Misa Peringatan Arwah
Yesaya 35,1-10; Matius
21,18-22
Lingkungan Paroki
Lawang Malang 9 Oktober 2012
Buka
Tanpa kita sadari seorang yang kita
cinta, Almarhum.....hari lalu telah mudik ke rumah Bapa dan meninggalkan kita
semua. Yang tertinggal hanyalah aneka kisah dan kenangan tentang segala
perbuatan baik dan amalnya selama hidup. Saat ini kita datang untuk
mengenangkan kisah mudik almarhum. Bagi kita, Amatlah penting mengenangkan
kembali orang pernah hidup bersama kita. Setiap kali kita mengenang kehidupan
orang yang telah meninggal, kita mungkin merasa sedih. Sedih dan menangis bukanlah sesuatu yang buruk.
Bahkan dikatakan, itu baik dan bahkan perlu. Kalau kita berusaha untuk menekan
perasaan sedih itu maka kita pasti akan merasa sakit.
Kita semua tentu ingin dikenang. Jesus
sendiri pun ingin dikenang. Dia meninggalkan bagi kita suatu cara untuk
mengenangkan Dia yaitu melalui Ekaristi. Dalam dan melalui Ekaristi Dia hadir bersama kita. Bukan suatu kehadiran
fisik tetapi secara rohani: Suatu kehadiran nyata yang mengatasi ruang dan
waktu. Dengan demikian kita masuk dalam suatu relasi dengan Dia lebih dalam
daripada relasi melalui kehadiran fisik. Kita tidak hanya berkomunikasi dengan
Dia tetapi kita bersatu dengan Dia. Orang-orang yang kita cintai yang telah
meninggal dunia, termasuk almarhum.... tidak pernah hilang, tidak pernah
dipisahkan dari kita. Dalam konteks itulah malam ini semua kita hadir dan mau
bersyukur kepada Allah atas anugerah hidup yang telah Ia berikan kepada
almarhum. Agar syukur dan doa-doa kita
berkenan pada Tuhan mari kita akui aneka kealpaan dan kelemahan kita...
Renungan
Harian Kompas edisi Minggu 29
Januari 2012 memuat sebuah cerita Pendek berjudul ”Pohon Hayat”. Pohon Hayat yang menjuduli cerpen itu adalah sebatang
pohon raksasa yang tumbuh di alun-alun kota. Seorang kakek bercerita kepada
cucunya tentang pohon itu. Suatu hari sang cucu meminta kakek membawanya ke alun-alun
kota untuk melihat pohon yang diceritakan itu. Setiba di alun-alun keduanya
langsung menuju pohon yang besar, tinggi, dan rindang itu. Kakek menceritakan
kepada cucunya bahwa pohon itu tidak diketahui kapan ditanam dan juga tidak
diketahui siapa yang menanamnya. Setelah
keduanya berteduh, sang kakek mengajak cucunya untuk menengadah mengamati
dahan, ranting, dan daun-daun pohon itu. Sambil mengamati bagian pohon itu,
sang kakek berkata kepada cucunya, lihat dan tahukah kamu bahwa ada banyak
misteri terungkap dari dahan, ranting, dan daun pohon ini? Setelah lelah
mengamati bagian-bagian pohon raksasa itu sang kakek melanjutkan pembicaraannya
kepada cucunya, katanya: kehidupan
setiap penduduk di kota ini tersemat pada setiap lembaran daun yang bertengger
di cabang, ranting, dan tangkai pohon ini. Setiap kali ada satu daun yang gugur
itu artinya ada seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun
artinya satu kehidupan, Satu daun adalah satu jiwa, begitu kisah sang kakek.
Setelah mendengarkan penjelasan kekeknya, mata sang
cucunya mengamati banyak daun kering berserakan dan terinjak-injak orang yang
datang ke alaun-alun kota. Lalu terjadilah dialog antara sang kakek dan
cucunya. ”Apakah daun-daun kering yang berserakan ini adalah jasad orang-orang
yang sudah mati?” tanya sang cucu sambil memperlihatan daun-daun kering. ”Ya,
daun-daun itu adalah sisa jasad mereka dari pohon kehidupan.” ”Berarti termasuk
bekas jasad ayah ada di antara daun-daun kering itu?” lanjut sang cucu.
”Mungkin. Tetapi kakek kira, jasad ayahmu kini sudah menyatu kembali dengan
tanah.” Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.” ”Tak
perlu, karena lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur
menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
”Kalau daun-daun yang mulai tampak kuning yang ada di
atas sana itu milik siapa?” tanya sang cucu ” Itu semua milik orang-orang tua
yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas
pohon kehidupan.” ”Apakah mereka akan segera gugur.” Ya,”Tentu saja, karena
gugur itu adalah nasib dan takdir mereka.” ”Apa kakek ada di antara salah satu
daun kuning yang siap gugur?” ”Aku tidak tahu. Itu rahasia yang di atas, tidak
seorang pun berhak tahu.”
Sang cucu kembali
menengadahkan kepala sambil mengamati, mencari-cari di mana letak daun
milik kakeknya, daun miliknya, daun milik ibunya, dan daun dari sanak
keluarganya.”
Apakah ”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu,
adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini?” ”Ya. Benar, memang kenapa?” Ya,
”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas
sana?” ”Ya. Tentu saja lanjut kakek.” ”Wah itu artinya, masa gugurku masih
sangat lama.” ”Siapa bilang? Setiap
lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun
yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kuning, yang masih segar dan
hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”
Seminggu setelah kembali dari alun-alun kota, sang kakek
menderita sakit. Makin hari kesehatannya memburuk. Sang cucu teringat akan kata-kata
sang kakek sewaktu mereka berteduh di bawah pohon di tengah kota. Sang cucu
lari ke pohon itu untuk mengamati apakah ada daun kuning yang akan gugur ditiup
angin. Setelah satu jam menunggu di bawah pohon itu, sang cucu merasakan
datangnya terpaan angin menghempas pohon itu. Tampak olehnya beberapa daun kuning, daun segar, dan
pucuk muda dari pohon itu gugur beterbangan lalu rebah ke tanah. Dia pulang dan
dalam perjalanan ia mendengar tangisan karena ada anak kecil, orang dewasa yang
meninggal. Lebih dari itu setiba di rumah ia menyaksikan kakeknya telah
meninggal.
Kisah kakek dan cucu yang diangkat Mashdar Zainal melalui
Cerpen Pohon Hayat (pohon hidup) yang
saya jadikan ilustrasi dalam reunungan ini adalah kisah yang sungguh
bersentuhan langsung dengan dimensi terdalam atau hal pokok berkaitan dengan
hidup dan kehidupan kita. Penulis cerpen ini mengabstrasikan kehidupan nyata
melalui dua tokoh rekaannya yaitu kakek dan cucunya yang secara tepat
menganalogikan hidup dan kehidupan kita dengan sebatang pohon di tengah
alun-alun kota. Dialog antara kakek dan cucunya dalam cerpen tadi sudah menjadi
renungan dan bahan refleksi untuk kita. Diri dan hidup kita bukanlah apa-apa. Kita
hanyalah selembar daun yang tumbuh pada salah satu ranting pohon hidup yang
juga cepat atau lambat akan menguning dan tua. Kapan gugurnya, kapan agin
menerpa, dan menerbangkannya tidak ada yang tahu. Itu misteri yang Tuhan
sembunyikan bagi semua kita manusia. Kita hanya bisa membaca gelaja alam ketika daun mulai kuning kita bisa pastikan
daun itu akan gugur. Daun kehidupan manusia menjadi kuning tidak bisa diartikan
seperti warna lampu lalulintas, kuning siap berubah menjadi hijau. Warna kuning
daun kehidupan manusia menjadi pratanda saat pulang, saat mudik, saat kembali yang
bersifat abadi akan segera tiba.
Selembar daun pohon kehidupan telah gugur .... hari lalu
dalam diri almarhum..... Dia gugur setelah melewati proses panjang dalam usia
yang ia lewati. Dia telah gugur setelah mengisi hari kehidupannya bersama
keluarga, keluarga besar, dan bersama semua orang yang telah mengenalnya. Dalam
keluarga dan oleh keluarga almarhum bukan hanya sekadar selembar daun tetapi lebih
dari itu ia telah menjadi sebatang pohon tempat sandaran dan berteduhnya orang
yang dicintainmya. Sejak kepergian almarhum, kita semua disadarkan bahwa almarhum
resmi kembali mengakrabi bumi asal. Dia datang dari tanah dan kembali ke tanah.
.... hari lalu almarhum ibarat selembar daun yang gugur diterpa angin. Bagi
keluarga dan yang sungguh mengenalnya, almarhum lebih dari selembar daun, dia adalah sebatang
pohon yang terus bertumbuh melahirkan pucuk-pucuk daun baru dalam diri anak dan
semua kerutunannnya. Ia gugur sebagai daun tetapi ia tinggalkan segala hal yang
baik kepada yang ditinggalkan. Karena itu, meski secara fisik ia telah hilang
dari pandangan kita tetapi secara rohani ia tetap menjadi penyubur pohon
kehidupan keluarga oleh teladan dan cara hidupnya yang baik
Daun kehidupan yang gugur yang kita kenangkan saat ini
bukanlah daun tanpa arti untuk kehidupan kita dan keleuarga yang ditinggalkan.
Almarhum mudik abadi .... hari lalu bukanlah pengembara tanpa tujuan. Bagi kita
kepergiannya membuat kita sedih sebagai mansia, tetapi kita yakin Tuhan mempunyai rencana
indah bagi almarhum dan untuk kita. Mungkin kita merasa seperti hidup tanpa
harapan tetapi nubuat Yesaya dalam bacaan pertama sungguh menguatkan kita
karena Tuhan berkuasa mengubah segalanya. Tuhan berkuasa mengubah situasi gurun menjadi situasi
yang membawa sukacita. Padang gurun dan
padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan
berbunga; seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya
bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Lebih dari itu Tuhan sendiri datang membawa
pembalasan dan ganjaran dan membuka jalan bagi Kudus bagi orang benar. Di situ
tidak akan ada singa, binatang buas karena orang-orang yang diselamatkan akan
berjalan di situ, dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang dan masuk
ke Sion dengan bersorak-sorai.
Gambaran sukacita padang gurun seperti yang dinubuatkan Yesaya
ini jelas menjadi harapan kita semua bagi almarhum. Sukacita dan sorak sorai
kemenangan itu tentu kita yakin didapat almarhum karena selama hidupnya
almarhum telah menjadi pohon ara yang berbuah lebat dan manis dalam berbagai
kebajikan dan kebaikan ia lakukan. Kita manusia boleh melupakan semua kebaikan
yang dibuat almarhum terhadap siapa saja tetapi Tuhan tidak melupakan segala
kebaikan itu.
Apa yang baik dan segala sesuatu yang baik yang manusia
lakukan selama hidup tidak akan
dilupakan Tuhan. Tuhan menghendaki agar
manusia hidup sebagai pohon ara yang bisa menghasilkan buah dan buah itu demi
kebaikan orang lain. Injil yang diperdengarkan untuk kita saat ini pada intinya
mau mengatakan kepada kita bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan harus memilki kebaikan atau sesuatu yang
berguna untuk orang lain. Kisah dan kasus pohon ara yang diancam Yesus dalam
injil tadi terjadi karena pohon ara itu menyalahi hukum musim dan hukum alam
untuk berbuah. Pohon ara yang diancam Yesus adalah pohon ara tanpa kebaikan,
pohon ara tanpa kebajikan.
Kisah Cerpen Pohon Hayat dalam ilustrasi awal tadi kiranya
mendorong kita untuk memaknai perjalanan hidup kita. Dan kisah pohon ara dalam
injil seharusnya mewajibkan kita untuk berkehidupan dengan buah-buah kebaikan
dan kebajikan. Dan, saat perayaan misa arwah seperti ini kiranya menjadi saat
rahmat yang membawa kita pada permenungan akan kualitas diri, pohon kehidupan
kita. Kisah pohon ara malam ini menjadi kisah sarat makna untuk kita semua baik
yang masih kecil, yang sudah dewasa maupun yang sudah lanjut usia. Setiap kita
bisa menilai apakah daun pada pohon kehidupan kita baru bertumbuh ataukah sudah
hijau ataukah sudah mulai berwana kuning. Ingat misteri daun gugur pada pohon
kehidupan tidak memandang umur. Bahwa
daun kehidupan kita akan gugur itu sudah pasti tetapi bagaimana kita menyiapkan
kepastian itu, itulah yang perlu kita antispasi dengan selalu mau menjadi pohon
ara yang berbuah.
Kata-kata Yesus dalam injil tadi sebenarnya biasa dan ringan adanya. Mengapa? Karena Yesus tidak mengatakan agar pohon ara itu
kering dan mati. Yesus hanya mengatakan "Engkau tidak akan berbuah lagi
selama-lamanya!". Itu artinya pohon ara itu masih dibolehkan hidup hanya
tidak berbuah. Hal yang mengherankan kita justru dalam sekejap pohon itu
menjadi kering. Pohon ara itu rupanya
salah mengerti terhadap kata-kata Yesus. Mungkin juga pohon ara itu terlalu
sensitif dan perasaannya sehingga reaksinya terhadap kata-kata Yesus sungguh
ekstrem.
Mengapa pohon ara itu justru lebih memilih kering dan
mati. Bagi pohon itu mati lebih baik daripada hidup tanpa berbuah. Pilihan pohon
ara itu mau menegaskan bahwa kita manusia ibaratnya pohon ara yang harusi
menghasilkan buah kebaikan dan kebajikan selama hidup. Berbuah kebaikan dan
kebajikan itulah yang Tuhan inginkan. Bukan sekadar hidup rimbun-rimbunan.
Berbuah adalah panggilan kehidupan dan itu terjadi dalam kerja dan usaha. Akhirnya
semoga sekembali dari tempat ini kita menata pohon ara kehidupan kita. Amin