Saturday, September 22, 2012

Hari Minggu Biasa ke-25 Thn.B2


Hari Minggu Biasa ke-25 Thn.B2
Keb 2:12.17‑20; Yak 3:16‑4:3; Mrk 9:29‑36
Stasi Singosari Malang
Buka
Hari ini kita semua, kembali diundang Tuhan untuk merenungkan kembali perjalanan hidup kita. Hari ini Tuhan melalui firman-Nya  mau menyadarkan kita akan tugas dan panggilan kita sebagai orang-orang baik karena memang kita diciptakan oleh yang mahabaik dalam kelimpahan kebaikan. Kodrat kita manusia, adalah baik dan Tuhan melengkapi kita dengan segala hal yang baik berupa kesabaran, kelemahlembutan, kerendahan hati. Semua perlengkapan, kesabaran, kelemahlembutan dan kerendahan  ini diberikan kepada setiap kita  bukannya pertama dan terutama supaya kita melakukan perlawanan terhadap kejahatan tetapi pertama dan terutama agar orang  jahat dapat belajar bersikap sabar, lemahlembut, dan rendah hati. Kita berdoa memohonkan rahmat Tuhan agar menjadi orang yang sabar, lemah lembut, dan rendah hati karena kita yakin oleh semangat yang sabar, sikap yang lemah lembut dan rendah hati akan mengubah semua yang merusakan citra kehidupan kita. Kita akui kelemahan dan dosa karena sekians ering kita kurang sabar, kurang bersikap lemah lebuh dan bersikap rendah hati....

Renungan

Saya kira semua kita sepakat bahwa tidak ada kebaikan yang mendatangkan penderitaan. Kebaikan senantiasa membuahkan hidup yang tenang, aman dan tenteram. Sebaliknya kejahatan menaburkan dan menumbuhkan penderitaan. Berdasarkan pengalaman pada umumnya hanya kejahatanlah yang melahirkan penderitaan. Siapa berbuat jahat akan menderita, cepat atau lambat waktunya. "Siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejaha­tan" (Ams 11:27). Siapa mengejar kejahatan akan dikejar oleh kejahatan. Siapa membunuh akan dikejar oleh pembunuhan. Siapa berdosa akan dikejar oleh dosa. "Sungguh, orang jahat tidak akan luput dari hukuman" (Ams 11:21). Dengan ini "kejahatan manusia menelan dirinya" (Pkh 8:6) sendiri.
Dari kebenaran dan kenyataan seperti  ini sesungguhnya logislah hanya orang jahat yang menderita. Kalau orang berdosa sebenarnya hanya dia yang menderita akibat dosa yang ia lakukan. Kalau orang mencuri milik orang lain, dia sendirilah yang dipu­kul, diadili dan dipenjarakan atau mungkin dibunuh karena perbuatannya itu. Ini logika atau hukum kejahatan. Namun dalam pengalaman sering juga penderitaan itu tidak hanya dialami orang jahat, tetapi juga dialami orang baik. Orang jahat melakukan kejahatan apa saja, dan dampak perbuatannya tidak hanya menimpa orang jahat itu tetapi juga menimpa orang lain termasukorang yang baik. Malahan serng terjadi, saat kejahatan dilakukan, orang lainlah yang men­derita dan bukannya si pelaku. Penderitaan orang jahat umumnya muncul lama sesudah kejahatan dilakukan dan itupun kalau berhasil dilacak. Korban pertama dari setiap kejahatan pada saat kejahatan dilakukan adalah orang‑orang baik yang tidak bersalah.
Ketiiga bacaan hari ini meperlihatkan keapda kita bahwa penderi­taan bukan menimpa orang jahat, melainkan menimpa orang‑orang  baik. Dari Kitab Kebijaksanaan Salomo kita mendengar rencana orang jahat terhadap orang baik. Kata-kata orang jahat itu: "Marilah kita menghadang orang baik, sebab orang baik menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita  Mari kita mencobainya dengan menganiaya dan menyiksa agar kita mengenal kelembutannya serta menguji kesabaran hatinya. Hendaklah kita menjatuhkan hukuman mati terhadapnya, sebab menurut katanya ia pasti mendapat pertolongan"
Di sini tampak bahwa derita, siksaan dan penga­niayaan yang dialami orang‑orang baik itu datang dari luar, datang dari orang‑orang jahat. Orang baik sendiri tidak pernah merencanakan dan melakukan penderitaan bagi diri dan bagi orang lain. Orang baik tidak pernah menyiksa diri dan sesamanya. Orang baik tidak akan pernah menciptakan beban bagi orang lain. Karena itu apabila orang baik menderita sengsara, penderitaan dan kesengsaraan mereka itu umumnya datang dari luar, dari orang‑orang jahat. Nasib yang sama dialami Yesus. Yesus sebagai "Anak Manusia diserahkan ke tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, tetpai tiga hari sesudah dibunuh Ia bangkit" (Mrk 9:31). Yesus benar‑benar menderita sengsara dan dalam penderitaan‑Nya Ia "merasa terasing dan dikelilingi musuh yang siap membunuhnya. Semua bentuk penderitaan yang dialami Yesus datang dari luar, dari anak‑anak manusia yang jahat dan berdosa.
Apa sebenarnya yang mendorong orang jahat menyerang, mencobai, menyiksa, menganiaya sehingga orang‑orang baik terpaksa harus menderita? Bacaan II hari ini menyebutkan alasannya  bahwa iri hati dan egoisme menjadi dasarnya. "Di mana ada iri hati dan sikap mementingkan diri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Kamu iri hati, namun kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi" (Yak 3:16; 4:2). Kekacauan dan perbuatan jahat lahir dari iri hati dan egoisme. Karena iri hati manusia bertengkar dan berkelahi. Karena iri hati manu­sia senantiasa mengejar sesamanya untuk menyaingi dan bahkan untuk membinasakan sesamanya itu. Kitab Amsal mencatat bahwa "iri hati membusukkan tulang" (Ams 14:30). Sebetulnya iri hati tidak saja membusukkan tulang melainkan juga membusukan hati, dan kalau hati membusuk maka tingkah  laku dan perbuatan juga penuh kebusukan. Hati yang busuk tidak hanya menghasilkan perbuatan busuk, tetapi juga penderitaan yang busuk. Begitulah iri hati membuat orang busuk di dalam hatinya, busuk juga dalam perbuatannya dan akhirnya menciptakan penderitaan yang busuk dalam diri dan hidup orang lain. Iri hati dan egoisme ibarat "tumpukan sampah busuk" yang menyebabkan bau yang busuk bukan saja untuk diri sendiri  tetapi juga bagi orang lain.  
Di samping iri hati dan ingat diri, egoisme, hal lain yang mendorong orang jahat mencoba dan menyerang orang baik adalah hawa nafsu yang saling berjuang. Rasul Yakobus menulis: "Dari manakah da­tangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah da­tangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu? Kamu mengingini sesuatu, namun kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh" (Yak 4:1‑2). Sengketa dan pertengkaran datang dari hawa nafsu. Permusuhan antara manusia juga lahir dari beragamnya nafsu dan keinginan yang "saling bersaing" dalam diri, bersaing merebut keinginan yang tidak tercapai.
Injil menginformasikan bahwa dalam perjalanan bersama Yesus para murid bertengkar satu sama lain karena ada nafsu akan kuasa dan posisi. Di tengah jalan "mereka mempertengkarkan siapa yang terbesar di antara mereka". Nafsu untuk memperoleh kekuasaan, jabatan, prestise serta nafsu untuk menjadi yang terbesar terbukti melahirkan per­tengkaran, perkelahian dan bahkan pembunuhan di antara manusia. Keinginan dan nafsu yang tidak terkendali dalam mengejar kuasa, jabatan yang menguasai seseorang  membuat orang itu berperang melawan dirinya sendiri dan melawan orang lain. Apabila nafsu sudah menguasai seseorang maka ia akan segera memandang orang lain bukan sebagai "saudara atau sahabat", melainkan sebagai musuh yang harus dilawan, dika­lahkan, dan dimusnahkan. Iri hati, egoisme dan nafsu biasanya bisa dilihat melelaui sikap hidup. Kalau sekarang ini banyak orang yang sudah kalau orang lain senang dan banyak senang kalau orang lain susah itu menjadi pratanda iri hari merusak kehidupan manusia.
Menghadapi orang jahat yang dikuasai iri hati,egoisme, hawa nafsu, bagaimanakah sikap‑sikap kita sebagai orang‑orang baik? Apakah kita harus berhenti menjadi orang baik, sebab dengan kebaikan dan kebajikan yang kita miliki lalu "menjadi gangguan" atau ancaman yang menentang pekerjaan orang‑orang jahat? Apakah kita harus menyerah pada perbuatan jahat, supaya kita menjadi aman dan tidak lagi diganggu atau dicobai oleh orang‑orang jahat seperti dikisahkan dalam bacaan pertama?
Aman dalam kejahatan dan aman bersama kejahatan bukanlah kebajikan yang terpuji. Kebajikan yang terpuji adalah merasa aman dalam kebaikan dan dengan kebaikan, sebab kebajikan seperti itu adalah "suatu kecenderungan yang tetap dan teguh untuk melakukan yang baik. Dengan kebajikan yang baik kita bukan saja bisa melakukan perbuatan baik, tetapi juga harus bisa menghasilkan yang terbaik seturut kemampuan kita. Dengan segala kekuatan moral dan rohani, kita, manusia berkebajikan dan dipanggil untuk melakukan yang baik."2 Sebab itu sekalipun kita menjadi orang berkebaikan dan berkebajikan tertentu "menjadi gangguan" bagi orang jahat, kita tidak boleh mundur dari kebaikan, hanya karena serangan, ancaman dari orang‑orang jahat. Berhadapan dengan ancaman, serangan dan penderitaan yang datang dari orang‑orang jahat, kita diharapkan untuk terus berpaling kepada Kristus yang "menderi­ta dengan sukarela, dihukum tanpa kesalahan. Kerelaan dan ketabahan menanggung penderitaan, penga­niayaan dan penyiksaan yang datang dari luar, dari orang‑orang jahat, adalah suatu bentuk partisipasi kita dalam penderitaan Kristus di kayu salib yang "menghancurkan akar‑akar kejahatan yang tertanam dalam sejarah kehidupan umat manusia dan dalam jiwa manusia."
Kalau kita seperti Kristus menderita dengan sukarela dan menderi­ta walaupun tidak bersalah, apakah kita bersikap diam saja, atau sebaiknya membalas dendam terhadap orang‑orang jahat? Kalau kedua sikap ini ditawarkan kepadamu, maka pilihlah "sikap diam" dan bukannya membalas dendam. Sebab Yesus mengajarkan dan melarang kita mencari pemecahan dalam sikap dendam. Membalas dendam tidak menyelesaikan persoalan, tetapi sebaliknya justru menanamkan, menumbuhkan dan membuah­kan pelbagai persoalan baru yang berkepanjangan. Sebab itu lebih baik mengambil sikap diam daripada memilih rencana balas dendam. Paus Yohanes Paulus pertama pernah menasihatkan begini:  Dalam sikap diam, engkau akan mampu bertobat dan juga untuk mengasihi musuh‑musuhmu. Maka, dengan memilih "diam", "perdamaikanlah mula‑mula dirimu dengan Allah, perbaruilah hatimu, tunjukkanlah cinta untuk menggantikan dengki, gantilah kemarahan dengan kesabaran, gantilah ketamakan yang tak terkendalikan dengan kesederhanaan dan ugahari. Jika engkau telah bertobat dalam batinmu dan membar­ui dirimu, maka engkau akan melihat dunia ini dengan mata yang lain dan engkau menemukan suatu dunia yang berubah."
Yesus sendiri sudah menegaskan kepada kita: "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuh­mu. Namun Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" Pada bagian lain Ia menyampaikan: "Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Namun Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu".
Orang‑orang di dunia barangkali masih membenci musuh‑musuh mere­ka. Namun pengikut Kristus tentu saja diharapkan  tidak demikian. Pengikut Kristus bukan hanya tidak boleh bermusuhan dengan siapa pun, melainkan juga berusaha menghancurkan permusuhan yang sudah ada. Bagi kita musuh bukanlah orang yang dibenci, melainkan orang yang dikasihi. Kebesaran kita sebagai murid Tuhan justru ditakar oleh kesediaannya untuk mengasihi musuh‑musuhnya. Di dunia ini barangkali orang‑orang masih memberlakukan prinsip "mata ganti mata dan gigi ganti gigi". Namun murid Tuhan tidak boleh demikian. Kalau yang berlaku adalah prinsip "mata ganti mata dan gigi ganti gigi" maka hasilnya bukan hanya satu mata atau dua mata, atau juga satu gigi atau dua gigi yang rusak, melainkan akan ada banyak sekali mata dan gigi lain yang hancur atau roboh. Bahkan lebih fatal dari itu, nyawa atau hidup manusia sendiri bisa melayang atau tewas.
Sebab itu berbeda dengan orang‑orang di dunia ini, murid‑murid Kristus seperti kita semua tidak boleh membalas dendam terhadap siapa pun. Inilah imbauan mendiang Bapa Suci Yohanes Paulus II untuk kita semua. "Jadilah orang yang pertama untuk memberikan dan menerima pengampunan, untuk membebaskan ingatanmu dari kebencian, permusu­han dan keinginan untuk membalas dendam, serta mengakui dan menerima semua orang yang sudah bersalah kepadamu sebagai saudara dan saudari. Janganlah membiarkan dirimu dikalahkan oleh kejaha­tan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan . 'Sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbua­tlah demikian'.

Saturday, September 8, 2012

Minggu Biasa ke-23 Th.B

-->
Minggu Biasa ke-23 Th.B, 9 September 2012
Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 31:31-37
Stasi Singosari, Malang

Buka
Hari ini Tuhan kembali mengundang kita untuk berjumpa dan menerima Dia sebagai tabib agung kita. Dialah yang menyembuhkan, melepaskan, membebaskan kita dari pelbagai belenggu dan ikatkan yang membuat kehidupan jiwa kita kerdil. Dalam kerapuhan sebagai manusia mulut kita mungkin membisu ketika dituntut untuk mengatakan sesuatu secara benar. Dalam kerapuhan yang sama mungkin telinga hati kita tertutut untuk segala sesuatu yang membawa kabaikan dalam hidup kita dan sesama kita. Marilah kita datang dan hadir sebagai si bisu dan tuli, berserah diri biar Tuhan membuka mulut dan telinga kita untuk suatu masa depan yang membebaskan kita. Seraya memohon rahmat dan kekuatan untuk membangun komitmen dalam perayaan ini kita akui kelemahan dan dosa kita..
Renungan
Seorang ahli pidato namanya Quintilianus pernah berkata: “Tidak ada anugerah yang Lebih indah yang diberikan oleh para dewa, daripada keluhuran berbicara (Quintilianus). Santu Agusttinus membahasakannya secara lain: “Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup segalanya. Martin Luther King menambahkan: “Siapa yang pandai berbicara dia itu manusia, sebab berbicara adalah kebijaksanaan, dan kebijaksanaan adalah berbicara”. Kutipan-kutipan bijak ini bukan sekadar pemberi motivasi agar orang bisa berbicara tetapi lebih dari itu agar orang memanfaat kemampuan berbicara itu untuk memberikan makna pada kehidupan. Saya kira semua kita sepakat bahwa kemampuan berbicara adalah berkat dan anugerah bagi kita. Memang karena kita tergolong orang normal yang bisa berbicara sehingga kita menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja. Bagi seorang yang bisu, kalau satu ketika dia tiba-tiba bisa berbicara, maka dia akan melihat hal itu sebagai anugera dan mukjizat.
Kemampuan berbicara sebagai suatu anugerah bagi kehidupan kita manusia tentu tidak akan bermakna kalau pembicaraan itu tidak didenagrkan atau tidak ada yang mendengarkannya. Kata-kata yang keluar dari mulut seseorang bertapa pun indah dan bermaknanya tetapi kalau tidak ada telinga yang mendengarkannya maka kata indah dan penuh makna itu akan terbang bersama angin. Karena itulah, dalam kehidupan yang nyata persoalan berbicara dan persoalan mendengarkan merupakan dua hal yang hanya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Coba banyangkan kalau di dunia ini hanya ada seorang yang bisa berbicara dan semua orang yang lainnya bisu apa yang akan terjadi? Dunia kita pasti hening dan senyap. Coba bayangkan kalau di dunia ini hanya ada seorang yang bisa mendengarkan apa yang terjadi? Dunia kita juga akan hening dan senyap karena orang tak mungkin berbicara kepada semua orang yang tuli.
Dunia dan kehiduapn kita menjadi indah, penuh dinamika terjadi karena kita dilengkapi mulut untuk bisa berbicara dan dilengkapi telinga untuk mendengarkan. Mulut untuk berbicara dan telinga untuk mendengarkan jika berfungsi maksimal maka terjadilah komunikasi dan interaksi dalam kehidupan. Saya kira semua kita akan kesulitan berkomunikasi ketika berhadapan dengan sesama kita bisu atau yang tuli. Kalau kita bisa berbicara tetapi teman bicara kita itu tuli maka bahasa dan kata-kata kita menjadi tak bermakna. Ketika telinga kita normal bisa mendengarkan tetapi teman bicara kita bisu maka telinga kita menjadi tak bermakna. Sampai di sini, kita disadarkan mulut dan telinga, kemampuan berbicara dan kemampun mendnegarkan itu amat penting dalam hidup. Relasi dan komunikasi dalam kehidupan sepenuhnya dipertaruhkan pada kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan. Sagala bentuk aksi dan tindakan manusia boleh dikatakan dikendalikan oleh dua kemampuan ini. Itu sama artinya, kalau dua kemampuan ini tidak ada pada seseorang maka maka bagi orang itu hidup menjadi beban dan kematian menjadi kerinduannya.
Firman dan sabda Tuhan yang diwartakan untuk kita melalui tiga penggalan bacaan hari ini pada intinya berbicara tentang perkara mulut dan telinga manusia. Soal praktik berbicara dan praktik mendengarkan di antara sesama dalam kehidupan nyata. Nubuat Yesaya dalam bacaan pertama jelas mewacanakan kepada kita tentang pentingnya telinga untuk mendengarkan dan pentingnya mulut untuk membahasakan kegembiraan. Nabi Yesaya dipilih Yahwe untuk menjadi mulut yang berbicara kepada bangsa Israel yang tawar hati. Nabi diutus untuk mengatakan hal yang penting bagi Israel. Nabi diutus untuk mengabarkan dan menawarkan kehidupan yang membebaskan. Nabi diutus sebagai mulut yang bisa membahasakan dan menjabarkan program Allah bagi bangsa yang nyaris tanpa harapan. Yesaya mengajak Israel untuk kembali meyakini Allah, kembali bersandar pada-Nya karena janji Tuhan akan ditepati. Yesaya mengabarkan berita keselamatan mencelikan mata yang buta membuka telinga yang tuli dan melepaskan belenggu kebisuan, dan menguatkan kaki yang timpang dan lumpuh. Yesaya datang mengabarkan dan menyuarakan tentang sukacita bagi Israel yang akan menikmati sumber air yang memancar di padang yang tandus. Program Allah jelas diteruskan sang Nabi. Agenda pembebasan itu hanya akan terjadi kalau Israel membuka telinga hati mereka untuk kembali pada iman yang benar akan Yahwe.
Markus dalam penggalan injil hari ini menarasikan pengalaman pembebasan yang dialami seorang yang tuli dan kesulitan berbicara. Markus menampilkan kuasa kebesaran Allah yang dinyatakan melalui penyembuhan orang tuli dan setengah bisu itu. Yesus menata kembali organ mulut dan telinga orang itu, memfungsingkan kembali sistem bicara dan sistem pendengaran orang itu. Itu artinya bagi Yesus telinga dan mulut itu harus dibebaskan agar manusia bisa memaknai kehidupannya secara benar sebagai manusia. Pembebasan yang dilakukan Yesus itu sekaligus mau menegaskan bahwa jaminan keselamatan dari Allah itu terlaksana dalam diri Yesus Kristus, bahkan mencapai puncak, kepenuhan, dan kesempurnaannya. Ia menjadikan segala-galanya baik” (Mrk 7:37a).
Tindakan pembebasan yang dilakukan Yesus itu dirumuskan dalam satu kata yaitu Efata yang berarti terbukalah. Kata ini merupakan kata kunci yang sekaligus menuntut orang yang tuli itu melakaukan pembaharuan cara hidup (reformasi) dan pembaruan arah (reorientasi) hidup. Terbukalah merupakan sebuah perintah, amanat, imperatif yang harus dilakukan sebagai buah pembebasan. Perintah terbuka itu merujuk pada mulut untuk mengucapkan seuatu secara tepat dan sesuai dan juga merujuk pada telinga agar tidak tertutup pada segala sesuatu yang membawa makna dalam kehidupan. Efata adalah kata kunci pembaruan peribahasa dan perilaku kehidupan seseorang.
Mentalitas dan model kehidupan bangsa Israel semasa nabi Yesaya tampaknmya masih juga menguasai kehidupan manusia sepanjang zaman. Peribahasa, kata-kata dan perilaku sikap masa bodoh yang mengabaikan hukum Tuhan masih mewarnai kehidupan manusia. Di dunia ini banyak yang mulutnya dan telinganya normal tetapi dalam berbahasa banyak yang salah karena ada hal lain yang membelengu mulut untuk mengatakan apa yang jelas dan yang benar. Di dunia ini banyak yang telinganya normal tetapi sulit mendengarkan apa yang bisa mengubah dan membawa harapan baru bagi hidup. Dalam konteks seperti ini hari ini Yesus juga telah membuka belenggu mulut dan sumbatan telinga kita untuk bisa menjadi nabi yang membawa pembabasan, untuk menjadi seperti orang banyak yang membawa si bisu tuli untuk disentuh dan disembuhkan Tuhan. Sebagai pengikut Kristus dalam cara yang berbeda kita dituntut untuk menjadi mulut yang mewartakan dan telinga yang mendengarkan.
Santo Yakobus meberikan kita resep untuk membuka mulut dan telinga manusia zaman ini dalam sikap yang adil tidak membuat pembedaan dengan alasan apapun. Membuka mulut sesama dan membuka telinga sesama hanya akan terjadi dan bermakna kalau kita memperlakukan orang lain secara adil.
Kalau hari ini Markus mengisahkan Yesus membuka mulut dan telinga orang tuli dan bisu dalam rangka menata perilaku mulut dan perilaku telinga, maka tentu kita bisa melihat diri kita apakah mulut dan telinga kita juga mau dibuka Yesus sebelum kita menjalankan misi kenabian dan kerasulan kita untuk membebaskan orang bisu dan tuli dalam kehidupan kita? Segala sesuatu yang tidak sesuai dalam kehidupan adalah wujud kebisuan dan ketulian yang harus disembuhkan. Pelbagai ketindakberesan ada di mana-mana, di dalam keluarga, di lingkungan kerja, di dalam masyarakat. Semunya itu merupakan wujud kebisuan dan ketulian yang menuntut kita untuk menyembuhkannya. Semoga Tuhan memberi kita kekuatan dan berkat untuk membuka mulut dan telinga kita; mulut dan telinga sesama kita… Amin