saja menajdi kesempatan bagi kita semua untuk mendukung saya dalam tugas di STKIP Ruteng. Harapanya, tidak lain agar rahmat panggilan yang telah saya terima, dan pengetahuan yang telah saya dapatkan dapat dibagikan kepada lebih banyak orang. Kalau menjadi guru di Seminari saya hanya bisa melayani 300 orang siswa calon imam tetapi ketika harus berkerja dan mengajar di STKIP saya bisa melayani ribuan orang calon guru yang bisa membawa hal-hal baik yang mereka dapatkan dalam mintekasi dengan saya. Karya besar itu tentu saja bisa saya lakukan kalau semua kita berada di depan dan dibelakang saya dalam doa dan dukungan dalam berbagai bentuknya. Hal yang sama, saya pun doakan kita semua dan siapa saja dari hari ke hari selalu bertolak ke tempat yang lebih dalam agar kebaikan kita dirasakan oleh banuak orang. Akhirnya saya mengajak kita semua untuk terus mendengarkan TUhan yang meminta kita bertolak ke tempat yang lebih dalam agar bisa melayani lebih baik, bekerja lebih baik sehingga berguna bagi orang lain. Untuk itu kita hendaknya menyertakan Yesus dalam perjuangan hidup kita. Dia itu setia ibarat pengawal yang terjaga. Tuhan itu setia, Dialah penjaga kita, penjaga saya dan penjamu yang tidak akan terlelap. Semoga.

STKIP, 16 Oktober 2014

INJIL :LUKAS 5,1-11
Penjala Ikan Menjadi Pejala Manusia
Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan." Simon menjawab: "Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga." Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus dan berkata: "Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa." Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: "Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia." Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.



Pembacaan dari Surat Paulus yang pertama kepada Jemaat di Korintus

Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karunia Allah yang dianugerahkan-Nya kepada kamu dalam Kristus Yesus. Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam pengetahuan, sesuai dengan kesaksian tentang Kristus, yang telah diteguhkan di antara kamu. Demikianlah kamu tidak kekurangan dalam suatu karunia pun sementara kamu menantikan penyataan Tuhan kita Yesus Kristus. Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus. Allah, yang memanggil kamu kepada persekutuan dengan Anak-Nya Yesus Kristus, Tuhan kita, adalah setia.

RENUNGAN MINGGU PRAPASKA KE-5 THN.B

Hari Minggu Prapaska ke-5 Th.B/1
Kapela STKIP Ruteng Minggu, 22 Maret 2015
Yer.31,31-34; Ibr.5,7-9; Yoh.12,20-33
Buka
Hari ini kita memasuki minggu kelima masa pertobatan kita. Kita diajak untuk menjadikan hidup dan karya kita ibarat benih yang ditanam untuk menghasilkan lebih banyak kebaikan bagi Tuhan dan sesama.Yesus sendiri telah menunjukkan keaataan-Nya dan bersedia berkorban demi mengutuhkan kehidupan manusia. Kita berdoa semoag semangat dan niat kita untuk menjadi benih baik pada akhirnya tumbuh dan mengasilkan segala ssuatu yang baik.
 Renungan
Ada empat pertanyaan tetapi hanya satu jawaban. Di manakah letak tempat paling rahasia dalam kehidupan manusia? Sakit apa yang Paling berbahaya dan mengancam kehidupan manusia? Di manakah tempat tinggalnya cinta antara manusia? Apa yang harus kita berikan agar hidup kita selamat dan aman? Jawaban satu kata saja yaitu HATI. Karena itu kita sering mendengar ungkapan (1) dalamnya laut dapat diduga, tetapi dalamnya HATI tiada yang tahu, (2) lebih baik sakit gigi daripada sakit HATI, (3) Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke HATI, dan (4) kita sering diminta memberikakan hati atau PERHATIAN, BERKAITAN dengan hal-hal yang penting. Minggu lalu, saat menunggu jadwal penerbangan di bandara Komodo Labuan Bajo, bandara Ngurah Rai Bali, bandara Abdul Rahman Saleh Malang, bandara Adisucipto Jogjakarta, bandara Soekarno Hata, Jakarta saya sempat menyimak pelbagai pengumuman yang disampaikan oleh para petugas Bandara kepada para penumpang pesawat. Semua pengumuman selalui diawali dengan kata: “Perhatian-Perhatian” Misalnya saja: Perhatian-perhatian, pesawat Garuda dari Kupang baru saja mendarat di badara komodo labuan bajo, perhatian-perhatian, pewasat Wings air  tujuan Denpasar Bali, siap diberangkatkan. Para penumpang segera memasuki pesawat. Perhatian-perhatian pesawat Citlink dari Ngurah Raih tujuan Halimperdana Kusumah Jakarta siap diberangkatkan. Para penumpang dipersilahkan naik ke pesawat melalui pintu nomor 3. Hal yang sama juga terjadi di bandara lainnya atau di satasius kereta api. Semua pengumuman selalu meminta perhatian. Yang diminta dan disebutkan adalah perhatian yang di dalam kata itu ada kata HATI. Tidak mungkin orang mengubah atau mengganti kata perhatian itu dengan anggota tubuh lainnya misalnya dengan kata “permataan-permataan atau permulutan-permulutan”.
Sepintas nada dan bunyi pengumuman yang meminta perhatiana itu memang tampak biasa, sederhana tetapi jika dicermati kita akan temukan bahwa di dalam rumusan penguman itu ada satu kata kunci, kata pokok yang berkaitan dengan inti diri dan kehidupan manusia. Dari pilihan kata itu jelas sekali bagi kita bahwa kata “HATI” itu menjadi pusat, sentral, inti dari gerak hidup kita manausia. Hati manusia menjadi pusat pengendali dan sekaligus pusat pengawasan, dan monitoring arah gerak dan hidup setiap kita. Hati kita tanpa kita sadari telah menjadi sebuah instansi penentu keputusan yang kita ambil.  Keutuhan dan kebulatan hati pada gilirannya juga menentukan kebulatan dan keutuhan hidup kita manausia.
Nubuat Yeremia dalam bacaan pertama hari ini membenarkan sekaligus meyakinkan kita bahwa  hati manusia, hati kita menjadi tempat penting yang menentukan nasib kehidupan kita. Nabi Yeremia dalam nubuatnya mengingatkan kita melalui pengalaman bangsa Israel untuk senantiasa hidup dan bergerak dalam tuntunan hati. Kisah yang diwacanakan Yeremia memberikan kita gambaran negatif tentang pola dan arah gerak hidup bangsa Israel yang tidak lagi dikendalikan  hati. Nabi mengalami bahwa bangsa terpilih telah mengubah arah gerak hidup mereka karena hati mereka telah berubah. Hati mereka telah menjadi batu, mereka hidup dan bergerak dalam arah yang salah, dalam arah yang berlawanan dengan kehendak Yahwe. Sebagai utusan Yahwe bagi bangsa Israel nabi  Yeremia dipercayakan untuk mengarahkan kembali hati bangsa itu kepada Yahwe.
Tindakan apa yang harus segera dilakukan agar hati bangsa itu berubah dan kembali kepada Yahwe? Yeremia mengarahkan mereka untuk kembali kepada jalan Yahwe melalui perbaikan kondisi dan kualitas hati mereka. Hati bangsa itu harus dipulihkan, harus diluruskan, harus dibersihkan. Apa yang bisa memulihkan, meluruskan, dan membersihkan hati mereka? Hanya ada satu kekuatan yang bisa memulihkan, meluruskan, dan membersihkan hati bangsa itu yakni Hukum atau Sabda Tuhan. Hukum dan Sabda TUhan harus ditulis pada hati dan batin mereka. Yeremia dengan tegas meneruskan Sabda Tuhan itu:  "Aku akan menaruh Taurat‑Ku dalam batin mereka" (Yer 31:33). Mengapa Taurat, hukum, dan Sabda TUhan ditempatkan di dalam hati dan batin bangsa terpilih? Jawabannya karena hati dan batinlah yang menjadi motor pengegrak dan pengarah hidup bangsa itu.
Pilihan Yahwe untuk memakai jasa Yeremia mengubah arah dan orientasi hidup bangsa terpilih diarahkan pada pengutuhan kembali hati bangsa terpilih.  Keutuhan hati yang membulatkan dan mengutuhkan cara hidup agar semakin berkualitas menjadi target utama dari pilihan untuk menempatkan hukum pada hati dan  batin bangsa Israel. Yahwe menghendaki keutuhan hati bangsa pilihan itu. Mengapa keutuhan itu diperlukan dalam kehidupan? Jawabannya karena hanya dalam keutuhan, hanya dalam kepenuhan manusia bisa hidup, tumbuh dan berkembang, Hati yang utuh haruslah tampil ibarat telur yang bulat dan utuh. Hanya telur yang bulat dan utuh, yang tidak rusak yang berpotensi melahirkan kehidupan. Keutuhan dan kebulatan adalah indkator kehidupan yang bermaratbat dan berkualitas. Hidup bermartabat dan berkualitas harus dibangun dan dilandaskan atas kondisi hati dan batin yang utuh pula.
Seorang sastrawan terkenal, Pramudiya Ananta Toer menegaskan bahwa hanya dalam keutuhan yang sempurna lembaga atau benih kehiudpan itu ada, tumbuh dan berkembang. Melalui karyanya berjudul “Jejak Langkah” (Toer, 1985:13) Paramudiya menggambarkan filosofi kehidupan masyarakat Kasiruta. Pramudiya menulsi.”Orang Kasiruta bilang, telur adalah keutuhan yang sempurna. Dan dalam keutuhan yang sempurna, selamanya terkandung lembaga kehid­upan. Pernyataan Sastrawan ini mau menekankan  bahwa kehidupan itu diukur dengan keutu­han, bergantung kepada kebulatan. Manusia akan hidup baik, sehat dan selamat, jujur, tulus, lurus, hanya kalau hati manusia utuh, bulat dan menyatu secara integral. Tuhan sendirilah yang mengutuhkan, membulatkan hati manusia agar melahirkan kehidupan yang lebih berkualitas dan bermartabat.
Imbauan Nabi bagi bangsa Israel dan upaya menempatkan Sabda dan hukum pada hati dan batin bangsa itu hanya karena bangsa itu tidak lagi taat pada perjanjian mereka dengan Yahwe selepas mereka dibebaskan dari perbudakan di Mesir. Ketidaktaatan lahir dari kondisi hati yang terbelah, hati rusak, dan hati yang tidak utuh dan bulat. Gambaran perilaku dan perihidup bangsa terpilih ini coba ditempatkan dalam perbandingannya dengan kehadiran Yesus. Surat kepada orang Ibrani dalam bacaan kedua secara amat tajam dan kontras menghadirkan model ketidaktaan bangsa terpilih dipertentangkan dengan sikap Yesus sendiri. Yesus digambarkand alam bacaan pertama sebagai kahadiran figur, tokoh dengan kondisi hati, batin yang utuh dan bulat yang membuahkan kehidupan. Gambaran tentang Yesus dalam surat kepada orang Ibrani adalah gambaran model kehidupan yang berkualitas dan bermartabat yang dilnadaskan pada sikap hati dan batin yang  bulat dan utuh, Kehadiran Yesus adalah Sabda yang menjelma dan membawa kehidupan. Yesus bukan saja hadir sebagai Sabda yang menjelma dalam hati dan batin tetapi lebih nyata lagi hidup dan memberi teladan untuk model kehidupan yang berkenan kepada Tuhan.
Wujud jelmaan Allah itu nyata dalam pilihan Yesus untuk rela menjadi biji gandum yang harus mati untuk melahirkan kehidupan yang lebih kaya dan lebih bermakna. Yesus mati sebagai biji gandum hanya karena Ia menginginkan agar manusia mendapatkan hidup yang sesungguhnya. Demi hidup hidup manusia dan dunialah Tuhan sendiri menempatkan Taurat‑Nya, sabda dan kehendak‑Nya di dalam batin bangsa Israel dan menghadirkan Yesus sebagai jaminan kehidupan setiap orang percaya.
Mengapa dan untuk apa Tuhan menempatkan Taurat‑Nya, sabda dan kehendak‑Nya mesti di dalam batin mereka? Sebab hati, batin adalah sebuah pusat monitor seluruh gerak hidup manusia. Gerak hidup manusia berangkat dari hati dan kembali ke hati. Dan justru di pusat inilah Tuhan akan menaruh Taurat, sabda dan kehendak‑Nya itu. Maksudnya supaya setiap sabda, kehendak‑Nya itu masuk betul dalam hati, melebur dan memadu secara integral, utuh serta tumbuh menyatu dengan seluruh hidup mereka, sehingga ke­luarlah dari mereka sebuah diri pribadi dengan bobot dan kualitas yang cukup.
Ada dua kelemahan bangsa Israel yaitu kelemahan verbalis dan kelemahan superfisial.  Kelemahan "kata" (verbalis) menunjukkan mereka tahu banyak, berbicara banyak tentang Tuhan, tetapi sayangnya  kurang terbukti, kurang berbuah. Kelemahan "dangkal" (superfisial) artinya pengetahuan Israel tentang Taurat Tuhan, sabda dan kehendak‑Nya juga banyak, namun tidak menjadi bagian milik pribadi mereka sendiri. Pengetahuan mengenai Tuhan tetap menjadi pengetahuan okulasi, pengetahuan tempelan pada permukaan kulit luar dan pinggir dari diri pribadi mereka. Tidak sampai masuk, memadu, menyatu dan melebur dalam hati dan dengan seluruh gerak hidup mereka. Itu tidak sampai terjadi.
Akibatnya apa? Hidup mereka tidak berubah menjadi baik. Hatinya tetap membatu. Mereka degil seperti lembu degil. Mereka tetap berkeras kepala, sehingga juga dengan gampang mengingkari perjanjian Tuhan (Yer 31:32). Karena itu tidak heran kalau hidup yang baik, sehat dan selamat tidak ada pada mereka. Mereka seperti semak bulus di padang belantara; tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; mereka akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri asing yang tidak berpenduduk.
Hidup yang baik, sehat dan selamat terjadi dalam keutuhan, dalam kebulatan. Maka, penekanan hidup yang segmental‑parsial atas segi‑segi tertentu saja, seperti profan saja atau rohani saja, perasaan saja, atau pikiran saja, atau kehendak saja, akan meru­sak hidup kita. Tingkah laku dan sikap yang miring, keras dan fanatik keluar justru dari pandangan dan perhatian hidup yang segmental‑parsial saja, bagian demi bagian saja. Oleh karena itu, supaya hidup kita menjadi baik, sehat dan sela­mat, perlu kita membina suatu cara hidup, gaya hidup yang terbu­ka, namun utuh dan bulat.
Untuk itu juga, tidak cukup sikap verbalis dan sikap superfisial ada dalam diri pribadi kita. Tidak cukup pengetahuan teologi, atau pengetahuan profan yang cuma menjadi pengetahuan okulasi, pengetahuan tempelan pada kulit luar dan kulit pinggir diri kita. Tidak cukup menjadi buah bibir dan buah telinga saja. Tetapi semuanya itu kiranya masuk di dalam hati kita, memadu dan melebur dalam hidup kita serta tumbuh menyatu dengan seluruh diri pribadi kita. Dengan demikian semua pengetahuan yang kita terima, peroleh dan baca menjadi sungguh masuk secara inspiratif‑kreatif bagi kita; artinya berguna membarui, mengubah dan memperbaiki diri pribadi kita menjadi lebih bermutu dan berbobot, sesuai dengan sabda, Taurat dan kehendak Tuhan sendiri atas diri pribadi kita. Hanya dengan beginilah, sabda, Taurat, kehendak Tuhan yang dita­ruh, dimasukkan ke dalam hati kita lewat mulut siapa saja, serta ditanam dalam hidup kita melalui tangan siapa saja, akan sungguh‑sungguh menghasilkan sebuah hidup yang baik, sehat dan selamat. Semoga Kita memiliki hati yang baru, bulat dan utuh demi kehidupan yang lebih baik, berkualitas dan bermartabat. Semoga hati kita menjadi gudang dan bendahara kebaikan. Amin

Rm. Bone Rampung, Pr

RENUNGAN MISA KENAIKAN TUHAN

RENUNGAN MISA KENAIKAN KRISTUS
Kis., 1,1-11; Ef.4,1-7.11-13; Mrk.16,-15-20
Kapela STKIP St.Paulus Ruteng, 14 Mei 2015
Buka
Hari ini kita merayakan peristiwa iman berkaitan dengan Tuhan yang yang memberikan dan mewariskan proyek besar kepada para murid dan kepada kita untuk mewartakan kerajaan Allah dalam praksis kehidupan harian kita. Tuhan telah memasuki kembali kemuliaan Surgawi melalui peristiwa yang kira rayakan ini, tetapi tugas diserahkan kepada kita untuk melanjutkan karya besar Allah dalam hidup kita. Kita memohonkan agar Rahmat Kasih dan Roh Tuhan sendiri menopang kita dalam hidup dan karya kita mewartakan kerajaan Allah. Kita awali semuanya dengan menyadari serta mengakui keterbatasan, kelemahan dan dosa kita.
Renungan
Kalau kita bandingkan popularitas perayaan Kenaikan dengan perayaan lainnya seperti Natal, Paska, Pentakosta maka perayaan Kenaikan menempati urutan paling ekor. Kisah kenaikan Yesus tidak dilihat sepenting kisah kematian dan kebangkitan-Nya. Perayaan Kenaikan tampaknya sepi dan dianggap biasa-biasa saja. Syukur-syukur kalau peringatan Kenaikan seperti ini dijadikan sebagai hari libur nasional seperti yang kita alami hari ini. Di beberapa negara semisal Singapura hari Kenaikan bukanlah hari libur.  Ada pula sebagian teolog yang meragukan legalitas dan alasan perayaan Kenaikan itu. Bagi mereka kisah Kenaikan ini tidak lebih dari sekadar dongeng warisan gereja purba.
Di tengah-tengah perbedaan pendapat seperti ini apakah pantas kita meragukan legalitas dan ungensi perayaan Kenaikan ini  sebagai orang beriman? Apakah benar perayaan ini tanpa dasar dan alasan yang cukup?  Jawabannya, tidak benar karena kisah kenaikan itu bisa ditemukan dalam Kitab suci. Kalau kita membaca Kitab Suci maka kita akan tahu dan yakin bahwa kisah kenaikan itu memiliki dasar dan referensinya dalam kitab Suci.
Paling kurang ada tiga kisah Kenaikan terkait dengan tiga tokoh dalam Kitab  Suci yang dapat dijadikan rujukan dan landas pijak bagi kita untuk memaknai hari Kenaikan ini. Alkitab mencatat ada 3 peristiwa tentang orang kudus yang diangkat ke sorga dan tinggal bersama dengan Allah. Orang pertama yang dikisahkan adalah Henokh. Ia digambarkan sebagai orang yang bergaul akrab dengan Tuhan selama 300 tahun (Kej.5,21-24). Kitab Ibrani juga mencatat: “Karena iman Henokh terangkat, supaya ia tidak mengalami kematian, dan ia tidak ditemukan, karena Allah telah mengangkatnya. Sebab sebelum ia terangkat, ia memperoleh kesaksian, bahwa ia berkenan kepada Allah (Ibr.  11:5) . Orang kedua ialah Nabi Elia yang dikisahkan dalam Kitab kedua Raja-Raja (2 Raj.2, 9-12). Berkatalah Elia: “Yang kauminta itu adalah sukar. Tetapi jika engkau dapat melihat aku terangkat dari padamu, akan terjadilah kepadamu seperti yang demikian, dan jika tidak, tidak akan terjadi.” (2Raja 2:10). Orang ketiga ialah Yesus Kristus. Penginjil  Lukas secara jelas dan rinci menuliskannya dalam  Kisah Para Rasul (Kis.1:6-11). Ia menulis: “Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka” (Kis.1,9)
Kisah ketiga tokoh ini dalam perkembangannya berbeda. Alkitab tidak lagi menjelaskan apa-apa tentang Henokh dan Elia  setelah keduanya terangkat ke surga. Henokh, Elia, dan Yesus, terangkat ke surga karena tugas mereka selesai.  Alkitab tidak lagi menjelaskan apa-apa  setelah Henok dan Elia pergi. Alkitab justru lebih rinci membicarakan tentang  Yesus. Alkitab mencatat hal-hal yang dikerjakan Yesus setelah Ia terangkat ke surga. Itu bedanya kenaikan Henok dan Elia dibandingkan dengan kenaikan Yesus. Kenaikan Yesus memberikan kita beberapa hal pokok terkait penghayatan iman kita. Bagi kita kisah dan peristiwa kenaikan  menegaskan berbagai hal penting yang harus kita manknai.
Pertama, kenaikan Yesus menegaskan akan fakta kebangkitan-Nya. Dengan sangat jelas  Lukas menuliskan bahwa kenaikan Tuhan merupakan satu kesatuan dengan kematian dan kebangkitan-Nya. Hal itulah yang ditulisnya sebagai latar belakang  kisah kenaikan tersebut. Menarik sekali bagaimana  Lukas memulai kitab Kisah Para Rasul dengan kalimat indah. Dia menulis: “Hai Teofilus, dalam bukuku yang pertama aku menulis tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus, sampai pada hari Ia terangkat (1:1-2). Jadi,  Lukas tidak hanya menulis penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus, tetapi juga sampai pada hari Ia Terangkat. Jelaslah bagi kita bahwa kisah kenaikan Yesus merupakan fakta sejarah, bukan ilusi semata. Hal itu jelas dinyatakan dengan pembuktian Yesus sendiri bahwa Dia hidup. Lukas mengantisipasi hadirnya orang-orang yang meragukan dan menolak kebangkitan. “Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan bahwa Ia hidup. Selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara tentang Kerajaan Allah. Penampakan diri Yesus itu berulang-ulang  selama 40 hari dan kepada orang yang berbeda-beda merupakan cara Tuhan menegaskan bahwa ia sungguh telah bangkit. Dengan demikian,  kenaikan Yesus menjadi Pembuktian bahwa Yesus yang mati itu, benar-benar bangkit. Tanpa kebangkitan tidak akan pernah ada kenaikan. Jadi, Yesus bukan saja bangkit dari kubur, tetapi lebih dari situ, Dia juga telah naik ke surga. Dia naik melampaui segala sesuatu. Dengan demikian, apa yang diberitakan-Nya selama 40 hari secara terus menerus, tentang kerajaan Allah, bukanlah sebuah ilusi atau dongeng semata.
Kedua, kisah kenaikan menunjukkan betapa pentingnya dan mendesaknya tugas memberitakan Injil.  Lukas mencatat bahwa, “Sesudah Ia menyampaikan pesan, terangkatlah Ia, disaksikan para murid-Nya  dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka”. Di sini, jelas bahwa Yesus terangkat “sesudah Ia mengatakan sesuatu”. Apa yang dikatakan-Nya? Hal yang dikatakan-Nya itu berkaitan dengan informasi tentang kuasa sebagai pelengkap dalam misi perutusan. “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi  saksiku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." Dengan perkataan lain, pesan atau perintah terakhir yang diberikan Yesus  sebelum kenaikan-Nya adalah agar menjadi saksi kebangkitan-Nya. Hal itu dimulai dari tempat terdekat (Yerusalem), meluas ke seluruh propinsi (Judea) hingga seluruh bumi. Penting untuk dicermati, karena  kota Samaria, yang biasanya dihindari orang-orang Yahudi justru disebut Yesus sebagai sasaran pewartaan tentang kebangkitan. Dengan demikian, tidak ada daerah atau kota tanpa pengenalan akan injil. Injil diberitakan ke mana-mana dan juga di mana-mana.  Dengan demikian jelas bagi kita bahwa penginjilan bukan soal boleh atau boleh tidak. Tugas memberitakan Injil diberikan Yesus menjadi keharusan. Paulus menegaskan dalam nada ekstrem. “Celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor.9:16b).
Kenyataan seperti ini kiranya cukup bagi kita untuk menyingkirkan segala teori dan usaha mengurangi semangat memberitakan Injil. Kiranya perintah Yesus yang diberikan sebelum kenaikan-Nya ke surga dimaknai dan disikapi secara lebih serius sebagai tugas dan panggilan setiap orang beriman.  Dengan demikian, segala doa, dana dan daya, kita kerahkan untuk merespon perintah itu. Jika kita amati pasal-pasal berikutnya, memang kita melihat bagaimana rasul-rasul dan orang percaya sangat serius melakukan tugas penginjilan. Buah upaya penginjilan itulah yang memungkinkan semakin banyaknya orang  mau dipermandikan. Buah pengnjilan itu memungkinkan pertumbuhan jemaat semakian besar.
 Panggilan kita menjadi pewarta injil dalam konteks status dan tugas kita masing-masing, menuntut kita untuk mewaspadai dua yang dianggap aneh berupa pertanyaan Aneh dan Sikap Aneh. Kisah tadi menggambarkan ada pertanyaan Aneh  yang diarahkan kepada Yesus. "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?"  Pertanyaan ini disamopaikan bukan pada awal pelayanan Yesus, tetapi justru pada akhir, yaitu pada detik-detik terakhir menjelang Yesus take off  dari dunia. Apakah yang ada dalam pikiran orang banyak ketika itu? Yang mereka pikirkan adalah kekuasaan, soal pemulihan kerajaan Israel, bukan soal kerajaan Allah  seperti yang disampaikan dan ditekankan Yesus selama 40 hari Dia tinggal di dunia.  
Hal aneh kedua yang perlu kita waspadai adalah sikap aneh yang diperlihatkan umat. Dikatan “Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Yesus naik, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka”. Apa maksud ayat ini? Firman Tuhan menjelaskan bahwa mereka yang berkumpul ketika itu “sedang menatap ke langit” (kai hos atenizontes esan eis ton ouranon).
“Apa salahnya menatap ke langit? Bukankah itu mencerminkan kekaguman mereka kepada Yesus, Tuhan mereka? Bukankah itu juga mencerminkan kerinduan mereka kepada Yesus, di mana mereka ingin terus bersama-sama Dia? Jika itu yang menjadi pertanyaan kita, maka itu pertanyaan salah menurut Tuhan.   Kita melihat bahwa Tuhan ‘terpaksa’ harus mengutus “dua orang yang berpakaian putih” untuk menegur mereka dan berkata: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga."
Saya melihat bahwa yang menjadi masalah adalah ketika mereka terus menerus mengagumi dan merindukan Yesus dengan “menatap ke langit”, sedemikian rupa, sehingga mereka melupakan tugas yang telah diberikan kepada mereka, yaitu untuk segera pergi dan pergi segera. Pergi bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk bersaksi tentang Dia, yang mereka kagumi itu. Bersaksi untuk memberitakan Kerajaan Allah di Yerusalem, seluruh Judea dan Samaria sampai ke ujung bumi. Itulah alasannya mengapa kedua orang utusan itu harus turun dan ‘mengusir’ mereka dari bukit kemuliaan, tempat Yesus transit atau naik ke surga.
Jadi, ada dua hal yang harus kita waspadai berkaitan dengan pertanyaan dan sikap aneh. Pertama, agar kita jangan hidup ‘terlalu’ duniawi, hanya memikirkan kerajaan duniawi, yaitu pemulihan ‘kerajaan-kerajaan’ kita.  Terus berpikir dan bertanya tentang pekerjaan kita, bisnis kita kita, yang memubuat kita lupa akan Kerajaan Allah. Kedua, agar kita jangan hidup ‘terlalu’ rohani, dengan terus menerus memandang ke langit. Terus menerus beribadah, dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah yang lain; sedemikian rupa, sehingga kita melupakan tugas kita untuk bersaksi bagi dunia, untuk terlibat di dalam dunia, melakukan segala sesuatu secara konkret, demi pemulihan dunia ini.-
Peristiwa kenaikan yang kita rayakan hari ini sebagai perayaan iman sesunggguh meruapakan perayaan yang membawa banyak implikasi/makna dan berkat untuk kita. Paling kurang ada tujuh implikasi dan tiga berkat yang bisa kita temukan dari perayaan ini berdasarkan pesan Firman Tuhan melalalui tiga bacaan hari ini.
Pertamakenaikan Kristus adalah pelengkap bagi kebangkitan-Nya. Sebagai penakluk maut, Kristus menjadi yang sulung di antara umat-Nya dan sebagai Kristus yang sudah naik, Ia meneruskan kemenangan kebang-kitan-Nya itu sehingga menjadi suatu pelayanan yang mulia demi umat-Nya.  
Keduakenaikan Kristus adalah permulaan pemuliaan dan penobatan-Nya sebagai Raja.   Yesus sangat ditinggikan dan penobatan Kristus sebagai Raja dimaksudkan untuk menunjukkan kedaulatan-Nya atas seluruh ciptaan.  
Ketigakenaikan Kristus adalah permulaan pelayanan-Nya sebagai pengantara kita. Sama seperti halnya dengan imam besar bangsa Yahudi yang pekerjaannya sebagai pengantara bergantung pada diperolehnya kesempatan untuk masuk ke dalam tempat yang mahakudus, demikian pula pekerjaan Kristus sebagai pengantara antara Allah dan manusia bergantung pada masuknya pengantara itu ke surga.
Keempatkenaikan Kristus adalah penggenapan misi-Nya.  Misi Kristus di dunia yang dimulai dengan inkarnasi diakhiri dengan asensi atau kenaikan.  Oleh karena tujuan misi itu adalah penebusan dosa manusia, maka kenaikan Kristus menandakan selesainya misi tersebut.  Dalam inkarnasi Allah menjadi manusia; dalam asensi manusia Ilahi kembali kepada Allah. Kristus bukan hanya menebus dosa manusia melalui kematian-Nya, tetapi dengan kenaikan-Nya Ia membawa bukti penebusan itu ke hadirat Bapa. 
Kelimakenaikan Kristus adalah penentu penganugerahan Roh Kudus.  Yesus sendiri menyatakan  bahwa Roh Kudus, baru diberikan apabila Ia telah dimuliakan karena pemberian-pemberian baru bisa diberikan sesudah kenaikan.  Karena itu, Pentakosta baru dapat terjadi sesudah kenaikan Yesus.
Keenamkenaikan Kristus adalah pembuka jalan masuk bagi orang-orang percaya.  Karena kebangkitan-Nya, Kristus dinyatakan sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal.  Dengan demikian Ia melibatkan semua orang percaya dalam kebangkitan dan kenaikan-Nya sendiri.  Ia yang memperoleh jalan masuk kepada Bapa sudah memperoleh hak itu juga bagi semua orang yang dipersatukan dengan Dia.   
Ketujuh  kenaikan Kristus adalah permulaan zaman baru.  Zaman sekarang ini dibatasi oleh dua peristiwa, yaitu kenaikan Kristus pada mulanya dan kedatangan-Nya kembali ke dunia ini pada akhirnya.  Zaman ini ialah zaman Tuhan yang sudah bangkit dan dinobatkan sebagai Raja. Tuhan yang sedang berkarya sebagai pengantara bagi umat-Nya, Tuhan yang akan datang kembali pada akhir zaman untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
 Dari tujuh impilikasi dan pesan pokok ini kita yang beriman akan kepadanya-Nya akan menerima berkat.  Ada tiga berkat yang kita dapatkan dari Peristiwa Kenaikan ini.  Pertama,  kita akan menerima Roh Kudus karena Tuhan sendiri menjanjikan itu kepada kita. Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu (Yoh.16:7).  Yesus memberitahukan murid-murid-Nya, juga kepada semua kita bahwa kepergian-Nya jauh lebih berguna bagi karena Roh Kudus akan diutus dan masuk dalam kehidupan kita.
Kedua, Kita mempunya Seorang Imam Besar dan Rasul.  Seorang Imam besar ialah pribadi yang mewakili kita di hadapan Allah dan duduk disebelah kanan Allah (Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi
Ketiga, Kita mempunyai seorang Pengantara yang menyelamatklan, memberi hidup kekal, dan Pengampunan dosa. Jaminan masa depan jiwa kita hanya ada dalam kebangkitan dan kenaikan Tuhan.
Marilah kita memaknai peristiwa  dan perayaan kenaikan Tuhan ini sebagai momen penyadaran bagi kita dalam mewartakan kerajaan Allah sesuai dengan tugas dan pangggilan kita. Tuhan tidak menginginkan kita hanya sebagai orang yang selalu memandang ke laingit tetapi juga harus segera pergi memberitakan kerajaan kasih dan cinta sebagai Yesus datang hidup dan berkarya sebagai Kasih yang membebaskan. Semoga


Rm.Bone Rampung