Thursday, November 14, 2013

PERINGATAN 25 TAHUN NOVISIAT BHK

Renungan Misa HUT 25 Tahun Komunitas Novisiat
Frater Bunda Hati Kudus, Malang, 14 November 2013
Keb.7,22-8,1; Luk.17,20-25
Buka

Kalau bukan Tuhan yang membangun ru­mah maka sia‑sialah para tukang membangunnya, dan jika bu­kan Tuhan yang menjaga kota sia‑sialah para pengawal ber­jaga.  Saya sengaja mengutip ayat mazmur ini untuk meringkas semua kesadaran dan keyakinan kita bersama tentang kasih dan kesetiaan Tuhan menyertai Novisiat ini dengan  segala program formasinya sepanjang 25 tahun silam. Sebagai orang beriman kita yakin karya agung TUhan telah dinyatakan melalui semua saja yang terlibat dan melibatkan diri dalam proses formasi di tempat ini. Hanya satu kata yang pantas kitalambungkan yakni SYUKUR. Syukur untuk semua pengalaman suka dan duka yang mewarnai dinamika yang terjadi selama 25 tahun silam. Sambil bersyukur kita juga memohonkan agar karya agung dan kemuliaan Tuhan terus hadir di tempat ini dan terus mengalir dari tempat ini. Kita akui segala kelapaan kita agar syukur ini berkanan kepada Tuhan dan membawa berkat bagi kita.

Renungan

Hari Selasa malam saat masuk kamar makan, saya lihat ada satu buku dan satu teks ditempatkan samping piring saya. Buku itu ditempatkan Frater Vincen yang setelah siangnya beliau meminta saya untuk memimpin ekaristi HUT ke-25 atau pesta Perak. Saya menafsirkan bahwa kehadiran buku dan teks itu mengharuskan saya untuk membaca dan memakanainya untuk dikorelasikan atau dikontekskan dengan kehadiran Komunitas Novisiat ini selama 25 tahun. Jujur saya akui bahwa memahami buku setebal itu dan mencari intinya untuk diangkat dalam permenungan seperti ini bukanlah hal mudah. Sebagai orang luar, tentu saja sisi tilik dan jangkauan pemahaman saya, tidak secermat para frater memaknai aneka pesan yang impilisit dan eksplisit yang ditemukan dalam buku kenangan itu.
Dalam konteks peringatan 25 tahun keberadaan komunitas novisiat ini tentu yang paling relevan untuk kita adalah melihat kembali hakikat, fungsi, dan pentingnya novisiat. Kita tidak tidak mempersoalkan 25 tahun novisiat berkaitan gedung secara fisik. Gedung itu hanya nama dan hanya bermakna berkaitan dengan segala sesuatu yang terjadi dan dilakukan di dalam rumah/gedung ini. Fokus kita adalah melihat kembali hakikat novisiat sebagai salah satu simpul awal dan paling penting bagi kita yang memilih jalan khusus menjadi biarawan dan rohaniwan. Saya mengatakan bahwa tahap ini merupakan tahap awal yang penting karena dalam masa seperti inilah kita berusaha mencari kehendak Tuhan dan pentunjuk-Nya untuk masa depan panggilan kita.
Saya sendiri memang tidak pernah menjadi novis dalam masa novisiat tetapi tahun 1986-1987 selama setahun saya mengikuti Tahun Orientasi Rohani di bawah bimbingan Romo Vincent Sensy, Pr (kini Uskup Agung Ende). Waktu setahun itu menjadi waktu penuh refleksi untuk membangun fondasi panggilan selanjutnya. Kami menjalani itu hanya setahun sedangkan para frater BHK menjalaninya selama dua tahun. Membangun fondasi panggilan selama dua tahun saya kira dalam logika seorang ahli bangunan tentu akan menghasilkan sebuah bangunan yang kokoh, kuat, tak tergoyahkan. Para frater yang telah dan sedang menjalankan masa novisiat untuk dua tahun tentu harapanya tampil sebagai pribadi yang matang, seimbang, dan kokoh dalam semua aspeknya.
Kepribadian yang matang, seimbang, kokoh dalam multiaspek inilah yang menjadi inti dan sasaran pergulatan dan pergelutan dalam masa novisiat. Idealisme akan terbinanya dan lahirnya pribadi seperti inilah yang mendorong dibangunnya tempat yang dinilai lebih kondusif, atraktif, inspiratif. Tempat yang kondusif, atraktif, inspiratif ini diharapkan menjadi arena pembentukan citra diri yang kreatif sekaligus meditatif; yang aktif sekaligus reflektif. Selanjutnya, dari citra diri yang kreatif-meditatif; aktif-reflektif ini orang dapat menentukan langkah yang pasti ke masa depan. Sejarah perpindahan lokasi program novisat sebagaimana digambarkan di dalam buku kenangan yang saya baca pada dasarnya terjadi dan dilakukan karena mempertimbangkan aspek-aspek ini. Kalau komunitas ini sudah bertahan 25 tahun, maka ada pengandaian sekaligus harapan di balik kenyataan historis temporal ini bahwa memang di sinilah, di tempat inilah para frater menemukan sesuatu yang lebih kondusif, atraktif, dan inspiratif. Karena itu, tanpa keraguan dari tempat ini pasti lahir para frater dengan citra diri yang mampu menjaga keseimbangan  antara kemandirian dan kebersamaan; antara kemampuan kreatif dan meditatif, antara kemampuan aktif dan reflektif.
Jika itu yang terjadi di tempat ini dari tahun ke tahun sampai usia perak ini maka bukan hanya para frater yang akan menilai tempat ini sebagai puncak tabor tetapi juga setiap orang yang menyaksikan dan mengalami buah-buah kebajikan yang dihayati setiap frater yang pernah diproses di tempat ini. Menurut hemat saya, tidaklah terlalu penting kita bereaksi seperti Petrus yang ingin tetap berada dan berkemah di puncak tabor karena merasakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa Tabor tidak akan bermakna bagi Petrus dan kedua murid lainnya jika pengalaman itu tidak memberi inspirasi, semangat, dan model kehidupan yang patut dianut dan diteladani oleh orang lain setelah mereka keluar dan turun dari Tabor. Puncak tabor memang terlampau indah dan saya sendiri rasakan itu selama hampir satu jam berada di gereja Tabor menikmati keindahan lembah Yizrel.
Pada halaman depan teks Syukur 25 tahun tepatnya di bawah foto gedung novisiat terkutup teks Lukas 9,23: Guru betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Para frater yang pernah dan yang sedang menjalankan novisiat di tempat ini tentu dan harus mengalami kemuliaan dan keindahan Tabor di tempat ini. Jika tidak, siapa pun yang menyelesaikan novisiat di sini tidak akan membawa pesan indah dan mulia secara maksimal kepada orang lain.
Kalau tempat ini atau novisiat ini menjadi Tabor tempat Tuhan menyatakan dan membahasakan kemulian-Nya maka itu berarti di tempat ini kita diproses dalam kondisi berkemuliaan maka pada waktunya kita menjadi output atau produk yang mampu menghadirkan kemuliaan itu dalam aneka kebaikan dan kebajikan sesuati dengan semangat dan spirit pendiri, frater BKH, uskup Schaepman. Dalam konteks ini, izinkan saya mengutip ungkapan hati frater Simon dalam buku kenangan 75 BHK halaman 8. Di sana ditulisnya: “novisiat harus merasakan diri sebagai DAPUR KONGREGASI”. Pernyataan singkat padat dan syarat makna ini coba saya rentanghubungkan dengan kalimat yang menjuduli sebuah data pada halaman 186 buku yang sama. Judul data itu tertulis: Hanyalah sebuah data” mengundang Tanya. Bagaimana konsep Novisiat sebagai sebuah Dapur dan mengapa sebuah data mengundang pertanyaan?
Dalam konteks mikro, pengalaman hidup sehari-hari kita semua mengetahui apa itu dapur, apa yang terjadi dan dilakukan di sana, barang apa yang diperlukan di sana. Dalam konteks makro yang lebih luas (dunia industry) kita bisa mengatakan bahwa dapur itu lokasi atau salah satu unit produksi yang utama sebuah perusahaan. Dapur kita menjadi tempat pengolahan dan produksi makanan yang mempertahankan kelangsungan hidup kita secara fisik. Di dapur akan diproses semua bahan makanan dengan keadaan dan kondisi materi yang kita beli atau dapatkan. Beruntung kalau kita mendapatkan bahan yang bagus, ikan, sayur, daging yang segar maka kita tidak kesulitan mengolahnya dan asupan gizi yang kita dapatkan dapat dipertanggung-jawabkan secara tata boga dunia kegizian. Tetapi, sekian sering juga kita dapatkan bahan yang sudah tak segar, lagu, beraroma tak sedap. Di sini diperlukan keahliah tukang masak untuk membumbi secara tepat agar menu masakan itu tetap diminati. Jika tidak, semua akan menjadi menu yang pas untuk binatang peliharaan kita. Dalam dunia industry juga berlaku hal yang sama. Bahan yang diproduksi untuk disebarluaskan kepada konsumen harus diolah dan diproses dalam standar yang pakem.
Apa yang bisa kita maknai dari konsep analogi Novisiat sebagai Dapur Kongregasi yang diwacanakan Fr.Simon ini? Saya kira jelas arah dan maksudnya, asasaran tembaknya, merujuk pada keseluruhan kebijakan, program formasi terhadap para calon sebagai formandi dan kualitas, kemampuan, keahlian formator. Kondisi formandi jelas menjadi bahan pertimbangan formatur dalam menentukan cara mengolahnya secara benar, ibarat tukang masak yang siap menyajikan menu yang bukan saja menarik dalam tampilannya, tetapi tetap berkualitas dalam kandungan gizinya. Dalam konteks mikro Novisiat menjadi dapur untuk Kongregasi BHK tetapi dalam konteks makro berkaitan dengan misi tarekat untuk gereja, novisiat harus menjadi unit produksi bagi lahirnya tenaga-tenaga yang andal. Karena itu, yang menjadi tantangan bagi formandi dan formatur adalah bagaimana proses produksi di dapur ini, di tempat ini dapat berjalan sesuai dengan harapan.
Ini penting untuk dimaknai dalam momen spesial 25 tahun seperti ini karena jika tidak dimaknai secara tepat maka kita akan terus dihantui dengan tampilan data yang selalu diakhir dengan sebuah tanda tanya. Logikanya, jika ada pertanyaan itu artinya ada masalah. Dan setiap pertanyaan bermasalah menuntut adanya jawaban. Tugas kita adalah menemukan masalah lalu mencari kemungkinan jalan terbaik memebaskan diri dari masalah. Data yang disuguhkan dalam buku kenangan itu bagi siapa pun yang membacanya pasti dan harus bertanya? Baiamana orang tidak bertanya kalau yang masuk novisiat sejak tahun 1986 sampai 2011 itu berjumlah 285 orang tetapi yang sampai kaul hanya 43 orang atau hanya 15,08%?Data seperti ini memang harus melahirkan pertanyaan. Ibarat tukang masak yang membeli 285 ekor dan menggorengnya lalu yang muncul di meja makan hanya 43 ekor sementara yang mau makan ikan itu lebih dari 285 orang. Logis kalau semua orang bertanya. Arah pertanyaan ditujukan kepada siapa? Tidak mudah memberikan jawaban karena dapur novisiat ini hanyalah sebuah subsistem dalam sistem besar tarekat BHK. Karena itu pertanyaan tadi bukan saja ditujukan kepada formandi, formatur tetapi ditujukan kepada tarekat secara keseluruhan.Saya sama sekali tidak bermaksud menggugat aneka kebijakan internal dan proses yang terjadi tetapi hanya sekadar menyentak kita berdasarkan data yang ada.
Satu-satunya jawaban yang paling mudah dan melepaskan kita dari pikiran lebih rumit adalah berlindung di balik ayat kitb suci: Banyak yang dipanggil sedikit yang dipilih. Menurut saya ayat ini tidak seluruhnya benar. Kita harus menempatkan teks itu pada konteksnya. Semasa Yesus orang-orang itu memang dipanggil (dipaksakan) lalu dipilih. Dalam konteks sekarang inisiatif itu bukan lagi dipaksakan tetapi orang harus melamar. Tarekat hanya menyebarkan brosur, melakukan promosi panggilan dan yang tertarik dan berminat, merasa terpanggil membuat lamaran. Kalau konteksnya orang sendiri yang melamar maka mestinya dia akan lebih bertahan. Yang terjadi justru sebaliknya orang ramai-ramai masukkan lamaran juga ramai-ramai pamit baik secara sopan maupun dalam cara yang kurang sopan.
Masa novisiat sebagai saat peletakkan dasar fondasi panggilan harus disadari para calon bahwa panggilan itu sifatnya pribadi. Formator hanyalah sarana yang juga tidak sempurna karena dia sendiri juga masih berusaha memberi makna pada panggilannya. Karena itu, tentu keliru kalau orang sering memperslahkan para formatur ketika setelah masa novisiat ada para frater menunjukkan perilaku anomali (hidup tidak tertur). Jika itu terjadi maka jelas sebagai indikasi para frater bukannya mau menjawab panggilan Tuhan tetapi mau memenuhi keinginan formator. Kita dipanggil Tuhan dan mau menjawab panggilan Tuhan bukan dipanggil formator dan menjawab keingian formator. Jika rasa dan sikap ini ada dalam diri para calon maka baginya formator itu hanya sebagai teman, socius perjalanan dan bukan polisi lalulitas dalam perjalan panggilan kita. Dengan ini tidak berarti, formator tidak penting karena bagaimana pun Tuhan dapat berkarya secara ajaib melalui orang lain dalam segala peristiwa kehidupan.
Novisiat sebagai Dapur Kongregasi akan menjadi lebih bermakna kalau di tempat ini kita belajar makna kebijaksanaan  menjadi orang yang berkebijaksanaan. Bacaan pertama tadi mengingatkan sekaligus meneguhkan kita untuk menyadari intervensi Allah dalam hiudp dan panggilan kita. Raja Salomo mengingatkan kita untuk senantiasa memiliki kebijaksanaan karena kebijaksaan menjadi jaminan penyertaaan Tuhan. Tiada sesuatu pun yang dikasihi Allah kecuali orang yang berdiam bersama dengan kebijaksanaan. Ada sekian banyak bentuk kebijaksanaan itu antara lain:sikap arif, kudus,  rajin, berpikir jernih, hidup tidak bernoda, menjadi terang, bertahan dalam kesulitan, suka akan yang baik, bermurah hati dan sayang akan manusia, teguh tidak tergoyangkan. Kebijaksaan adalah pernafasan kekuatan Allah, dan pancaran murni dari kemuliaan Yang Mahakuasa. Kebijaksanaan  adalah pantulan cahaya kekal. Kebijaksanaan lebih indah dan lebih terang dari pada matahari. Masa Novisiat dan tempat novisaiat adalah masa dan tempat orang mengalami Allah secara telah mendalam. Di sini di tempat inilah sejak 25 tahun silam Kebijaksanaan itu ada dan hadir memberi inspirasi bagi para frater yang diproses di sini.
Dalam keyakinan seperti ini kita menyadari kehadiran Tuhan di sini sebelum novisiat ini dibangun selama novisaiat berjalan 25 tahun dan akan terus hadir dalam setiap kehendak baik yang akan terjadi di tempat ini. Sebagai orang beriman kita tentu menepis mental dan cara bertanya orang Farisi kepada Yesus dalam injil tadi tentang kapan dan tanda-tanda kehadiran kerajaan Allah. Tuhan sudah hadir dan akan terus hadir di sini dalam setiap usaha dan kehendak yang baik, dalam ketekunan dan kesitiaan kita menjawabi panggilannya dan memaknainya dalam praktik kehidupan.
Semoga rahmat kebijaksaaan Tuhan terus melingkupi tempat ini agar segala masalah yang ditemukan selama 25 tahun silam secara perlahan mendpatkan titik terang. Mari kita jadikan Novisiat ini sebagai DAPUR tempat mengolah kehidupan panggilan kita sehingga hidup dan karya kita menjadi menu yang berguna bagi Tuhan dan sesama. Profiat, Selamat berpesta, Ad Multos Annos.

Friday, November 1, 2013

RENUNGAN PEMBERKATAN GEDUNG SEKOLAH

Ibadat Pemberkatan Gedung Sekolah
SMAK Frateran Malang
Jumat, 1 November 2013
Renungan
Seekor tikus yang sering dimangsa kucing berhasil membuat tempat persembunyian sebagai rumahnya. Setelah sarangnya dibangun tikus itupun berdoa kepada Tuhan demikian:
Tuhanku, Rumahku ini kecil. Pintunya selalu terbuka. Saya yakin Tuhan pasti datang. Tak usahlah Tuhan mengetuk. Masuk saja ke dalamnya. Aku percaya kedatangan-Mu itu selalu menyenangkan.
Tuhanku, tinggallah bersama aku.
Saya kira doa seekor tikus ini bisa memberikan kita inspirasi dan permenungan yang mendalam tentang pentingnya suatu tempat, sarang, gedung, rumah tempat orang tinggal dan menjalankan segala aktivitasnya. Keinginan, cita-cita, kerinduan setiap orang untuk merasakan kenyamanan di tempat tinggal dan tempat menjalankan kegiatannya merupakan kerinduan dan keinginan tergolong hakiki dan mendasar. Abraham Maslow jauh sebelumnya telah merumuskan bahwa kebutuhan akan rasa aman merupakan salah satu kebutuhan yang menempati anak tangga piramida dalam hierarkhi kebutuhan manusia. Doa seekor tikus tadi, menunjukkan kepada kita betapa tikus pun merindukan rasa aman itu dan keamaan yang diandalkannya adalah Tuhan sendiri. Membuka pintu rumah, membiarkan Tuhan masuk dan menjaga keselamatan dan kenyaman adalah sikap iman yang benar.
Sore ini kita semua, juga merindukan Tuhan sang penjaga, pengawal itu memasuki tempat ini, sekolah kita, gedung yang baru ini untuk mengawal seluruh aktivitas dan dinamika yang berkaitan dengan proyek pencerdasan dan pemanusiaan manusia melalui tindakan edukatif  yang berarti dan bermakna. Kenyamanan yang kita rindukan dari Tuhan yang kita undang dalam ibadat ini adalah kenyaman berkaitan dengan aktivitas mental kejiwaan yang akan berlansung di tempat ini. Kita sadar dan yakin, bahwa kehadiran Tuhan  dengan segala kualitas unggul yang melampaui segala keunggulan manusia akan dinyatakan Tuhan di tempat ini melalui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan yang berlangsung di sekolah ini. Ketika Tuhan disadari dan diyakini berada bersama kita di tempat ini, di sekolah ini, di setiap ruangan maka kita mau tidak mau mendisposisikan seluruh arah gerak, tindakan dan perilaku kita sebagai arah gerak, tindakan dan perilaku yang ada dibawah pantauan Tuhan. Ketika kita mengundang Tuhan hadir di tempat ini, di gedung, dan sekolah kita maka kita ibaratnya membawa Tuhan dan menjadikan Tuhan ibarat kamera pengintai yang memantau dan memonitor seluruh dinamika pelaksanaan tugas dan panggilan kita baik sebagai pendididik maupun sebagai peserta didik.
Menyadari bahwa Tuhan hadir sebagai pemantau seluruh dinamika aktivitas kita di lembaga ini mendorong dan mewajibkan kita untuk melakukan semuanya dalam koridor atau lorong yang Tuhan inginkan. Yang Tuhan inginkan adalah semua hal yang baik yang membawa kita untuk semakin dekat pada keunggulan yang terekspresikan dalam etos kerja dan semangat pelayanan kita kepada mereka yang dipercayakan kepada kita untuk dilayani secara mental akademik.
Segmen injil Lukas yang diperdengarkan kepada kita sore ini secara implisit dan eksplisit mewacanakan perihal kualitas hidup seseorang yang dianalogikan dengan sebuah bangunan. Kualitas diri yang diwacanakan itu mempersoalkan konsistensi relasi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Konsistensi relasi antara kata-kata dan perilaku. Injil menegaskan bahwa Tuhan pada akhirnya mengelompokkan manusia berdasarkan kualitas peri berbahasa dan peri bertindaknya. Kesepadanan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakaukan menempakan seseorang pada status dan kondisi yang kokoh tak tergoyang. Orang seperti ini dianalogikan Yesus sebagai bangunan yang memiliki fondasi dan dasar yang kokoh tak tergoyang. Kosnistensi antaraperkataan dan perbuatan adalah menurut Yesus adalah fondasi beton atau batu karang kehidupan seseorang. Sebaliknya inkonsistensi antara perbuatan dan tindakan  menedisposisikan sesorang sebagai sebuah bangunan rapuh yang dibangun di atas dasar yang rapuh.
Yesus mengibaratkan kehidupan kita sebagai bangunan. Setiap kita adalah arsitek untuk bangunan kehidupan kita. Kokoh tidaknya hidup dan kehidupan kita sangat ditentukan oleh peri berbahasa dan peri bertindaknya. Jika orang hanya bisa berbicara banyak, berkata banyak tetapi berbuat minimal maka itu sama dengan orang membangun rumah di atas dasar yang tidak kokoh dan tidak berimbang. Nasibnya akan runtuh berantakan. Tuhan menghendaki dan kita juga menghendaki agar bangunan kehidupan kita kokoh. Tidak ada cara lain selain kita berusaha menjadi Telinga yang baik atau dalam injil dikatakan mendengarkan dan melaksanakan apa yang Tuhan inginkan.
Konsep mendengarkan dan melaksanakan sesuatu adalah konsep yang akrab dengan dunia pendidikan. Proses pendidikan hakikatnya adalah proses dan dialektika antara mendendengakran dan melakukan. Sebagai guru, pendidik kita inginkan agar apa yang kita sampaikan dalam interaskis edukatif layak dan pantas didengar dan dirasakan sebagai sesuatu yang berguna oleh peserta didik kita. Kita mengininkan agar kita didengarkan orang lain. Kita inginkan agar orang lain itu menjadi telinga yang baik, yang siap mendengarkan kita. Keinginan untuk didengarkan itu, tentu saja tidak serta merta atau otomatis terjadi dalam interaksi edukatif di kelas dan sekolah kita. Kita baru akan didengarkan orang lain, hanya kalau kita menyampaikan sesuatu secara tepat dan benar. Tepat dan benar baik dari segi, waktu, tempat, suasana maupun tepat dan benar dari segi caranya. Di atas semuanya itu, kata-kata kita memiliki kekuatan dan berdaya jerat yang memungkinkan memperhatikanya hanya kalau orang melihat konsistensi antara apa yang kita katakana dan apa yang kita lakukan. Konsistensi seperti itu dalam bahasa sederhananya merujuk pada contoh, teladan hidup kita. Orang bijak pandai berkata: verba movent, exempla trahunt (kata-kata hanya mengajak teladan lebih menarik) orang. Interaksi edukatif di kelas, di sekolah kita harus dan semstinya merujuk pada dimensi exempla atau contoh ini.
Sebagai guru kita inginkan agar kita didengarkan oleh peserta didik kita melalui contoh dan teladan yang baik. Kalau kita hanya menuntut hanya kita yang selalu didengar maka kita bersikap tidak adil karena para peserta didik juga ingin didengarkan. Mereka juga menuntut adanya telinga yang siap mendengarkan mereka. Tuntutan mereka untuk didengarkan bisa hadir dalam aneka cara dan gaya yang menuntut kita untuk memberi respon yang tepat. Ada yang ingin didengarkan dengan cara yang santun tetapi ada juga yang ingin didengarkan, diperhatikan dengan menggunakan gaya dan cara yang kurang sopan mislanya dengan sikap masa bodoh, chuek, apatis, melanggar disiplin, dll.
Dialektika keinginan mendeegarkan dan didengarkan itu itu mendapat tempat yang pas di sekolah-sekolah, di kelas-kelas kita. Karena itu, acara pemberkatan gedung sekolah atau kelas seperti ini hanya bermakna jika sekolah dan ruangan kelas menjadi tempat pertemuan dan berpadunya pelbagai hal yang baik untuk kehidupan baik hal baik yang disuberkan pada guru maupun hal-hal baik yang dikembanhgkan dalam diri para peserta didik. Gedung dan ruangan kelas semegah apa pun tidak ada arti dan nilainya kalau output yang diproses di tempat, di sekolah dan di ruangan seperti itu pada akhirnya tidak menghasilkan orang yang berkarakter yang baik. Tuhan yang  kita undang hadir untuk menyertai semua komponen lembaga ini dalam acara ini adalah Tuhan yang baik, Tuhan yang setia, Tuhan yang adil, Tuhan Maha pemurah, Tuhan yang berlimpah kasih Sayang, Tuhan yang bersimpati, Tuhan yang siap menolong. Kulaitas-kualitas seperti inilah yang menjadi kerinduan kita untuk bisa ditumbuhkembanghkan dalam seluruh dinamika yang terjadi di lembaga pendidikan ini.  Secara fisik bangunan gedung  ini tidak diragukan kekuatannya. Gedung ini dibangun dan dirancang dengan desain arsitek yang andal. Dibangun oleh tukuang terpencaya. Materi yang dipakai juga bukan materi asal-asalam melainkan materi pilihan. Semuanya baik dan perlu tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memberi isi ruangan dan gedung ini dengan pelbagai kebajikan dan kebaikan. Di sini Tuhan yang setia menuntut kita untuk belajar setia. Di sini Tuhan yang adil hadir untuk kita belajar berlaku adil. Di sini Tuhan yang maha mendengar hadir mengajarkan kita untuk menjadi pendngar. Di sini Tuhan yang penuh cinta, kebaikan dan belahkasih hadir biar kita belajar untuk berkebaikan dan berbelas kasih. Di sini Tuhan yang berkarakter maha unggul dalam segala hal hadir untuk kita agar kita belajar menjadi diri pribadi yang unggul. Tuhan sudah ada di sini dan akan tetap ada di sini sejauh nilai-nilai iman dikembankan di tempat ini oleh semua warga lembaga pendidikan SMAK Frateran ini.
Frank Crane seorang pembimbing kehidupan keluarga, pernah menulis demikian tentang rumah: Keamanan sebuah rumah ada dalam Kejujuran. Kesukaan sebuah rumah ada dalam Kasih. Kelimpahan sebuah rumah ada dalam diri Anak. Peraturan dalam rumah ada dalam Pelayanan. Penghiburan sebuah rumah adalah Allah.
Kita tentu sangat memahami apa yang dimaksudkan Frank Crane ini. Baginya Kejujuran, kesukaan, kelimpahan, peraturan, penghiburan  itu harus menjadi corak dan ciri khas sebuah rumah karena TUhan sendiri yang hadir. Itu artinya gedung dan bangunan ini harus bisa menghasilkan ornag-orang berkarakter jujur, orang-orang yang bisa membawa kegembiraan bagi ornag lain. Dalam ketebatasan kita sebagai manusia tentu kita merindukan TUhan. Kita jelas lebih mulia dari seekor Tikus. Tetapi Tuhan juga bisa mengajarkan kita memlalui ciptaan lain termasuk seekor tikus yang mengajarkan kita cara berdoa yang sederhana. Kiranya doa sang tikus tadi mampu menyadarkan kita semua untuk menjadikan sekolah kita tempat kehadiran Tuhan. Kita yakin kalau bukan Tuhan yang membangun ru­mah maka sia‑sialah para tukang membangunnya, dan jika bu­kan Tuhan yang menjaga kota sia‑sialah para pengawal ber­jaga. Amin.