MENEMUKAN KEMBALI
CINTA KELUARGA KATOLIK
DI TENGAH
TANTANGAN DAN GODAAN ZAMAN
DALAM SEMANGAT
KELUARGA KUDUS
MENUJU KELUARGA KATOLIK RAJAWALI
=========================================
=========================================
BAHAN REKOLEKSI
UNTUK KELOMPOK PASUTRI
MENYAMBUT
HARI MINGGU KELUARGA
PAROKI KSATRIAN,
MALANG29 DESEMBER 2012
1. Pengantar
Mengapa dan untuk apa saat ini saya berada
di sini bersama Bapak dan Ibu sekalian? Inilah jawabannya. Tanggal 18 Desember
satu pesan singkat masuk ke handphone saya. Pesannya: “selamat pagi romo
bonefasius, utk tema rekoleksi, 29 nanti: menemukan kembali cinta keluarga di tengah tantangan dan godaan
zaman. rm bone menyoroti dalam perspektif iman. Di sesi 2 stlh rm elent.tks
(lukas panitia/sie keluarga paroki). Sehari sebelumnya Bapak Theo memang
menghubungi saya untuk meminta kesediaan memberi rekoleksi. Waktu itu saya
sampaikan bahwa kalau malam saya tidak bisa karena pagi hari minggu 30 Desember
saya merayakan misa di Cor Jesu. Pak Theo mengenal saya karena kebetulan saya
yang diminta memimpin ibadat ulang tahun pernikahan mereka yang ke-32 tahun
beberapa waktu lalu. Karena itu, saya merasa bahwa saya diminta bukan atas
pertimbangan keahlian dan kepakaran, tetapi semata-mata kebetulan. Karena itu
saya menerima tawawaran panitia dengan prinsip tiada rotan akar pun jadi.
Karena itu kalau apa yang saya sampaikan sebentar tidak sesuai dengan harapan
panitia dan semua peserta, itu harus dimaklumi. Saya hanya punya keyakinan
bahwa niat baik kita semua untuk hadir dan membuka hati mendengarkan apa yang
disampaikan akan membuat pertemuan ini bermakna bagi kita.
2. Catatan dan Penegasan Soal Tema
Tema yang ditawarkan kepada saya melalui
pesan singkat atau SMS tadi adalah: “MENEMUKAN
KEMBALI CINTA KELUARGA DI TENGAH
TANGTANGAN DAN GODAAN ZAMAN. Tema
ini terdiri atas 10 kata yang memuat 3 kelompok kata atau penggalan pengertian
itu (1) menemukan kembali (2) Cinta Keluarga (3) Di Tengah Tantangan dan Godaan
Zaman. Jika tema ini dicermatai dari kaca mata bahasa dan melihat keutuhan
maksud yang hendak dicapai maka pada awal rekoleksi ini saya memberi catatan
(1)Tema ini bukanlah sebuah kalimat karena diawali dengan kata kerja yang dalam
ilmu bahasa menduduki fungsi predikat. Sebuah kalimat yang lengkap harus
memilki Subjek. Tema yang hendak kita renungkan ini justru tanpa subjek. Kalau
mau dijadikan sebagai kalimat maka harus ada subjeknya. Dan subjek itu harus
menjawab pertanyaan “siapa” yang akan menemukan kembali Cinta keluarga itu di tengah
tantangan dan godaan zaman? Dalam konteks rekoleksi ini bapa dan ibulah yang
menjadi subjeknya. (2) Jika dikaitkan
dengan permintaan agar saya menyorotinya dalam konteks iman katolik maka tema
harus diberi label khusus yang menandakan bahwa pesertanya memang beridentitas
Katolik. Peserta sebagai subjek beridentitas Katolik mengharuskan kita
menambahkan unsur katolik itu di belakang kata Keluarga. (3) Tema kita, belum
menampakkan adanya rujukan yang tepat sebagai model kehidupan bekeluarga yang
ideal (4)Tema ini belum menampakkan adanya progres, atau kondisi ideal, yang
dirindukan untuk diwujudkan setelah usaha menemukan cinta itu berhasil
dilakukan para peserta. Karena itu, kita mesti merumuskan kembali tema kita
agar arah permenungkan kita bisa sampai di terminalnya yang tepat. Terminal
kita adalah Keluarga Katolik yang ideal ibarat Rajawali yang terbang tinggi.
Inti atau pokok persoalan kita sesungguh
berkaitan dengan satu kata kuci pada tema ini yaitu kata CINTA. Dari tema ini
kita dapat mengatakan bawah CINTA itu telah dan pernah menjadi milik Keluarga.
Menarik, bahwa tema kita diawali dengan kata kerja aktif yaitu Menemukan
kembali. Kata menemukan kembali sesuatu berarti sesuatu itu pernah ada dan
dimiliki. Menemukan kembali Cinta berarti cinta itu pernah ada dan menjadi miliki
si pencarinya. Menemukan kembali Cinta sama artinya Cinta yang pernah ada dan
menjadi milik itu telah Hilang. Menemukan adalah buah dari aktivitas mencari.
Menemukan kembali cinta dalam keluarga berarti orang berhasil mencari cinta
yang hilang.
Keberhasilan mencari dan menemukan cinta
yang hilang dalam konteks kehidupan keluarga Katolik tentu saja harus merujuk
pada model kehidupan keluarga yang ideal yang dijadikan sebagai keluarga
anutan. Sebagai orang beriman, dan dalam konteks kehidupan keluarga katolik
kita tentu saja harus selalu merujuk pada kehidupan keluarga kudus sebagai
rujukan, atau keluarga anutan kita. Kita berjuang mencari cinta yang menjadi
milik keluarga kita dengan melihat model kehidupan keluarga Nasareth.
Tema tentang cinta keluarga tentu amat
revelan dalam dan sepanjang kehidupan umat beriman. Mengapa? Karena Gereja,
sungguh menyadari bahwa keluarga adalah basis gereja sebagai ecclesia
domestica. Karena keluarga sebagai basis gereja, perhatian terhadap masalah
kehidupan keluarga harus selalu menjadi prioritas dalam kehidupan orang
beriman. Dalam konteks itu pula, saya menerima tawaran untuk memberikan
rekoleksi ini. Meskipun demikian, para peserta rekoleksi jangan mengharapkan
saya akan mengulas masalah keluarga itu secara teoretis ilmiah karena forum ini
bukanlah forum ilmiah. Saya berkeyakainan bahwa semua peserta adalah praktisi
dalam dunia kehidupan keluarga. Peserta sekalian adalah arsitek kehidupan
keluarga. Saya hanyalah orang luar yang coba melihat dan menempatkan keluarga
itu dalam perspektif rohani. Agar dimensi dan perspektif rohani ini sungguh
mendasari pembicaraan kita dalam konteks tema yang kita rumuskan, izinkanlah
saya memperluas Tema kita MENEMUKAN KEMBALI CINTA KELUARGA KATOLIK DI
TENGAH TANTANGAN DAN GODAAN ZAMAN DALAM SEMANGAT KELUARGA KUDUS MENUJU KELUARGA
KATOLIK RAJAWALI
Tema yang dipeluas ini sengaja saya
rumuskan untuk membingkai seluruh pikiran dan pemahaman kita agar pembicaraan
kita tentang keluarga tidak membias. Untuk apa kita meneladani Keluarga Kudus?
Jawabannya untuk mewujudkan Keluarga Katolik yang kudus yang baik, yang unggul.
Identitas dan atribut Katolik itu
penting ditekankan agar kita selalu memaknai kembali seluruh ziarah kehidupan
keluarga kita. Keluarga Katolik model apa dan macam mana yang harus kita
bangun? Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dan wajib merujuk pada spirit,
semangat, mentalitas yang mendasari dan mencitrakan kehidupan keluarga kita
yang beridentitas katolik itu. Saya mencoba menawarkan sebuah pola, model, dan kehidupan
keluarga katolik dalam sebuah analogi dengan mengambil spirit seekor burung
Rajawali. Itulah sebabnya dalam tema yang diperluas tadi kita temukan kata
Rajawali. Baiklah kita diajak untuk berkilas balik melihat identitas kita sebagai keluarga
katolik sebelum kita memaknai Keluarga berspirit Rajawali.
3. Keluarga
Katolik dan Perwujudan Identitasnya
Dalam
sejarah perkembangan kekristenan, kita menemukan bahwa gereja perdana bermula
dari sebuah perkumpulan rumah tangga. Ketika itu belum ada gedung aula, ruang
kusus, dan gedung gereja. Orang
berkumpul di rumah-rumah, maka disebut pula jemaat rumah. Paulus pernah
menulis: Salam juga kepada jemaat di
rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah
pertama dari daerah Asia untuk Kristus (Roma 16:5). Rumah bukan hanya tempat
untuk berkumpul, tetapi dalam rumah itu juga ada keluarga yang membentuk
persekutuan berdoa dan belajar. Selain tuan rumah, hadir pula orang-orang yang
bekerja di rumah itu, para tetangga dan sanak keluarga lainnya. Intinya adalah
keluarga itu sendiri yaitu orang tua dan anak-anak mereka. Siapa yang memimpin
dan mengajar persekutuan itu? Ayah dalam keluarga itulah yang memimpin. Hal ini
meneruskan kebiasaan keluarga Yahudi, di mana seorang ayah memberikan
pendidikan iman kepada anak-anaknya.
Pada
waktu itu belum ada komisi keluarga dan komisi
kateketik seperti sekarang yang
menyiapkan bahan katekese tentang kehidupan keluarga. Masa gereja perdana
keluargalah yang menjadi komisi kateketik yang melakukan katekese berkaitan
dengan iman. Anak-anak belajar tentang segala hal berkaitan dengan iman di
rumah mereka. Gurunya adalah ayah dan ibu mereka sendiri. Kehidupan keluarga
sehari-hari dijadikan ruangan belajar. Dengan demikian ayah dan ibu memiliki
peranan penting dalam pendidikan iman. Ayah dan ibu menjadi ''guru dan imam''
bagi anak-anaknya. Keluarga menjadi wadah utama pendidikan agama. Persekutuan
keluarga masa itu juga menjadi wadah bagi orang-orang yang belum Kristen untuk
mengenal pokok-pokok dasar ajaran Kristen. Dengan demikian keluarga menjadi
sebuah gereja kecil, gereja rumah (ecclesia domestica).
Sejarah
menunjukkan kepada kita bahwa keluarga memiliki peran penting dalam kehidupan
gereja. Kekristenan berkembang mulai dari gereja dalam keluarga (ecclesia
domestica). Dalam rangka mengingatkan kembali betapa pentingnya kehidupan
keluarga dalam perkembangan gereja, maka ditetapkanlah masa khusus bagi penghayatan panggilan hidup keluarga. Dalam
kesadaran seperti inilah kita bisa memahami mengapa gereja mentapkan adanya
tahun keluarga, minggu keluarga.
Bagaimanakah
identitas keluarga sebagai ''gereja kecil''? Sama seperti hakikat gereja adalah
persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus yang dipanggil untuk
menjadi garam dan terang dunia, demikian pulalah hakikat keluarga sebagai
sebuah gereja kecil. Dalam penghayatan sebagai gereja kecil, keluarga Katolik
seharusnya memiliki identitas. Pertama, melakukan kehendak Allah. Keluarga sebagai
gereja kecil memiliki identitas melakukan kehendak Allah, yaitu dengan
mendengarkan Firman Allah dan melakukannya. Identitas keluarga yang melakukan
kehendak Allah penting untuk dihayati, teristimewa dalam menyikapi
perubahan-perubahan zaman yang pada gilirannya disikapi sebagai tantangan dan
godaan yang meluluhlantakkan Cinta. Firman Allah menjadi dasar dalam menyikapi
pelbagai tuntutan perubahan. Dalam rangka melakukan kehendak Allah, keluarga
perlu meneladani kedekatan relasi dengan Tuhan dan sesama. Rekoleksi seperti
ini menjadi bentuk konkretnya.
Keluarga
yang melakukan kehendak Allah juga bisa dilihat perwujudannya antara lain dalam
komunikasi satu dengan yang lain serta perwujudan semangat solidaritas. Jika
dalam keluarga tidak terjadi komunikasi yang baik, biasanya akan muncul
kesalahpahaman, saling mencurigai dan tidak mempercayai hingga terjadilah
konflik yang berkepanjangan. Dengan demikian, keluarga sebagai gereja kecil
yang melakukan kehendak Allah perlu menerjemahkan kehendak Allah dalam komunikasi
yang penuh kasih sehingga tercipta suasana hidup bersama yang akrab dan rukun. Hidup
yang dasarkan atas cinta dan diwarnai cinta. Dengan hidup dalam kehendak Allah,
maka setiap anggota saling memahami dan menghargai. Hanya dalam cinta dan
karena cinta orang menghargai betapa pentingnya kerendahan hati, hanya dalam
dan akrena cinta orang mengaumi betapa dasyatnya kesabaran. Hanya dalam dan
karena cinta orang memilih melayani dalam ketulusan. Cinta adalah awal dari
segala kebaikan dan Cinta yang sama menjadi tujuan akhir dari segala kebaikan.
Allah adalah Cinta itu yang menjadi awal dan tujuan kehidupan kita manusia. Di mana ada Cinta di sana akan lahir dan
mengalir segala yang baik. Di mana orang melakukan segala hal yang baik, di
sana ia sedang mengarahkan hidupnya menuju perjumpaannya dengan sang Cinta.
Sebaliknya, ketika Cinta menghilang atau terdesak dalam tumpukan sampah
kehidupan atas nama kemajuan di sana segala perbuatan dan perilaku kehidupan
yang baik semakin memudar.
Dalam
rangka melakukan kehendak Allah, maka penting pula keluarga meneladani
solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas itu tampak dalam segala
peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan. Solidaritas terungkap antara
lain dalam sikap empati dan murah hati. Hal ini bukan saja merupakan sikap
kepada sesama anggota keluarga tetapi juga berkembang dalam solidaritas kepada
semua orang dalam rangka meneladani persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati
adalah wujud pelaksanaan perintah mengasihi Tuhan dan sesama (Matius 22:34-40).
Keluarga
Katolik yang otentik adalah keluarga yang membuka diri dengan penuh cinta kasih
dan komitmen baik kepada masyarakat maupun gereja. Dengan demikian, kehangatan
kasih dan persaudaraan bukan hanya untuk anggota keluarga tetapi juga bagi
masyarakat sekitarnya. Ini berarti keluarga tidak membangun persekutuan yang
eksklusif tetapi sebuah persekutuan yang inklusif. Dalam hal ini keluarga
terbuka untuk siapa saja yang ingin melakukan kehendak Allah. Keterbukaan mau
menerima dan menghargai siapa saja terwujud pula dalam penerimaan, penghargaan
bahkan dialog dan kerja sama dengan keluarga-keluarga lain yang beritikad baik
untuk melakukan kehendak.
Kedua,
berkumpul dan menyebar. Dalam melakukan kehendak Allah, keluarga berada di
tengah masyarakat yang sedang mengalami gejolak perubahan zaman yang pesat.
Perubahan zaman ini dapat digambarkan seperti persekutuan para murid yang
berkumpul sebagai satu keluarga bersama Yesus. Dalam persekutuan itu para murid
menikmati kedamaian dan kenyamanan hidup dekat dengan Sang Guru namun
sewaktu-waktu juga menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan bahkan ada
saatnya mereka harus meninggalkan kenyamanan persekutuan untuk menyebar dalam
karya melakukan perintah Sang Guru (Matius 10:5-15). Mereka diutus untuk masuk
dalam kehidupan masyarakat, memberitakan kerajaan sorga yang membawa
kesembuhan, kebangkitan, pemulihan, dan kedamaian. Mereka diutus untuk berkarya
dalam masyarakat yang sedang menghadapi pelbagai persoalan. Mereka mengalami
banyak tantangan dan kesulitan bahkan penolakan di perjalanan, namun tidak
menghentikan karya membawa kabar baik bagi dunia dan melayani orang lain.
Dalam
gambaran kehidupan para murid ini ada dinamika kehidupan yang berkumpul dan
menyebar. Hal ini memberikan inspirasi pada dinamika kehidupan keluarga yang
berkumpul dan menyebar di dunia. Dalam panggilannya untuk melakukan kehendak
Allah, keluarga dipanggil untuk bersekutu dengan Allah namun juga siap menyebar
menjadi pelayan masyarakat, menunjukkan kasihnya pada sesama, menjadi garam dan
terang dunia (Matius 22:37-39).
Ketiga,
solider pada yang lemah. Keluarga tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab
untuk hidup solider terhadap orang lain. Solidaritas bukan hanya bagi anggota
keluarga yang lemah tapi juga semua kaum lemah di tengah masyarakat. Inilah
keluarga yang menyatu dengan sesama. Kalau kita melihat kehidupan Yesus, Ia
senantiasa memberikan perhatian dan pelayanannya kepada yang lemah. Penghayatan identitas keluarga
sebagai gereja kecil mestinya menyatu dalam kehidupan keluarga Kristen.
Jika
keluarga kita terbangun dengan baik, maka gereja pun akan maju dengan pesat
serta menjadi berkat bagi masyarakat. Itulah hubungan yang erat antara keluarga
dan gereja. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga besar. Agar
gereja menjadi keluarga besar maka keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya
harus hidup dalam semangat rajawali.
4. Apa dan Mengapa Rajawali?
Ketika orang menyebut dan mendengarkan kata rajawali pikiran kita
boleh jadi langsung membayangkan sesuatu yang menakutkatkan. Rajawali, atau
elang biasanya menjadi musuh para pemelihara ayam. Itulah gambaran negatif yang
kuat melekat pada pikiran dan perasaan kita. Yakinlah, hari ini dalam rekoleksi
ini saya akan menampilkan citra rajawali yang lain karena rajawali dilihat
secara rohani dalam kaitannya dengan ziarah kehidupan keluarga-keluarga
katolik.
Rajawali adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
sangat indah. Alkitab menuliskan mengenai rajawali sebanyak 27 kali, jauh lebih
banyak dibandingkan merpati atau jenis burung lainnya. Seekor rajawali dewasa
memiliki tinggi badan sekitar 90 cm, dan bentangan sayap sepanjang 2 meter. Ia
membangun sarangnya di puncak-puncak gunung. Sarang itu sangat besar sehingga
manusiapun dapat tidur di dalamnya. Sarang itu beratnya bisa mencapai 700 kg
dan sangat nyaman.
4.1 Apa yang Perlu dipelajari dari Rajawali
Dari semua teks yang berbicara tentang
Rajawali kita bisa temukan beberapa hal pokok atau pelajaran yang bermakna
dalam kaitannya dengan tema rekoleksi.
Idealisme dan harapan kita untuk hidup sebagai keluarga katolik yang
memilki dan dikuasai CINTA hanya akan terjadi kalau pasutri juga memiliki
keunggulan seekor Rajawali. Rajawali mengajarkan kita pelbagai nilai,
pelajaran, dan keunggulan yang dapat dijadikan semangat dalam meneladani
keluarga kudus.
(1)
Gaya Terbang Rajawali itu Unik.
Rajawali Tidak Hanya Terbang, tetapi juga
Melayang. Satu hal yang membedakan species rajawali dengan burung yang lain yaitu
species rajawali lebih banyak terbang dengan cara melayang, dengan membuka
lebar kedua sayapnya dan menggunakan tenaga angin sebagai kekuatan pendorong
bagi tubuhnya. Rajawali tidak terbang seperti layaknya burung-burung yang lain,
yang terbang dengan mengepak-kepakkan sayapnya dengan kekuatan sendiri. Hal
yang dilakukan rajawali ialah melayang dengan anggun, membuka lebar-lebar kedua
sayapnya dan menggunakan kekuatan angin untuk mendorong tubuhnya. Yang membuat
rajawali sangat spesial adalah ia tahu waktu yang tepat untuk meluncur terbang.
Ia berdiam di atas puncak gunung karang, membaca keadaan angin, dan pada saat
tepat ia mengepakkan sayapnya untuk mendorongnya terbang, lalu membuka sayapnya
lebar-lebar kemudian melayang dengan menggunakan kekuatan angin itu. Ini
dilakukan rajawali untuk menghemat tenaga yang dikeluarkannya mengingat
rajawali adalah burung penjelajah yang setiap harinya sanggup menempuh jarak
minimal 400 km lebih. Panggilan dan kodratnya untuk terbang jauh,
mengharuskannya memilih cara terbang yang lain daripada gaya terbang jenis
unggas lainnya. Ia menggunakan kekuatan yang ada di luar kemampuan dirinya
untuk bisa terbang tinggi dan menempuh jarak yang jauh.
Angin, juga menggambarkan
kesulitan-kesulitan dan pergumulan hidup. Bagi rajawali, badai adalah media
yang tepat untuk belajar menguatkan sayapnya. Dia terbang menembus badai itu,
melayang di dalamnya, melatih sayapnya untuk lebih kuat lagi. Orang "Pasutri
Katolik Rajawali" seharusnya mengucap syukur dalam menghadapi
berbagai-bagai pencobaan karena pencobaan sebagai media untuk menguatkan
sayap-sayap iman kita.
Dalam bahasa Alkitab angin sering
disebutkan sebagai penggambaran Roh Kudus. Kita dapat belajar untuk bekerja
sama dengan Roh Kudus dan membiarkan-Nya mengangkat kita lebih tinggi lagi,
semakin dekat dengan Tuhan. Seringkali kita 'terbang' dengan kekuatan kita
sendiri, hasilnya kita menemui banyak kelelahan, kekecewaan dan kepahitan dalam
hidup ini. Kita perlu belajar dari rajawali, kita mau untuk 'terbang' melintasi
kehidupan ini dengan mengandalkan Roh Kudus.
Kita ingin keluarga kita bertumbuh dalam
semangat seekor Rajawali maka mau tidak mau kita sebagai keluarga Katolik harus
mampu menunjukkan gaya terbang, citra diri dan kekhasan kita. Kenyataan dalam kehidupan menunjukkan bahwa kita
manusia seringkali hanya mengandalkan kekuatan sendiri dalam melakukan suatu
hal. Maka tidak heran jika manusia sering menemui serta mengalami keputusasaan,
kelelahan, kekecewaan dalam kehidupan. Belajar dari sang rajawali, maka kita
perlu juga terbang dengan mengandalkan sumber daya atau kekuatan-kekuatan yang
ada di sekitar kita seperti waktu orang lain, tenaga orang lain, modal orang
lain, kecakapan, ide atau bahkan kesempatan (opportunity) yang datangnya dari orang
lain. Dan sumber kekuatan utama kita adalah kekuatan Allah sendiri.
Dalam perspektif lain, terpaan angin juga
bisa kita gambarkan sebagai masalah dan hambatan dalam kehidupan manusia,
kehidupan keluarga-keluarga kita. Rajawali selalu belajar untuk memperkuat
sayap-sayapnya ketika terbang menerjang badai. Ketika kita manusia dihadapkan
pada berbagai masalah dan hambatan dalam hidup hendaknya kita juga selalu bisa
belajar menguatkan sayap-sayap mental, karakter serta kepribadian kita. Badai
kehidupan dan badai perkembangan zaman sudah, sedang, dan akan terus menerpa
keluarga-keluarga kita ketika gempuran global meruntuhkan semua batas pengaman
kehidupan keluarga kita. Kemajuan zaman bisa saja mematahkan sayap-sayap
idealisme kita untuk terbang tinggi dan jauh membawa anak-anak kita ke tempat
yang menjanjikan. Kemajuan teknologi komunikasi saat ini telah menjadikan bumi
dan dunia ini tidak lebih dari sebuah kampung global tanpa batas. Kemajuan
dunia teknologi di satu sisi amat positif karena telah mendekatkan yang jauh
tetapi di sisi lain telah memperlebar jarak yang dekat justru menjauh. Kita
sering senang karena bisa berkomunikasi dengan orang di tempat jauh karena
bantuan teknologi tetapi kita lupa dan tanpa sadar saat yang sama kita
menjauhkan diri dari orang yang paling dekat dengan kita. Kita ingat kasus
Bupati Garut yang menghebohkan beberapa minggu belakangan ini yang ketahuan
menikah siri dengan seorang gadis dan bercerai setelah 4 hari melalui informasi
yang disebarkan melalui jejaringan sosial facebook.
Suatu ketika seorang pembantu rumah tangga
mendatangi dokter karena pipi dan telinga kanannya luka kena strika panas.
Banyak orang menduga ia mengalami kekerasan dari majikannya. Setelah diselidiki
ternyata saat pembantu menyerika pakaian ada deringan handphone masuk.
Tanpa sadar ia mengarahkan strika panas ke telinganya. Ia mengira ia sedang
menggenggam handphone dan lupa bahwa ia memegang strika panas. Ini
contoh dampak teknologi yang menjauhkan orang dari hal paling dekat dengan dirinya. Sekarang ini orang bisa
duduk di satu meja makan, secara fisik dekat, tetapi mereka sebenarnya saling
menjauh karena setiap orang sibuk sms dengan orang di seberang lautan. Kemajuan
teknologi masa kini menurut saya telah membuat orang hidup dan bertindak setengah-setengah,
dan sebagian-sebagian. Dan kalau kita
jujur hal ini juga telah mendominasi kehidupan keluarga-keluarga kita. Sulit
rasanya sekarang kita temukan orang yang hidup dan bertindak penuh.
Kalau misalnya saat misa di gereja masih
ada deringan handphone yang membuat orang lain terganggu itu tandanya
pemiliknya datang tidak penuh, hadir setengah karena terlepas dari ia lupa
mematikan hpnya, orang akan menilai masih ada hal penting lain yang harus ia
lakukan. Teknologi berhasil membagi manusia berkeping-keping dan dipetak seakan
menjadi kapling-kapling. Hal yang sama juga bisa terjadi dalam keluarga. Bapa
bukannya tertawa dengan ibu yang ada bersama di meja makan atau di ruangan tamu
tetapi malahan justru tertawa dengan lawan bicara yang berada di tempat jauh.
Kalau itu sering terjadi maka yang ada di sana tidak lebih dari orang yang
setengah-setengah. Kalau tertawa dan marah sendiri tanpa lawan bicara yang
kelihatan, bisa saja membuat orang itu mendapat gelar bukan saja
setengah-setengah tetapi ada tambahan yang kurang sedap menjadi setengah gila.
Sebagai rajawali kita harus berjuang mengalahkan semua tantangan itu dengan
gaya terbang kita yang unik dan khas sebagai orang katolik. Orang-orang yang
menantikan TUHAN, mendapat kekuatan baru mereka seumpama rajawali yang naik
terbang dengan kekuatan sayapnya - Yesaya 40 : 31
(2) Rajawali Berpandangan Tajam dan
Terfokus
Rajawali dikarunia sepasang mata yang luar
biasa yang memiliki kekuatan atau jarak pandang hingga 10 kali lebih jauh dari
mata manusia. Tidak heran dengan kekuatan mata seperti itu seekor rajawali
sanggup mengintai mangsanya yang berjarak lebih dari 15 km. Dengan kemampuan
luar biasa seperti itu rajawali bisa melihat dan mengintai mangsanya sehingga
sangat jarang mangsa bisa lolos dari sergapan sang rajawali. Selain memiliki
pandangan yang tajam, jauh, rajawali juga sangat fokus terhadap calon
mangsanya. Dengan kata lain pada saat rajawali telah menetapkan sasaran yang
diinginkannya, buruan, fokus pandangannya akan selalu ditujukan kepada calon
mangsanya meskipun ia dihadapkan dengan berbagai halangan dan gangguan yang
ada.
Kemampuan rajawali dalam melihat jauh ke
depan bisa kita artikan sebagai visi dan tujuan yang jelas. Dalam perjalanan
menuju keberhasilan kita manusia atau keluarga
hendaknya membiasakan diri untuk selalu menetapkan tujuan yang ingin
dicapai dalam hidup. Banyak orang yang telah menetapkan tujuan dan memiliki
impian-impian di masa depan tetapi mengapa sebagian besar dari mereka pada
akhirnya gagal untuk mewujudkannya? Karena
pada orang tidak merumuskan visi dan cara pandang hidupnya secara benar.
Ketidaktajaman perumusan visi kehidupan membuat orang gagal mencapai tujuan.
Orang yang hidup tanpa visi yang jelas akan melakukan segalanya serba alamiah
dan terkesan rutinitas yang membawanya pada kebosanan. Dan kebosanan merupakan
ragi yang akan terus berkembang menjadikan roti kehidupan kita tidak dapat
berkembang sebagaimana yang kita
harapkan. Rajawali mengajak kita untuk memiliki ketajaman pandangan
terhadap rencana dan masalah kehidupan. Rencana kehidupan yang jelas tidak akan
memberi peluang untuk mengubahnya di tengah jalan. Kalau pasutri memiliki visi
dan ketajaman pandangan tentang Cinta yang mengikat mereka, maka cinta itu
tidak akan mudah terbang dan menghilang dari kehidupan mereka. Rajawali
membidik sasaran dalam fokus yang benar dan terus konsisten pada titik sasaran
yang mau dicapainya. Cinta akan abadi menjadi milik pasutri ketika kehidupan
pasutri berada dalam visi yang jelas.
(3) Anak Rajawali Harus Belajar Terbang
untuk Terbang
Di atas puncak gunung yang tinggi, telur
rajawali menetas dan muncullah anak rajawali. Ketika induk rajawali yakin
anaknya sudah bisa belajar terbang maka apa yang bisa ia lakukan.Yang ia
lakukan adalah terbang dengan kecepatan tinggi kecepatan tinggi menuju
sarangnya, ditabraknya sarang itu dan digoncang-goncangkannya. Kemudian ia
merenggut anaknya dari sarang dan dibawanya terbang tinggi. Kemudian, secara
tiba-tiba, ia menjatuhkan anaknya dari ketinggian. Anak rajawali akan berusaha
terbang tetapi jika gagal terbang dan induknya melihat anaknya mendekati
batu-batu karang, induk rajawali ini dengan cepat meraih anaknya kembali dan
dibawa terbang tinggi. Setelah itu dilepaskan lagi dan anaknya jatuh lagi. Tapi
sebelum anaknya menyentuh daratan, ia mengangkatnya kembali. Hal ini dilakukan
berulang-ulang, setiap hari. Hanya dalam waktu satu minggu anaknya sudah banyak
belajar, dan mulai memperhatikan bagaimana induknya terbang. Dalam jangka waktu
itu, sayap anak rajawali sudah kuat dan ia pun bisa terbang.
Kita mau agar keluarga-keluarga kita
menjadi keluarga Katolik Rajawali berarti juga kita berniat mengembangkan pola
pendidikan gaya induk rajawali terhadap anaknya. Kalau saat ini para pasutri
merasakan bahwa Cinta yang mengikatsatukan pasangan telah menjauh dan harus
segera dicari dan ditemukan di antara reruntuhan perkembangan zaman maka
sesungguhnya kita sedang dididik untuk bisa terbang ibarat anak rajawali. Jika
kita mengalami pencobaan dan goncangan berarti Bapa di surga sedang melatih
kita untuk bisa lebih dewasa lagi, agar kita bisa siap untuk terbang. Akan
sia-sia menjadi rajawali kalau dia tidak bisa terbang. Berarti akan sia-sia
menjadi orang Katolik, menjadi keluarga Katolik kalau kita tidak pernah dewasa
dalam iman! Akan tetapi satu hal ini yang harus menjadi keyakinan kita bahwa:
setiap pencobaan datang, Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya jatuh
tergeletak, tetapi seperti induk rajawali, pada saat kirits, ia menyambar
anaknya untuk diangkat kembali. Masa-masa sukar akan selalu ada di depan kita,
tapi kita akan menemukan diri kita selalu penuh dengan pengharapan jika kita
tetap berdiri pada kebenaran Firman Allah. Tuhan mengangkat dan mempermuliakan
kita melalui pencobaan-pencobaan yang kita alami termasuk ketika cinta memudar
bahakan teracam hilang dari kehidupan. Jika induk rajawali melatih anaknya
untuk mempergunakan sayapnya, Tuhan melatih kita untuk mempercayai Firman-Nya
dan mempergunakan iman kita. Menjadi keluarga Katolik Rajawali berarti pula
melihat keterlibatan Tuhan dalam setiap kesukaran hidup kita.
(4) Rajawali Diciptakan untuk Tinggal di
Tempat Tinggi
Berbeda dengan jenis burung lainnya,
rajawali diciptakan untuk terbang di tempat-tempat yang tinggi, jauh dari
pandangan mata telanjang dan jauh dari jangkauan para pemburu. Burung rajawali
memiliki keunikan, jika ia berada di alam bebas akan menjadi burung yang paling
bersih di antara burung lainnya, tetapi jika dia berada di dalam penjara
(kandang) dan terikat, ia akan menjadi burung yang paling kotor (hal ini
terjadi karena si rajawali mengkonsumsi makanan yang berbeda dengan burung
lainnya, ia akan memakan makanan seturut orang yang memeliharanya dalam kandang
dan kemungkinan itu makanan yang busuk.
Kita mau menjadi keluarga Katolik rajawali
artinya kita diajak untuk berada di tempat yang tinggi dan terbang tingi dalam
kebabasan sebagai anak Allah. Tuhan menciptakan kita untuk selalu terbang dan
berada di tempat yang tinggi, yaitu selalu berada dalam hadirat-Nya dan bebas
dari kontrol dunia. Sekian sering kita memasukkan diri dalam kandang-kandang
yang kita buat sendiri. Kita sering memasukan diri kita dalam kandang-kandang
dosa yang membuat kita terikat. Kelemahan manusiawi kita akan mengikat kita di
tempat yang paling rendah dan kotor dan
hampir pasti dalam keterikatan itu kita akan menikmati segala hal yang
berlawanan dengan rencana Tuhan. Kalau
itu yang terjadi itu sama artinya kita kehilangan cinta. Menjadi katolik
Rajawali adalah pilihan untuk terbang tinggi
menjangkau Hadirat Tuhan yang maha Tinggi.
(5) Rajawali Memiliki Waktu Khusus untuk
Pembaharuan
Ketika rajawali berumur 60 tahun, ia
memasuki periode pembaharuan. Seekor rajawali pada usia 60 tahun akan mencari
tempat tinggi dan tersembunyi di puncak gunung. Ia berdiam di sana, membiarkan
bulu-bulunya rontok satu demi satu. Rajawali ini mengalami keadaan yang menyakitkan
dan sangat mengenaskan selama kira-kira 1 tahun. Ia menunggu dengan sabar
selama proses ini berlangsung, dan setiap hari ia membiarkan sinar matahari
menyinari tubuhnya untuk mempercepat proses penyembuhannya. Melalui proses
alamiah seperti ini, bulu-bulu barupun tumbuh, dan rajawali menerima kekuatan
yang baru sehingga ia mampu bertahan hidup hingga umur 120 tahun, seperti
normalnya rajawali hidup.
Menjadi katolik rajawali berarti pula
menerima tuntutan pembaharuan diri dan cara hidup dari hari ke hari sepanjang
hidup. Kalau rajawali melakukan pembaharuan tunggu usia 60 tahun, kita manusia
justru melakukannya secara terus menerus. Mengapa? Karena rahasia kehidupan
kita hanya Tuhan yang tahu. Kita mau tunggu 60 tahun dengan pengandaian Tuhan
mengizinkan kita tiba pada usia itu. Tetapi jika Tuhan memanggil kita sebelum
60 tahun itu artinya kita kembali tanpa pernah melakukan pembaharuan.
Sebagaimana halnya rajawali, orang Katolik, keluarga Katolik
perlu memiliki waktu-waktu khusus untuk proses pembaharuan dalam hidup ini.
Membiarkan hal-hal lama yang tidak berguna lagi 'rontok' dan menanti-nantikan
dengan sabar pemulihan dari Tuhan. Pembaharuan adalah prinsip Ilahi, di mana
Allah memotong, memangkas, membersihkan ranting dan dahan yang kering dan lapuk
membusuk dan yang tidak menghasilkan
buah dalam hidup kita ini agar kita mampu berbuah lebih lebat lagi. Selama kita
hidup dan selama kita menantikan Dia, relakan proses pembaharuan itu
berlangsung dalam hidup kita. Rekoleksi atau kegiatan seperti ini merupakan
salah satu model upaya pembaharuan itu. Ketika kita menyadari bahwa cinta telah
meredup kita membutuhkan pembaharuan seperti ini.
(6) Rajawali Kadang-kadang Sakit Seperti
Manusia
Ketika rajawali mengalami sakit, ia terbang
ke suatu tempat yang sangat disukainya, dan di sana ia dengan leluasa menikmati
sinar matahari. Karena sinar matahari memainkan peranan
sangat penting dalam kehidupan rajawali, dan juga merupakan obat yang paling
mujarab baginya. Kekuatan sinar matahari itulah yang memulihkan kondisi fisik
sang rajawali. Dia selalu mencari sinar matahari untuk mempercepat proses
pemulihan kesehatannya.
Orang katolik Rajawali dan Keluarga Katolik
Rajawali tidak akan luput dari pelbagai penyakit baik penyakit yang berkaitan
dengan jiwa maupun penyakit fisik. Ketika kita sakit, baik itu sakit secara
fisik, ekonomi, rumah tangga, pekerjaan, pelayanan, atau sakit rohani, apakah
kita juga mencari sinar pemulihan pada Allah yang memainkan peranan penting
dalam hidup kita, yang juga merupakan sumber kesembuhan bagi segala macam
'penyakit'. Kita, lebih dari Rajawali sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk
menghindari kedekatan dengan Allah dalam segala situasi kehidupan kita yang
tidak menguntungkan.
(7) Rajawali Menyonsong Akhir Kehidupan
Ketika rajawali berada dalam keadaan
mendekati kematiannya, ia akan terbang ke tempat yang paling disukainya, di
atas gunung. Di gunung yang tinggi itulah rajawali berusaha menyelimuti
tubuhnya dengan kedua sayapnya. Ia akan mengarahkan pandangannya ke arah
terbitnya mentari. Ketika mentari beranjak naik di ufuk timur sang rajawali
mengarahkan pandangannya ke sinar pagi lalu ia menunduk merengang nyawa, lalu
ia mati dalam sorotan sinar matahari pagi.
Orang katolik dan keluarga katolik rajawali
tanpa kecuali, pada waktunya akan mengalami nasib seperti rajawali. Sebagai
orang beriman kita merindukan sebuah akhir kisah ziarah sambil memanang sinar
mentari Ilahi. Sudah sepantasnyalah semua orang beriman mati dengan mata dan
hati tetap tertuju pada Yesus sebagai sumber pengharapan dan jaminan di dalam
kehidupan kekal.
5. Hambatan menjadi Keluarga Katolik
Rajawali
Hidup berkeleuarga sebagai pasutri tentu
saja diharapkan bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan itu bukan hanya merujuk pada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan
dan perkembangan juga
mengacu kepada pergantian, yang baru menggantikan yang lama.
Pertumbuhan dan perkembangan dalam hudip pasutri bukan saja merupakan pertanda
adanya kehidupan; pertumbuhan dan perkembangan itu juga merupakan pertanda
adanya nilai yang dihidupi. Relasi pasurti seharusnya juga mengalami pertumbuhan dan
perkembangan, yang tadinya kecil menjadi
besar; dan yang lama digantikan dengan yang baru.
Dalam uraian terdahulu kita mendengarkan
bahwa angin badai merupakan tantangan utama bagi rajawali untuk terbang tinggi
dan terbang jauh. Saya yakin tidak ada keluarga yang hidup tanpa masalah. Semua
kita yang hadir tentu mengetahui secara persis dan secara benar apa yang
merupakan masalah dalam keluarga yang membuat kita susah terbang sebagai
keluarga katolik rajawali. Kalau mau dideretkan atau dilitaniakan saaat ini
tentu waktu kita tidak cukup. Berikut ini saya menyampaikan satu contoh masalah
yang menghambat keluarga katolik dalam usaha menjadi keluarga katolik rajawali itu. Berikut ini disampaikan
beberap hal yang membuat cinta menipis atau menghilang dari kehidupan pasutri.
5.1 Sindrom Rumput Hijau
Mungkin ada dari antara kita yang pernah membaca sebuah buku yang ditulis
Nancy Anderson berjudul Avoiding The
Greener Grass Syndome. Judul ini kalau dialihkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti: Menghindari Sindrom Rumput yang Lebih Hijau. Apa sebenarnya yang mau
dikatakan di dalam buku itu? Ternyata buku itu itu berisi kisah pengalaman
pribadi Nancy Anderson dalam kehidupan keluarganya yang mengalami pasang surut
karena banyaknya badai yang menerpa kehidupan rumah tangganya. Salah satu badai
yang nyaris merobekkan layar perahu keluarganya berkaitan dengan apa yang
dikatakan melalui judul buknya ini. Dia mengisahkan bagimana ia kehilangan harapan
untuk merekatkan kembali hubungan cinta dengan pasangannya yang nyaris bubar. Sebabnya, tidak lain karena masing-masing
didera sindrom rumput hijau. Ia menulis: imanku berubah menjadi
suam-suam kuku, sehingga aku lebih percaya pada kebohongan-kebohongan dunia:
"Saya berhak untuk bahagia." Kebohongan yang kuhadapi membuatku
terlibat dalam hubungan cinta gelap yang nyaris mengakhiri perkawinan kami. Aku
dengan sengaja menulis buku berjudul Avoiding The Greener Grass Syndome
(Menghindari Sindrom Rumput yang Lebih Hijau) agar kisah ketidaksetiaan dalam
keluargaku tidak menjadi "kisah kehidupan keluarga lainnya".
Sindrom rumput hijau yang dikatakan Nancy ini bukan tidak mungkin bahkan
hampir pasti juga akan menimpa pasangan-pasangan suami istri masa kini. Sindrom
rumput hijau seperti ini, kini muncul dalam istilah cinta yang
bercabang-cabang, cinta terbagi-bagi, cinta bersegi-segi. Cinta segi tiga, segi
empat dan segi-segi lainnya. Dalam bahasa populer zaman ini semuanya terangkum
dalam kata kramat yang tidak sedap yaitu fenomena selingkuh.
Sebagai bentuk tanggungjawabnya atas kehidupan dan demi menyelamatkan kehidupan
keluarga lainnya yang bermasalah, Nancy menulis bernada mengingatkan:
Ingatlah, Rumput di seberang pagar
mungkin selalu tampak lebih hijau, tetapi kesetiaan kepada Allah dan kesetiaan
janji kepada pasangan Anda sajalah yang dapat memberikan damai di hati dan
kepuasan. Apabila Anda menghindari
sindrom rumput yang lebih hijau dengan mencintai dan menghormati pasangan Anda,
pernikahan Anda akan menjadi gambaran tentang hubungan Kristus dan jemaat bagi
orang-orang di sekitar Anda
(Ef.5,31-32). Apa yang dinasihatkan Nancy ini juga sebuah rekomendasi
buat keluarga katolik untuk terus menjadi keluarga rajawali yang berada di
tempat tinggi dan terus mengarahkan padangan kepada Allah sang matahari
kehidupan.
5.2 Rendahnya Kualitas Pengenalan,
Pengertian, Penyesuaian
Pengenalan, Pengertian, dan Penyesuaian. Pernikahan bukan saja menyediakan wadah
terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling
menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Nah, agar terjadi
penyesuaian, diperlukan pengertian. Dengan kata lain, dimulai dengan
PENGENALAN, berlanjut dengan PENGERTIAN, dan berakhir dengan PENYESUAIAN. Pengenalan,
Pengertian, Penyesuaian tidak berakhir dengan upacara pernikahan. Upacara
penikahan bukanlah tanda bahwa pasutri
itu sudah menegnal, mengerti, menyesuaikan diri dengan
pasanggannya. Jika ada pasutri yang
merasa bahwa pernikahan sebagai puncak pengenalan, pengertian, dan
penyesuainnya terhadap pasangannya maka pasangan itu akan lebih mudah
kehilangan Cinta. Apalagi kalau pasangan
itu menikah dengan predikat cinta kilat. Pengenalan, Pengertian, Penyesuaian,
antara pasutri harus terjadi selama dan sepanjang hidup mereka. Hanya mautlah
yang menghentian ketiga proses itu. Pengenalan mesti bertumbuh agar tercipta
pengertian dan pengertian mesti bertumbuh agar tercipta penyesuaian. Dan kita
tahu, relasi harmonis pasutri mustahil
tercipta tanpa adanya penyesuaian. Penyesuai perlu karena perkawinan menyatukan
dua pribadi yang memang berbeda dalam banyak hal. Jika tidak, Cinta pasutri
akan terbang bersama angin. Banyak pasutri dewasa ini yang tidak memberi cukup
waktu untuk saling mengenal. Begitu
masuk ke dalam pernikahan, mereka langsung “berlari” mengejar impian. Pulang
malam, mereka jarang bercakap-cakap. Tubuh terlalu letih sehingga kebutuhan
terbesar adalah beristirahat. Akhirnya pengenalan mereka pun mandek. Masalahnya,
begitu pengenalan berhenti bertumbuh dan berkembang, pengertian terhadap satu
sama lain makin menipis. Problem makin sering muncul akibat kurangnya
pengertian antara satu sama lain. Pada akhirnya konflik mulai berjamur karena masing-masing
tidak mengerti mengapa pasangan melakukan sesuatu atau melihat sesuatu lewat
lensanya yang berbeda dari lensapasangannya.
Jika pasutri dapat menyelaraskan perbedaan, pasutri akan dapat membangun kedekatan tetapi apabila pasutri
tidak dapat mendamaikan konflik, mereka memamng kelihata akan tetap bertumbuh
dan berkembang namun bertumbuh secara
terpisah. Berkurangnya Pengenalan,
Pengertian, Penyesuaian Tidak jarang membuat pasangan menjalani hidup terpisah
kendati masih hidup serumah. Kalau sudah demikian keadaanya pasutri akan
menjalani kehidupan serba seolah-seolah atau banyak sandiwaranya. Sandiwara itu bisa kehilhatan dalam pilihan
tindakan yang cenderung menggambarkan kompensasi atau nyata dalam perubahan
sikap yang cenderung ekstem.
5.3 Menipisnya Amunisi Hikmat
Memelihara dan mempertahankan Cinta sebagai
harta beharga bukanlah hal mudah.Juga sebaliknya menemukan kembali Cinta yang
menghilang atau terkubur di antara reruntuhan masalah kehidupan bukanlah
hal mudah. Ada banyak hal yang mesti
dihadapi dalam hidup dan semuanya itu menuntut ada amunisi yang menurut kitab
Amsal itu adalah Hikmat. Amsal 24:3-4 mencatat kalimat ini, “Dengan hikmat
rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian
kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik.”
Kalimat Amsal ini menegaskan kepada kita
bahwa rumah atau rumah tangga yang kokoh
harus ditopang dengan tiga penyangga utama yaitu Hikmat, kepandaian, dan
pengertian. Dari sini kita bisa menangkap pesan bahwa bila pasutri tidak
bertumbuh dalam hikmat, pasutri cenderung mengambil keputusan yang keliru dan
merugikan keluarga. Mungkin bila terjadi
sekali-sekali, pasangan dan anak akan memakluminya tetapi bila hal ini kerap
terulang, relasi dengan pasangan dan
anak niscaya terganggu. Besar kemungkinan mereka marah dan menyimpan kepahitan
oleh karena kesalahan yang pasutri lakukan. Itu sebabnya pasutri harus bertumbuh dalam hikmat sebab tanpa
hikmat, pernikahan akan mengalami kerusakan Cinta akan menjauhi pasutri. Ada
banyak anak yang menyimpan kepahitan terhadap orang tua karena tindakan atau
keputusan orang tua yang tidak berhikmat. Misal, ada anak yang menyimpan rasa marah
karena sejak kecil dikirim ke sekolah berasrama. Memang secara intelektual si
anak mengalami perkembangan, namun secara emosional, ia mengalami kepahitan.
Atau, ada anak yang harus merasakan susahnya hidup akibat keputusan orang tua
yang salah. Mungkin bisnis merugi atau cara hidup yang tidak patut
dicontohi. Tindakan dan keputusan yang
tidak berhikmat cenderung mepengaruhi kehidupan semua anggota keluarga. Itu
sebabnya pasutri mesti belajar berhikmat. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hikmat
didirikan di atas (a) takut akan Tuhan dan (b) kerendahan hati
untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dan pengalaman hidup. Bila kita
tidak takut Tuhan, kita mudah tergelincir jatuh ke dalam dosa dan dosa pasti
merugikan keluarga. Kita pun mesti rendah hati supaya cepat mengakui kekurangan
dan belajar meperbaikinya. Tanpa takut akan Tuhan dan kerendahan hati, kita
terus berkubang dalam kehidupan tanpa hikmat.
5.4. Meredupnya Sinar Kekudasan
Kekudusan adalah perisai pernikahan. Tanpa
kekudusan, pernikahan tersungkur ke dalam dosa..Ada kecenderungan setelah menikah
untuk waktu yang lama, pasutri menjadi begitu terbiasa dengan pasangannya
sehingga kurang berhati-hati menjaga perilaku dan perkataan. Mungkin pasutri
berubah menjadi lebih kasar atau bersikap lebih “seenaknya.” Pasutri tetap
harus menjaga kekudusan alias hidup benar termasuk tidak meremehkan pasangan. Hidup kudus adalah hidup yang selalu mencari
perlindungan pada i Allah dan berjuang menghalau dosa. Makin
serius seseorang mencari Allah dan makin
besar usahanya menjauh dari dosa, makin kuduslah hidup. Dan, makin kudus hidup,
makin kokoh pernikahan dan makin terlindung dari aneka pencobaan. Pernikahan
tidak mungkin bertumbuh bila pasutri terus direpotkan dengan masalah pasangan
yang hidupdalam cahaya kekudusan yang meredup.
5.5 Melemahnya Pengenalan akan Allah
Hidup pasutri berasal dari Allah. Itu
sebabnya pautri hanya dapat memaknai
hidup dari mata Allah sendiri. Pengenalan akan karakter Allah, cara Allah
bekerja, dan rencana Allah atas pasutri bukan saja memberi pasutri kejelasan
akan makna hidup tetapi juga menempatkan pasutri pada jalur yang benar di dalam
menjalani hidup. Jika pasutri berdua berjalan di jalur yang sama, keduanya akan makin disatukan dan dikuatkan dalam
menjalani hidup. Sebaliknya, bila keduanya hidup di jalur berbeda dan memaknai hidup
secara berlainan maka mereka makin terpaut jauh. Dalam kondisi sedemikian besar
kemungkinan akan lebih sering bertabrakan dalam konflik. Pengenalan akan Allah
yang mendalam dan tepat membuat pasutri teguh—tidak mudah terombang-ambingkan oleh
situasi kehidupan.
Relasi cinta pasutri akan sulit bertumbuh
bila salah satu anggotanya terus bergantung pada yang satunya. Sebaliknya
sewaktu pasangan melihat bahwa keduanya kokoh dalam pengenalan akan Allah dan
kekuatan Allah, pasangan terdorong untuk mengenal Allah lebih dalam lagi dan
menimba kekuatan lewat penyerahan kepada Tuhan. Tatkala ini terjadi, pernikahan
pun akan mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila pasutri tidak berminat
memperdalam pengenalan akan Allah, mereka tetap berada pada level kanak-kanak dan ini
akan membuat pasangan merasa letih/bosan hidup bersama.
5.6 Menurunnya
Ucapan Syukur
Pasutri
diharapkan berupaya keras agar
tidak terjebak di dalam siklus mengeluh. Pasutri mestinya berusaha untuk hidup
dalam sikap bersyukur yakni melihat dan menghargai pemberian Tuhan. Cinta yang
tumbuh anta pasangan adalah pemberian Tuhan yang harus disyukuri. Relasi pasutri sukar bertumbuh bila pasnagan
kerap mengeluh dan menyatakan tidak puas terhadap apa yang diterima. Pasangan akan
menjauh bila pasangannya sering menggerutu. Sebaliknya hati yang bersyukur
menceriakan suasana dan memberi dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan
hidup dengan lebih riang dan ringan. Syukur bukanlah sebuah perasaan; syukur
adalah sebuah sikap. Pasutri diharapkan menentukan bagaimana mereka akan
melihat hidup. Pasutri dapat melihat hidup dari kacamata “kurang” atau “cukup.”
Bila keduanya terus menggunakan kacamata “kurang” maka semua akan menjadi
kurang. Sebaliknya jika pasutri menggunakan kacamata “cukup” pasutri akan cepat
bersyukur kepada kasih setia Tuhan. Merasa selalu kurang membuat orang
bertindak dan berjalan di luar jalur. Ketika pasangan melihat pasangannya
dengan kaca mata kurang maka ia akan mencari yang lebih di luar pasangannya.
Dan itulah awal bala bencana menghilang dan dan terkuburnya cinta pasutri.
5.7 Melemah
atau Putusnya Jaringan Komunikasi
Kalau kita mencermati semua berita tentang
kecelakaan pesawat terbang, maka berita jatuhnya pesawat biasanya diawali dengan
menghilangnya kontak antara pilot dengan menara pengawas. Kehilangan n kontak
bisa terjadi karena jaringan komunikasi yang menghubungkan pilot dan menara
pengawas tidak berfungsi atau mengalami kakacauan. Kita semua paham bahwa kehilangan kontak atau komunikasi
seperti itu mendatang maut. Hidup Cinta pasutri terancam hilang jika komunikasi
terganggu atau terputus.
Apa sebenarnya tema dan inti komunikasi pasutri itu? Ada banyak
tema yang dikomunikasikan dalam kehidupan pasutri tetapi semunya terangkum
dalam dua topik besar yang satu berkaitan dengan Istri dan yang kedua berkaitan
dangan suami. Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan
suami adalah KETERTIBAN sedang tema yang berkenaan dengan istri adalah
KEPASTIAN. Suami menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias
tertata dan dapat dikendalikan. Pria berusaha untuk memegang kendali atau
menguasai keadaan sebab hanya dalam kondisi ini ia dapat hidup lega dalam
ketertiban. Bila ia tidak mendapatkannya, ia mudah terjebak ke dalam perilaku
dominan dan bahkan, kasar alias memaksakan kehendak. Istri menginginkan
kepastian dan keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman. Bila tidak
diperolehnya, istri cenderung mengeluh dan menuntut, supaya kecemasannya
berkurang. Tidak heran, dalam kebanyakan kasus, istri lebih mudah cemas
dibandingkan dengan suami.
Sekali lagi, walaupun topik pembicaraan
bervariasi, namun kalau kita telusuri dengan saksama, kita akan dapat menemukan
dua tema umum ini. Berdasarkan pemahaman ini, sebetulnya dalam berkomunikasi,
penting bagi pasutri untuk menyadari kebutuhan mendasar ini dan
memenuhinya. Kadang pasurti meributkan banyak hal di permukaan, padahal
yang memunculkan semua ini adalah kebutuhan akan ketertiban dan kepastian.
Jadi, kalau suami sadar bahwa yang dibutuhkan
istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya berikanlah
itu. Gunakan kata-kata yang menyejukkan dan sajikan informasi yang
membuat istri tenang. Sebaliknya, istri pun sebaiknya memberi kesempatan
kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan.
Dalam berkomunikasi pasutri terbayang oleh
dua ketakutan yaitu ketahukutan TIDAK DIMENEGERTIdan ketakutan TIDAK DIHIRAUKAN.
Kebanyakan pasutri tidak berkomunikasi
karena takut pasangan tidak akan mengerti apa yang akan
disampaikan. Jadi, daripada mengatakannya dan tidak dimengerti, akhirnya
pasangan memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Itu sebabnya pasangan mesti
memersiapkan pasangannya sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang mau disampaikan.
Misalnya,orang harus memerhatikan penggunaaan kata yang tepat sebab kata yang
tidak tepat dapat mengaburkan makna atau bahkan memancing reaksi keliru. Juga
orang musti memphitungkan kadar emosi sebab kadar emosi berlebihan dapat
membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan
pasangannya. Berkaitan dengan perasaan takut tidak dihiraukan, sering kali hal
ini terjadi dalam pernikahan. Ketika psangan berbicara serius namun pasangannya
tidak memerhatikannya. Matanya
tidak tertuju ke tempat lain, reaksinya juga sepotong-potong. Akhirnya pasangan merasa percuma mengungkapkan isi
hatinya. Inilah yang akhirnya membuat pasutri enggan berkomunikasi.
6. Pilar-Pilar Penopang Cinta Pasutri
Keluarga rajawali adalah keluarga yang ingin mempertahankan cinta. Dalam
kenyataan banyak masalah yang membuat cinta itu menjauh termasuk karena adanya
konflik dengan segala amcam alasannya. Untuk itu cinta harus dipagar dan
pasutri harus secara bersama menyiapkan pilar-pilar yang akan mengamankan cinta
itu. Saya menawarkan 10 tiang pengaman cinta pasutri dalam kondisi konflik atau
kondisi yang tidak menguntungkan. Ada 5 pilar yang harus dimilki suami (S-U-A-M-I) yang mengamankan cinta Istri dan ada 5 pilar milik Istri (I-S-T-RI) yang
mengamankan cinta suami. Dalam konteks usaha membebaskan diri dari sindrom
rumput hijau baiklah saya coba memaknai setiap huruf pada pasangan kata
SUAMI-ISTRI itu. Pasangan kata itu terdiri atas 10 huruf bermakna dan dibagi
adil karena lima huruf milik suami dan
lima huruf milik istri. Saya memakani dan melengkapinya dengan teks
dari kitab Amsal.
·
Sadarilah bahwa masing-masing
punya andil jikalau konfliks sampai terjadi. (Amsal 14,17:
Jauhilah orang bebal, karena pengetahuan tidak kaudapati dari bibirnya)
·
Usahakanlah
untuk mengadu atau berbicara terlebih dahulu hanya
kepada Tuhan (Ams 11:13: Siapa
mengumpat, membuka rahasia, tetapi siapa yang setia, menutupi perkara).
·
Akuilah dengan jujur
dan ekspresif perasaan-perasaan negatifmu di hadapan Tuhan
(Ams 5:21: Karena segala jalan orang terbuka di depan mata TUHAN, dan
segala langkah orang diawasi-Nya)
·
Mintalah hikmat dan
kasih tambahan untuk dapat menyelesaikan konfliks tersebut
sesegera dan setuntas mungkin (Ams 4:6: Janganlah meninggalkan hikmat itu, maka
engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaganya).
·
Izinkanlah istri untuk mencurahkan isi
hati, termasuk uneg-unegnya, dengan merdeka, tanpa takut dimarahi
(Ams 11:2: Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada
pada orang yang rendah hati)
·
Izinkan suami
menganalisis masalah tanpa diinterupsi, sehingga
pokok masalah dapat disoroti secara jernih (Ams 10:19
: Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan
bibirnya, berakal budi).
·
Salurkanlah energi
senantiasa untuk mencari solusi, bukan untuk
mencari-cari kesalahan (Ams 17:9: Siapa menutupi pelanggaran,
mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat
yang karib).
·
Tetapkanlah hati untuk
saling meminta maaf satu kepada yang lain dan memohon
pengampunan Tuhan (Ams 16:6: Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan
diampuni, karena takut akan TUHAN orang menjauhi kejahatan).
·
Rayakanlah
penyelesaian konfliks secara kreatif (Ams 24:10: Jika engkau tawar
hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu).
·
Isilah hari-hari selanjutnya
dengan curahan kasih sayang yang lebih
konkret demi kesembuhan dan pemulihan
hubungan dan keintiman (Ams 27:5: Lebih baik teguran yang
nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi)
7. Penutup
Kita mengidealkan keluarga Katolik Rajawali
tetapi kita masih hidup di dunia dengan segala hal yang akan menarik kita dan boleh jadi membuat kita tidak bisa
terbang seperti rajawali. Dalam kerendahan hati tentu kita harus manaruh
harapan kepada Tuhan sebagai Induk rajawali dan kita percaya kita akan selalu
di bawa terbang di atas kepak sayapnya. Karena itu, kita perlu menyadari bahwa
hidup kita, hidup keluarga kita tidak selamanya mulus karena di jalan yang kita
lewati itu PASTI kita akan menjumpai banyak hal: ada krikil, ada duri, ada
persimpangan, ada pentujuk arah, ada masalah, ada pengorbanan, ada air mata,
kritikan, ada tawa, ada senyuman, ada orang lain. Semunya itu kita kita
butuhkan dalam mendandanii mosaik kehidupan keluarga kita menuju keluarga
rawajali.
Kita membutuhkan Kerikil yang tajam supaya
kita belajar berhati-hati. Kita membutuhkan Semak Berduri supaya kita
lebih Waspada. Kita membutuhkan Persimpangan
supaya kita memilih secara Bijaksana. Kita membutuhkan Petunjuk Jalan supaya
kita punya kepastian tantang masa depan. Kita membutuhkan Masalah supaya kita tahu kita memiliki
Kekuatan. Kita membutuhkan Pengorbanan supaya kita tahu cara Bekerja Keras.
Kita membutuhkan Airmata supaya kita tahu merendahkan Hati. Kita membutuhkan
Kritikan supaya kita tahu bagaimana Cara Menghargai. Kita membutuhkan Tertawa
supaya kita tahu Mengucap Syukur. Kita membutuhkan Senyuman supaya kita tahu
kita Punya Cinta. Kita membutuhkan Orang Lain supaya kita tahu kita Tak
Sendirian
Akhirnya, saya menutup renungan rekoleksi
ini dengan harapan semoga ada manfaatnya
dan untuk hal yang tidak berkenan mohon dilupakan dan dimaafkan. Marilah kita
terus berjuang membangun keluarga kita, membangun gereja kita dengan dan dalam
semangat Rajawali. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga
besar. Mari kita berjuang untuk menjadi keluarga rajawali. Semoga
[1]
Imam Projo Keuskupan
Ruteng, mantan pembina dan guru Seminari Kisol, kini mahasiswa Pascasarjana
Universitas Negeri Malang.