Thursday, March 27, 2014

REKOLEKSI PASANGAN SUAMI ISTRI KATOLIK

MENEMUKAN KEMBALI CINTA KELUARGA KATOLIK
DI TENGAH TANTANGAN DAN GODAAN ZAMAN
DALAM SEMANGAT KELUARGA KUDUS
MENUJU KELUARGA KATOLIK RAJAWALI
=========================================
BAHAN REKOLEKSI UNTUK KELOMPOK PASUTRI
MENYAMBUT HARI MINGGU KELUARGA
PAROKI KSATRIAN, MALANG29 DESEMBER 2012

RD.Bonefasius Rampung[1]

1. Pengantar
Mengapa dan untuk apa saat ini saya berada di sini bersama Bapak dan Ibu sekalian? Inilah jawabannya. Tanggal 18 Desember satu pesan singkat masuk ke handphone saya. Pesannya: “selamat pagi romo bonefasius, utk tema rekoleksi, 29 nanti: menemukan kembali  cinta keluarga di tengah tantangan dan godaan zaman. rm bone menyoroti dalam perspektif iman. Di sesi 2 stlh rm elent.tks (lukas panitia/sie keluarga paroki). Sehari sebelumnya Bapak Theo memang menghubungi saya untuk meminta kesediaan memberi rekoleksi. Waktu itu saya sampaikan bahwa kalau malam saya tidak bisa karena pagi hari minggu 30 Desember saya merayakan misa di Cor Jesu. Pak Theo mengenal saya karena kebetulan saya yang diminta memimpin ibadat ulang tahun pernikahan mereka yang ke-32 tahun beberapa waktu lalu. Karena itu, saya merasa bahwa saya diminta bukan atas pertimbangan keahlian dan kepakaran, tetapi semata-mata kebetulan. Karena itu saya menerima tawawaran panitia dengan prinsip tiada rotan akar pun jadi. Karena itu kalau apa yang saya sampaikan sebentar tidak sesuai dengan harapan panitia dan semua peserta, itu harus dimaklumi. Saya hanya punya keyakinan bahwa niat baik kita semua untuk hadir dan membuka hati mendengarkan apa yang disampaikan akan membuat pertemuan ini bermakna bagi kita.

2. Catatan dan Penegasan Soal Tema
Tema yang ditawarkan kepada saya melalui pesan singkat atau SMS tadi adalah: “MENEMUKAN KEMBALI CINTA KELUARGA  DI TENGAH TANGTANGAN DAN GODAAN ZAMAN. Tema ini terdiri atas 10 kata yang memuat 3 kelompok kata atau penggalan pengertian itu (1) menemukan kembali (2) Cinta Keluarga (3) Di Tengah Tantangan dan Godaan Zaman. Jika tema ini dicermatai dari kaca mata bahasa dan melihat keutuhan maksud yang hendak dicapai maka pada awal rekoleksi ini saya memberi catatan (1)Tema ini bukanlah sebuah kalimat karena diawali dengan kata kerja yang dalam ilmu bahasa menduduki fungsi predikat. Sebuah kalimat yang lengkap harus memilki Subjek. Tema yang hendak kita renungkan ini justru tanpa subjek. Kalau mau dijadikan sebagai kalimat maka harus ada subjeknya. Dan subjek itu harus menjawab pertanyaan “siapa” yang akan menemukan kembali Cinta keluarga itu di tengah tantangan dan godaan zaman? Dalam konteks rekoleksi ini bapa dan ibulah yang menjadi subjeknya.  (2) Jika dikaitkan dengan permintaan agar saya menyorotinya dalam konteks iman katolik maka tema harus diberi label khusus yang menandakan bahwa pesertanya memang beridentitas Katolik. Peserta sebagai subjek beridentitas Katolik mengharuskan kita menambahkan unsur katolik itu di belakang kata Keluarga. (3) Tema kita, belum menampakkan adanya rujukan yang tepat sebagai model kehidupan bekeluarga yang ideal (4)Tema ini belum menampakkan adanya progres, atau kondisi ideal, yang dirindukan untuk diwujudkan setelah usaha menemukan cinta itu berhasil dilakukan para peserta. Karena itu, kita mesti merumuskan kembali tema kita agar arah permenungkan kita bisa sampai di terminalnya yang tepat. Terminal kita adalah Keluarga Katolik yang ideal ibarat Rajawali yang terbang tinggi.
Inti atau pokok persoalan kita sesungguh berkaitan dengan satu kata kuci pada tema ini yaitu kata CINTA. Dari tema ini kita dapat mengatakan bawah CINTA itu telah dan pernah menjadi milik Keluarga. Menarik, bahwa tema kita diawali dengan kata kerja aktif yaitu Menemukan kembali. Kata menemukan kembali sesuatu berarti sesuatu itu pernah ada dan dimiliki. Menemukan kembali Cinta berarti cinta itu pernah ada dan menjadi miliki si pencarinya. Menemukan kembali Cinta sama artinya Cinta yang pernah ada dan menjadi milik itu telah Hilang. Menemukan adalah buah dari aktivitas mencari. Menemukan kembali cinta dalam keluarga berarti orang berhasil mencari cinta yang hilang.
Keberhasilan mencari dan menemukan cinta yang hilang dalam konteks kehidupan keluarga Katolik tentu saja harus merujuk pada model kehidupan keluarga yang ideal yang dijadikan sebagai keluarga anutan. Sebagai orang beriman, dan dalam konteks kehidupan keluarga katolik kita tentu saja harus selalu merujuk pada kehidupan keluarga kudus sebagai rujukan, atau keluarga anutan kita. Kita berjuang mencari cinta yang menjadi milik keluarga kita dengan melihat model kehidupan keluarga Nasareth.
Tema tentang cinta keluarga tentu amat revelan dalam dan sepanjang kehidupan umat beriman. Mengapa? Karena Gereja, sungguh menyadari bahwa keluarga adalah basis gereja sebagai ecclesia domestica. Karena keluarga sebagai basis gereja, perhatian terhadap masalah kehidupan keluarga harus selalu menjadi prioritas dalam kehidupan orang beriman. Dalam konteks itu pula, saya menerima tawaran untuk memberikan rekoleksi ini. Meskipun demikian, para peserta rekoleksi jangan mengharapkan saya akan mengulas masalah keluarga itu secara teoretis ilmiah karena forum ini bukanlah forum ilmiah. Saya berkeyakainan bahwa semua peserta adalah praktisi dalam dunia kehidupan keluarga. Peserta sekalian adalah arsitek kehidupan keluarga. Saya hanyalah orang luar yang coba melihat dan menempatkan keluarga itu dalam perspektif rohani. Agar dimensi dan perspektif rohani ini sungguh mendasari pembicaraan kita dalam konteks tema yang kita rumuskan, izinkanlah saya memperluas Tema kita MENEMUKAN KEMBALI CINTA KELUARGA KATOLIK DI TENGAH TANTANGAN DAN GODAAN ZAMAN DALAM SEMANGAT KELUARGA KUDUS MENUJU KELUARGA KATOLIK RAJAWALI
Tema yang dipeluas ini sengaja saya rumuskan untuk membingkai seluruh pikiran dan pemahaman kita agar pembicaraan kita tentang keluarga tidak membias. Untuk apa kita meneladani Keluarga Kudus? Jawabannya untuk mewujudkan Keluarga Katolik yang kudus yang baik, yang unggul. Identitas dan atribut  Katolik itu penting ditekankan agar kita selalu memaknai kembali seluruh ziarah kehidupan keluarga kita. Keluarga Katolik model apa dan macam mana yang harus kita bangun? Jawaban terhadap pertanyaan ini harus dan wajib merujuk pada spirit, semangat, mentalitas yang mendasari dan mencitrakan kehidupan keluarga kita yang beridentitas katolik itu. Saya mencoba menawarkan sebuah pola, model, dan kehidupan keluarga katolik dalam sebuah analogi dengan mengambil spirit seekor burung Rajawali. Itulah sebabnya dalam tema yang diperluas tadi kita temukan kata Rajawali. Baiklah kita diajak untuk berkilas balik  melihat identitas kita sebagai keluarga katolik sebelum kita memaknai Keluarga berspirit Rajawali.

3. Keluarga Katolik dan Perwujudan Identitasnya
Dalam sejarah perkembangan kekristenan, kita menemukan bahwa gereja perdana bermula dari sebuah perkumpulan rumah tangga. Ketika itu belum ada gedung aula, ruang kusus, dan gedung gereja. Orang berkumpul di rumah-rumah, maka disebut pula jemaat rumah. Paulus pernah menulis:  Salam juga kepada jemaat di rumah mereka. Salam kepada Epenetus, saudara yang kukasihi, yang adalah buah pertama dari daerah Asia untuk Kristus (Roma 16:5). Rumah bukan hanya tempat untuk berkumpul, tetapi dalam rumah itu juga ada keluarga yang membentuk persekutuan berdoa dan belajar. Selain tuan rumah, hadir pula orang-orang yang bekerja di rumah itu, para tetangga dan sanak keluarga lainnya. Intinya adalah keluarga itu sendiri yaitu orang tua dan anak-anak mereka. Siapa yang memimpin dan mengajar persekutuan itu? Ayah dalam keluarga itulah yang memimpin. Hal ini meneruskan kebiasaan keluarga Yahudi, di mana seorang ayah memberikan pendidikan iman kepada anak-anaknya.
Pada waktu itu belum ada komisi keluarga dan komisi  kateketik  seperti sekarang yang menyiapkan bahan katekese tentang kehidupan keluarga. Masa gereja perdana keluargalah yang menjadi komisi kateketik yang melakukan katekese berkaitan dengan iman. Anak-anak belajar tentang segala hal berkaitan dengan iman di rumah mereka. Gurunya adalah ayah dan ibu mereka sendiri. Kehidupan keluarga sehari-hari dijadikan ruangan belajar. Dengan demikian ayah dan ibu memiliki peranan penting dalam pendidikan iman. Ayah dan ibu menjadi ''guru dan imam'' bagi anak-anaknya. Keluarga menjadi wadah utama pendidikan agama. Persekutuan keluarga masa itu juga menjadi wadah bagi orang-orang yang belum Kristen untuk mengenal pokok-pokok dasar ajaran Kristen. Dengan demikian keluarga menjadi sebuah gereja kecil, gereja rumah (ecclesia domestica).
Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa keluarga memiliki peran penting dalam kehidupan gereja. Kekristenan berkembang mulai dari gereja dalam keluarga (ecclesia domestica). Dalam rangka mengingatkan kembali betapa pentingnya kehidupan keluarga dalam perkembangan gereja, maka ditetapkanlah  masa khusus bagi  penghayatan panggilan hidup keluarga. Dalam kesadaran seperti inilah kita bisa memahami mengapa gereja mentapkan adanya tahun keluarga, minggu keluarga.
Bagaimanakah identitas keluarga sebagai ''gereja kecil''? Sama seperti hakikat gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, demikian pulalah hakikat keluarga sebagai sebuah gereja kecil. Dalam penghayatan sebagai gereja kecil, keluarga Katolik seharusnya memiliki identitas. Pertama, melakukan kehendak Allah. Keluarga sebagai gereja kecil memiliki identitas melakukan kehendak Allah, yaitu dengan mendengarkan Firman Allah dan melakukannya. Identitas keluarga yang melakukan kehendak Allah penting untuk dihayati, teristimewa dalam menyikapi perubahan-perubahan zaman yang pada gilirannya disikapi sebagai tantangan dan godaan yang meluluhlantakkan Cinta. Firman Allah menjadi dasar dalam menyikapi pelbagai tuntutan perubahan. Dalam rangka melakukan kehendak Allah, keluarga perlu meneladani kedekatan relasi dengan Tuhan dan sesama. Rekoleksi seperti ini menjadi bentuk konkretnya.
Keluarga yang melakukan kehendak Allah juga bisa dilihat perwujudannya antara lain dalam komunikasi satu dengan yang lain serta perwujudan semangat solidaritas. Jika dalam keluarga tidak terjadi komunikasi yang baik, biasanya akan muncul kesalahpahaman, saling mencurigai dan tidak mempercayai hingga terjadilah konflik yang berkepanjangan. Dengan demikian, keluarga sebagai gereja kecil yang melakukan kehendak Allah perlu menerjemahkan kehendak Allah dalam komunikasi yang penuh kasih sehingga tercipta suasana hidup bersama yang akrab dan rukun. Hidup yang dasarkan atas cinta dan diwarnai cinta. Dengan hidup dalam kehendak Allah, maka setiap anggota saling memahami dan menghargai. Hanya dalam cinta dan karena cinta orang menghargai betapa pentingnya kerendahan hati, hanya dalam dan akrena cinta orang mengaumi betapa dasyatnya kesabaran. Hanya dalam dan karena cinta orang memilih melayani dalam ketulusan. Cinta adalah awal dari segala kebaikan dan Cinta yang sama menjadi tujuan akhir dari segala kebaikan. Allah adalah Cinta itu yang menjadi awal dan tujuan kehidupan kita manusia. Di mana ada Cinta di sana akan lahir dan mengalir segala yang baik. Di mana orang melakukan segala hal yang baik, di sana ia sedang mengarahkan hidupnya menuju perjumpaannya dengan sang Cinta. Sebaliknya, ketika Cinta menghilang atau terdesak dalam tumpukan sampah kehidupan atas nama kemajuan di sana segala perbuatan dan perilaku kehidupan yang baik semakin memudar.
Dalam rangka melakukan kehendak Allah, maka penting pula keluarga meneladani solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas itu tampak dalam segala peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan. Solidaritas terungkap antara lain dalam sikap empati dan murah hati. Hal ini bukan saja merupakan sikap kepada sesama anggota keluarga tetapi juga berkembang dalam solidaritas kepada semua orang dalam rangka meneladani persaudaraan sejati. Persaudaraan sejati adalah wujud pelaksanaan perintah mengasihi Tuhan dan sesama (Matius 22:34-40).
Keluarga Katolik yang otentik adalah keluarga yang membuka diri dengan penuh cinta kasih dan komitmen baik kepada masyarakat maupun gereja. Dengan demikian, kehangatan kasih dan persaudaraan bukan hanya untuk anggota keluarga tetapi juga bagi masyarakat sekitarnya. Ini berarti keluarga tidak membangun persekutuan yang eksklusif tetapi sebuah persekutuan yang inklusif. Dalam hal ini keluarga terbuka untuk siapa saja yang ingin melakukan kehendak Allah. Keterbukaan mau menerima dan menghargai siapa saja terwujud pula dalam penerimaan, penghargaan bahkan dialog dan kerja sama dengan keluarga-keluarga lain yang beritikad baik untuk melakukan kehendak.
Kedua, berkumpul dan menyebar. Dalam melakukan kehendak Allah, keluarga berada di tengah masyarakat yang sedang mengalami gejolak perubahan zaman yang pesat. Perubahan zaman ini dapat digambarkan seperti persekutuan para murid yang berkumpul sebagai satu keluarga bersama Yesus. Dalam persekutuan itu para murid menikmati kedamaian dan kenyamanan hidup dekat dengan Sang Guru namun sewaktu-waktu juga menghadapi tantangan-tantangan dan kesulitan bahkan ada saatnya mereka harus meninggalkan kenyamanan persekutuan untuk menyebar dalam karya melakukan perintah Sang Guru (Matius 10:5-15). Mereka diutus untuk masuk dalam kehidupan masyarakat, memberitakan kerajaan sorga yang membawa kesembuhan, kebangkitan, pemulihan, dan kedamaian. Mereka diutus untuk berkarya dalam masyarakat yang sedang menghadapi pelbagai persoalan. Mereka mengalami banyak tantangan dan kesulitan bahkan penolakan di perjalanan, namun tidak menghentikan karya membawa kabar baik bagi dunia dan melayani orang lain.
Dalam gambaran kehidupan para murid ini ada dinamika kehidupan yang berkumpul dan menyebar. Hal ini memberikan inspirasi pada dinamika kehidupan keluarga yang berkumpul dan menyebar di dunia. Dalam panggilannya untuk melakukan kehendak Allah, keluarga dipanggil untuk bersekutu dengan Allah namun juga siap menyebar menjadi pelayan masyarakat, menunjukkan kasihnya pada sesama, menjadi garam dan terang dunia (Matius 22:37-39).
Ketiga, solider pada yang lemah. Keluarga tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab untuk hidup solider terhadap orang lain. Solidaritas bukan hanya bagi anggota keluarga yang lemah tapi juga semua kaum lemah di tengah masyarakat. Inilah keluarga yang menyatu dengan sesama. Kalau kita melihat kehidupan Yesus, Ia senantiasa memberikan perhatian dan pelayanannya kepada  yang lemah. Penghayatan identitas keluarga sebagai gereja kecil mestinya menyatu dalam kehidupan keluarga Kristen. 
Jika keluarga kita terbangun dengan baik, maka gereja pun akan maju dengan pesat serta menjadi berkat bagi masyarakat. Itulah hubungan yang erat antara keluarga dan gereja. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga besar. Agar gereja menjadi keluarga besar maka keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya harus hidup dalam semangat rajawali.

4. Apa dan Mengapa Rajawali?
Ketika orang menyebut  dan mendengarkan kata rajawali pikiran kita boleh jadi langsung membayangkan sesuatu yang menakutkatkan. Rajawali, atau elang biasanya menjadi musuh para pemelihara ayam. Itulah gambaran negatif yang kuat melekat pada pikiran dan perasaan kita. Yakinlah, hari ini dalam rekoleksi ini saya akan menampilkan citra rajawali yang lain karena rajawali dilihat secara rohani dalam kaitannya dengan ziarah kehidupan keluarga-keluarga katolik.
Rajawali adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sangat indah. Alkitab menuliskan mengenai rajawali sebanyak 27 kali, jauh lebih banyak dibandingkan merpati atau jenis burung lainnya. Seekor rajawali dewasa memiliki tinggi badan sekitar 90 cm, dan bentangan sayap sepanjang 2 meter. Ia membangun sarangnya di puncak-puncak gunung. Sarang itu sangat besar sehingga manusiapun dapat tidur di dalamnya. Sarang itu beratnya bisa mencapai 700 kg dan sangat nyaman.
4.1 Apa yang Perlu dipelajari dari Rajawali
Dari semua teks yang berbicara tentang Rajawali kita bisa temukan beberapa hal pokok atau pelajaran yang bermakna dalam kaitannya dengan tema rekoleksi.  Idealisme dan harapan kita untuk hidup sebagai keluarga katolik yang memilki dan dikuasai CINTA hanya akan terjadi kalau pasutri juga memiliki keunggulan seekor Rajawali. Rajawali mengajarkan kita pelbagai nilai, pelajaran, dan keunggulan yang dapat dijadikan semangat dalam meneladani keluarga kudus.
 (1) Gaya Terbang Rajawali itu Unik.
Rajawali Tidak Hanya Terbang, tetapi juga Melayang. Satu hal yang membedakan species rajawali dengan burung yang lain yaitu species rajawali lebih banyak terbang dengan cara melayang, dengan membuka lebar kedua sayapnya dan menggunakan tenaga angin sebagai kekuatan pendorong bagi tubuhnya. Rajawali tidak terbang seperti layaknya burung-burung yang lain, yang terbang dengan mengepak-kepakkan sayapnya dengan kekuatan sendiri. Hal yang dilakukan rajawali ialah melayang dengan anggun, membuka lebar-lebar kedua sayapnya dan menggunakan kekuatan angin untuk mendorong tubuhnya. Yang membuat rajawali sangat spesial adalah ia tahu waktu yang tepat untuk meluncur terbang. Ia berdiam di atas puncak gunung karang, membaca keadaan angin, dan pada saat tepat ia mengepakkan sayapnya untuk mendorongnya terbang, lalu membuka sayapnya lebar-lebar kemudian melayang dengan menggunakan kekuatan angin itu. Ini dilakukan rajawali untuk menghemat tenaga yang dikeluarkannya mengingat rajawali adalah burung penjelajah yang setiap harinya sanggup menempuh jarak minimal 400 km lebih. Panggilan dan kodratnya untuk terbang jauh, mengharuskannya memilih cara terbang yang lain daripada gaya terbang jenis unggas lainnya. Ia menggunakan kekuatan yang ada di luar kemampuan dirinya untuk bisa terbang tinggi dan menempuh jarak yang jauh.
Angin, juga menggambarkan kesulitan-kesulitan dan pergumulan hidup. Bagi rajawali, badai adalah media yang tepat untuk belajar menguatkan sayapnya. Dia terbang menembus badai itu, melayang di dalamnya, melatih sayapnya untuk lebih kuat lagi. Orang "Pasutri Katolik Rajawali" seharusnya mengucap syukur dalam menghadapi berbagai-bagai pencobaan karena pencobaan sebagai media untuk menguatkan sayap-sayap iman kita.
Dalam bahasa Alkitab angin sering disebutkan sebagai penggambaran Roh Kudus. Kita dapat belajar untuk bekerja sama dengan Roh Kudus dan membiarkan-Nya mengangkat kita lebih tinggi lagi, semakin dekat dengan Tuhan. Seringkali kita 'terbang' dengan kekuatan kita sendiri, hasilnya kita menemui banyak kelelahan, kekecewaan dan kepahitan dalam hidup ini. Kita perlu belajar dari rajawali, kita mau untuk 'terbang' melintasi kehidupan ini dengan mengandalkan Roh Kudus.
Kita ingin keluarga kita bertumbuh dalam semangat seekor Rajawali maka mau tidak mau kita sebagai keluarga Katolik harus mampu menunjukkan gaya terbang, citra diri dan kekhasan kita. Kenyataan  dalam kehidupan menunjukkan bahwa kita manusia seringkali hanya mengandalkan kekuatan sendiri dalam melakukan suatu hal. Maka tidak heran jika manusia sering menemui serta mengalami keputusasaan, kelelahan, kekecewaan dalam kehidupan. Belajar dari sang rajawali, maka kita perlu juga terbang dengan mengandalkan sumber daya atau kekuatan-kekuatan yang ada di sekitar kita seperti waktu orang lain, tenaga orang lain, modal orang lain, kecakapan, ide atau bahkan kesempatan (opportunity) yang datangnya dari orang lain. Dan sumber kekuatan utama kita adalah kekuatan Allah sendiri.
Dalam perspektif lain, terpaan angin juga bisa kita gambarkan sebagai masalah dan hambatan dalam kehidupan manusia, kehidupan keluarga-keluarga kita. Rajawali selalu belajar untuk memperkuat sayap-sayapnya ketika terbang menerjang badai. Ketika kita manusia dihadapkan pada berbagai masalah dan hambatan dalam hidup hendaknya kita juga selalu bisa belajar menguatkan sayap-sayap mental, karakter serta kepribadian kita. Badai kehidupan dan badai perkembangan zaman sudah, sedang, dan akan terus menerpa keluarga-keluarga kita ketika gempuran global meruntuhkan semua batas pengaman kehidupan keluarga kita. Kemajuan zaman bisa saja mematahkan sayap-sayap idealisme kita untuk terbang tinggi dan jauh membawa anak-anak kita ke tempat yang menjanjikan. Kemajuan teknologi komunikasi saat ini telah menjadikan bumi dan dunia ini tidak lebih dari sebuah kampung global tanpa batas. Kemajuan dunia teknologi di satu sisi amat positif karena telah mendekatkan yang jauh tetapi di sisi lain telah memperlebar jarak yang dekat justru menjauh. Kita sering senang karena bisa berkomunikasi dengan orang di tempat jauh karena bantuan teknologi tetapi kita lupa dan tanpa sadar saat yang sama kita menjauhkan diri dari orang yang paling dekat dengan kita. Kita ingat kasus Bupati Garut yang menghebohkan beberapa minggu belakangan ini yang ketahuan menikah siri dengan seorang gadis dan bercerai setelah 4 hari melalui informasi yang disebarkan melalui jejaringan sosial facebook.
Suatu ketika seorang pembantu rumah tangga mendatangi dokter karena pipi dan telinga kanannya luka kena strika panas. Banyak orang menduga ia mengalami kekerasan dari majikannya. Setelah diselidiki ternyata saat pembantu menyerika pakaian ada deringan handphone masuk. Tanpa sadar ia mengarahkan strika panas ke telinganya. Ia mengira ia sedang menggenggam handphone dan lupa bahwa ia memegang strika panas. Ini contoh dampak teknologi yang menjauhkan orang dari hal paling  dekat dengan dirinya. Sekarang ini orang bisa duduk di satu meja makan, secara fisik dekat, tetapi mereka sebenarnya saling menjauh karena setiap orang sibuk sms dengan orang di seberang lautan. Kemajuan teknologi masa kini menurut saya telah membuat orang hidup dan bertindak setengah-setengah, dan sebagian-sebagian. Dan kalau kita jujur hal ini juga telah mendominasi kehidupan keluarga-keluarga kita. Sulit rasanya sekarang kita temukan orang yang hidup dan bertindak penuh.
Kalau misalnya saat misa di gereja masih ada deringan handphone yang membuat orang lain terganggu itu tandanya pemiliknya datang tidak penuh, hadir setengah karena terlepas dari ia lupa mematikan hpnya, orang akan menilai masih ada hal penting lain yang harus ia lakukan. Teknologi berhasil membagi manusia berkeping-keping dan dipetak seakan menjadi kapling-kapling. Hal yang sama juga bisa terjadi dalam keluarga. Bapa bukannya tertawa dengan ibu yang ada bersama di meja makan atau di ruangan tamu tetapi malahan justru tertawa dengan lawan bicara yang berada di tempat jauh. Kalau itu sering terjadi maka yang ada di sana tidak lebih dari orang yang setengah-setengah. Kalau tertawa dan marah sendiri tanpa lawan bicara yang kelihatan, bisa saja membuat orang itu mendapat gelar bukan saja setengah-setengah tetapi ada tambahan yang kurang sedap menjadi setengah gila. Sebagai rajawali kita harus berjuang mengalahkan semua tantangan itu dengan gaya terbang kita yang unik dan khas sebagai orang katolik. Orang-orang yang menantikan TUHAN, mendapat kekuatan baru mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya - Yesaya 40 : 31

(2) Rajawali Berpandangan Tajam dan Terfokus
Rajawali dikarunia sepasang mata yang luar biasa yang memiliki kekuatan atau jarak pandang hingga 10 kali lebih jauh dari mata manusia. Tidak heran dengan kekuatan mata seperti itu seekor rajawali sanggup mengintai mangsanya yang berjarak lebih dari 15 km. Dengan kemampuan luar biasa seperti itu rajawali bisa melihat dan mengintai mangsanya sehingga sangat jarang mangsa bisa lolos dari sergapan sang rajawali. Selain memiliki pandangan yang tajam, jauh, rajawali juga sangat fokus terhadap calon mangsanya. Dengan kata lain pada saat rajawali telah menetapkan sasaran yang diinginkannya, buruan, fokus pandangannya akan selalu ditujukan kepada calon mangsanya meskipun ia dihadapkan dengan berbagai halangan dan gangguan yang ada.
Kemampuan rajawali dalam melihat jauh ke depan bisa kita artikan sebagai visi dan tujuan yang jelas. Dalam perjalanan menuju keberhasilan kita manusia atau keluarga  hendaknya membiasakan diri untuk selalu menetapkan tujuan yang ingin dicapai dalam hidup. Banyak orang yang telah menetapkan tujuan dan memiliki impian-impian di masa depan tetapi mengapa sebagian besar dari mereka pada akhirnya gagal untuk mewujudkannya? Karena pada orang tidak merumuskan visi dan cara pandang hidupnya secara benar. Ketidaktajaman perumusan visi kehidupan membuat orang gagal mencapai tujuan. Orang yang hidup tanpa visi yang jelas akan melakukan segalanya serba alamiah dan terkesan rutinitas yang membawanya pada kebosanan. Dan kebosanan merupakan ragi yang akan terus berkembang menjadikan roti kehidupan kita tidak dapat berkembang sebagaimana yang kita  harapkan. Rajawali mengajak kita untuk memiliki ketajaman pandangan terhadap rencana dan masalah kehidupan. Rencana kehidupan yang jelas tidak akan memberi peluang untuk mengubahnya di tengah jalan. Kalau pasutri memiliki visi dan ketajaman pandangan tentang Cinta yang mengikat mereka, maka cinta itu tidak akan mudah terbang dan menghilang dari kehidupan mereka. Rajawali membidik sasaran dalam fokus yang benar dan terus konsisten pada titik sasaran yang mau dicapainya. Cinta akan abadi menjadi milik pasutri ketika kehidupan pasutri berada dalam visi yang jelas.
(3) Anak Rajawali Harus Belajar Terbang untuk Terbang
Di atas puncak gunung yang tinggi, telur rajawali menetas dan muncullah anak rajawali. Ketika induk rajawali yakin anaknya sudah bisa belajar terbang maka apa yang bisa ia lakukan.Yang ia lakukan adalah terbang dengan kecepatan tinggi kecepatan tinggi menuju sarangnya, ditabraknya sarang itu dan digoncang-goncangkannya. Kemudian ia merenggut anaknya dari sarang dan dibawanya terbang tinggi. Kemudian, secara tiba-tiba, ia menjatuhkan anaknya dari ketinggian. Anak rajawali akan berusaha terbang tetapi jika gagal terbang dan induknya melihat anaknya mendekati batu-batu karang, induk rajawali ini dengan cepat meraih anaknya kembali dan dibawa terbang tinggi. Setelah itu dilepaskan lagi dan anaknya jatuh lagi. Tapi sebelum anaknya menyentuh daratan, ia mengangkatnya kembali. Hal ini dilakukan berulang-ulang, setiap hari. Hanya dalam waktu satu minggu anaknya sudah banyak belajar, dan mulai memperhatikan bagaimana induknya terbang. Dalam jangka waktu itu, sayap anak rajawali sudah kuat dan ia pun bisa terbang.
Kita mau agar keluarga-keluarga kita menjadi keluarga Katolik Rajawali berarti juga kita berniat mengembangkan pola pendidikan gaya induk rajawali terhadap anaknya. Kalau saat ini para pasutri merasakan bahwa Cinta yang mengikatsatukan pasangan telah menjauh dan harus segera dicari dan ditemukan di antara reruntuhan perkembangan zaman maka sesungguhnya kita sedang dididik untuk bisa terbang ibarat anak rajawali. Jika kita mengalami pencobaan dan goncangan berarti Bapa di surga sedang melatih kita untuk bisa lebih dewasa lagi, agar kita bisa siap untuk terbang. Akan sia-sia menjadi rajawali kalau dia tidak bisa terbang. Berarti akan sia-sia menjadi orang Katolik, menjadi keluarga Katolik kalau kita tidak pernah dewasa dalam iman! Akan tetapi satu hal ini yang harus menjadi keyakinan kita bahwa: setiap pencobaan datang, Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya jatuh tergeletak, tetapi seperti induk rajawali, pada saat kirits, ia menyambar anaknya untuk diangkat kembali. Masa-masa sukar akan selalu ada di depan kita, tapi kita akan menemukan diri kita selalu penuh dengan pengharapan jika kita tetap berdiri pada kebenaran Firman Allah. Tuhan mengangkat dan mempermuliakan kita melalui pencobaan-pencobaan yang kita alami termasuk ketika cinta memudar bahakan teracam hilang dari kehidupan. Jika induk rajawali melatih anaknya untuk mempergunakan sayapnya, Tuhan melatih kita untuk mempercayai Firman-Nya dan mempergunakan iman kita. Menjadi keluarga Katolik Rajawali berarti pula melihat keterlibatan Tuhan dalam setiap kesukaran hidup kita.
(4) Rajawali Diciptakan untuk Tinggal di Tempat Tinggi
Berbeda dengan jenis burung lainnya, rajawali diciptakan untuk terbang di tempat-tempat yang tinggi, jauh dari pandangan mata telanjang dan jauh dari jangkauan para pemburu. Burung rajawali memiliki keunikan, jika ia berada di alam bebas akan menjadi burung yang paling bersih di antara burung lainnya, tetapi jika dia berada di dalam penjara (kandang) dan terikat, ia akan menjadi burung yang paling kotor (hal ini terjadi karena si rajawali mengkonsumsi makanan yang berbeda dengan burung lainnya, ia akan memakan makanan seturut orang yang memeliharanya dalam kandang dan kemungkinan itu makanan yang busuk.
Kita mau menjadi keluarga Katolik rajawali artinya kita diajak untuk berada di tempat yang tinggi dan terbang tingi dalam kebabasan sebagai anak Allah. Tuhan menciptakan kita untuk selalu terbang dan berada di tempat yang tinggi, yaitu selalu berada dalam hadirat-Nya dan bebas dari kontrol dunia. Sekian sering kita memasukkan diri dalam kandang-kandang yang kita buat sendiri. Kita sering memasukan diri kita dalam kandang-kandang dosa yang membuat kita terikat. Kelemahan manusiawi kita akan mengikat kita di tempat yang paling rendah dan kotor  dan hampir pasti dalam keterikatan itu kita akan menikmati segala hal yang berlawanan dengan rencana Tuhan. Kalau itu yang terjadi itu sama artinya kita kehilangan cinta. Menjadi katolik Rajawali adalah pilihan untuk terbang tinggi  menjangkau Hadirat Tuhan yang maha Tinggi.

(5) Rajawali Memiliki Waktu Khusus untuk Pembaharuan
Ketika rajawali berumur 60 tahun, ia memasuki periode pembaharuan. Seekor rajawali pada usia 60 tahun akan mencari tempat tinggi dan tersembunyi di puncak gunung. Ia berdiam di sana, membiarkan bulu-bulunya rontok satu demi satu. Rajawali ini mengalami keadaan yang menyakitkan dan sangat mengenaskan selama kira-kira 1 tahun. Ia menunggu dengan sabar selama proses ini berlangsung, dan setiap hari ia membiarkan sinar matahari menyinari tubuhnya untuk mempercepat proses penyembuhannya. Melalui proses alamiah seperti ini, bulu-bulu barupun tumbuh, dan rajawali menerima kekuatan yang baru sehingga ia mampu bertahan hidup hingga umur 120 tahun, seperti normalnya rajawali hidup.
Menjadi katolik rajawali berarti pula menerima tuntutan pembaharuan diri dan cara hidup dari hari ke hari sepanjang hidup. Kalau rajawali melakukan pembaharuan tunggu usia 60 tahun, kita manusia justru melakukannya secara terus menerus. Mengapa? Karena rahasia kehidupan kita hanya Tuhan yang tahu. Kita mau tunggu 60 tahun dengan pengandaian Tuhan mengizinkan kita tiba pada usia itu. Tetapi jika Tuhan memanggil kita sebelum 60 tahun itu artinya kita kembali tanpa pernah melakukan pembaharuan.
Sebagaimana halnya  rajawali, orang Katolik, keluarga Katolik perlu memiliki waktu-waktu khusus untuk proses pembaharuan dalam hidup ini. Membiarkan hal-hal lama yang tidak berguna lagi 'rontok' dan menanti-nantikan dengan sabar pemulihan dari Tuhan. Pembaharuan adalah prinsip Ilahi, di mana Allah memotong, memangkas, membersihkan ranting dan dahan yang kering dan lapuk membusuk  dan yang tidak menghasilkan buah dalam hidup kita ini agar kita mampu berbuah lebih lebat lagi. Selama kita hidup dan selama kita menantikan Dia, relakan proses pembaharuan itu berlangsung dalam hidup kita. Rekoleksi atau kegiatan seperti ini merupakan salah satu model upaya pembaharuan itu. Ketika kita menyadari bahwa cinta telah meredup kita membutuhkan pembaharuan seperti ini.
(6) Rajawali Kadang-kadang Sakit Seperti Manusia
Ketika rajawali mengalami sakit, ia terbang ke suatu tempat yang sangat disukainya, dan di sana ia dengan leluasa menikmati sinar matahari. Karena sinar matahari memainkan peranan sangat penting dalam kehidupan rajawali, dan juga merupakan obat yang paling mujarab baginya. Kekuatan sinar matahari itulah yang memulihkan kondisi fisik sang rajawali. Dia selalu mencari sinar matahari untuk mempercepat proses pemulihan kesehatannya.
Orang katolik Rajawali dan Keluarga Katolik Rajawali tidak akan luput dari pelbagai penyakit baik penyakit yang berkaitan dengan jiwa maupun penyakit fisik. Ketika kita sakit, baik itu sakit secara fisik, ekonomi, rumah tangga, pekerjaan, pelayanan, atau sakit rohani, apakah kita juga mencari sinar pemulihan pada Allah yang memainkan peranan penting dalam hidup kita, yang juga merupakan sumber kesembuhan bagi segala macam 'penyakit'. Kita, lebih dari Rajawali sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk menghindari kedekatan dengan Allah dalam segala situasi kehidupan kita yang tidak menguntungkan.
(7) Rajawali Menyonsong Akhir Kehidupan
Ketika rajawali berada dalam keadaan mendekati kematiannya, ia akan terbang ke tempat yang paling disukainya, di atas gunung. Di gunung yang tinggi itulah rajawali berusaha menyelimuti tubuhnya dengan kedua sayapnya. Ia akan mengarahkan pandangannya ke arah terbitnya mentari. Ketika mentari beranjak naik di ufuk timur sang rajawali mengarahkan pandangannya ke sinar pagi lalu ia menunduk merengang nyawa, lalu ia mati dalam sorotan sinar matahari pagi.
Orang katolik dan keluarga katolik rajawali tanpa kecuali, pada waktunya akan mengalami nasib seperti rajawali. Sebagai orang beriman kita merindukan sebuah akhir kisah ziarah sambil memanang sinar mentari Ilahi. Sudah sepantasnyalah semua orang beriman mati dengan mata dan hati tetap tertuju pada Yesus sebagai sumber pengharapan dan jaminan di dalam kehidupan kekal.
 5. Hambatan menjadi Keluarga Katolik Rajawali
Hidup berkeleuarga sebagai pasutri tentu saja diharapkan bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan  dan perkembangan itu bukan hanya merujuk pada pertambahan ukuran dari kecil menjadi besar. Pertumbuhan dan perkembangan  juga mengacu kepada pergantian, yang baru menggantikan yang lama. Pertumbuhan dan perkembangan dalam hudip pasutri bukan saja merupakan pertanda adanya kehidupan; pertumbuhan dan perkembangan itu juga merupakan pertanda adanya nilai yang dihidupi. Relasi pasurti  seharusnya juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan,  yang tadinya kecil menjadi besar;  dan  yang lama digantikan dengan yang baru.
Dalam uraian terdahulu kita mendengarkan bahwa angin badai merupakan tantangan utama bagi rajawali untuk terbang tinggi dan terbang jauh. Saya yakin tidak ada keluarga yang hidup tanpa masalah. Semua kita yang hadir tentu mengetahui secara persis dan secara benar apa yang merupakan masalah dalam keluarga yang membuat kita susah terbang sebagai keluarga katolik rajawali. Kalau mau dideretkan atau dilitaniakan saaat ini tentu waktu kita tidak cukup. Berikut ini saya menyampaikan satu contoh masalah yang menghambat keluarga katolik dalam usaha menjadi keluarga  katolik rajawali itu. Berikut ini disampaikan beberap hal yang membuat cinta menipis atau menghilang dari kehidupan pasutri.

5.1 Sindrom Rumput Hijau
Mungkin ada dari antara kita yang pernah membaca sebuah buku yang ditulis Nancy Anderson berjudul  Avoiding The Greener Grass Syndome. Judul ini kalau dialihkan ke dalam bahasa Indonesia berarti: Menghindari Sindrom Rumput yang Lebih Hijau. Apa sebenarnya yang mau dikatakan di dalam buku itu? Ternyata buku itu itu berisi kisah pengalaman pribadi Nancy Anderson dalam kehidupan keluarganya yang mengalami pasang surut karena banyaknya badai yang menerpa kehidupan rumah tangganya. Salah satu badai yang nyaris merobekkan layar perahu keluarganya berkaitan dengan apa yang dikatakan melalui judul buknya ini. Dia mengisahkan bagimana ia kehilangan harapan untuk merekatkan kembali hubungan cinta dengan pasangannya yang nyaris bubar. Sebabnya, tidak lain karena masing-masing  didera sindrom rumput hijau. Ia menulis: imanku berubah menjadi suam-suam kuku, sehingga aku lebih percaya pada kebohongan-kebohongan dunia: "Saya berhak untuk bahagia." Kebohongan yang kuhadapi membuatku terlibat dalam hubungan cinta gelap yang nyaris mengakhiri perkawinan kami. Aku dengan sengaja menulis buku berjudul Avoiding The Greener Grass Syndome (Menghindari Sindrom Rumput yang Lebih Hijau) agar kisah ketidaksetiaan dalam keluargaku tidak menjadi "kisah kehidupan keluarga lainnya".
Sindrom rumput hijau yang dikatakan Nancy ini bukan tidak mungkin bahkan hampir pasti juga akan menimpa pasangan-pasangan suami istri masa kini. Sindrom rumput hijau seperti ini, kini muncul dalam istilah cinta yang bercabang-cabang, cinta terbagi-bagi, cinta bersegi-segi. Cinta segi tiga, segi empat dan segi-segi lainnya. Dalam bahasa populer zaman ini semuanya terangkum dalam kata kramat yang tidak sedap yaitu fenomena selingkuh.
Sebagai bentuk tanggungjawabnya atas kehidupan dan demi menyelamatkan kehidupan keluarga lainnya yang bermasalah, Nancy menulis bernada mengingatkan: Ingatlah,  Rumput di seberang pagar mungkin selalu tampak lebih hijau, tetapi kesetiaan kepada Allah dan kesetiaan janji kepada pasangan Anda sajalah yang dapat memberikan damai di hati dan kepuasan.  Apabila Anda menghindari sindrom rumput yang lebih hijau dengan mencintai dan menghormati pasangan Anda, pernikahan Anda akan menjadi gambaran tentang hubungan Kristus dan jemaat bagi orang-orang di sekitar Anda  (Ef.5,31-32). Apa yang dinasihatkan Nancy ini juga sebuah rekomendasi buat keluarga katolik untuk terus menjadi keluarga rajawali yang berada di tempat tinggi dan terus mengarahkan padangan kepada Allah sang matahari kehidupan.
 5.2 Rendahnya Kualitas Pengenalan, Pengertian, Penyesuaian
Pengenalan, Pengertian, dan Penyesuaian. Pernikahan bukan saja menyediakan wadah terciptanya pengenalan, pernikahan juga mengharuskan pasangan untuk saling menyesuaikan diri lewat pengenalan yang telah terjalin. Nah, agar terjadi penyesuaian, diperlukan pengertian. Dengan kata lain, dimulai dengan PENGENALAN, berlanjut dengan PENGERTIAN, dan berakhir dengan PENYESUAIAN. Pengenalan, Pengertian, Penyesuaian tidak berakhir dengan upacara pernikahan. Upacara penikahan bukanlah tanda bahwa pasutri  itu sudah menegnal, mengerti, menyesuaikan diri dengan pasanggannya.  Jika ada pasutri yang merasa bahwa pernikahan sebagai puncak pengenalan, pengertian, dan penyesuainnya terhadap pasangannya maka pasangan itu akan lebih mudah kehilangan Cinta.  Apalagi kalau pasangan itu menikah dengan predikat cinta kilat. Pengenalan, Pengertian, Penyesuaian, antara pasutri harus terjadi selama dan sepanjang hidup mereka. Hanya mautlah yang menghentian ketiga proses itu.  Pengenalan mesti bertumbuh agar tercipta pengertian dan pengertian mesti bertumbuh agar tercipta penyesuaian. Dan kita tahu, relasi harmonis pasutri  mustahil tercipta tanpa adanya penyesuaian. Penyesuai perlu karena perkawinan menyatukan dua pribadi yang memang berbeda dalam banyak hal. Jika tidak, Cinta pasutri akan terbang bersama angin. Banyak pasutri dewasa ini yang tidak memberi cukup waktu untuk saling mengenal.  Begitu masuk ke dalam pernikahan, mereka langsung “berlari” mengejar impian. Pulang malam, mereka jarang bercakap-cakap. Tubuh terlalu letih sehingga kebutuhan terbesar adalah beristirahat. Akhirnya pengenalan mereka pun mandek. Masalahnya, begitu pengenalan berhenti bertumbuh dan berkembang, pengertian terhadap satu sama lain makin menipis. Problem makin sering muncul akibat kurangnya pengertian antara satu sama lain. Pada akhirnya konflik mulai berjamur karena masing-masing tidak mengerti mengapa pasangan melakukan sesuatu atau melihat sesuatu lewat lensanya yang berbeda dari lensapasangannya.
Jika pasutri  dapat menyelaraskan perbedaan, pasutri  akan dapat membangun kedekatan tetapi apabila pasutri tidak dapat mendamaikan konflik, mereka memamng kelihata akan tetap bertumbuh dan berkembang namun  bertumbuh secara terpisah.  Berkurangnya Pengenalan, Pengertian, Penyesuaian Tidak jarang membuat pasangan menjalani hidup terpisah kendati masih hidup serumah. Kalau sudah demikian keadaanya pasutri akan menjalani kehidupan serba seolah-seolah atau banyak sandiwaranya.  Sandiwara itu bisa kehilhatan dalam pilihan tindakan yang cenderung menggambarkan kompensasi atau nyata dalam perubahan sikap yang cenderung ekstem.
5.3 Menipisnya Amunisi Hikmat
Memelihara dan mempertahankan Cinta sebagai harta beharga bukanlah hal mudah.Juga sebaliknya menemukan kembali  Cinta yang  menghilang atau terkubur di antara reruntuhan masalah kehidupan bukanlah hal mudah.  Ada banyak hal yang mesti dihadapi dalam hidup dan semuanya itu menuntut ada amunisi yang menurut kitab Amsal itu adalah Hikmat. Amsal 24:3-4 mencatat kalimat ini, “Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik.”  Kalimat Amsal ini menegaskan kepada kita bahwa  rumah atau rumah tangga yang kokoh harus ditopang dengan tiga penyangga utama yaitu Hikmat, kepandaian, dan pengertian. Dari sini kita bisa menangkap pesan bahwa bila pasutri tidak bertumbuh dalam hikmat, pasutri cenderung mengambil keputusan yang keliru dan merugikan keluarga. Mungkin bila  terjadi sekali-sekali, pasangan dan anak akan memakluminya tetapi bila hal ini kerap terulang,  relasi dengan pasangan dan anak niscaya terganggu. Besar kemungkinan mereka marah dan menyimpan kepahitan oleh karena kesalahan yang pasutri lakukan. Itu sebabnya pasutri  harus bertumbuh dalam hikmat sebab tanpa hikmat, pernikahan akan mengalami kerusakan Cinta akan menjauhi pasutri. Ada banyak anak yang menyimpan kepahitan terhadap orang tua karena tindakan atau keputusan orang tua yang tidak berhikmat.  Misal, ada anak yang menyimpan rasa marah karena sejak kecil dikirim ke sekolah berasrama. Memang secara intelektual si anak mengalami perkembangan, namun secara emosional, ia mengalami kepahitan. Atau, ada anak yang harus merasakan susahnya hidup akibat keputusan orang tua yang salah. Mungkin bisnis merugi atau cara hidup yang tidak patut dicontohi.  Tindakan dan keputusan yang tidak berhikmat cenderung mepengaruhi kehidupan semua anggota keluarga. Itu sebabnya pasutri mesti belajar berhikmat. Firman Tuhan mengajarkan bahwa hikmat didirikan di atas (a) takut akan Tuhan dan (b) kerendahan hati untuk mendengarkan dan belajar dari orang lain dan pengalaman hidup. Bila kita tidak takut Tuhan, kita mudah tergelincir jatuh ke dalam dosa dan dosa pasti merugikan keluarga. Kita pun mesti rendah hati supaya cepat mengakui kekurangan dan belajar meperbaikinya. Tanpa takut akan Tuhan dan kerendahan hati, kita terus berkubang dalam kehidupan tanpa hikmat.
 5.4. Meredupnya Sinar Kekudasan
Kekudusan adalah perisai pernikahan. Tanpa kekudusan, pernikahan tersungkur ke dalam dosa..Ada kecenderungan setelah menikah untuk waktu yang lama, pasutri menjadi begitu terbiasa dengan pasangannya sehingga kurang berhati-hati menjaga perilaku dan perkataan. Mungkin pasutri berubah menjadi lebih kasar atau bersikap lebih “seenaknya.” Pasutri tetap harus menjaga kekudusan alias hidup benar termasuk tidak meremehkan pasangan.  Hidup kudus adalah hidup yang selalu mencari perlindungan pada i Allah dan berjuang menghalau dosa. Makin serius seseorang  mencari Allah dan makin besar usahanya menjauh dari dosa, makin kuduslah hidup. Dan, makin kudus hidup, makin kokoh pernikahan dan makin  terlindung dari aneka pencobaan. Pernikahan tidak mungkin bertumbuh bila pasutri terus direpotkan dengan masalah pasangan yang hidupdalam cahaya kekudusan yang meredup.

5.5 Melemahnya Pengenalan akan Allah
Hidup pasutri berasal dari Allah. Itu sebabnya pautri  hanya dapat memaknai hidup dari mata Allah sendiri. Pengenalan akan karakter Allah, cara Allah bekerja, dan rencana Allah atas pasutri bukan saja memberi pasutri kejelasan akan makna hidup tetapi juga menempatkan pasutri pada jalur yang benar di dalam menjalani hidup. Jika pasutri berdua berjalan di jalur yang sama, keduanya  akan makin disatukan dan dikuatkan dalam menjalani hidup. Sebaliknya, bila keduanya  hidup di jalur berbeda dan memaknai hidup secara berlainan maka mereka makin terpaut  jauh. Dalam kondisi sedemikian besar kemungkinan akan lebih sering bertabrakan dalam konflik. Pengenalan akan Allah yang mendalam dan tepat membuat pasutri  teguh—tidak mudah terombang-ambingkan oleh situasi kehidupan.
Relasi cinta pasutri akan sulit bertumbuh bila salah satu anggotanya terus bergantung pada yang satunya. Sebaliknya sewaktu pasangan melihat bahwa keduanya kokoh dalam pengenalan akan Allah dan kekuatan Allah, pasangan terdorong untuk mengenal Allah lebih dalam lagi dan menimba kekuatan lewat penyerahan kepada Tuhan. Tatkala ini terjadi, pernikahan pun akan mengalami pertumbuhan. Sebaliknya bila pasutri tidak berminat memperdalam pengenalan akan Allah, mereka  tetap berada pada level kanak-kanak dan ini akan membuat pasangan merasa letih/bosan hidup bersama.

5.6  Menurunnya Ucapan Syukur
Pasutri  diharapkan  berupaya keras agar tidak terjebak di dalam siklus mengeluh. Pasutri mestinya berusaha untuk hidup dalam sikap bersyukur yakni melihat dan menghargai pemberian Tuhan. Cinta yang tumbuh anta pasangan adalah pemberian Tuhan yang harus disyukuri.  Relasi pasutri sukar bertumbuh bila pasnagan kerap mengeluh dan menyatakan tidak puas terhadap apa yang diterima. Pasangan akan menjauh bila pasangannya sering menggerutu. Sebaliknya hati yang bersyukur menceriakan suasana dan memberi dorongan kepada pasangan untuk melanjutkan hidup dengan lebih riang dan ringan. Syukur bukanlah sebuah perasaan; syukur adalah sebuah sikap. Pasutri diharapkan menentukan bagaimana mereka akan melihat hidup. Pasutri dapat melihat hidup dari kacamata “kurang” atau “cukup.” Bila keduanya terus menggunakan kacamata “kurang” maka semua akan menjadi kurang. Sebaliknya jika pasutri menggunakan kacamata “cukup” pasutri akan cepat bersyukur kepada kasih setia Tuhan. Merasa selalu kurang membuat orang bertindak dan berjalan di luar jalur. Ketika pasangan melihat pasangannya dengan kaca mata kurang maka ia akan mencari yang lebih di luar pasangannya. Dan itulah awal bala bencana menghilang dan dan terkuburnya cinta pasutri.

5.7  Melemah atau  Putusnya Jaringan Komunikasi
Kalau kita mencermati semua berita tentang kecelakaan pesawat terbang, maka berita jatuhnya pesawat biasanya diawali dengan menghilangnya kontak antara pilot dengan menara pengawas. Kehilangan n kontak bisa terjadi karena jaringan komunikasi yang menghubungkan pilot dan menara pengawas tidak berfungsi atau mengalami kakacauan. Kita semua paham bahwa kehilangan kontak atau komunikasi seperti itu mendatang maut. Hidup Cinta pasutri terancam hilang jika komunikasi terganggu atau terputus.
Apa sebenarnya tema dan inti komunikasi pasutri itu? Ada banyak tema yang dikomunikasikan dalam kehidupan pasutri tetapi semunya terangkum dalam dua topik besar yang satu berkaitan dengan Istri dan yang kedua berkaitan dangan suami. Pada dasarnya tema yang berhubungan dengan suami adalah KETERTIBAN sedang tema yang berkenaan dengan istri adalah KEPASTIAN.  Suami menginginkan agar segalanya berjalan dengan tertib alias tertata dan dapat dikendalikan. Pria berusaha untuk memegang kendali atau menguasai keadaan sebab hanya dalam kondisi ini ia dapat hidup lega dalam ketertiban.  Bila ia tidak mendapatkannya, ia mudah terjebak ke dalam perilaku dominan dan bahkan, kasar alias memaksakan kehendak. Istri menginginkan kepastian dan keinginan ini lahir dari kebutuhan akan rasa aman. Bila tidak diperolehnya, istri cenderung mengeluh dan menuntut, supaya kecemasannya berkurang.  Tidak heran, dalam kebanyakan kasus, istri lebih mudah cemas dibandingkan dengan suami.
Sekali lagi, walaupun topik pembicaraan bervariasi, namun kalau kita telusuri dengan saksama, kita akan dapat menemukan dua tema umum ini.  Berdasarkan pemahaman ini, sebetulnya dalam berkomunikasi, penting bagi pasutri untuk menyadari kebutuhan mendasar ini dan memenuhinya.  Kadang pasurti meributkan banyak hal di permukaan, padahal yang memunculkan semua ini adalah kebutuhan akan ketertiban dan kepastian.
Jadi, kalau suami sadar bahwa yang dibutuhkan istri adalah kepastian yang dapat menciptakan rasa aman, sedapatnya berikanlah itu.  Gunakan kata-kata yang menyejukkan dan sajikan informasi yang membuat istri tenang.  Sebaliknya, istri pun sebaiknya memberi kesempatan kepada suami untuk berpikir tenang dan memutuskan persoalan. 
Dalam berkomunikasi pasutri terbayang oleh dua ketakutan yaitu ketahukutan TIDAK DIMENEGERTIdan ketakutan TIDAK DIHIRAUKAN. Kebanyakan pasutri tidak berkomunikasi karena takut pasangan tidak akan mengerti apa yang akan disampaikan.  Jadi, daripada mengatakannya dan tidak dimengerti, akhirnya pasangan memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Itu sebabnya pasangan mesti memersiapkan pasangannya sebaik-baiknya agar dapat mengerti apa yang mau disampaikan.  Misalnya,orang harus memerhatikan penggunaaan kata yang tepat sebab kata yang tidak tepat dapat mengaburkan makna atau bahkan memancing reaksi keliru.  Juga orang musti memphitungkan kadar emosi sebab kadar emosi berlebihan dapat membuat pasangan mundur teratur sebelum sempat mendengarkan perkataan pasangannya. Berkaitan dengan perasaan takut tidak dihiraukan, sering kali hal ini terjadi dalam pernikahan. Ketika psangan berbicara serius namun pasangannya  tidak memerhatikannya.  Matanya tidak tertuju ke tempat lain, reaksinya juga sepotong-potong.  Akhirnya pasangan  merasa percuma mengungkapkan isi hatinya.  Inilah yang akhirnya membuat pasutri enggan berkomunikasi. 
6. Pilar-Pilar Penopang Cinta Pasutri
Keluarga rajawali adalah keluarga yang ingin mempertahankan cinta. Dalam kenyataan banyak masalah yang membuat cinta itu menjauh termasuk karena adanya konflik dengan segala amcam alasannya. Untuk itu cinta harus dipagar dan pasutri harus secara bersama menyiapkan pilar-pilar yang akan mengamankan cinta itu. Saya menawarkan 10 tiang pengaman cinta pasutri dalam kondisi konflik atau kondisi yang tidak menguntungkan. Ada 5 pilar yang harus dimilki suami  (S-U-A-M-I) yang mengamankan cinta Istri  dan ada 5 pilar milik Istri (I-S-T-RI) yang mengamankan cinta suami. Dalam konteks usaha membebaskan diri dari sindrom rumput hijau baiklah saya coba memaknai setiap huruf pada pasangan kata SUAMI-ISTRI itu. Pasangan kata itu terdiri atas 10 huruf bermakna dan dibagi adil  karena lima huruf milik suami dan lima huruf milik istri. Saya memakani dan melengkapinya dengan teks dari kitab Amsal.
·         Sadarilah bahwa masing-masing punya andil jikalau konfliks sampai terjadi. (Amsal 14,17: Jauhilah orang bebal, karena pengetahuan tidak kaudapati dari bibirnya)
·         Usahakanlah untuk mengadu atau berbicara terlebih dahulu hanya  kepada  Tuhan (Ams 11:13: Siapa mengumpat, membuka rahasia, tetapi siapa yang setia, menutupi perkara).

·         Akuilah dengan jujur dan ekspresif perasaan-perasaan negatifmu di hadapan Tuhan (Ams 5:21: Karena segala jalan orang terbuka di depan mata TUHAN, dan segala langkah orang diawasi-Nya)

·         Mintalah hikmat dan kasih tambahan untuk dapat menyelesaikan konfliks tersebut sesegera  dan setuntas  mungkin (Ams 4:6:  Janganlah meninggalkan hikmat itu, maka engkau akan dipeliharanya, kasihilah dia, maka engkau akan dijaganya).

·         Izinkanlah istri untuk mencurahkan isi hati, termasuk uneg-unegnya, dengan merdeka, tanpa takut dimarahi (Ams 11:2: Jikalau keangkuhan tiba, tiba juga cemooh, tetapi hikmat ada pada orang yang rendah hati)

·         Izinkan suami menganalisis masalah tanpa diinterupsi, sehingga pokok masalah dapat disoroti  secara jernih (Ams 10:19 : Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi).
·         Salurkanlah energi senantiasa untuk mencari solusi,  bukan untuk  mencari-cari  kesalahan (Ams 17:9: Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib).
·         Tetapkanlah hati untuk saling meminta maaf satu kepada yang lain  dan memohon  pengampunan Tuhan (Ams 16:6: Dengan kasih dan kesetiaan, kesalahan diampuni, karena takut akan TUHAN orang menjauhi kejahatan).
·         Rayakanlah penyelesaian konfliks secara kreatif (Ams 24:10: Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu).
·         Isilah hari-hari selanjutnya dengan curahan kasih sayang yang lebih  konkret demi kesembuhan dan pemulihan hubungan dan keintiman (Ams 27:5: Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi)

7. Penutup
Kita mengidealkan keluarga Katolik Rajawali tetapi kita masih hidup di dunia dengan segala hal yang akan menarik kita  dan boleh jadi membuat kita tidak bisa terbang seperti rajawali. Dalam kerendahan hati tentu kita harus manaruh harapan kepada Tuhan sebagai Induk rajawali dan kita percaya kita akan selalu di bawa terbang di atas kepak sayapnya. Karena itu, kita perlu menyadari bahwa hidup kita, hidup keluarga kita tidak selamanya mulus karena di jalan yang kita lewati itu PASTI kita akan menjumpai banyak hal: ada krikil, ada duri, ada persimpangan, ada pentujuk arah, ada masalah, ada pengorbanan, ada air mata, kritikan, ada tawa, ada senyuman, ada orang lain. Semunya itu kita kita butuhkan dalam mendandanii mosaik kehidupan keluarga kita menuju keluarga rawajali.
Kita membutuhkan Kerikil yang tajam supaya kita belajar  berhati-hati.  Kita membutuhkan Semak Berduri supaya kita lebih  Waspada. Kita membutuhkan Persimpangan supaya kita memilih secara Bijaksana. Kita membutuhkan Petunjuk Jalan supaya kita punya kepastian tantang masa depan. Kita membutuhkan  Masalah supaya kita tahu kita memiliki Kekuatan. Kita membutuhkan Pengorbanan supaya kita tahu cara Bekerja Keras. Kita membutuhkan Airmata supaya kita tahu merendahkan Hati. Kita membutuhkan Kritikan supaya kita tahu bagaimana Cara Menghargai. Kita membutuhkan Tertawa supaya kita tahu Mengucap Syukur. Kita membutuhkan Senyuman supaya kita tahu kita Punya Cinta. Kita membutuhkan Orang Lain supaya kita tahu kita Tak Sendirian
Akhirnya, saya menutup renungan rekoleksi ini  dengan harapan semoga ada manfaatnya dan untuk hal yang tidak berkenan mohon dilupakan dan dimaafkan. Marilah kita terus berjuang membangun keluarga kita, membangun gereja kita dengan dan dalam semangat Rajawali. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga besar. Mari kita berjuang untuk menjadi keluarga rajawali. Semoga




[1] Imam Projo Keuskupan Ruteng, mantan pembina dan guru Seminari Kisol, kini mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang. 

Wednesday, March 26, 2014

PUASA MELENTURKAN TENGKUK DAN HATI

Kamis Pekan ke-3 Prapaska, Th.A1 27 Maret 2014
Yer.7,23-28  Luk.11,14-23
Kapela Cor Jesu Malang

Buka
Marilah kita mempesiapkan hati merenungkan misteri keselamtan yang kita rayakan hari ini. Kita kosongkan hati dan diri kita dari segala kelemahan agar rahmat Allah mengalir ke dalam diri dan menyegarkan hidup dan perjuangan kita sepanjang hari ini.

Renungan
Pukul 05.00 Lonceng gerejaini biasanya dibunyikan. Bunyinya bisa masuk dan meransang telinga kita. Berhadapan dengan adanya bunyi lonceng itu ada dua model mekanisme fisik yang terjadi. Model pertama orang mendengar bunyi loceng. Model kedua orang mendengarkan bunyi lonceng. Kata mendengar dan mendengarkan merupakan dua kata yang bermakna  sangat berbeda. Orang yang mendengar hanya bisa mengatakan bahwa yang masuk telinganya bunyi loceng gereja.  Bagi mereka yang mendengarkan mengatakan bahwa yang masuk telinganya bunyi lonceng gereja untuk membangun sekaligus mengajak orang untuk menghadiri ekaristi. Mendengarkan jauh lebih bermakna dari sekadar mendengar.
Ada banyak masalah dalam kehidupan kita terjadi karena kita hanya sampai pada tingkat mendengar dan belum sampai pada tingkat mendengarkan. Nubuat Yeremia hari ini lebih menekankan satu model cara cara hidup yang lebih bermutu, lebih berkualitas bagi umat Allah dengan mendengarkan Allah. Nabi diutus untuk menyuarakan kehendak Tuhan dan menuntut umat untuk mendengarkannya. Tuhan mengungkapkan kekecewaaan-Nya terhadap bangsa terpilih yang tidak mau mendengarkan. Bangsa Israel yang menjadi bangsa yang tegar tengkuk. Tengkuk yang tegar, tulang leher yang kaku, kejang memang tidak memungkinkan orang untuk bisa mencermati, mendengarkan apa yang Tuhan inginkan melalui para nabi-Nya.
Nabi Yeremia berhadapan dengan kaum yang tegar tengkuk, tidak akan memahami kehendak Allah. Yesus juga dalam penggalan injil hari ini berhadapan dengan sekelompok orang yang bukan hanya tegar tengkuk tetapi lebih dari itu berhadapan dengan orang yang tegar hati.  Sulit dibanyangkan apa yang terjadi pada orang yang tegar tengkuk sekaligus tegar hati. Orang seperti itu hampir pasti akan menilai dirinya yang benar. Itulah inti dan latar belakang diskusi Yesus dengan orang menganggap Yesus berkuasa mengusir setan dengan bantuan komandan para setan. Yesus berhadap dengan orang yang telinga dan harinya tegar dan keras.

Dua bacaan hari ini kiranya mengingatkan dan mengajak kita pada masa puasa ini untuk membenahi telinga dan hati kita mendengarkan Tuhan. Mari kita jadikan masa tobat yang sisa ini sebagai kesempatan melenturkan sendiri-sendi tengkuk dan melembutkan hati kita biar menjadi tempat Allah menyatakan kebesaran dan kemulian-Nya. Berkat Tuhan menyertai semua renana dan niat baik kita. Amin

Tuesday, March 25, 2014

KETELADANAN IBARAT MATA AIR

HARI MINGGU PRAPASKA III
Kel 17:3-7; Rm 5:1-2.5-8; Yoh 4:5-42
Gereja Cor Jesu Malang, 23 Maret 2014
Keteladanan: Mata Air yang Senantiasa Menghidupkan
==================================================

Buka
Firman Tuhan hari ini mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa air yang menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan fisik kita secara rohani dimaknai sebagai kebutuhan yang menjamin keselamatan jiwa kita. Karena itu kitab suci berbicara tentang air lebih dari sekadar penjamin kesegeran fisik melepaskan rasa haus kita tetapi air menjadi simbol dan sarana rohani yang menyegarkan jiwa kita. Kita membutuhkan sumber dan Mata air rohani yang menjamin sampai kehidupan kekal. Kita datang ke hadapan Tuhan pagi ini dalam semangat dan spirit perempuan Samaria untuk memohon agar kita diberi air dan rahmat dalam perayaan. Untuk itu kita menyadari kelemahan dan kedosaan kita.

Renungan
Hari Jumat (21/3) kemarin  bertempat di Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR, Jakarta  berkumpul beberapa tokoh penting yaitu Ketua MPR Sidarto Danusubroto, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Ketua DPD RI Irman Gusman. Mereka berkumpul di Kompleks MPR/DPR bukan untuk konvensi  menjadi cawapres. Mereka berada di sana untuk suatu hal yang tidak ada kaitannya dengan politik, apalagi persoalan kampenye. Mereka berkumpul untuk mengikuti acara peluncuran sebuah buku penting karya  Yudi Latif.
Judul buku setebal 650 halaman itu amat relevan untuk dikaitkan dengan Firman Tuhan yang diperdengarkan kepada kita pada Minggu ke-3 Prapaska ini. Judul buku karya pimpinan Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila itu penting dan menarik yaitu “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan”. Melalui berita  yang dirilis berbagai media online  tentang peluncuran buku itu, kita dapat membaca  berita  dan komentar bahwa buku Mata Air Keteladanan itu dianggap paling efektif dalam rangka menjamin keselamatan bangsa. Baik judul buku maupun aneka komentar tentang peluncuran buku itu semuanya memberi tekanan pada satu masalah pokok. Persoalan pokok penentu arah hidup dan gerak bangsa ini yakni Pancasila. Penulis buku itu mengakui bahwa dasar dan titik star kelahiran dan kehadiran buku itu tidak lain karena bangsa ini telah sarat dengan keluhan karena adanya krisis keteladanan.
Yudi Latif, dalam keterangan persnya, secara gamblang menyampaikan sekaligus mengingatkan warga bangsa untuk senantiasa meneladani tokoh-tokoh anutan untuk para penganut agama. Menurut Latif tokoh-tokoh seperti Yesus, Nabi Muhammad, Sidharta Gautama, telah memberikan keteladanan itu. Dan, keteladanan tokoh-tokoh itu dikisahkan secara berkesinambungan sehingga mendorong orang untuk mengikutinya. Sebagai  bangsa kita memiliki banyak keteladanan untuk berbagai bidang namun kita tidak hanya  gagal menceritakan, mengisahkan  tetapi lebih dari itu kita  gagal meneladani keteladanan itu,” Kegagalan dalam hal keteladanan yang menggelisahkan hidup manusia terjadi karena kerakusan dan keserakahan telah menjadikan kehidupan kita tandus dan gersang ibarat padang gurun tanpa harapan. Keteladanan itu ibarat mata air yang dirindukan setiap orang tetapi begitu keteladanan dikalahkan oleh kepentingan diri, kerakusan, keserakahan, korupsi, budaya suap, sikap intolerasi, mau menang sendiri, dan sejenisnya maka mata air itu hilang dan berganti rupa menjadi air mata. Kurang lebih itulah yang telah melanda bangsa kita hingga saat ini.
Pada tataran nasional, dalam konteks kehidupan berbangsa dan negara yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila buku Yudi Latif “Mata Air Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan” dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memaknai dan memperjuangkan nilai-nilai kehidupan yang bercorak universal. “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan” ini merekam bagaimana nilai-nilai Pancasila dipraktikkan dalam keseharian perilaku para tokoh bangsa, penyelenggara negara, para politisi, dan aktivis kemasyarakatan serta masyarakat umum.
“Keteladanan adalah nilai yang operasional, bukan sekadar kata-kata mutiara. Artinya, selain bersifat inspiratif (memperluas wawasan) keteladanan juga harus aplikatif (artinya dipraktikkan dan dihayati). Begitulah Pancasila harus berfungsi sebagai sumber dan pedoman keteladanan bagi kita semua sebagai warga bangsa dan negara.
Apa relevansi gagasan Yudi Latif yang berbicara tentang Mata Air Keteladanan terkait Pancasila dengan  pesan Firman Tuhan untuk kita hari ini?  Pertanyaan ini dapat kita runut dan temukan jawabannya dalam tiga teks bacaan  hari ini.  Yudi Latif berbicara tentang Mata Air Keteladanan sebagai sebuah perbandingan, sekadar metafora tentang betapa pentingnya pemaknaan nilai-nilai Pancasila secara benar dalam praktik hidup warga negara. Keteladanan yang dimaksudkannya berkaitan dengan para pemimpin yang diberi mandat dan amanat untuk membawa warga pada suatu kondisi kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Pemimpin diharapkan menjadi sumber mata air yang selalu menyegarkan, menghidupkan, tempat orang mempertaruhkan hidup dan matinya.
Firman Tuhan hari ini juga berbicara tentang keteladanan tokoh kitab Suci yang diberi mandat dan amanat sebagai pemimpin untuk menuntun umat manusia selama ziarah di bumi dan sebelum berziarah ke alam baka. Dua sisi dan dua arah keteladanan pemimpin dalam konteks kitab suci digambarkan dalam bacaan pertama dan injil hari ini. Bacaan pertama menampilkan dimensi masa kini dan dimensi fisik keteladanan seorang pemimpin yang diberi mandat untuk memberi jaminan fisik bagi bangsa yang dipimpinnya. Tokoh Musa ditampilkan sebagai orang yang dimandati dan diamanati untuk menjamin perjalanan bangsa Israel menuju tanah terjanji. Injil menampilkan Yesus (Musa Baru) pemimpin juga diamanati dan diutus untuk menuntun jiwa manusia menuju kemuliaan kekal. Tokoh Musa dalam bacaan pertama memberi gambaran tentang pemenuhan fisik masa kini dan Tokoh Yesus dalam injil memberi gambaran tentang pemenuhan tuntutan jiwa pada masa mendatang.
Baik Kitab Keluaran maupun bacaan injil Yohanes  hari ini berbicara tentang kebutuhan pokok untuk kehidupan manusia yaitu air. Kekurangan air dan terlebih lagi ketiadaan air selalu menjadi masalah untuk kehidupan manusia. Kita bisa mengerti kalau orang cekcok hanya karena berebut air karena memang air menentukan hidup mati manusia. Bagi Saudara/i yang pernah ke Israel dan mengambil paket Ziarah Israel Mesir atau sebaliknya, tentu akan melihat dan merasakan betapa panasnya padang gurun Mesir dan Sinai itu.  Dua tahun lalu saat berziarah ke Israel, setelah dua hari di Mesir kami harus ke gunung (Horeb) Sinai. Dari mesir ke Gunung Sinai ditempuh selama 6 jam dengan bus melintasi di bawah laut di terusan Zues. Sekitar 20-an kilometer dari terusan Zues kami berhenti di sebuah sumur namanya sumur Mara seperti yang ditulis dalam (Kel.15,23). Di namakan sumur Mara karena airnya terasa pahit. Dari Sumur Mara sekitar dua jam perjalanan kami berhenti di Elim dan di situ ada 12 sumur dan 70 pohon kurma selanjutnya 2 jam tiba di kaki gunung Horeb atau gunung Sinai tempat Musa menerima 2 loh batu. Dalam perjalanan menuju Horeb itulah bangsa yang dipimpin Musa itu bertengkar karena mereka terancam kematian. Mereka bertengkar karena kehausan lalu meragukan kepemimpinan Musa bahkan meragukan kehadiran Yahwe.  Musa sebagai tokoh pemimpin yang ditentukan Yahwe dilengkapi kuasa untuk memenuhi harapan bangsa yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin Musa berada di depan dan diberi tongkat sebagai lambang kuasa dan otoritas yang diterimanya. Musa terbukti bisa mengatasi rasa haus bangsa yang dipimpinnya menuju puncak untuk menerima hukum Tuhan yang menjadi pedoman kehidupan. Di mata bangsa Israel tongkat yang diterima Musa sebagai simbol kekuasaan bukan untuk menelantarkan bangsanya tetapi justru untuk membebaskan bangsanya dari aneka ancaman yang mematikan.
Yesus yang dikisahkan injil hari ini lebih dari Musa karena Yesus sendiri adalah inkarnasi Allah yang dahulu memberikan Musa Tongkat untuk memimpin dan menyelamatkan Israel. Musa menyelamatkan dan membebaskan bangsa Israel dari rasa haus fisik yang bercorak sementara sedangkan Yesus memberi jaminan melampaui jaminan fisik dan bersifat kekal. Yesus memberi kepenuhan akan harapan dan kerinduan manusia baik secara fisik maupun secara rohani. Yesus memberi kesegaran dan kehidupan bukan saja kehidupan fisik yang sementara tetapi menjanjikan jaminan jiwa yang bersifat kekal. Dialog dan kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria hari ini menjadi bukti betapa Yesus melebihi Musa. Kehadiran Yesus sebagai Mata Air menggaransi manusia secara utuh jiwa dan raganya. Jaminan utuh untuk keselamatan manusia dilakukan Yesus dengan meruntuhkan sekat-sekat pembatas antara laki-laki dan perempuan, antara orang Samaria dan Orang Yahudi. Isi dan materi dialog antara Yesus dan perempuan Samaria tadi sungguh meyakinkan kita betapa Tuhan itu bermurah hati dan berbelas kasih terhadap semua orang tanpa memandang perbedaan. Yesus mengajarkan kita bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang senang mendengarkan aneka kisah tentang kegelisahan hidup orang lain, menawarkan solusi yang tetap bukan hanya untuk jangka pendek lahiriah melainkan juga untuk jangka panjang kehidupan jiwa yang abadi.
Yesus sebagai Musa Baru telah menjadi sumber Mata Air yang menanti menghidupkan  dan menyegarkan. Darahnya yang tercurah di kayu salib adalah jaminan keselamatan orang yang percaya.  Tuhan telah memberikan semuanya dan segalanya untuk kita. Dalam bahasa santu Paulus hari ini dikatakan bahwa Air kehidupan itu adalah cinta kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita. Dan kuasa itu disalurkan bukan oleh kuasa manusia melainkan oleh kuasa Roh Kudus. Paulus mengingatkan kita bahwa hanya dalam iman akan Kristus kita akan senantiasa kuat dan berdiri megah dalam pengharapan untuk menerima kemuliaan dari Allah.
Mata air dan sumber air pada hakikatnya mengalir untuk memberi kehidupan, memancarkan harapan, menjamin kesegaran, dan memungkinkan kehidupan. Mata air akan selalu mengalir untuk memberi. Kalau para pemimpin dikatakan sebagai Mata air atau menjadi sumber air, itu artinya pemimpin diamanatkan untuk menjamin keberlangsungan hidup orang yang dipimpinnya secara utuh. Musa telah mengatasi pertengakran bangsa yang dipimpinnya dengan bahasa air yang menyejukkan. Yesus sebagai mata air telah membersihkan noda dosa manusia dengan darahnya dan menguatkan setiap yang goyah dengan kekuatan kuasa Roh Kudus. Bahasa Air adalah bahasa memberi, bahasa mengalir untuk menghidupkan dan membersihkan.  Kita merindukan orang yang memiliki semangat dan spirit ibarat Mata air yang hanya mau memberi tanpa menuntut untuk menerima.
Saat ini kita tengah disibukkan dan dihiruk-pikukkan oleh begitu banyak orang yang mau mencalonkan diri menjadi pemimpin. Kita tentu bersyukur karena ada begitu banyak orang yang mau menjadi pemimpin, pejuang. Telinga kita tengah dikuasai slogan dan janji politik dari mereka yang mau menjadi calon pemimpin. Hal yang perlu kita cermati adalah ungkapan ini, kekuasaan yang diperebutkan cenderung disalahgunakan. Sebaliknya kekuasaan yang diamanatkan, dimandatkan akan dimaknai sebagai tanggungjawab yang harus dipertanggungjawabkan. Yesus tidak tidak pernah berkampanye memaparkan visi dan misinya sekadar menaikkan elektibilitas, tidak pernah mencetak baliho sekadar promosi prestasi, tidak pernah memasang semua gelar, dan riwayat hidup tetapi anehnya Yesus tetap menjadi Mata Air Keteladanan. Kuncinya karena Ia telah menjadi Mata Air  yang memberi harapan masa kini dan masa depan bagi umat manusia yang beriman kepada-Nya.
Suatu pagi Pak Kir terperosok ke dalam lubang sampah milik tetangga. Pak Kir tidak bisa keluar karena lubang cukup dalam. Beberapa orang datang menolongnya. Mereka pak Kir untuk memberikan tangannya biar bisa ditarik keluar. Ayo Pak Kir BERIKAN TANGANMU biar kami menarikmu keluar. Pak Kir tidak bereaksi. Diam tak menanggapi. Banyak orang akhirnya biarkan pak Kir terjebak di lubang sampah itu. Kemudian datang teman dekat pak Kir. Temannya berkata: Ayo Pak Kir TERIMALAH TANGANKU biar aku menarikmu keluar. Tanpa pikir panjang Pak Kir menerima tangan temannya dan dia ditarik keluar. 
Ketika ditanya mengapa saat temannya datang pak Kir bereaksi, temannya menjelaskan. Anda rupanya belum tahu sejarah nama untuk Pak Kir itu. Dia dipanggil pak Kir karena ia terkenal karena Kikirnya.  Kamu meminta dia untuk MEMBERI tangannya kepadamu sedangkan saya memintanya MENERIMA tanganku. Untuk pak Kikir kata MEMBERI  hampir tidak dipakainya yang digunakan hanya kata MENERIMA. Kata MENERIMA merupakan kata penting untuk seorang yang kikir.

Mari kita belajar untuk menjadi Mata Air yang memberi teladan dengan tindakan dan bukan dengan kata-kata. Orang Roma bilang: Verba Movent, Exempla Trahunt, kata-kata hanya mengajak tetapi teladan senantiasa lebih menarik. Kita perlu kehadiran orang yang pantas diteladani dan semua kita dipanggil untuk menjadi teladan dan Mata air bagi sesama kita. Tuhan memberkati kita! Amin