Saturday, March 5, 2016

RENUNGAN MINGGU KE-4 PRAPASKA THN C/1



HARI MINGGU PRAPASKA IV Thn.C/1
Yos 5:9‑12; 2Kor 5:17‑21; Luk 15:1‑3.11‑32
Paroki  Kristus Raja Mbaumuku 6 Maret 2016
 
Buka
Tuhan melalui bacaan hari ini mengajak kita semua sesuai dengan tugas panggilan kita untuk menjadi pemimpin bagi diri sendiri bagi sesama. Untuk itu kita perlu berdamai dengan diri sendiri dan berdamai dengan sesama. Di hadapan Tuhan dan sesama kita adalah pendosa, kita adalah putra bungsu yang menghilang dari hadapan Tuhan karena dosa, kita juga bisa menjadi pendosa sebagai putra sulung yang selalu merasa lebih dari orang lain. Kita juga sering berdosa karena tak mampu menawarkan belas kasihan kepada sesama. Kita akui semuanya agar kita dilayakkan menerima Tuhan dalam prjamuan dan Firmannya hari ini.

Renungan

Ada begitu banyak pesan penting yang Tuhan sampaikan kepada kita melalui tiga bacaan hari ini. Kisah yang ditampilkan Yosua dalam bacaan pertama mengingatkan kita tentang peran seorang pemimpin yang diberi tanggung jawab dan harus bertanggung jawab atas kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya. Semua kita tahu Yosua mengambil-alih kepemimpinan dari tangan Musa. Yosua terpilih tidak melalui pemilu yang didahului dengan kampanye politik. Yosua menjadi pemimpin terpilih tanpa ada KPU dan Panwas, tanpa ada Tim sukses, tanpa ada deal-deal politik. Tanpa masalah, tanpa perkara, tanpa MK.
Pemilihan dan kepemimpinan Yosua berlegal standing yang tidak mungkin diragukan karena apa? Karena Yahwe sendiri menjadi otoritas tunggalnya. Yahwe sebagai otoritas menutup kemungkinan adanya pemain yang bisa bermain dalam menentukan pemimpin Israel itu. Kepemimpinan Yosua adalah kemimpinan yang didasarkan pada komitmen memperjuangkan hak hidup bangsa yang dipercayakan kepadanya.
Bukti komitmen Yosua sebagai pemimpin dalam tardisi perjanjian lama ditandai dengan sunat seperti dikatakan dalam bacaan pertama. Yosua adalah pemimpin terpilih untuk Israel. Terpilih di sini berarti sungguh-sungguh dipilih, dan bukan terpilih dalam pengertian kebetulan dipilih. Yosua adalah pemimpin betulan dan bukan pemimpin kebetulan yang sebetulnya hanya karena dibetul-betulkan. Yosua adalah pemimpin yang bersih karena Tuhan sendiri yang mentahirkannya dari perilaku, peritindak dan peribahasa yang berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Sebagai pemimpin betulan Yosua membuktikannya dalam tugas kepemimpinannya. Bangsa Israel yang sebelumnya bermental enak, tidak mau bekerja keras telah melakukan revolusi mental. Kalau sebelumnya mereka hanya bergantung pada manna, makanan pemberian Yahwe, semasa  kepemimpinan Yosua mereka makan dari hasil pekerjaan mereka sendiri. Yosua berhasil mengubah mental bangsa Israel dari mental pengemis pekemuran kepada Yahwe menjadi bangsa yang mengolah tanah Kanaan sebagai sumber kehidupan. Yosua berhasil karena dia hanya menaruh komitmen kepada Yahwe untuk melayani kepentingan bangsa Israel.  Yosua yang ditampilkan hari ini menjadi tipikal pemimpin ideal, terplih, bersih, bekerja keras, dan berjuang untuk rakyat bukan untuk  mengumpulkan harta dan melanggengkan kekuasaan dalam aneka permainan di ruang-ruang gelap.
Sebagai warga kita dan siapa saja merindukan pemimpin gaya Yosua yang bersih dari pelbagai praktik dan prilaku yang tidak bermartabat. Sungguh mengejutkan kalau kita membaca dua tulisan di harian Flores Pos Edisi Sabtu kemarin (5/3/2016) halaman 12 dan 14. Dua tulisan itu memuat pernyataan penting dari Petrus Salestinus, seorang Advokad Peradi dan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Dalam tulisan berjudul: “Politik Pencitraan Dominasi tata Kelola Pemerintahan di Flores” dia menegaskan bahwa  budaya dan peradaban di Flores telah dikacaukan oleh sistem tata kelola pemerintahan yang lebih mengutamakan persoalan politik pencitraan diri dan tebar pesona, sementara persoalan budaya dan peradaban diabaikan. Lebih lanjut dikatakannya, “selama bertahun-tahun terlebih-lebih para bupati yang lahir dari pilkada ke pilkada belum satu pun secara sungguh-sungguh menata dan mengurus kota dan masyarakatnya dengan memadukan budaya dan peradaban.” Kebersihan, keindahan, dan keteraturan diabaikan.
Pada bagian lain ia menegaskan, pada tingkat lokal elite politik di Flores lebih dominan menerapkan politik gaya kodok.  Ciri khas politik gaya kodok menurut pakar hukum ini ditandai oleh karakter birokrat yang hanya mengabdi (menjilat ke atas), menyikut ke samping dan menginjak ke bawah. Menjilat ke atas demi jabatan, menyikut ke samping takut disaingi, menginjak ke bawah biar terkesan punya kuasa. Dampak dari politik gaya kodok ini akan melahirkan birokrat yang minim inovasi, miskin kreativitas. Birokrat lebih takut kepada atasannya daripada kepada masyarakat yang harus dilayani.  Krena itu, persoalan keadilan, kejujuran, korupsi, kesejhateraan sosial untuk NTT tergolong masalah akut  yang tidak tersentuh oleh pemerintah karena sering alpa dan tidak hadir dalam masalah konkret rakyat. Tokoh Yosua harus menjadi anutan para pemimpin masa kini.
Kalau budaya dan peradaban yang baik telah dikacabalaukan oleh kepentingan kekuasaan, harta, dan jabatan, maka itu artinya kita tidak bisa berdamai dengan apa saja dan dengan siapa saja. Kalau nafsu akan harta menguasai hidup manusia maka semua kekayaan alam akan dikeruk tanpa mempertimbangkan dampak ekologisnya. Kalau nafsu kuasa menguasai hidup manusia maka sesama akan dieksploitasi diperalat tanpa mepertimbangkan efek sosiologis kemasyarakatannya. Kalau jabatan menjadi harga mati yang harus diperjuangkan maka teriakan-teriakan orang kecil di jalanan yang menuntut kebenaran akan dianggap angin lalu. Kalau semuanya itu menguasai manusia, maka menurut Santu Paulus orang seperti itu telah membangun benteng pemisah dengan Tuhan. Hal serupa menguasai jemaat Korintus sehingga melalui bacaan kedua Paulus mengingatkan agar manusia segera berdamai dengan Allah. Berilah dirimu agar segera didamiakan dengan Allah.
Kelompok orang Farisi dan ahli Taurat dalam injil, selalu diposisikan berseberangan dengan Yesus. Mereka itu tergolong oposan yang sulit berdamai dengan gaya dan kehadiran Yesus. Tampak jelas dalam injil tadi kelompok orang Farisi dan ahli taurat itu bersungut-sungut menyaksikan Yesus membuat terobosan mau berdamai bahkan makan bersama dengan para pendosa.
Yesus melawan cara pikir kelompok itu sekaligus menyadarkan mereka dengan mengangkat sebuah kisah, alegori yang dengan tiga tokoh kunci yaitu anak bungsu, anak sulung, dan sang ayah. Yesus mendidik mereka dengan menyimak pesan sebuah cerita dan berusaha mengindentifasikan diri dengan tokoh-tokah cerita. Ada tiga tokoh yang layak menjadi permenungan kita: (a) anak bungsu yang berfoya-foya karena berkekayaan, (b) anak sulung yang merasa diri paling setia kepada bapa, dan (c) bapa yang baik hati, penuh belas kasih.
Bagi Yesus perilaku para pendosa yang dikunjungi-Nya, dan perlikalu  orang Frisi dan ahli Taurat  yang brsungut-sungut itu terwakilkan dalam diri  anak bungsu dan anak sulung. Dan Yesus sendiri ditampilkan sebagai seorang Ayah yang berbelas kasih. Kita bersyukur karena kita juga dibantu untuk merenungkan diri kita. Masing-masing kita dapat bercermin pada tiga tokoh tersebut:
(1) Anak bungsu/yang hilang: mungkin kita seperti anak bungsu yang telah berfoya-foya memuaskan diri dengan kekayaan yang telah kita miliki misalnya untuk judi, perselingkuhan, mabuk-mabukan, dsb., tetapi mungkin juga telah menghamburkan, boros waktu, tenaga untuk sesuatu yang kurang berguna bagi kesehatan, keselamatan, kesejahteraan atau kebahagiaan sejati hidup kita. 
(2) Anak sulung: rasanya kebanyakan dari kita merasa diri seperti ‘anak sulung’, merasa lebih baik, lebih setia, lebih taat lebih rajin lebih jujur dst. tetapi mungkin dalam hati sebenarnya yang dicari adalah pujian untuk menyombongkan diri bahwa diri kita lebih dari  orang lain. Kalau orang sudah merasa semua lebih dari orang lain maka orang itu cenderung tidak mau bergabung dengan orang lain seperti ‘anak sulung’  Perasaan dan penghayatan macam itulah yang menjadi akar kesombongan atau dosa; orang sombong memang tidak mau ‘menyatu’ dengan teman-teman atau sahabat-sahabat melainkan menyendiri, sebagaimana dalam perumpamaan Injil hari ini ‘anak sulung’ diminta menggabungkan diri dalam pesta pertobatan adiknya. Ia justru memberontak, tidak mau bergabung. Orang yang demikian memang sulit menyadari diri sebagai yang berdosa, padahal ‘cara hidup atau cara bertindaknya’ telah menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Cara hidup  model anak sulung ini umumnya mendominasi  cara bertindak   orang yang merasa lebih  dewasa, senior, pemimpin atau atasan, pandai, berkedudukan, berpangkat, kaya.
(3) Bapa yang penuh belas kasih: bapa yang penuh belas kasih, dengan gembira, hati dan tangan terbuka menyambut anaknya yang ‘hilang’ pulang kembali memang merupakan gambaran dari Allah yang Mahapengasih dan Mahapengampun. Sebagai umat beriman, orang yang beriman pada Yesus Kristus, kiranya kita semua dipanggil untuk menjadi ‘gambar Allah Pengasih dan Pengampun’., bukan hanya pada imam yang berada di kamar pengakuan. “Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, ampun menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan” Kasih pengampunan merupakan ciri khas hidup iman Kristiani, iman pada Yesus Kristus.
Kita bangga pada tokoh Yosua sebagai pemimpin. Semua kita dalam cara yang berbeda menjadi pemimpin minimal untuk diri kita sendiri sebelum memimpin orang lain. Pemimpin yang baik adalah yang bisa berdamai dengan Tuhan dan sesama. Semoga kita bisa memetik pesan penting dari Firman Tuhan hari ini. Amin.

                                                                                    
 Rm.Bone Rampung, Pr