HARI MINGGU PRAPASKA
IV Thn.C/1
Yos 5:9‑12; 2Kor
5:17‑21; Luk 15:1‑3.11‑32
Paroki Kristus
Raja Mbaumuku 6 Maret 2016
Buka
Tuhan melalui bacaan
hari ini mengajak kita semua sesuai dengan tugas panggilan kita untuk menjadi
pemimpin bagi diri sendiri bagi sesama. Untuk itu kita perlu berdamai dengan
diri sendiri dan berdamai dengan sesama. Di hadapan Tuhan dan sesama kita
adalah pendosa, kita adalah putra bungsu yang menghilang dari hadapan Tuhan
karena dosa, kita juga bisa menjadi pendosa sebagai putra sulung yang selalu
merasa lebih dari orang lain. Kita juga sering berdosa karena tak mampu
menawarkan belas kasihan kepada sesama. Kita akui semuanya agar kita dilayakkan
menerima Tuhan dalam prjamuan dan Firmannya hari ini.
Renungan
Ada begitu banyak pesan penting yang Tuhan
sampaikan kepada kita melalui tiga bacaan hari ini. Kisah yang ditampilkan
Yosua dalam bacaan pertama mengingatkan kita tentang peran seorang pemimpin
yang diberi tanggung jawab dan harus bertanggung jawab atas kehidupan dan
kesejahteraan rakyatnya. Semua kita tahu Yosua mengambil-alih kepemimpinan dari
tangan Musa. Yosua terpilih tidak melalui pemilu yang didahului dengan kampanye
politik. Yosua menjadi pemimpin terpilih tanpa ada KPU dan Panwas, tanpa ada
Tim sukses, tanpa ada deal-deal politik. Tanpa masalah, tanpa perkara, tanpa
MK.
Pemilihan dan kepemimpinan Yosua berlegal
standing yang tidak mungkin diragukan karena apa? Karena Yahwe sendiri menjadi
otoritas tunggalnya. Yahwe sebagai otoritas menutup kemungkinan adanya pemain
yang bisa bermain dalam menentukan pemimpin Israel itu. Kepemimpinan Yosua
adalah kemimpinan yang didasarkan pada komitmen memperjuangkan hak hidup bangsa
yang dipercayakan kepadanya.
Bukti komitmen Yosua sebagai pemimpin dalam
tardisi perjanjian lama ditandai dengan sunat seperti dikatakan dalam bacaan
pertama. Yosua adalah pemimpin terpilih untuk Israel. Terpilih di sini berarti
sungguh-sungguh dipilih, dan bukan terpilih dalam pengertian kebetulan dipilih.
Yosua adalah pemimpin betulan dan bukan pemimpin kebetulan yang sebetulnya
hanya karena dibetul-betulkan. Yosua adalah pemimpin yang bersih karena Tuhan
sendiri yang mentahirkannya dari perilaku, peritindak dan peribahasa yang
berlawanan dengan kehendak Tuhan.
Sebagai pemimpin betulan Yosua membuktikannya
dalam tugas kepemimpinannya. Bangsa Israel yang sebelumnya bermental enak,
tidak mau bekerja keras telah melakukan revolusi mental. Kalau sebelumnya mereka
hanya bergantung pada manna, makanan pemberian Yahwe, semasa kepemimpinan Yosua mereka makan dari hasil
pekerjaan mereka sendiri. Yosua berhasil mengubah mental bangsa Israel dari
mental pengemis pekemuran kepada Yahwe menjadi bangsa yang mengolah tanah Kanaan
sebagai sumber kehidupan. Yosua berhasil karena dia hanya menaruh komitmen
kepada Yahwe untuk melayani kepentingan bangsa Israel. Yosua yang ditampilkan hari ini menjadi
tipikal pemimpin ideal, terplih, bersih, bekerja keras, dan berjuang untuk
rakyat bukan untuk mengumpulkan harta
dan melanggengkan kekuasaan dalam aneka permainan di ruang-ruang gelap.
Sebagai warga kita dan siapa saja merindukan
pemimpin gaya Yosua yang bersih dari pelbagai praktik dan prilaku yang tidak
bermartabat. Sungguh mengejutkan kalau kita membaca dua tulisan di harian Flores
Pos Edisi Sabtu kemarin (5/3/2016) halaman 12 dan 14. Dua tulisan itu
memuat pernyataan penting dari Petrus Salestinus, seorang Advokad Peradi dan
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia. Dalam tulisan berjudul: “Politik
Pencitraan Dominasi tata Kelola Pemerintahan di Flores” dia menegaskan
bahwa budaya dan peradaban di Flores
telah dikacaukan oleh sistem tata kelola pemerintahan yang lebih mengutamakan
persoalan politik pencitraan diri dan tebar pesona, sementara persoalan budaya
dan peradaban diabaikan. Lebih lanjut dikatakannya, “selama bertahun-tahun
terlebih-lebih para bupati yang lahir dari pilkada ke pilkada belum satu pun
secara sungguh-sungguh menata dan mengurus kota dan masyarakatnya dengan
memadukan budaya dan peradaban.” Kebersihan, keindahan, dan keteraturan
diabaikan.
Pada bagian lain ia menegaskan, pada tingkat
lokal elite politik di Flores lebih dominan menerapkan politik gaya kodok. Ciri khas politik gaya kodok menurut pakar
hukum ini ditandai oleh karakter birokrat yang hanya mengabdi (menjilat ke atas),
menyikut ke samping dan menginjak ke bawah. Menjilat ke atas demi jabatan,
menyikut ke samping takut disaingi, menginjak ke bawah biar terkesan punya
kuasa. Dampak dari politik gaya kodok ini akan melahirkan birokrat yang minim
inovasi, miskin kreativitas. Birokrat lebih takut kepada atasannya daripada
kepada masyarakat yang harus dilayani. Krena itu, persoalan keadilan, kejujuran, korupsi,
kesejhateraan sosial untuk NTT tergolong masalah akut yang tidak tersentuh oleh pemerintah karena
sering alpa dan tidak hadir dalam masalah konkret rakyat. Tokoh Yosua harus
menjadi anutan para pemimpin masa kini.
Kalau budaya dan peradaban yang baik telah
dikacabalaukan oleh kepentingan kekuasaan, harta, dan jabatan, maka itu artinya
kita tidak bisa berdamai dengan apa saja dan dengan siapa saja. Kalau nafsu
akan harta menguasai hidup manusia maka semua kekayaan alam akan dikeruk tanpa
mempertimbangkan dampak ekologisnya. Kalau nafsu kuasa menguasai hidup manusia
maka sesama akan dieksploitasi diperalat tanpa mepertimbangkan efek sosiologis
kemasyarakatannya. Kalau jabatan menjadi harga mati yang harus diperjuangkan
maka teriakan-teriakan orang kecil di jalanan yang menuntut kebenaran akan
dianggap angin lalu. Kalau semuanya itu menguasai manusia, maka menurut Santu
Paulus orang seperti itu telah membangun benteng pemisah dengan Tuhan. Hal
serupa menguasai jemaat Korintus sehingga melalui bacaan kedua Paulus
mengingatkan agar manusia segera berdamai dengan Allah. Berilah dirimu agar
segera didamiakan dengan Allah.
Kelompok orang Farisi dan ahli Taurat dalam
injil, selalu diposisikan berseberangan dengan Yesus. Mereka itu tergolong
oposan yang sulit berdamai dengan gaya dan kehadiran Yesus. Tampak jelas dalam
injil tadi kelompok orang Farisi dan ahli taurat itu bersungut-sungut
menyaksikan Yesus membuat terobosan mau berdamai bahkan makan bersama dengan
para pendosa.
Yesus melawan cara pikir kelompok itu
sekaligus menyadarkan mereka dengan mengangkat sebuah kisah, alegori yang dengan
tiga tokoh kunci yaitu anak bungsu, anak sulung, dan sang ayah. Yesus mendidik
mereka dengan menyimak pesan sebuah cerita dan berusaha mengindentifasikan diri
dengan tokoh-tokah cerita. Ada tiga tokoh yang layak menjadi
permenungan kita: (a) anak bungsu yang berfoya-foya karena berkekayaan, (b) anak
sulung yang merasa diri paling setia kepada bapa, dan (c) bapa yang baik hati,
penuh belas kasih.
Bagi Yesus perilaku
para pendosa yang dikunjungi-Nya, dan perlikalu orang Frisi dan ahli Taurat yang brsungut-sungut itu terwakilkan dalam
diri anak bungsu dan anak sulung. Dan Yesus
sendiri ditampilkan sebagai seorang Ayah yang berbelas kasih. Kita bersyukur
karena kita juga dibantu untuk merenungkan diri kita. Masing-masing kita dapat
bercermin pada tiga tokoh tersebut:
(1) Anak
bungsu/yang hilang: mungkin kita seperti anak bungsu yang telah berfoya-foya
memuaskan diri dengan kekayaan yang telah kita miliki misalnya untuk judi, perselingkuhan,
mabuk-mabukan, dsb., tetapi mungkin juga telah menghamburkan, boros waktu,
tenaga untuk sesuatu yang kurang berguna bagi kesehatan, keselamatan,
kesejahteraan atau kebahagiaan sejati hidup kita.
(2) Anak
sulung: rasanya kebanyakan dari kita merasa diri seperti ‘anak sulung’, merasa
lebih baik, lebih setia, lebih taat lebih rajin lebih jujur dst. tetapi mungkin
dalam hati sebenarnya yang dicari adalah pujian untuk menyombongkan diri bahwa
diri kita lebih dari orang lain. Kalau orang
sudah merasa semua lebih dari orang lain maka orang itu cenderung tidak mau
bergabung dengan orang lain seperti ‘anak sulung’ Perasaan dan penghayatan macam itulah yang
menjadi akar kesombongan atau dosa; orang sombong memang tidak mau ‘menyatu’
dengan teman-teman atau sahabat-sahabat melainkan menyendiri, sebagaimana dalam
perumpamaan Injil hari ini ‘anak sulung’ diminta menggabungkan diri dalam pesta
pertobatan adiknya. Ia justru memberontak, tidak mau bergabung. Orang yang
demikian memang sulit menyadari diri sebagai yang berdosa, padahal ‘cara hidup
atau cara bertindaknya’ telah menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Cara hidup model anak sulung ini umumnya
mendominasi cara bertindak orang
yang merasa lebih dewasa, senior,
pemimpin atau atasan, pandai, berkedudukan, berpangkat, kaya.
(3) Bapa yang
penuh belas kasih: bapa yang penuh belas kasih, dengan gembira, hati dan tangan
terbuka menyambut anaknya yang ‘hilang’ pulang kembali memang merupakan
gambaran dari Allah yang Mahapengasih dan Mahapengampun. Sebagai umat beriman,
orang yang beriman pada Yesus Kristus, kiranya kita semua dipanggil untuk
menjadi ‘gambar Allah Pengasih dan Pengampun’., bukan hanya pada imam yang berada
di kamar pengakuan. “Berkat kuasa-Mu juga, cinta mengalahkan kebencian, ampun
menaklukkan balas dendam, dan saling kasih mengenyahkan perselisihan” Kasih
pengampunan merupakan ciri khas hidup iman Kristiani, iman pada Yesus Kristus.
Kita bangga
pada tokoh Yosua sebagai pemimpin. Semua kita dalam cara yang berbeda menjadi
pemimpin minimal untuk diri kita sendiri sebelum memimpin orang lain. Pemimpin yang
baik adalah yang bisa berdamai dengan Tuhan dan sesama. Semoga kita bisa memetik
pesan penting dari Firman Tuhan hari ini. Amin.
Rm.Bone Rampung, Pr