Thursday, December 12, 2013

SMAK FRATERAN: KEBERSAMAAN & KEPEDULIAN

Renungan
Misa Rekoleksi Siswa Kelas X SMAK Frateran Malang
Rumah Retret CP Loandeng Malang Jumat, 13 Des.2013
Flp.  2,1-7; Yoh.5, 1-9
 Buka
Hari ini kita bersyukur kepada Tuhan dalam perayaan ekaristi bersama. Kita mau bersyukur karena Tuhan menghadirkan kita di dunia ini melalui orang dan akahir juga kita hidup bersama orang lain. Kita bersyukur karena Tuhan hadir dan membantu kita dalam rekoleksi dan camping rohani ini melalui orang lain, melalui para guru dan para pendamping. Kita bersyukur karena kita hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Kita bersyukur karena kita mendapat kesempatan untuk merenungkan makna kebersamaan itu dalam rangka membangun tekad dan niat untuk menjadi diri pribadi yang tanggap, peka atau berkepedulian terhadap orang lain. Dalam keyakinan akan Tuhan sebagai sumber kekuatan dan rahmat, melalui perayaan ini kita serahkan semua kerinduan, harapan, keinginan, niat, dan tekad untuk mengisi kebersamaan hidup kita dengan semangat saling memperhatikan dan saling membantu. Juga kita berdoa bagi semua orang yang telah membantu kita dalam kehidupan kita: orangtua, pembina, guru, pendidik, dan teman-teman kita. Agar perayaan ini berkenan kepada Tuhan dan berdaya guna untuk kebersamaan kita membangun kepedulian di antara kita, marilah kita akui kelemahan dan dosa kita.

Renungan
Mengawali renungan ini, saya ingin memberikan Anda tiga pertanyaan tetapi jawabannya hanya satu untuk tiga pertanyaan itu. Mengapa Anda merasa malu? Mengapa di sekolah Anda ada aturan dan tata tertib? Mengapa di perempatan jalan kota ada lampu lalu lintas? Jawabannya: Karena ADA ORANG LAIN (SELAIN SAYA)
Orang akan merasa malu kalau ia menyadari bahwa ada orang lain selain dirinya. Malu adalah perasaan dan reaksi yang muncul karena menyadari kebersamaan. Saya kira kata malu tidak mungkin ada kalau di dunia ini ada hanya satu orang.  Sekolah menetapkan aturan karena yang ada di sekolah itu bukan hanya satu orang. Di sekolah ada banyak orang. Di sekolah, kita berada bersama orang lain.  Kalau di sekolah kita, ada hanya satu orang, tidak perlu ada aturan. Rambu-rambu lalu lintas di jalan yang kita lihat dibuat karena jalan itu bukan milik seorang saja. Jalan itu milik bersama banyak orang. Semua rambu lalulintas bisa dihilangkan, tak perlu ada kalau pemakai jalan tinggal satu orang.  Dalam konteks tema yang kita usung dalam perayaan ini: kehadiran perasaan malu, keberadaan aturan, dan keberadan rambu lalulitas merupakan bukti pengakuan kita akan adanya orang lain atau bentuk pengakuan bahwa kita berada bersama orang lain dalam kebersamaan. Malu, aturan dan rambu lalulintas boleh dikatakan sebagai   bahasa dan tanda kebersamaan.
Tema perayaan misa yang ditawarkan kepada saya untuk kegiatan rekoleksi para siswa kelas X SMAK Frateran Malang ini sangat singkat: Kebersamaan dalam Kepedulian. Tema ini  memang singkat tetapi sesungguhnya tema ini bermuatan pesan penting berkaitan dengan hakikat hidup kita sebagai makhluk sosial, makhluk yang ada dan hidup bersama orang lain. Tema ini menegaskan sekaligus mengafirmasi hakikat kita yang tidak hidup sendiri tetapi hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.  Hidup bersama, ada bersama, kebersamaan yang bermakna adalah kebersamaan yang dintadai dengan pelbagai hal yang sifatnya menumbuhkan, mengembangkan setiap individu yang terikat dalam kebersamaan itu. Kebersamaan yang bermakna adalah kebersamaan yang memungkinkan setiap orang bisa bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik. Untuk itu, setiap individu harus memiliki kualitas diri, kualitas pribadi yang tidak saja unggul secara fisik, tetapi juga unggul secara mental. Keunggulan mental harus bisa diekspresikan dalam prilaku fisik yang tampak dan kelihatan.
Kualitas diri, kualitas kepribadian ini juga harus ada dalam kebersamaan di dalam komunitas-komunitas termasuk komunitas belajar yang kita sebut sekolah. Kualitas diri, kualitas kepribadiaan itu untuk konteks pendidikan sekarang ini diarahkan pada apa yang disebut sebagai karakter. Pendidikan bernuansa karakter yang merasuki  jiwa dunia pendidikan kita saat ini pada dasarnya diarahkan pada terbentuk dan lahirnya manusia berkepribadian unggul dalam pola perilaku, unggul dalam pola peribahasa. Manusia unggul, manusia berkarakter tidak lain adalah manusia yang menyadari dirinya sebagai bagian dari anggota komunitas, bagian dari kelompok, bagian dari sekolah, bagian dari kelas, bagian dari kebersamaan.
Kalau setiap orang, setiap kita menyadari bahwa kita hidup bersama orang lain, sadar sungguh dan sungguh sadar akan keberadaan orang lain maka kehadiran kita dengan segala model ekspresinya pada setiap saat dan di setiap tempat  dalam segala situasi akan menjadi ekspresi yang kaya makna, akan menjadi kehadiran yang berarti dan akan memberi inspirasi bagi orang lain. Hanya orang yang sadar bahwa ia hidup dengan orang lain yang bisa menempatkan dirinya secara tepat. Orang yang sadar akan kebersamaan  biasanya mampu membentuk dirinya dalam proses olah pikir, olah tindakan, dan olah rasa dalam suatu keseimbangan yang tidak tergoyahkan. Para siswa yang sedang dalam proses pembentukan diri melalui sekolah harus dan mesti menyadari dimensi kebersamaan itu. Camping Rohani dan kegiatan rekoleksi dengan tema Kebersamaan dalam Kepedulian seperti ini tentu tepat dan amat strategis bagi para siswa. Penting dan strategis karena ketika Anda, para siswa, dituntun untuk menyadari makna hidup dan makna berada bersama orang lain sesungguhnya Anda sedang diarahkan untuk suatu proses pertumbuhan menuju diri pribadi yang diharapkan  dapat mengasah nalar untuk berpikir benar, menata perikau untuk berbuat yang baik, dan mengolah rasa untuk hal yang menyenangkan.
Orang yang sadar bahwa ia hidup dengan orang lain biasanya berusaha untuk berpikir benar, bertindak baik, dan mengekspresikan perasaannya secara  menyenangkan. Berpikir benar, bertindak baik, mengungkapkan perasaan hati secara menyenangkan adalah gambaran tentang diri prinadi yang utuh dan seimbang. Tiga aspek inilah yang dirumuskan para pakar pendidikan sebagai titik sasar semua kegaiatan dan proses pendidikan yakni terbentuknya pribadi berkarakter. Pribadi berkarakter menurut  hemat saya adalah pribadi yang mampu berpikir benar, berbuat baik, dan hidup dalam susana hati yang menyenangkan. Secara lebih teknis ilmiah orang berkarakter adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara dimensi kognitif (berpikir, logika), dimesi psikomotorik (bertindak, etika), dan dimensi afektif (merasakan, estetika). Hanya orang yang berkarakterlah yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Kesadaran akan  adanya orang lain dalam hidup, membuat kita berpikir benar tentang orang lain, menggerakan kita untuk berbuat baik demi orang lain, dan mendorong kita mengngkapkan perasaan hati yang menyenangkan orang lain. Tiga kekuatan: pikiran, perbuatan, dan perasaan jika dimanfaatkan secara maksimal, akan menjadikan  seseorang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kepedulian itu hakikatnya terarah untuk orang lain. Kepedudian berarti saya mempersoalkan tentang dia, kamu, dan mereka dan bukan tentang diri sendiri. Kepedulian adalah sikap dan tindakan untuk orang lain. Kepeduliaan adalah sikap hidup yang melihat orang lain lebih penting daripada diri sendiri. Dengan demikian tema Kebersamaan dalam Kepedulian dapat dibalik menjadi Kepedulian dalam Kebersamaan.
Dua teks kitab suci yang kita dengarkan tadi bukan saja berbicara tentang kebersamaan dalam kepedulian tetapi juga menekankan kepedulian dalam kebersamaan. Kepedulian dalam kebersamaan berarti sikap peduli itu harus pertama dan terutama ditjukan kepada orang lain. Bukan mengtamakan diri sendiri.  Modelnya adalah model kepedulian Yesus sendiri. Santu Paulus dalam surat untuk jemaat Filipi tadi menegaskan hal itu: “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp.2,4-5).
Kata-kata Paulus ini diperjelas lagi oleh Yohanes dalam Injil yang menghadirkan Yesus sendiri sebagai tokoh, pribadi yang sungguh peduli terhadap orang lain. Yesus memaknai kepedulian itu dalam kebersamaan dengan orang yang cacat, sakit, dan menderita seperti yang dikisahkan Yohanes tadi. Lokasi kisah penyembuhan tadi terjadi di salah satu gerbang kota Yerusalem. Gerbang Domba merupakan salah satu dari delapan gerbang yang banyak dikunjungi peziarah selain gerbang Stefanus, gerbang Indah, gerbang emas. Tanggal 26 Juni 2011 sebelum melihat kubur Raja Daud saya menginjakkan kaki di kolam Betesda. Saat itu saya menyaksikan ada begitu banyak orang sakit dari pelbagai belahan dunia atau para peziarah yang diantar ke kolam itu dan mereka berdoa di sana. Ada yang digotong ada yang menggunakan kursi roda. Memang di sana masih terjadi mukjizat peyembuhan bagi mereka yang sungguh beriman. Air kolamnya memang tidak banyak dan tidak bersih tetapi banyak orang berusaha agar menyentuh air di kolam Betesda itu. Orang tidak bisa mandi seperti di sungai Yordan. Orang ke sana karena yakin Tuhan akan memberikan kesembuhan seperti yang terjadi atas diri orang lumpuh yang dikisahkan injil tadi.
Kisah penyembuhan di kolam Betesda adalah kisah tentang kepedilian dalam kebersamaan. Kepedulian manusia, dan kepedulian Yesus terhadap orang banyak. Di tempat itu ada sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-orang timpang, dan orang-orang lumpuh. Mereka menantikan Tuhan yang datang menyembuhkan. Mereka semua berada dalam satu kebersamaan. Dari sekian banyak orang yang sakit itu ada seorang yang telah menderita lumpuh selama 38 tahun. Sulit kita bayangkan bagaimana menderitanya orang itu. Sudah bertahun-tahun ia berbaring di tempat itu berdoa merindukan kesembuhannya.
Ketika Yesus datang ke dalam kebersamaan sekian banyak orang sakit itu Yesus bertanya kepada orang lumpuh itu “Maukah engkau sembuh?”. Jawaban orang lumpuh itu untuk pertanyaan Yesus tampaknya tidak cocok dengan pertanyaan. Jawaban yang benar dan paling singkat sebenarnya: ya, mau atau ya saya mau. Jawaban orang itu aneh. Ia bukannya menjawab tetapi justru bercerita panjang lebar: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain sudah turun mendahului aku." Kalau ini soal ujian untuk siswa SMAK Frateran  jelas siswa yang menjawab seperti ini tidak lulus. Hal yang mengherankan, orang itu diperintahkan untuk bangun dan berjalan dan itu terjadi. Itu artinya orang itu sembuh meski ia salah memberi jawaban kepada Yesus.
Apakah benar orang itu salah menjawab. Saya pastikan dia tidak salah menjawab. Sesungguhnya bagi dia pertanyaan itu memang tidak perlu dijawab. Ia percaya bahwa penantiannya selama 38 tahun sudah ada dalam buku agenda Yesus. Karena itu baginya kehadiran Yesus saat itu merupakan kepastiannya untuk mendapatkan kesembuhan. Yang diceritakannya secara panjang lebar kepada Yesus  merupakan laporan pengalamannya tentang sikap orang lain, sikap sesamanya yang ada bersama-sama di seputar kolam itu. Ia melaporkan bahwa orang tidak mempedulikannya. Tidak menganggap dirinya penting untuk diperhatikan, ditolong untuk mendapatkan kesembuhan. Semua orang berjuang berebutan untuk mendapatkan kesembuhan diri sendiri. Orang yang telah disembuhkan juga tidak ada yang rela atau peduli terhadap nasib si lumpuh itu. Kebersamaan orang-orang sakit di kolam Betesda itu menjadi kebersamaan tanpa makna, kebersmaaan semu karena kebersamaan itu tanpa kepedulian terhadap satu sama lain. Itulah yang disampaikan orang lumpuh kepada Yesus. Yesus menangkap maksud cerita orang itu sebagai ungkapan tidak langsung bahwa bagi si lumpuh Yesus menjadi satu-satunya yang peduli terhadap nasibnya. Bagi orang lumpuh itu Yesuslah satu-satunya yang melihat dirinya penting sehingga pertanyaan dan perhatian ditujukan kepadanya.
Bagi orang lumpuh, kebersamaan mereka sebagai orang-orang sakit sebelum Yesus datang adalah kebersamaan tanpa makna, kebersamaan semu. Kebersamaan tanpa kepedulian seperti itu memang tidak membawa perubahan dan perbaikan bagi yang lainnya. Terbukti yang disembuhkan Yesus saat itu hanyalah orang lumpuh yang telah mengungkapkan pengalaman pribadinya kepada Yesus. Mereka yang lain tidak menerima kesembuhan saat itu. Cerita orang lumpuh itu adalah cerita tentang perlu dan pentingnya sikap peduli dalam kehidupan bersama.
Kisah tentang orang-orang dalam injil adalah kisah kehidupan manusia. Secara alegoris orang-orang yang menderita itu merujuk pada semua orang yang mengalami kesulitan, kekurangan dalam hidup. Mungkin kita jarang bertemu dengan orang buta, bisu, tuli, timpang, pincang, kecuali kalau kita ke panti asuhan untuk orang cacat. Di sekolah kita, di keluarga kita mungkin tidak ada yang buta, bisu, tuli, pincang secara fisik tetapi tentu kita tidak bisa menyangkal bahwa orang-orang yang sehat secara fisik belum tentu sehat secara rohani. Kalau kita sendiri melihat, mendengar, mengalami pelbagai cara hidup sesama yang tidak jujur, tidak adil di kelas atau di sekolah, tetapi kita berlaku seolah-olah tidak melihat, tidak mendengar, tidak merasakan maka kita tergolong orang yang sakit karena tidak memiliki kepedulian dalam kebersamaan kita. Di kelas, di sekolah, di rumah, kita mungkin secara fisik kelihatan ada bersama dan dalam kebersamaan tetapi apakah ada bersama itu bermakna atau sekadar ada bersama. Ada bersama tanpa kepedulian satu sama lain adalah penyakit yang menggerogoti kehidupan kita dari dalam. Kemajuan dunia komunikasi saat ini membuat kebersamaan itu semakin banyak yang semu. Orang yang dekat dengan kita terasa asing dan jauh sementara orang yang asing dan jauh terasa dekat dengan kita.
Kalau ada bersama kita dengan orang  tanpa kepedulian maka kebersamaan kita tidak lebih dari kerumunan massa anonim dan merasa asing satu sama lain. Kerumunan masaa anonim di tempat keramaian seperti pasar, tempat pertunjukan adalah bentuk kebersamaan tanpa kepedulian. Di tempat seperti itu setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri. Kalau itu terjadi di kelas kita, di sekolah kita maka kita tidak bisa mengharapkan akan berkembang menjadi pribadi unggul berkarakter. Semoga tema Kebersamaan dalam kepedulian dan saya tambahkan Kepedulian dalam kebersamaan yang kita renungkan hari ini sungguh-sungguh membantu kita untuk membuktikan diri sebagai pribadi unggul berkarakter yang mengharumkan gereja, bangsa dan tanah air. Berkat Tuhan untuk kita semua. Amin

Thursday, November 14, 2013

PERINGATAN 25 TAHUN NOVISIAT BHK

Renungan Misa HUT 25 Tahun Komunitas Novisiat
Frater Bunda Hati Kudus, Malang, 14 November 2013
Keb.7,22-8,1; Luk.17,20-25
Buka

Kalau bukan Tuhan yang membangun ru­mah maka sia‑sialah para tukang membangunnya, dan jika bu­kan Tuhan yang menjaga kota sia‑sialah para pengawal ber­jaga.  Saya sengaja mengutip ayat mazmur ini untuk meringkas semua kesadaran dan keyakinan kita bersama tentang kasih dan kesetiaan Tuhan menyertai Novisiat ini dengan  segala program formasinya sepanjang 25 tahun silam. Sebagai orang beriman kita yakin karya agung TUhan telah dinyatakan melalui semua saja yang terlibat dan melibatkan diri dalam proses formasi di tempat ini. Hanya satu kata yang pantas kitalambungkan yakni SYUKUR. Syukur untuk semua pengalaman suka dan duka yang mewarnai dinamika yang terjadi selama 25 tahun silam. Sambil bersyukur kita juga memohonkan agar karya agung dan kemuliaan Tuhan terus hadir di tempat ini dan terus mengalir dari tempat ini. Kita akui segala kelapaan kita agar syukur ini berkanan kepada Tuhan dan membawa berkat bagi kita.

Renungan

Hari Selasa malam saat masuk kamar makan, saya lihat ada satu buku dan satu teks ditempatkan samping piring saya. Buku itu ditempatkan Frater Vincen yang setelah siangnya beliau meminta saya untuk memimpin ekaristi HUT ke-25 atau pesta Perak. Saya menafsirkan bahwa kehadiran buku dan teks itu mengharuskan saya untuk membaca dan memakanainya untuk dikorelasikan atau dikontekskan dengan kehadiran Komunitas Novisiat ini selama 25 tahun. Jujur saya akui bahwa memahami buku setebal itu dan mencari intinya untuk diangkat dalam permenungan seperti ini bukanlah hal mudah. Sebagai orang luar, tentu saja sisi tilik dan jangkauan pemahaman saya, tidak secermat para frater memaknai aneka pesan yang impilisit dan eksplisit yang ditemukan dalam buku kenangan itu.
Dalam konteks peringatan 25 tahun keberadaan komunitas novisiat ini tentu yang paling relevan untuk kita adalah melihat kembali hakikat, fungsi, dan pentingnya novisiat. Kita tidak tidak mempersoalkan 25 tahun novisiat berkaitan gedung secara fisik. Gedung itu hanya nama dan hanya bermakna berkaitan dengan segala sesuatu yang terjadi dan dilakukan di dalam rumah/gedung ini. Fokus kita adalah melihat kembali hakikat novisiat sebagai salah satu simpul awal dan paling penting bagi kita yang memilih jalan khusus menjadi biarawan dan rohaniwan. Saya mengatakan bahwa tahap ini merupakan tahap awal yang penting karena dalam masa seperti inilah kita berusaha mencari kehendak Tuhan dan pentunjuk-Nya untuk masa depan panggilan kita.
Saya sendiri memang tidak pernah menjadi novis dalam masa novisiat tetapi tahun 1986-1987 selama setahun saya mengikuti Tahun Orientasi Rohani di bawah bimbingan Romo Vincent Sensy, Pr (kini Uskup Agung Ende). Waktu setahun itu menjadi waktu penuh refleksi untuk membangun fondasi panggilan selanjutnya. Kami menjalani itu hanya setahun sedangkan para frater BHK menjalaninya selama dua tahun. Membangun fondasi panggilan selama dua tahun saya kira dalam logika seorang ahli bangunan tentu akan menghasilkan sebuah bangunan yang kokoh, kuat, tak tergoyahkan. Para frater yang telah dan sedang menjalankan masa novisiat untuk dua tahun tentu harapanya tampil sebagai pribadi yang matang, seimbang, dan kokoh dalam semua aspeknya.
Kepribadian yang matang, seimbang, kokoh dalam multiaspek inilah yang menjadi inti dan sasaran pergulatan dan pergelutan dalam masa novisiat. Idealisme akan terbinanya dan lahirnya pribadi seperti inilah yang mendorong dibangunnya tempat yang dinilai lebih kondusif, atraktif, inspiratif. Tempat yang kondusif, atraktif, inspiratif ini diharapkan menjadi arena pembentukan citra diri yang kreatif sekaligus meditatif; yang aktif sekaligus reflektif. Selanjutnya, dari citra diri yang kreatif-meditatif; aktif-reflektif ini orang dapat menentukan langkah yang pasti ke masa depan. Sejarah perpindahan lokasi program novisat sebagaimana digambarkan di dalam buku kenangan yang saya baca pada dasarnya terjadi dan dilakukan karena mempertimbangkan aspek-aspek ini. Kalau komunitas ini sudah bertahan 25 tahun, maka ada pengandaian sekaligus harapan di balik kenyataan historis temporal ini bahwa memang di sinilah, di tempat inilah para frater menemukan sesuatu yang lebih kondusif, atraktif, dan inspiratif. Karena itu, tanpa keraguan dari tempat ini pasti lahir para frater dengan citra diri yang mampu menjaga keseimbangan  antara kemandirian dan kebersamaan; antara kemampuan kreatif dan meditatif, antara kemampuan aktif dan reflektif.
Jika itu yang terjadi di tempat ini dari tahun ke tahun sampai usia perak ini maka bukan hanya para frater yang akan menilai tempat ini sebagai puncak tabor tetapi juga setiap orang yang menyaksikan dan mengalami buah-buah kebajikan yang dihayati setiap frater yang pernah diproses di tempat ini. Menurut hemat saya, tidaklah terlalu penting kita bereaksi seperti Petrus yang ingin tetap berada dan berkemah di puncak tabor karena merasakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa Tabor tidak akan bermakna bagi Petrus dan kedua murid lainnya jika pengalaman itu tidak memberi inspirasi, semangat, dan model kehidupan yang patut dianut dan diteladani oleh orang lain setelah mereka keluar dan turun dari Tabor. Puncak tabor memang terlampau indah dan saya sendiri rasakan itu selama hampir satu jam berada di gereja Tabor menikmati keindahan lembah Yizrel.
Pada halaman depan teks Syukur 25 tahun tepatnya di bawah foto gedung novisiat terkutup teks Lukas 9,23: Guru betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Para frater yang pernah dan yang sedang menjalankan novisiat di tempat ini tentu dan harus mengalami kemuliaan dan keindahan Tabor di tempat ini. Jika tidak, siapa pun yang menyelesaikan novisiat di sini tidak akan membawa pesan indah dan mulia secara maksimal kepada orang lain.
Kalau tempat ini atau novisiat ini menjadi Tabor tempat Tuhan menyatakan dan membahasakan kemulian-Nya maka itu berarti di tempat ini kita diproses dalam kondisi berkemuliaan maka pada waktunya kita menjadi output atau produk yang mampu menghadirkan kemuliaan itu dalam aneka kebaikan dan kebajikan sesuati dengan semangat dan spirit pendiri, frater BKH, uskup Schaepman. Dalam konteks ini, izinkan saya mengutip ungkapan hati frater Simon dalam buku kenangan 75 BHK halaman 8. Di sana ditulisnya: “novisiat harus merasakan diri sebagai DAPUR KONGREGASI”. Pernyataan singkat padat dan syarat makna ini coba saya rentanghubungkan dengan kalimat yang menjuduli sebuah data pada halaman 186 buku yang sama. Judul data itu tertulis: Hanyalah sebuah data” mengundang Tanya. Bagaimana konsep Novisiat sebagai sebuah Dapur dan mengapa sebuah data mengundang pertanyaan?
Dalam konteks mikro, pengalaman hidup sehari-hari kita semua mengetahui apa itu dapur, apa yang terjadi dan dilakukan di sana, barang apa yang diperlukan di sana. Dalam konteks makro yang lebih luas (dunia industry) kita bisa mengatakan bahwa dapur itu lokasi atau salah satu unit produksi yang utama sebuah perusahaan. Dapur kita menjadi tempat pengolahan dan produksi makanan yang mempertahankan kelangsungan hidup kita secara fisik. Di dapur akan diproses semua bahan makanan dengan keadaan dan kondisi materi yang kita beli atau dapatkan. Beruntung kalau kita mendapatkan bahan yang bagus, ikan, sayur, daging yang segar maka kita tidak kesulitan mengolahnya dan asupan gizi yang kita dapatkan dapat dipertanggung-jawabkan secara tata boga dunia kegizian. Tetapi, sekian sering juga kita dapatkan bahan yang sudah tak segar, lagu, beraroma tak sedap. Di sini diperlukan keahliah tukang masak untuk membumbi secara tepat agar menu masakan itu tetap diminati. Jika tidak, semua akan menjadi menu yang pas untuk binatang peliharaan kita. Dalam dunia industry juga berlaku hal yang sama. Bahan yang diproduksi untuk disebarluaskan kepada konsumen harus diolah dan diproses dalam standar yang pakem.
Apa yang bisa kita maknai dari konsep analogi Novisiat sebagai Dapur Kongregasi yang diwacanakan Fr.Simon ini? Saya kira jelas arah dan maksudnya, asasaran tembaknya, merujuk pada keseluruhan kebijakan, program formasi terhadap para calon sebagai formandi dan kualitas, kemampuan, keahlian formator. Kondisi formandi jelas menjadi bahan pertimbangan formatur dalam menentukan cara mengolahnya secara benar, ibarat tukang masak yang siap menyajikan menu yang bukan saja menarik dalam tampilannya, tetapi tetap berkualitas dalam kandungan gizinya. Dalam konteks mikro Novisiat menjadi dapur untuk Kongregasi BHK tetapi dalam konteks makro berkaitan dengan misi tarekat untuk gereja, novisiat harus menjadi unit produksi bagi lahirnya tenaga-tenaga yang andal. Karena itu, yang menjadi tantangan bagi formandi dan formatur adalah bagaimana proses produksi di dapur ini, di tempat ini dapat berjalan sesuai dengan harapan.
Ini penting untuk dimaknai dalam momen spesial 25 tahun seperti ini karena jika tidak dimaknai secara tepat maka kita akan terus dihantui dengan tampilan data yang selalu diakhir dengan sebuah tanda tanya. Logikanya, jika ada pertanyaan itu artinya ada masalah. Dan setiap pertanyaan bermasalah menuntut adanya jawaban. Tugas kita adalah menemukan masalah lalu mencari kemungkinan jalan terbaik memebaskan diri dari masalah. Data yang disuguhkan dalam buku kenangan itu bagi siapa pun yang membacanya pasti dan harus bertanya? Baiamana orang tidak bertanya kalau yang masuk novisiat sejak tahun 1986 sampai 2011 itu berjumlah 285 orang tetapi yang sampai kaul hanya 43 orang atau hanya 15,08%?Data seperti ini memang harus melahirkan pertanyaan. Ibarat tukang masak yang membeli 285 ekor dan menggorengnya lalu yang muncul di meja makan hanya 43 ekor sementara yang mau makan ikan itu lebih dari 285 orang. Logis kalau semua orang bertanya. Arah pertanyaan ditujukan kepada siapa? Tidak mudah memberikan jawaban karena dapur novisiat ini hanyalah sebuah subsistem dalam sistem besar tarekat BHK. Karena itu pertanyaan tadi bukan saja ditujukan kepada formandi, formatur tetapi ditujukan kepada tarekat secara keseluruhan.Saya sama sekali tidak bermaksud menggugat aneka kebijakan internal dan proses yang terjadi tetapi hanya sekadar menyentak kita berdasarkan data yang ada.
Satu-satunya jawaban yang paling mudah dan melepaskan kita dari pikiran lebih rumit adalah berlindung di balik ayat kitb suci: Banyak yang dipanggil sedikit yang dipilih. Menurut saya ayat ini tidak seluruhnya benar. Kita harus menempatkan teks itu pada konteksnya. Semasa Yesus orang-orang itu memang dipanggil (dipaksakan) lalu dipilih. Dalam konteks sekarang inisiatif itu bukan lagi dipaksakan tetapi orang harus melamar. Tarekat hanya menyebarkan brosur, melakukan promosi panggilan dan yang tertarik dan berminat, merasa terpanggil membuat lamaran. Kalau konteksnya orang sendiri yang melamar maka mestinya dia akan lebih bertahan. Yang terjadi justru sebaliknya orang ramai-ramai masukkan lamaran juga ramai-ramai pamit baik secara sopan maupun dalam cara yang kurang sopan.
Masa novisiat sebagai saat peletakkan dasar fondasi panggilan harus disadari para calon bahwa panggilan itu sifatnya pribadi. Formator hanyalah sarana yang juga tidak sempurna karena dia sendiri juga masih berusaha memberi makna pada panggilannya. Karena itu, tentu keliru kalau orang sering memperslahkan para formatur ketika setelah masa novisiat ada para frater menunjukkan perilaku anomali (hidup tidak tertur). Jika itu terjadi maka jelas sebagai indikasi para frater bukannya mau menjawab panggilan Tuhan tetapi mau memenuhi keinginan formator. Kita dipanggil Tuhan dan mau menjawab panggilan Tuhan bukan dipanggil formator dan menjawab keingian formator. Jika rasa dan sikap ini ada dalam diri para calon maka baginya formator itu hanya sebagai teman, socius perjalanan dan bukan polisi lalulitas dalam perjalan panggilan kita. Dengan ini tidak berarti, formator tidak penting karena bagaimana pun Tuhan dapat berkarya secara ajaib melalui orang lain dalam segala peristiwa kehidupan.
Novisiat sebagai Dapur Kongregasi akan menjadi lebih bermakna kalau di tempat ini kita belajar makna kebijaksanaan  menjadi orang yang berkebijaksanaan. Bacaan pertama tadi mengingatkan sekaligus meneguhkan kita untuk menyadari intervensi Allah dalam hiudp dan panggilan kita. Raja Salomo mengingatkan kita untuk senantiasa memiliki kebijaksanaan karena kebijaksaan menjadi jaminan penyertaaan Tuhan. Tiada sesuatu pun yang dikasihi Allah kecuali orang yang berdiam bersama dengan kebijaksanaan. Ada sekian banyak bentuk kebijaksanaan itu antara lain:sikap arif, kudus,  rajin, berpikir jernih, hidup tidak bernoda, menjadi terang, bertahan dalam kesulitan, suka akan yang baik, bermurah hati dan sayang akan manusia, teguh tidak tergoyangkan. Kebijaksaan adalah pernafasan kekuatan Allah, dan pancaran murni dari kemuliaan Yang Mahakuasa. Kebijaksanaan  adalah pantulan cahaya kekal. Kebijaksanaan lebih indah dan lebih terang dari pada matahari. Masa Novisiat dan tempat novisaiat adalah masa dan tempat orang mengalami Allah secara telah mendalam. Di sini di tempat inilah sejak 25 tahun silam Kebijaksanaan itu ada dan hadir memberi inspirasi bagi para frater yang diproses di sini.
Dalam keyakinan seperti ini kita menyadari kehadiran Tuhan di sini sebelum novisiat ini dibangun selama novisaiat berjalan 25 tahun dan akan terus hadir dalam setiap kehendak baik yang akan terjadi di tempat ini. Sebagai orang beriman kita tentu menepis mental dan cara bertanya orang Farisi kepada Yesus dalam injil tadi tentang kapan dan tanda-tanda kehadiran kerajaan Allah. Tuhan sudah hadir dan akan terus hadir di sini dalam setiap usaha dan kehendak yang baik, dalam ketekunan dan kesitiaan kita menjawabi panggilannya dan memaknainya dalam praktik kehidupan.
Semoga rahmat kebijaksaaan Tuhan terus melingkupi tempat ini agar segala masalah yang ditemukan selama 25 tahun silam secara perlahan mendpatkan titik terang. Mari kita jadikan Novisiat ini sebagai DAPUR tempat mengolah kehidupan panggilan kita sehingga hidup dan karya kita menjadi menu yang berguna bagi Tuhan dan sesama. Profiat, Selamat berpesta, Ad Multos Annos.

Friday, November 1, 2013

RENUNGAN PEMBERKATAN GEDUNG SEKOLAH

Ibadat Pemberkatan Gedung Sekolah
SMAK Frateran Malang
Jumat, 1 November 2013
Renungan
Seekor tikus yang sering dimangsa kucing berhasil membuat tempat persembunyian sebagai rumahnya. Setelah sarangnya dibangun tikus itupun berdoa kepada Tuhan demikian:
Tuhanku, Rumahku ini kecil. Pintunya selalu terbuka. Saya yakin Tuhan pasti datang. Tak usahlah Tuhan mengetuk. Masuk saja ke dalamnya. Aku percaya kedatangan-Mu itu selalu menyenangkan.
Tuhanku, tinggallah bersama aku.
Saya kira doa seekor tikus ini bisa memberikan kita inspirasi dan permenungan yang mendalam tentang pentingnya suatu tempat, sarang, gedung, rumah tempat orang tinggal dan menjalankan segala aktivitasnya. Keinginan, cita-cita, kerinduan setiap orang untuk merasakan kenyamanan di tempat tinggal dan tempat menjalankan kegiatannya merupakan kerinduan dan keinginan tergolong hakiki dan mendasar. Abraham Maslow jauh sebelumnya telah merumuskan bahwa kebutuhan akan rasa aman merupakan salah satu kebutuhan yang menempati anak tangga piramida dalam hierarkhi kebutuhan manusia. Doa seekor tikus tadi, menunjukkan kepada kita betapa tikus pun merindukan rasa aman itu dan keamaan yang diandalkannya adalah Tuhan sendiri. Membuka pintu rumah, membiarkan Tuhan masuk dan menjaga keselamatan dan kenyaman adalah sikap iman yang benar.
Sore ini kita semua, juga merindukan Tuhan sang penjaga, pengawal itu memasuki tempat ini, sekolah kita, gedung yang baru ini untuk mengawal seluruh aktivitas dan dinamika yang berkaitan dengan proyek pencerdasan dan pemanusiaan manusia melalui tindakan edukatif  yang berarti dan bermakna. Kenyamanan yang kita rindukan dari Tuhan yang kita undang dalam ibadat ini adalah kenyaman berkaitan dengan aktivitas mental kejiwaan yang akan berlansung di tempat ini. Kita sadar dan yakin, bahwa kehadiran Tuhan  dengan segala kualitas unggul yang melampaui segala keunggulan manusia akan dinyatakan Tuhan di tempat ini melalui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan yang berlangsung di sekolah ini. Ketika Tuhan disadari dan diyakini berada bersama kita di tempat ini, di sekolah ini, di setiap ruangan maka kita mau tidak mau mendisposisikan seluruh arah gerak, tindakan dan perilaku kita sebagai arah gerak, tindakan dan perilaku yang ada dibawah pantauan Tuhan. Ketika kita mengundang Tuhan hadir di tempat ini, di gedung, dan sekolah kita maka kita ibaratnya membawa Tuhan dan menjadikan Tuhan ibarat kamera pengintai yang memantau dan memonitor seluruh dinamika pelaksanaan tugas dan panggilan kita baik sebagai pendididik maupun sebagai peserta didik.
Menyadari bahwa Tuhan hadir sebagai pemantau seluruh dinamika aktivitas kita di lembaga ini mendorong dan mewajibkan kita untuk melakukan semuanya dalam koridor atau lorong yang Tuhan inginkan. Yang Tuhan inginkan adalah semua hal yang baik yang membawa kita untuk semakin dekat pada keunggulan yang terekspresikan dalam etos kerja dan semangat pelayanan kita kepada mereka yang dipercayakan kepada kita untuk dilayani secara mental akademik.
Segmen injil Lukas yang diperdengarkan kepada kita sore ini secara implisit dan eksplisit mewacanakan perihal kualitas hidup seseorang yang dianalogikan dengan sebuah bangunan. Kualitas diri yang diwacanakan itu mempersoalkan konsistensi relasi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Konsistensi relasi antara kata-kata dan perilaku. Injil menegaskan bahwa Tuhan pada akhirnya mengelompokkan manusia berdasarkan kualitas peri berbahasa dan peri bertindaknya. Kesepadanan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakaukan menempakan seseorang pada status dan kondisi yang kokoh tak tergoyang. Orang seperti ini dianalogikan Yesus sebagai bangunan yang memiliki fondasi dan dasar yang kokoh tak tergoyang. Kosnistensi antaraperkataan dan perbuatan adalah menurut Yesus adalah fondasi beton atau batu karang kehidupan seseorang. Sebaliknya inkonsistensi antara perbuatan dan tindakan  menedisposisikan sesorang sebagai sebuah bangunan rapuh yang dibangun di atas dasar yang rapuh.
Yesus mengibaratkan kehidupan kita sebagai bangunan. Setiap kita adalah arsitek untuk bangunan kehidupan kita. Kokoh tidaknya hidup dan kehidupan kita sangat ditentukan oleh peri berbahasa dan peri bertindaknya. Jika orang hanya bisa berbicara banyak, berkata banyak tetapi berbuat minimal maka itu sama dengan orang membangun rumah di atas dasar yang tidak kokoh dan tidak berimbang. Nasibnya akan runtuh berantakan. Tuhan menghendaki dan kita juga menghendaki agar bangunan kehidupan kita kokoh. Tidak ada cara lain selain kita berusaha menjadi Telinga yang baik atau dalam injil dikatakan mendengarkan dan melaksanakan apa yang Tuhan inginkan.
Konsep mendengarkan dan melaksanakan sesuatu adalah konsep yang akrab dengan dunia pendidikan. Proses pendidikan hakikatnya adalah proses dan dialektika antara mendendengakran dan melakukan. Sebagai guru, pendidik kita inginkan agar apa yang kita sampaikan dalam interaskis edukatif layak dan pantas didengar dan dirasakan sebagai sesuatu yang berguna oleh peserta didik kita. Kita mengininkan agar kita didengarkan orang lain. Kita inginkan agar orang lain itu menjadi telinga yang baik, yang siap mendengarkan kita. Keinginan untuk didengarkan itu, tentu saja tidak serta merta atau otomatis terjadi dalam interaksi edukatif di kelas dan sekolah kita. Kita baru akan didengarkan orang lain, hanya kalau kita menyampaikan sesuatu secara tepat dan benar. Tepat dan benar baik dari segi, waktu, tempat, suasana maupun tepat dan benar dari segi caranya. Di atas semuanya itu, kata-kata kita memiliki kekuatan dan berdaya jerat yang memungkinkan memperhatikanya hanya kalau orang melihat konsistensi antara apa yang kita katakana dan apa yang kita lakukan. Konsistensi seperti itu dalam bahasa sederhananya merujuk pada contoh, teladan hidup kita. Orang bijak pandai berkata: verba movent, exempla trahunt (kata-kata hanya mengajak teladan lebih menarik) orang. Interaksi edukatif di kelas, di sekolah kita harus dan semstinya merujuk pada dimensi exempla atau contoh ini.
Sebagai guru kita inginkan agar kita didengarkan oleh peserta didik kita melalui contoh dan teladan yang baik. Kalau kita hanya menuntut hanya kita yang selalu didengar maka kita bersikap tidak adil karena para peserta didik juga ingin didengarkan. Mereka juga menuntut adanya telinga yang siap mendengarkan mereka. Tuntutan mereka untuk didengarkan bisa hadir dalam aneka cara dan gaya yang menuntut kita untuk memberi respon yang tepat. Ada yang ingin didengarkan dengan cara yang santun tetapi ada juga yang ingin didengarkan, diperhatikan dengan menggunakan gaya dan cara yang kurang sopan mislanya dengan sikap masa bodoh, chuek, apatis, melanggar disiplin, dll.
Dialektika keinginan mendeegarkan dan didengarkan itu itu mendapat tempat yang pas di sekolah-sekolah, di kelas-kelas kita. Karena itu, acara pemberkatan gedung sekolah atau kelas seperti ini hanya bermakna jika sekolah dan ruangan kelas menjadi tempat pertemuan dan berpadunya pelbagai hal yang baik untuk kehidupan baik hal baik yang disuberkan pada guru maupun hal-hal baik yang dikembanhgkan dalam diri para peserta didik. Gedung dan ruangan kelas semegah apa pun tidak ada arti dan nilainya kalau output yang diproses di tempat, di sekolah dan di ruangan seperti itu pada akhirnya tidak menghasilkan orang yang berkarakter yang baik. Tuhan yang  kita undang hadir untuk menyertai semua komponen lembaga ini dalam acara ini adalah Tuhan yang baik, Tuhan yang setia, Tuhan yang adil, Tuhan Maha pemurah, Tuhan yang berlimpah kasih Sayang, Tuhan yang bersimpati, Tuhan yang siap menolong. Kulaitas-kualitas seperti inilah yang menjadi kerinduan kita untuk bisa ditumbuhkembanghkan dalam seluruh dinamika yang terjadi di lembaga pendidikan ini.  Secara fisik bangunan gedung  ini tidak diragukan kekuatannya. Gedung ini dibangun dan dirancang dengan desain arsitek yang andal. Dibangun oleh tukuang terpencaya. Materi yang dipakai juga bukan materi asal-asalam melainkan materi pilihan. Semuanya baik dan perlu tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memberi isi ruangan dan gedung ini dengan pelbagai kebajikan dan kebaikan. Di sini Tuhan yang setia menuntut kita untuk belajar setia. Di sini Tuhan yang adil hadir untuk kita belajar berlaku adil. Di sini Tuhan yang maha mendengar hadir mengajarkan kita untuk menjadi pendngar. Di sini Tuhan yang penuh cinta, kebaikan dan belahkasih hadir biar kita belajar untuk berkebaikan dan berbelas kasih. Di sini Tuhan yang berkarakter maha unggul dalam segala hal hadir untuk kita agar kita belajar menjadi diri pribadi yang unggul. Tuhan sudah ada di sini dan akan tetap ada di sini sejauh nilai-nilai iman dikembankan di tempat ini oleh semua warga lembaga pendidikan SMAK Frateran ini.
Frank Crane seorang pembimbing kehidupan keluarga, pernah menulis demikian tentang rumah: Keamanan sebuah rumah ada dalam Kejujuran. Kesukaan sebuah rumah ada dalam Kasih. Kelimpahan sebuah rumah ada dalam diri Anak. Peraturan dalam rumah ada dalam Pelayanan. Penghiburan sebuah rumah adalah Allah.
Kita tentu sangat memahami apa yang dimaksudkan Frank Crane ini. Baginya Kejujuran, kesukaan, kelimpahan, peraturan, penghiburan  itu harus menjadi corak dan ciri khas sebuah rumah karena TUhan sendiri yang hadir. Itu artinya gedung dan bangunan ini harus bisa menghasilkan ornag-orang berkarakter jujur, orang-orang yang bisa membawa kegembiraan bagi ornag lain. Dalam ketebatasan kita sebagai manusia tentu kita merindukan TUhan. Kita jelas lebih mulia dari seekor Tikus. Tetapi Tuhan juga bisa mengajarkan kita memlalui ciptaan lain termasuk seekor tikus yang mengajarkan kita cara berdoa yang sederhana. Kiranya doa sang tikus tadi mampu menyadarkan kita semua untuk menjadikan sekolah kita tempat kehadiran Tuhan. Kita yakin kalau bukan Tuhan yang membangun ru­mah maka sia‑sialah para tukang membangunnya, dan jika bu­kan Tuhan yang menjaga kota sia‑sialah para pengawal ber­jaga. Amin.

Thursday, October 31, 2013

RENUNGAN NAMA "MARIA"

Materi Rekoleksi
Frater BHK Kumunitas Generalat, Malang
Rabu 30 Oktober 2013

MARIA: NAMA REBUTAN DAN TUNTUTANNYA

1. Tiga Ilustrai Awal

(a)  Di dalam buku lagu Madah Bakti No.547 seperti yang telah kita kumandangkan tadi termuat sederetan syair berisi kata-kata kunci yang bermakna sangat mendalam bagi kita. Inti lagu itu mau mengatakan bahwa Maria itu nama yang punya arti penting bagi kita.
Ya namamu Maria, Bunda yang kucinta.
Merdu menawan hati segala anakmu
Refr: Patutlah nama itu, hidup dibatinku
        Dan nanti kuucapkan di saat ajalku
Ya nama yang keramat, perisai hidupku.
Dengan nama Maria aku pasti menang Refr
Bila hatiku risau dan dirundung duka
Kuingat nama ibu yang pasti menghibur Refr
(b)  Hari Kamis, 14 Maret 2013 pukul 18.10 waktu Roma atau 01.10 WIB (dini hari) cerobong asap dari kapela Sistine mengepulkan asap putih pratanda seorang cardinal telah terpilih menjadi Paus baru menggantikan Paus Benediktus XVI. Karadinal terpilih adalah Jorge Mario Bergoglio. Karena terpilih menjadi Paus nama Jorge Mario Bergoglio itu harus diganti. Pemilihan nama untuk menggantikan nama itu bukan asal pilih dan bukan sembarang nama. Pelbagai media massa dunia yang meliput pristiwa itu mencatat bahwa nama Fransikus Asisi menjadi nama yang tepat untuk menggantikan nama  Jorge Mario Bergoglio. Pemilihan nama Fransiskus bagi paus baru itu ternyata merujuk pada dua nama besar dalam sejarah gereja yaitu Fransiskus Asisi pendiri Ordo Fransiskan yang dikenal karena menyangkal kekayaan untuk hidup  dalam kemiskinan. Fransiskus juga merujuk pada nama Fransiskus Xaverius pendiri tarekat Yesuit yang terkenal sebagai misionaris Asia. 
(c)  Andrew Carnegie, seorang terkaya  yang pernah hidup di dunia membuktikan bahwa sebuah nama sangat penting bagi seorang manusia. Ketika kecil, Andrew Carnegie menangkap seekor induk kelinci berserta belasan ekor anaknya yang masih kecil. Ia kesulitan mencari rumput untuk menghidupi belas kelinci itu. Andrew menawari anak-anak di sekitar rumahnya untuk mencari rumput. Imbalannya,  nama setiap anak akan dijadikan nama untuk anak kelinci. Anak-anak kelinci itu mendapat banyak makanan karena setiap anak ingin namanya dijadikan nama anak kelinci. Sejak itulah, Andrew Carnegie menyadari betapa pentingnya sebuah nama dan bisa menggunakannya untuk memperoleh kekayaan yang luar biasa banyak.
Tiga penggalan kisah singkat ini sengaja saya angkat sekadar membantu kita untuk merenungkan makna tema rekoleksi kita ini berkaitan dengan pemilihan sebuah nama. Satu kebenaran yang tidak bisa disangkal dari proses penggantian nama adalah adanya alasan atau argumentasi yang meyakinkan mengapa sebuah nama dipilih untuk dipakai menggantikan nama sebelumnya.  Kuatnya alasan atau kokohnya argementasi pemilihan nama  tentu tidak cukup dengan menjelaskannya secara verbal dalam seretetan kalimat yang tersususn indah dan rapi. Kekuatan alasan atau argumentasi penggantaian nama justru harus nyata dalam praktik hidup. Artinya, nama yang dipilih untuk mengganti nama yang baru itu bisa direalisasikan dalam kehidupan. Kalau karena mau miskin seperti Fransiskus Asisi maka kemiskinan itu bukanlah definisi kata kemiskinan melainkan perihidup dan semangat hidup dalam kemiskinan.

2. Fakta Seputar Nama
Setiap orang pasti punya nama. Entah itu nama lengkap atau nama panggilan. Apakah kita sadar betapa pentingnya sebuah nama? Saat kita mau berkenalan, yang pertama kali kita sampaikan adalah nama. Ketika bertemu orang lain, yang pertama kita tanyakan nama. Saat  kita meminta bantuan orang, maka kita akan memanggil nama orang itu. Saat menghadiri acara resmi kita harus menuliskan nama kita pada buku tamu dan bukan menempelkan foto kita. Saat seseorang  mendapatkan penghargaan yang tercantum adalah nama.Saat kita melakukan hal yang baik nama kitalah yang akan diingat  bukan wajah. Sebaliknya juga saat kita melakukan hal yang menyimpang  nama kitalah  yang tercemar. Apapun yang terjadi di dunia ini, selalu berkaitan dengan nama. nama pun memiliki keunikan dan menjadi identitas seseorang.
William Shakespeare’s dalam karya yang memuat kisah cinta antara  Romeo & Juliet pernah bertanya : “Apalah arti sebuah nama? Sekuntum bunga mawar akan tetaplah harum meskipun disebut dengan nama lain.” (What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet)
Pernyataan dan pertanyaan Shakespeare ini kedengarannya  mengabaikan, meremehkan arti sebuah nama. Nama sangatlah penting, sekuntum bunga mawar dengan nama lain tidak akan seharum sebagaimana yang mestinya.  Sebuah nama mengandung segudang persepsi yang sudah melekat terhadap suatu benda yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Selama turun termurun sebuah nama berubah menjadi sebuah pengertian khusus bagi sekelompok individu yang bahkan dapat berubah menjadi bahasa resmi kelompok itu sendiri. Semakin lama dan semakin sering sebuah nama itu dipakai oleh sekelompok masyarakat, maka nama itu akan memiliki kekuatan persepsi yang sangat kuat.
Dalam konteks perusahaan atau bisnis nama perusahaan dan nama produk menjadi sangat penting karena nama itu akan memberi citra tersendiri bagi calon pelanggan. Pemberian nama perusahaan atau produk merupakan akar atau jantung dari pemasaran serta bisnis perusahaan itu sendiri. Nama brand yang sudah memiliki persepsi yang sesuai dengan visi misi perusahaan serta diterima sekelompok masyarakat akan menjamin keberlangsungan perusahan itu. Jika nama dipilih asal-asalan alias tanpa makna maka nama itu tidak akan membawa pengaruh yang kuat bahkan mungkin akan segera ditinggalkan. Nama untuk urusan bisnis haruslah dipikirkan secara baik dan matang karena nama tersebut akan menjadi kunci serta jantung perusahaan. 
Karena forum ini bukan forum diskusi tentang bisnis maka kita tentu harus membataskan diri pada konteks nama kita sendiri. Faktanya, dahulu kita pernah diberi nama dan hampir semunya merupakan nama terberi. Terberi artinya kita menerima nama itu tanpa meminta persetujuan atau melalui diskusi dengan kita. Itu terjadi karena kita diberi nama sejak kecil sebagai identitas kita. Saya yakin kalau dahulu kita belum dinamai dan sekarang meminta kita sendiri yang memberi nama maka kemungkinan kita memilih nama yang lebih trendy. Untung para frater BHK berpeluang karena konstitusi tarekat mengharuskan ganti nama. Dan akrena ada pergantian nama seperti inilah kita diminta untuk memaknainya secara tepat tempatnya dan dalam konteksnya yang benar.

3. Tradisi Ganti Nama dalam Ordo/Tarekat
Nama yang paling banyak dipakai atau mungkin diperebutkan adalah nama Maria. Maria bukan saja diperebutkan oleh kelompok para ibu atau kaum biarawati tetapi juga paling banyak diperebutkan kaum bapa atau oleh sejumlah tarekat religus pria baik, imam, frater, maupun bruder. Pergantian nama dengan nama baru secara teologis biasanya dikaitkan dengan cara hidup yang baru. Nama baru biasanya menandai hidup baru. Ada nama baru yang bagus-bagus. Misalnya kalau sebelumnya orang bernama Pariyem setelah menjadi suster berubah menjadi Maria Lucia. Kalau sebelumnya orang dipanggil Endi Goleng setelah menjadi frater menjadi Maria Achilles. Atau yang sebelumnya dipanggil Kristogenus Gentar harus menjadi Maria Patricius setelah menjadi frater.
Lebih dari alasan adanya kebiasaan dan tradisi dalam beberapa komunitas biara tentang pergantian nama yang paling pokok sebenarnya adalah bagaimana nama baru itu memberi semangat dan spirit bagi orang yang memilih nama itu. Semangat dan spirit sebagai buah dari pengenaan nama baru itu harus nyata dalam praktik hidup. Katakan saja kalau Paus kita sekarang telah memilih nama Fransiskus (Asisi dan Xaverius) sebagai pengganti namanya maka secara moral Paus terikat untuk menghadirkan kembali semangat dan contoh hidup sederhana yang ditunjukkan Santo Fransiskus Asisi dan Fransiskus Xaverius. Paus kita sudah menunjukkan dan membuktikan itu dalam gaya dan corak hidupnya sebagai seorang Paus. Ia berusaha agar semangat kesederhanaan santo Fransiskus Asisi dan semangat missioner Santo Fransiskus Xaverius melalui gaya hidup yang menghindari kemewahan dan menjauhi pelbagai perilaku yang terkesan formal dan protokoler. Bagi Paus nama yang telah dipilih menggantikan namanya adalah nama yang sarat dengan tuntutan moral dan tanggung jawab. Kesadaran akan adanya tanggung jawab moral terkait nama pada giliran menuntun seluruh dinamika pelayanan dan karya pengguna nama.
Dengan beranalogi atau memaralelkan pemaknaan nama seperti ini kita juga bisa renungkan kembali hakikat dan makna nama baru yang kita pilih dan gunakan. Nama yang kita pilih adalah MARIA. Pilihan kita menggantikan nama dengan nama Maria juga mengandung tuntutan moral dan spiritual untuk dimaknai secara lebih kreatif dan dinamis. Pemaknaan secara lebih kaya, kr   eatif dan dinamis itu dikaitkan dengan aneka kebaikan dan kebajikan yang pantas diatributkan kepada Maria. Gereja telah memberi hampir 120 gelar kepada Maria sebagaimana kita temukan dalam doa Litania Santa Prawan Maria. Salah satu gelar yang menjadi gelar kecintaan dan menjadi pilihan para frater BHK adalah gelar Maria Bunda Hati Kudus. Hati Kudus itu milik Yesus sang Putra. Atribut Maria Bunda Hati Kudus yang dipilih para frater sesungguhnya mau menegaskan adanya relasi yang utuh antara Yesus dan Maria dalam tata keselamatan. Konsep per Mariam ad Jesum (melalui Maria kepada Yesus) yang menjadi obsesi Paus Yohanes Palus II, sesungguhnya lahir dari keyakinan akan eratnya relasi Yesus dan Maria. Episode Injil Yohanes yang menampilkan kisah mukjizat dalam peristiwa pernikahan di Kana membuktikan bahwa tuan pesta meminta kepada Yesus melalui Maria. Dalam peristiwa Kana ini Maria berperan sebagai perantara Rahmat. Semua gelar yang diberikan untuk Maria diberikan bukan tanpa dasar. Dasar pemberian gelar itu selalu dikaitkan dengan peri hidup dan perilaku yang menyimpulkan bahwa Maria merupakan nama dengan aneka predikat unggul. 

4. Titik Mula Keunggulan Maria
Titik mula keunggulan Maria yang berperan dalam tata keselamatan bermula dari sebuah keputusan dan komitmen awal yang tegas dan jelas. Keputusan dan komitmen yang tegas dan jelas itu diungkapkan dalam pernyataan kerelasediaannya menerima undangan Allah yang disampaikan melalui malaikat Gabriel sebagai duta surga. Keputusan dan pernyataan akhir dari dialog Maria dengan malaikat itu membawa tuntutan etis dan tanggungjawab yang melekat pada seluruh dinamika kehidupan Maria. Semenjak Maria memutuskan untuk menerima tawaran Tuhan, ia secara otomatis berada dalam kondisi berahmat. Kondisi itu turut menentukan seluruh pengalaman hidup Maria sampai semua program, agenda, proyek, dan rencana Tuhan terlaksana secara tuntas dan paripurna.
Kita bisa mengatakan bahwa sejak Maria menerima tawaran Tuhan, ia mulai hidup dalam sebuah spirit, semangat, roh yang baru. Maria sesudah menerima tawaran malaikat menjadi Maria yang telah berubah, menjadi lain dalam hal makna kehadirannya. Buktinya, ketika Maria menjumpai Elisabeth Maria bukan lagi sekadar saudaranya karena dalam perjumpaan itu Elisabeth bahkan Yohanes yang ada dalam kandung Elisabeth sudah bisa merasakan kehadiran Maria sebagai kehadiran yang sungguh berbeda dari perjumpaan sebelumnya. Fiat Maria menjadi spirit istimewa yang mewarnai seluruh peri kehidupannya sampai proyek kerajaan Allah terlaksanda oleh Putra yang dilahirkan, dijaga, dan dibesarkannya.
Fiat Maria dan hidupnya dalam spirit Fiat itu adalah pilihan baru yang juga memberi warna baru pada seluruh hidupnya. Fiatnya adalah pilihan baru, komitmen baru untuk memberikan kesaksian secara baru. Sebagai suatu pilihan baru Fiat itu penuh risiko dan tantangan. Maria sebagai seorang yang terpanggil untuk mengambil bagian dalam sejarah penyelamatan juga meneriwa tawaran Allah dengan risiko yang besar. Fiatnya: Terjadilah padaku menurut perkataanmu merupakan komitmen Maria menghadapi semua situasi dalam hidupnya. Secara sepintas tidak ada yang istimewa dalam kehidupan Maria. Kitab Suci pun tidak memberikan banyak informasi mengenai Maria.
Hanya satu yang membedakan Maria dibandingkan dengan orang lain pada umumnya. Bukan karena ia mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh Yesus,  melainkan karena ia menjalani hidupnya yang biasa secara luar biasa. Sekali ia berkata Ya terhadap panggilan Allah, ia memperjuangkannya untuk selalu tetap setia. Fiat Maria adalah nama baru dan pilihan baru dengan tantangan baru pula. Pilihan menjadi Bunda Allah bukan tanpa risiko. Maria sebagai seorang visioner tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya. Dia tahu akan mengalami penderitaan  bersama Putera-Nya. Sejarah membuktikan bahwa Maria berhasil secara sempurna mewujudkan komitmennya melaksnakan kehendak Allah. Ia sukses karena ia menyadari bahwa panggilan untuk menjadi Bunda Allah melulu karena karunia Allah. Ia sadar bahwa hidupnya bukanlah miliknya pribadi, melainkan milik Allah yang membuatnya berserah dan terserah pada Allah. Itulah yang membuat Maria bisa tabah menjalani panggilan hidupnya.
Spiritualitas Maria adalah spiritualitas fiat: terjadilah padaku menurut perkataan-Mu. Ini adalah spiritualitas relasional. Maria menjadi pribadi karena pemberian dirinya. Tuhan memberikan janji-Nya, dan Maria pasrah pada janji itu dalam seluruh hidupnya, karena itu ia mencoba menangkap apa yang terjadi pada hidupnya sebagai kehendak Allah. Dimulai dengan janji Tuhan waktu pewartaan kabar gembira, Maria teguh memegangnya  sepanjang hidupnya sampai pada akhirnya. Inilah salah satu identitas dan keunggulan Maria yaitu setia untuk terus berserah kepada Allah. Kalau kita telah memilih Maria menjadi nama kita maka harapannya juga kita menjalani hidup dan panggilan dalam spiritualitas fiat yang ditandai dengan ketabahan dan kesetiaan apa pun situasi yang kita hadapi. Kalau Maria dan nama Maria menjadi nama rebutan kita dan banyak orang maka itu artinya kita merebut nama itu dalam semua dimensinya. Bukan hanya mengambil segala yang menyenangkan tetapi sebagaimana kita menyukai yang menyenangkan pada Maria, juga kita harus menyengi apa yang menjadi tantangan dan derita Maria. Maria hidup dalam suka dan duka. Dua sisi kehidupan yang mengutuhkan dan menggenapi semua nilai kehdiupan dan perjuangan. Jika kita menerima siang dan malam itu sebagai permainan hari; hujan dan panas itu permainan musim maka kita juga harus menerima bahawa suka dan duka itulah permainan kehidupan.

5. Langkah Memaknai “MARIA”: Devosi dan Aksara Bermakna
Kalau ditanya apa bentuk dan bagaimana caranya kita memberi arti dan makna pada kata “MARIA” yang kita pilih menjadi nama baru tentu setiap kita dapat memberi banyak jawaban. Jawaban yang umum, biasa, terkesan klasik, tanpa berpikir mendalam adalah dengan berdevosi kepada Maria. Jawaban itu tentu tidak salah kalau dijawab oleh orang beriman kebanyakan. Kita tentu mengharapkan jawaban yang lebih spesisfik, refleksitif, mistik karena kita telah memilih nama itu menjadi identitas yang melekat pada diri kita. Kalau Maria menjadikan Fiatnya sebagai spirit dan pemicu dinamika hidupnya yang baru dalam kondisi berahmat maka bagi kita para frater kiranya kata “MARIA” harus bisa dijadikan sebagai amunisi yang bakal mengisi sejata kehidupan kita dalam upaya pemertahanan misi panggilan kita. Dengan ini mau dikatakan bahwa kita bisa memaknai kata MARIA itu dengan Devosi dan menjadikan kata MARIA itu sebagai kata dengan Aksara bermakna.

5.1 Devosi Kita
Devosi sebagai salah satu bentuk pemaknaan kita tentang nama MARIA tentu bukan sekadar kebiasaan rutin tetapi devosi yang disadari sebagai tindakan bernuansa spiritual dalam memaknai nama MARIA. Untuk itu kita berdevosi dalam semangat kitab suci karena devosi itu memilki dasar dalam kitab suci. Paus Paulus VI melalui ensiklik Marialis Cultus memberi dasar dan alasan biblis yang kuat mengapa kita menghormati Maria. Kita bisa temukan itu dalam  injil Lukas 1,26-38 (pemberitahuan Malaikat tentang kelahiran Yesus), Matius 1,20 (pesan malaikat kepada Yusuf dalam mimpi); Yohanes 2,1-11 (Mukjizat di Kana), dan Yohanes 19,25-27 (Maria berada di kaki salib).
Devosi yang benar sebagai pemaknaan terhadap nama MARIA adalah devosi yang dilakukan selalu dalam kaitan dan ikatannya dengan Yesus sang Putra. Devosi kepada Maria menurut Santo Louis-Marie de Montfort (1673-1716) harus dilandaskan pada tiga kesadaran utama yaitu (1) Harus disadari bahwa pusat dan inti penghormatan kepada Maria, bukan berakhir pada Maria. Kebenaran dasar dan devosi yang benar dan sejati kepada Maria hendaknya berangkat dari prinsip bahwa Yesus Kristus adalah tujuan akhir segala devosi kepada Maria. Pusat devosi Maria adalah YESUS. Per Marian ad Jesum (2) Devosi kepada Maria haruslah disadari sebagai bentuk Bakti Sejati, yang berarti penyerahan diri kepada Maria untuk ditujukan kepada Yesus, demi mengikatkan diri kepada Yesus melalui tangan Maria. Oleh penyerahan diri kepada Maria, timbul pula hubungan timbal balik, di mana Maria juga membukakan diri sepenuhnya kepada orang yang menyerahkan diri kepadanya. (3) Devosi sebagai praktik utama bakti sejati kepada Maria, menghormatinya secara pantas sebagai Bunda Allah dengan penghormatan Hyperdullia, merenungkan keutamaan-keutamaan dan perbuatannya dan berusaha meneladani Maria, mengagumi kebesaran Maria, menunjukkan kasih, memuji dan berterima kasih kepadanya, memohon doa kepada Yesus melalui perantaraannya, dan penyerahan diri ke dalam perlindungan Hati Maria yang tak bernoda.
Tiga kesadaran ini penting dalam rangka menepis bahaya, tantangan dan penyimpangan dalam berdevosi kepada Maria. Ada gejala dan bahaya, karena begitu populernya devosi Maria di kalangan umat, seringkali terjadi penyimpangan dan praktik-praktik yang tidak sehat  misalnya (a) Maria dianggap sebagai jalan pintas “pintu belakang” ke surge (b) Dalam devosi orang lebih banyak meminta, ibarat pengemis dan lupa bersyukur (c) praktek devosi Maria terkadang menggeser peran Yesus (d) praktik magis dan tahyul dalam berdevosi, benda-benda rohani dianggap magis (e) Sikap euforia dalam berdevosi, kesombongan, kerakusan rohani sering muncul dalam berdevosi (f) Sasaran devosi tidak lagi pada Allah, hanya berhenti pada Maria dan melupakan Ekaristi. sebagai sumber, pusat dan puncak iman (g) berdevosi tanpa penyerahan diri seperti Bunda Maria dan muncul persaingan tidak sehat antara kelompok-kelompok devosi Maria.

5.2 Nama MARIA dijadikan Aksara Bermakna
Bagi para frater BHK nama MARIA yang dipilih menjadi nama baru jelas tidak memisahkan Maria dari Yesus karena para frater memilih nama MARIA itu sebagai Bunda Hati Kudus. Artinya, Hati Kudus  atau Yesus yang menjadi pusat yang senantiasa dipertalikan dengan seornag Ibu, seorang Bunda. Dari sini jelas bahwa devosi kepada MARIA yang telah menjadi nama Baru selalu dalam kaitannya dengan pemujaan terhadap Yesus sang hati kudus. Karena itu kalau kita sudah mencoba mengabaikan Ekaristi maka itu menjadi tanda devosi kita dan nama kita MARIA akan kekurangan maknanya. Kalau MARIA yang kita pilih sebagai nama adalah MARIA ibu Yesus (sang Hati Kudus) maka kita harus menjadikannya sebagai pilihan dan komitmen untuk menghormati dalam konteks Per Marian ad Jesum.
Mengingat kita telah memilih nama MARIA sebagai nama yang baru baiklah kalau kita mencoba menjadikan aksara-aksara atau huruf-huruf pembentuk kata itu MARIA sebagai aksara bermakna. Andaikan kata MARIA itu sebagai sebuah singkatan, akronim maka  apa kepanjangan kata MARIA itu bagi kita? Bagi saya Maria itu merupakan seorang pribadi MARIA (saya panjangkan menjadi Mau Aman Rendah hati Ikut Allah). Konsekuensinya,kita harus merasa diri diajak untuk tidak tinggi hati, tidak congkak hati, tidak iri hati dan tidak berhati-hati. Maria mengajak kita agar aman dengan Mau rendah hati ikut Allah itu.
Dalam pengertian lebih reflektif kata MARIA perlu kita uraikan setiap aksara sebagai sesuatu yang memuat pesan dan makna khusus. Kita bertanya apa makna huruf/aksara M-A-R-I-A itu? Setiap kita nanti boleh kembangkan sendiri tetapi untuk sementara saya coba memaknai lima aksara itu.
M: mater, mother, mama, bunda, ibu. Maria sungguh seorang mater, mother, mama, ibu. Kepenuhan status keibuan Maria simahkotai di kaki salib puncak golgota. Dari salib, menjelang hembusan nafas terakhir Sang Putra menggunakan dua kata kunci yang menggambarkan relasi ibu dan anak. Ibu inilah anakmu dan anak inilah ibumu. Sebagai seorang ibu, kita yakin sungguh bahwa apa yang kita perlukan akan disampaikan kepada Yesus sang Putra. Peristiwa Kana memberi kita harapan dan opimisme. Meskipun Yesus berkata, Ibu, saat-Ku belum tiba air justru berubah menjadi anggur termanis. Salib Golgota adalah saat penggenapan waktu keselamatan itu. Karena itu, Maria ibu kita yang dikukuhan di kaki salib pasti akan menolong dan sanantiasa mencintai kita sebagai anaknya.
A: Amor, amabilis. Amor dan amabilis adalah ungkapan latin yang menggambarkan sikap hari seseorang yang penuh cinta dan memikat hati. Mencintai adalah hakikat hati dan inti terdalam rasa seorang ibu. Maria adalah figure tipikal sarat dengan ekspresi dan tindakan mencintai. Ia mencintai Putra Allah yang “dititipkan” kepadanya yang nyata dalam rentetan kisah perjuangannya sebagai seorang ibu. Ia harus mengunsi ke Mesir menyelamatkan Yesus. Ia harus kembali ke Yerusalem mencari Yesus yang menghilang. Membantu tuan pesta di Kana. Akhirnya ia harus bersama Yesus sampai di kaki salib. Dalam keyakinan akan cinta yang ada pada Maria kita percaya kita akan selalu didampingi seorang dalam seluruh perjuangan kita, apalagi kita yang telah memilih memakai nama yang merdu menawan hati itu. 
R: Regina, regnatrix yang berarti ratu, yang memerintah, yang berkuasa. Atribut ratu ini dapat kita temukan dalam sebagian litania santa perawan Maria. Ia digelar Ratu Para Malaikat,  Ratu Para Bapa Bangsa,  Ratu Para Nabi, Ratu Para Rasul,  Ratu Para Saksi Iman, Ratu Para Pengaku Iman, Ratu Para Perawan,  Ratu Para Orang Kudus, Ratu yang Dikandung Tanpa Dosa,  Ratu yang Diangkat ke Surga,  Ratu Rosario yang Amat Suci,  Ratu Pencinta Damai. Kekuasan Maria sebagai Ratu bukan dalam pengertian sebagai jabatan melainkan gelar yang dikaitkan dengan prestasi dan keunggulan dalam keutamaan hidup yang patut diteladani. Aksara R itu ada dalam nama MARIA yang menjadi nama Baru para frater maka juga perlu dimaknai sebagai keutamaan yang pantas dianut sehinggan seperti Maria kita juga menjadi tokoh anutan banyak orang.
I: Immaculata: tak bernoda, tak bercela, tak berdosa, murni, nirmala, utuh, sempurna, tak bercacat. Kualitas diri pribadi Maria sebagai manusia nirmala menjadi syarat perkenanan Tuhan untuk memilihnya. Maria menyadari kerapuhan sebagai manusia saat ditawari malaikat untuk menjadi Bunda Allah. Malaikat menjelaskan kepadanya perihal anak yang dikandung Maria adalah buah Roh Kudus. Hal yang sama juga dijelaskan kepada Yusuf yang berniat meninggalkan Maria karena ketahuan berbadan ganda sebelum resmi sebagai suami istri. Maria mengalahkan semuanya sebagaimana ia menginjak ular lambang dosa dan kejahatan di bawah telapak kakinya. Konsep immaculata, tanpa cela  ada pada Maria yang menjadi nama kita. Ini juga jelas mewajibkan kita untuk memperjuangkan suatu kehidupan panggilan tanpa noda.
A: Admirabilis:  mengagumkan, patut dikagumi. Kualitas terakhir ini sesungguhnya merupakan rangkuman akhir dari kehadiran Maria sebagai seorang ibu yang kelimpahan Cinta dan keunggulan dalam aneka kebajikan yang ditunjang kualitas diri yang tanpa cela. Maria dikagumi ketika ia membangun komitmen dalam fiat kerelasediaannya menjadi hamba tempat terjadi dan terlaksananya rencana keselamatan. Ia dikagumi ketika mengucapkan dalam nada tegas, jelas tanpa ragu: Ecce angela Domine; aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu. Kita yang menggunakan nama MARIA tentu saja harus bisa hiduip secara mengagumkan seperti Maria yang memiliki spirit Fiat. Kita belajar untuk hidup secara mengaumkan dengan spirit MARIA, nama  yang kita pilih.

6. Buah yang pantas kita rindukan
Jika spirit Maria sungguh menjadi bagian hidup dan panggilan kita maka kita boleh merindukan keberpihakan Maria kepada kita sebagai buah-buah usaha dan perjuangan kita. Apa wujud konkret buah yang bisa kita rindukan. Buahnya, Maria akan berpihak kepada kita dan apa yang kita sampaikan kepadanya akan diestafekannya kepada sang Putra.
Dalam keyakinan dan berdasarkan pelbagai tradisi yang ada dalam gereja buah-buah yang kita rindukan itu terumuskan dalam tiga peran Maria bagi ornag beriman. Ketiga pilar itu sering disebut sebagai Trilogi Peran Maria yaitu sebagi mater advocata, mater mediate, dan mater orate. Sebagai mater advocata nostra Maria menjadi pembela kita, pembela umat beriman, pembela gereja. Sebagai mater mediate, Maria mengantarai kita yang berdoa dengan Putranya. Maria sebagai jembatan kita semakin dekat dengan Allah dan Allah semakin dekat dengan manusia. Akhirnya sebagai mater orate Maria berperan sebagai Bunda pendoa yang setia bagi hidup dan karya kita, hidup dan karya umat, hidup dan karya gereja.

7. Penutup : Lalu Tugas Kita?
Kalau kita yakin Maria yang menjadi milik kita itu menjadi mater advocate, mater mediate, dan mater orate maka tentu kita akan maju dengan langka tegap dan pasti untuk menjadi saksi perbuatan dan karya Tuhan dalam tugas panggilan kita. Kita dipanggilan karena kita telah memilih nama MARIA maka kita berkewajiban memberikan kesakisan hidup seperti Maria.  Maria telah hadir sebagai saksi. Apa arti kata saksi bagi kita? SAKSI berarti Siap Ajarkan Kabar Sukacita Ilahi. “Setelah dirimu diselamatkan, jadilah saksi Kristus. Cahaya hatimu jadi terang, jadilah saksi Kristus. Tujuan hidupmu jadi nyata,jadilah saksi Kristus”. Demikian sepenggal syair lagu dari Madah Bakti nomor 455.
Bunda Hati Kudus akan menyempurnakan semua kesaksian kita. Semoga.


http://renunganlentera.blogspot.com/
Malang, 29 Oktober 2013
Rm.Bone Rampung, Pr