Wednesday, May 14, 2014

BAHAN REKOLEKSI FRATER BHK

Bahan Renungan

Peringatan Wafat Pendiri Frater Bunda Hati Kudus

Malang, 20 September 2013



FRATER, BIARAWAN, GURU

MENJADI KELEDAI DI TANGAN TUHAN



1. Pengantar

Hari Kamis 12 September 2013 Frater Vinsen, Oversteh Komunitas Claket bertanya kepada saya. Romo, tanggal 20 ada pergikah? Saya tidak menjawab ya atau tidak tetapi saya malah balik bertanya: memangnya ada ap tanggal itu? “Hari itu ada rencana kegiatan siraman Rohani dalam rangka mengenang kematian sang pendiri Frtar BHK”, begitu, jawaban Fr.Vinsen. Oh kalau begitu saya bisa ikut, lanjut saya. Ya, nanti kami minta Romo juga memberi materi. Setelah itu tidak ada pembicaraan lanjutan. Senin malam, 16 September sambil menuci peralatan makan saya tanyakan kepada Fr.Vinsen apakah acara siraman rohani yang direncanakan itu jadi dilaksanakan? Ya, jadi Romo kata Fr.Vinsen. Lalu saya minta temanya dan kepada saya hanya disampaikan tiga kata yaitu Frater, Biarawan, Guru dengan catatan tambahan harus dikaitkan dengan kitab suci biar dianggap punya dasar biblis.



2. Tiga Kata Biasa yang Diluarbiasakan

Tadi pagi ketika saya mulai duduk di kamar menyiapkan bahan ini saya kesulitan menentukan teks kitab suci yang tepat untuk dijadikan sumber inspirasi. Juga pada saat itu muncul beberapa pertanyaan di dalam hati: apakah ketiga kata: Frater, Biarawan, Guru, yang diberikan kepada saya ini sungguh memiliki keistimewaan sehingga pantas dipilih menjadi payung sebuah kegiatan bertajuk Siraman Rohani? Apakah ketiga kata ini dapat direkayasa untuk menciptakan hujan yang akan menyirami lahan kehidupan para Frater. Apakah ketiga kata ini bisa memberi inspirasi untuk turunnya hujan menyirami lahan rohani para frater? Bukankah ketiga kata ini biasa, sering, selalu kita gunakan? Mengapa harus dijadikan bahan permenungan kita?

Dari pertanyaan-pertanyaan itu saya mencoba merumuskan asumsi dalam pertanyaan: Apakah ketiga kata itu memang punya makna dan penting untuk kita? Apakah karena ketiga kata itu telah mengalami atrisi atau kehilangan makna dan kekuatannya dalam kehidupan para frater? Kalau itu menjadi alasannya: maka dalam konteks pertemuan ini ketiga kata Frater, Biarawan, Guru jelas menjadi tiga kata biasa yang harus dimaknai secara luar biasa atau diluarbiasakan. Jika benar ketiga kata itu telah kehilangan makna, citra, nuansanya dalam keseharian hidup dan panggilan kita maka saat ini harus dijadikan sebagai momen revitalisasi dalamnya kita berusaha mengahadirkan, menyegarkan kembali makna ketiga kata itu.

Jika itu yang kita kehendaki dan jika itu yang terjadi maka perjumpaan ini tepat disebut sebagai peristiwa siraman rohani. Karena konteksnya siraman rohani maka saya percaya semua kita akan membuka lahan hati dan taman jiwa untuk menerima proses pemaknaan tiga kata biasa yang diluarbiasakan ini. Bagaimana kita jadikan tiga kata biasa itu menjadi tiga kata luar biasa? Jawabannya harus kembali pada konteks siapa yang menyebutkan kata-kata itu dan kepada siapa kata-kata itu dialamatkan. Ketiga kata biasa itu diucapkan oleh orang biasa dalam cara yang luar biasa. Orang biasa yang meluarbiasakan kata-kata itu pada akhirnya menjadi orang luar biasa dan dialah Pendiri Tarekat Frater BHK, Ignatius Andreas Schaepman. Tiga kata itu menjadi istimewa karena diucapkan oleh sang pendiri Tarekat Frater BHK dan dialamtkan kepada semua pengikutnya. Saya kira dalam pelajaran tentang sejarah Tarekat para frater telah mempelajari mengapa pendiri menggunakan kata Frater dan bukannya bruder.

Kata Frater, Biarawan dan Guru itu secara istimewa dikatakan pendiri sebagaimana tertulis pada buku doa Kongregasi Frater BHK terbitan tahun 1994 halaman 293 di bawah judul ” Pikiran-pikiran yang Membangun” pada point pertama tertulis kata-kata Pendiri dalam beberapa kalimat ini: (1) Saya memerlukan FRATER-FRATER yang berkeyakinan mendalam tentang pentingnya pendidikan kaum muda. (2) Saya memerlukan BIARAWAN-BIARAWAN yang Rajin yang unggul dalam kebijaksanaan dan kecakapan dijiwai oleh suatu itikat yang murni, pembaktian diri yang besar untuk tugas yang ditunjuk pembesar kepada mereka. (3) Saya memerlukan orang laki-laki yang sanggup mencamkan kebenaran dasariah kepada MURID-MURID yang dipercayakan kepada mereka. Dari kutipan kata-kata pendiri ini kita melihat ada kata Frater, Biarawan, sedangkan kata guru itu disembunyikan atau diandaikan ada dalam kata murid-murid. Kalau kita rumuskan secara singkat kata-kata pendiri tadi menjadi Saya MEMERLUKAN FRATER, BIARAWAN, DAN GURU.

Kata-kata dan kalimat bernada harapan dan membangun yang dikatakan sang pendiri ini tegas dan jelas. Ia MEMERLUKAN FRATAER, BIAARAWAN, DAN GURU. Kata memerlukan yang diletakkan di depan tiga kata itu sangat penting untuk dimaknai. Mengapa? Karena pemilihan untuk menggunakan kata MEMERLUKAN itu oleh pendiri saya kira bukan sebuah kebetulan tetapi memang betul adanya dan itulah yang betul. Pemilihan kata itu sesungguhnya (minimal dalam refleksi saya) merujuk pada satu momen penting dalam misi perutusan Yesus di mana Yesus juga harus menggunakan kata itu. Momen-momen puncak pelaksanaan misi Yesus diwarnai dengan pemakaian kata ”MEMERLUKAN” ini. Kita bisa ambil salah satu momen yaitu ketika Yesus hendak masuk kota Yerusalem Ia ketiadaan fasilitas transportasi. Untuk itu kita akan melihat bagaimana idealisme pendiri ini dikaitkan dengan apa yang menjadi misi Yesus.

Terinspirasi leh kata-kata sebagaipikiran yang membangun dari pendiri ini saya lalu memutuskan mengambil teks Markus tentang kisah Yesus masuk Yerusaelm yang biasanya dipakai pada hari perayaan Minggu Palma. Dalam konteks seperti inilah, saya kemudian merumuskan judul bahan pertemuan menjadi FRATER, BIARAWAN, GURU MENJADI KELEDAI DI TANGAN TUHAN.



3. Harapan Pendiri dalam Konteks Misi Yesus

Ada banyak hal yang menarik yang perlu kita maknai dan renungkan dari teks injil Markus tadi kalau dikaitkan dengan apa yang dikatakan pendiri tadi. Untuk kepentingan dalam pertemuan ini saya mengajak kita semua melihat dan memaknai beberapa kata kunci sebelum kita melihat keseluruhan pesan injil dengan status kita sebagai Frater, Biarawan, dan Guru yang diperlukan pendiri. Dalam teks tadi ada kalimat yang bernada perintah, bermodus imperatif yang sifat mendesak atau emergence. Yesus sudah dalam perjalanan mau ke Yerusalem. Yesus berhadapan dengan masalah biasa yaitu ketiadaan sarana, alat, media yang membawanya ke Yerusalem. Itu kondosinya. Begitu keadaan yang senyatanya. Untuk mengatasi kondisi ril itu Yesus meminta dua orang murid-Nya : "Pergilah ke kampung yang di depanmu itu. Pada waktu kamu masuk di situ, kamu akan segera menemukan seekor keledai muda tertambat, yang belum pernah ditunggangi orang. Lepaskan keledai itu dan bawalah ke mari. Dan jika ada orang mengatakan kepadamu: Mengapa kamu lakukan itu, jawablah: Tuhan memerlukannya.

Dari penggalan teks ini kita coba melihat bahwa Yesus meminta kedua murid itu ke kampung bukan ke kota. Ini jelas bahwa orientasi dan pilihan, opsi Yesus itu diarahkan kepada orang biasa, orang sederhana, orang kampung. Yesus tahu di kota orang tidak mungkin repot memelihara keledai. Perintah Yesus itu tepat, sesuai kenyataan. Ia inginkan agar murid yang disuruh itu tidak kebingungan dan tersesat. Arah dan orientasi pencarian sesuatu itu harus jelas. Dengan cara ini dan dalam model seperti ini Yesus sebagai guru member perintah yang jelas. Perintah Yesus bukan saja jelas tetapi juga bercorak progresif. Yesus tidak menyuruh dua murid itu ke sembarang kampong tetapi kampong yang ada di depan. Dari sini juga jelas bahwa Yesus mau menunjukkan model kehidupan yang terus maju untuk sebuah kejamuan. Yesus memberi arah dan orientasi ke masa depan, dan bukan ke masa lampau karena perjalanan itu harus ke depan bukannya mundur. Sebagai guru yang berhadapan dengan murid-Nya Yesus mengajarkan apa artinya berjalan ke masa depan, berpandangan dan bertindak progresif sekaligus mencegah mentalitas undur-undur yang selalu berjalan mundur.

Kedua murid yang diminta ke kampong di depan itu berhadapan dengan kenyataan seperti yang digambarkan Yesus. Mereka masuk kampong dan mendapatkan keledai yang tertambat. Di sini jelas yang dibutuhkan Yesus dari dua murid itu adalah kerelaaan mereka untuk pergi ke kampong yang ada di depan karena yang dibutuhkan itu sudah dipastikan TUhan. Sampai di sini kita boleh disadarkan bahwa perintah TUhan untuk melakukan sesuatu dan janji-Nya untuk mendapatkan sesuatu itu menjadi sebuah kepastian. Orang yang menjalankan perintah sesuai dengan rencana TUhan pasti mendapatkan apa yang dijanjikan. Dalam kenyataan seringkali orang merasakan bahwa janji-janji Tuhan tidak tergenapi seperti pengalaman dua murid tadi yang mendapatkan keledai yang sudah tertamabat. Kalau kegagalan yang dialami itu bukan karena Tuhan yang tidak menyiapkan tetapi mungkin karena manusia memlih jalan lain, jalan yang lebih panjang dan berliku-liku, mungkin juga karena manusia bukannya ke depan tetapi selalu mau ke belakang. Hal yang sama terjadi dalam soal panggilan. Orang sering mengatakan tidak ada panggilan kalau terpaksa harus meninggalkan biara. Yang benar adalah tidak adanyanya jawaban dari manusia atau orang menunda memberikan jawaban. Yang jarang ada hanya jawaban manusia karena manusia lebih mendengarkan suaranya sendiri, keinginannya sendiri.

Dua murid tadi mendapatkan keledai yang tertambat yang disediakan Tuhan di kampung yang di depan justru karena mereka berada di jalur yang benar dan berjalan maju ke satu sasaran yang tepat. Kedua murid itu dalam bahasa sekarang boleh dikatakan sebagai dua orang yang pandai memanfaatkan momentum. Mereka telah bertindak tepat waktu, tepat arah. Kegagalan yang selalu menimpa manusia bukan pertama-tama karena tidak adanya momentum tetapi terutama karena orang tidak pandai memanfaatkan momentum dalam arti bertindak tepat waktu dan tepat sasaran. Di dunia ini sebenarnya tidak ada orang gagal. Yang ada hanyalah orang yang tidak pandai menciptakan dan memanfaatkan momentum. Dua murid itu mengajarkan kepada kita tentang arti ketaatan dalam menjalankan sebuah amanat untuk mendapatkan apa yang dicari. Ada satu prinsip di kalangan komunitas SVD berkaitan dengan soal momentum ini. Mereka berprinsip dalam melayani, yang paling utama adalah fokus pada rencana dan program pelayanan bukan pada berapa uang yang disiapkan. Bagi mereka, program dan rencana di kantong kita, sedangkan uang Tuhan sudah titipkan di kantong orang. Prinsip ini hanya mau menegaskan bahwa segala kehendak baik pasti ada jalannya.

Keledai yang didapatkan kedua murid Yesus itu sesuai dengan apa yang dikatakan Yesus. Keledai itu didapiti dalam kondisi tertambat, terikat. Keledai yang diperlukan itu ternyata bukan sembarang keledai tetapi keledai memiliki kualifikasi tertentu. Keledai itu umurnya muda, dan juga belum pernah ditunggang orang lain. Kalau kita pikir-pikir sebagai orang kampung, tampaknya Yesus ini mau mencari gara-gara, menacari soal dan masalah. Mengapa? Biasanya kuda tunggangan itu dilatih berulang-ulang sebelum dijadikan kuda tunggangan dan itu membutuhkan keberanian karena kuda yang baru mau ditunggang pasti memberontak. Lalu kuda kampung kalau masuk kota jelas malu. Untuk mengekspresikan rasa malu seekor kuda masuk kota biasanya memberontak dan ingin lari apalagi kalau berhadapan dengan banyak kendaraan. Keledai itu, kalau dilihat mirip dengan kuda. Lalu Yesus mencari masalah: mengambil keledai orang, keledai masih muda, belum pernah dilatih dan ditunggangi, harus bawa masuk kota, harus berhadapan dengan orang banyak yang tidak mengerti perasaan keledai kampung karena mereka bersorak sorai saat keledai ditunggangi Yesus. Bagi kita, aksi Yesus ini tergolong nekad untuk tidak mengatakan gila. Hal yang mengherankan kita justru pemiliknya mengizinkan keledainya pesiar bersama Yesus ke kota Yerusalem. Lebih mengherankan lagi keledai itu tidak merasa asing atau memberontak ketika dibawa dan dipisahkan dari induknya. Keledai itu begitu lugu, tenang, sopan, rela diambil, rela dipisahkan, ditunggang memasuki kota Yerusalem. Tanggal 26 Juni 2011 untuk pertama kalinya saya melintas di jalan minggu palma ini. Setelah melihat kubur nabi Daud kami berjalan dari bukit Sion ke Yerusalem dan harus berjalan turun melewati gereja ayam berkokok, gereja air mata, gereja taman Getzemani di lembah Kidron lalu naik menuju Tembok Ratapan dan masjid Yerusalem. Saat itu saya membayangkan seekor keledai muda dari kampung ditunggang Yesus yang disoraki ribuan manusia seperti yang diksahkan dalam teks tadi.

Kisah keledai muda dengan sederetan kualitasnya yang diplih Yesus dalam teks tadi sesungguhnya juga menjadi bahan permenungan bagi kita. Kalau Yesus memilih keledai muda itu artinya dia akan menjadi pelatih agar keledai itu tidak memberontak saat ditungangi dan saat masuk kota. Terbukti keledai muda itu menjalankan peran dan fungsinya membawa Yesus ke Yerusalem tanpa masalah. Itu artinya, meskipun baru, muda, belum pernah ditunggangi, keledai itu mengikuti, taat pada apa yang dikhendaki Yesus sebagai guru yang menjinakkannya. Sampai di sini kita juga disadarkan bahwa keledai itu memiliki kualifikasi diri yang unggul yang memungkinkan program Yesus itu berjalan sesuai dengan rencana. Sikap keledai yang lugu, tenang, membawa Yesus ke pusat hidup yaitu kenisah Yerusalem masa itu. Juga kita disadarkan bahwa ketika Yesus tiba di Yerusalem karena jasa seekor keledai yakinlah kita bahwa keledai itu memang sudah dilepaskan dari tambatan dan ikatan di kampung asalnya. Suatu model pelepasan dan pembebasan diri untuk dimanfaatkan bagi kepentingan yang lebih besar.

Pertanyaan paling pokok untuk kita adalah: mengapa keledai itu diizinkan diambil, dilepaskan dari ikatan dan tambatannya. Jawabannya hanya satu yaitu “TUHAN MEMERLUKANNYA”. Kisah injil membutktikan bahwa keledai itu telah memenuhi KEPERLUAN TUHAN dengan menjalankan fungsi dan peran yang Tuhan rencanakan.

Dalam terang kata-kata Tuhan ini kita juga percaya bahwa pendiri tarekat frater BHK bukan kebetulan kalau menggunakan rumusan yang sama berkaitan dengan para frater pengikut semangatnya. Sebagai perpanjangan tangan Tuhan yang merindukan keselamatan banyak orang sang pendiri juga melanjutkan kata-kata Tuhan. “Saya MEMERLUKAN” bukan Keledai tetapi pra FRATER, yang berstatus BIARWAN, dengan tugas sebagai GURU. Terus terang sebenarnya saya senang menggunakan teks lain untuk pertemuan ini tetapi ketika saya membaca kata-kata pendiri saya lalu menggantinya dengan teks Tadi. Kata MEMERLUKAN menjadi kata penting sekaligus menghubungkan apa yang dikatakan dalam injil dengan apa yang dirindukan sang pendiri.

Ketiga kalimat yang disampaikan sang pendiri itu memuat tiga kata kunci permenungan kita dan tentu saja kaya arti dan syarat makna. Mengapa? Karena ketiga atribut itu (Frater, Biarawan, Guru). Ketiga kata itu dipilih dan digunakan sebagai atribut yang membedakan dan memisahkan. Pemakaian ketiga kata itu sebagai atribut memberi ciri khas atau pembeda antara apa yang boleh dan tidak boleh, antara apa yang pantas dan tak pantas untuk seorang Frater, biarawan, dan guru. Status kita, tanpa kita sadari telah membenai kita karena ada keharusan yang melekat pada status itu. Ketika kita menyebut diri sebagai frater, biarawan, guru maka sejumlah norma akan diikutsertkan sebagai ciri pembeda. Ciri pembeda berdasarkan status itukemudian terjelma dalam pola perilaku. Dalil dan hukum sosiologis mengatakan bahwa jabatan dan status membuat orang tidak bebas. Mengapa karena setiap jabatan dan status ada keharusan dan kewajibannya. Contoh sederhana: Kalau cara bicara seorang frater tidak itu tidak berbeda dengan cara bicara seorang pemuda yang bukan frater maka di situ status frater tidak lagi memiliki unusr pembeda. Semakin spesisfik dan intens seseorang mengidupi apa yang dipilihnya semakin mudah orang mengafirmasi status orang itu. Maaf sebagai contoh saja: Kalau setiap hari frater Dam mengenakan jubah saat mengikuti misa maka orang yang bukan frater jelas mengakui bahwa dia itu frater karena salah satu identitas pembedanya ia tampakkan. Ketika di warung makan sebelum makan kita membuat tand asalib, maka orang yang bukan katolik yang melihat itu akah mengafirmasi atau menegaskan bahwa kita pasti orang katolik. Persoalan identitas dan unsur pembeda identitas itulah sesungguhnya yang mau dikatakan sang pendiri.

Tiga penggalan kalimat pendiri yang saya kutip tadi disertai dengan unsur yang merujuk pada kondisi dan kualitas tertentu. Kualifikasi itu melekat dan menyatu dengan atribut atau identitas. Identitas FRATER ditandai dengan kedalaman kayakinan akan pentingnya pendidikan. Itu artinya kalau keyakinan akan pentingnya pendidikan kaum muda melemah atau semakin dangkal maka identitas kefrateran itu dipertanyakan. Identias atau status biarawan harus diwarnai dengan kualitas diri yang rajin, unggul dalam kebijaksanaan dan kecakapan, beritikat murni dalam membaktikan diri. Jika kerajinan mengendor kebijaksanaan menipis dan pengabdian tidak total maka sama artinya kita tidak memenuhi harapan dan kerinduan sang pendiri. Atribut guru dikaitkan dengan kualitas interaksi dengan para murid dalam wujud kemampuan menanamkan kebenaran iman.



4. Frater, Biarawan, Guru itu Faktanya

Status Frater, Biarawan, Guru itu sudah menjadi fakta untuk kita. Itu artinya kita adalah orang-orang yang dimaksukan pendiri untuk mengemban misi tertentu (dalam hal ini berkaitan dengan pendidikan) dengan kualifikasi yang standar. Kalau tiga status itu menjadi miliki kita dan melekat pada diri setiap kita para frater maka kita mau tidak mau menyadari atau kalau perlu disadarkan bahwa seiap kita telah memenuhi kriteria standar minimal dalam ukuran sang pendiri. Faktanya kita sudah bergabung dalam persaudaraan frater BHK karena setiap kita telah melepaskan tambatan dan ikatan pada tempat asal dan kampung halaman kita. Karena itu nunasa kebersamaan harus diwarnai semangat pendiri sehingga yang dibicarakan ada wacana bersama dan bukannya wacana dari kampung ke kampung. Keledai yang ditunggang Yesus itu sampai di kota Yerusalem karena telah dilepaskan dari ikatannya di kampung asalnya. Ketika keledai itu dipakai Yesus, pusat perhatian banyak orang bukan lagi pada keledainya melainkan Yesusnya.

Nasib keledai tidak banyak dipersoalkan tetapi yang pasti dia telah melepaskan ikatannya dan berbangga sebagai spesies binantang yang selalu dipilih Yesus. Dalam konteks analogi kita juga telah diambil karena tarekat memerlukan kita, karena itu yang paling utama dan terutama bukan lagi soal diri kita tetapi soal dan misi tarekat. Yang sulit dan sering menjadi masalah dalam kehidupan komunitas religius seperti kita adalah mudah mengucapkan tekad untuk melepaskan tambatan dan ikatan dengan asal kita (kampung, keluarga, dll) tetapi tanpa kita sadari dalam cara berberda kita berlaku seperti laba-laba yang berusaha merajut benang halus yang pada akhirnya justru menjadi tali tambang yang mengikat kita kembali.

Sesungguhnya, jika kita hidup menurut apa yang dikehendaki sang pendiri maka kita akan lebih mudah untuk belajar pada cara sang keledai dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam kualifikasi yang tidak diragukan. Keledai itu rela dilepaskan, berjalan jauh, tekun, setia, tabah dan tahan menahan beban karena ditunggangi tetapi dalam semangat yang tak pdam ia terus maju mengantar Tuhan ke tempatnya. Sebagai frater, biarawan, guru kita jelas menerima tugas dan tanggungjawab yang kadang-kadang kita melihatnya sebagai beban. Keledai itu tidak pernah berpikir membawa Yesus itu sebagai beban, Buktinya ia dengan sukses tanpa hambatan ia membawa Yesus ke Yerusalem.

Pendiri dan terekat memerlukan kita karena banyak Yesus muda zaman sekarang yang ketiadaan kendaraan untuk sampai ke pusat kota Yerusalem. Bagi sang pendiri masih banyak Yesus yang hadir dalam diri orang muda yang tidak berpendidikan yang harus diantar untuk menikmati sikacita berupa pengatahuan dan iman yang benar. Pertanyaannya apakah kita masih mau menjadi keledai bagi mereka? Lebih dari itu kalau kita mau menjadi keledai, kualitas apa ygar ang harus kita miliki bisa membawa orang pada kesuksesan?

5. Belajar pada Yesus sebagai Frater, Biarawan dan Guru

Jika kita melihat cara hidup Yesus kita boleh menyebut nya Frater, Biarawan dan Guru. Gelar frater dan biarawan memang tidak pernah dinyatakan di dalam kitab suci tetapi kehidupan para frater dan keberadaan biara zaman ini tidak bisa dilepaskan dari kehidupan dan misi Yesus. Memang banyak gelar yang diberikan kepada Yesus yang ada dalam kitab suci. Gelar guru untuk Yesus muncul justru ketika Ia memiliki pengikut yang kemudian disebut sebagai para murid. Karena yang ada dalam kita suci itu gelar guru baiklah dalam konteks acara ini kita perlu melihat sedikit tentang bagaimana Yesus sebagai guru itu.

Banyak buku atau artikel telah diterbitkan atau dipublikasikan berbicara tentang siapakah Yesus dan karya-Nya. Namun, disayangkan kebanyakan sarjana kurang memperhatikan atau telah mengabaikan potret Yesus sebagai guru.William Barclay menulis sebuah buku berisi empat puluh dua bab dengan masing-masing mengenai gelar Yesus dalam Perjanjian Baru, tetapi tidak satupun yang membahas Yesus sebagai guru (rabi). Demikian juga halnya Frank J. Matera dalam pembahasan tentang Kristologi telah mendaftarkan sejumlah identitas dan gelar Yesus, tetapi tidak memasukkan Yesus sebagai guru, apalagi membahasnya. Pengecualian mungkin R. H. Fuller dalam bukunya berjudul Dasar Kristolgi Perjanjian Baru (The Foundations of New Testament Christology) telah memasukkan Yesus sebagai rabi dalam pembahasannya. Namun, pembahasannya tentang Yesus sebagai rabi juga terlalu singkat hanya sekitar dua halaman penuh dari bukunya.

Gelar Yesus sebagai guru atau rabi berbda dari Rabi Yahudi. Perbdaan itu adalah (1) Ia bukan hanya seorang guru (manusia) seperti para rabi Yahudi, tetapi juga adalah Tuhan dan Mesias (2) Ia tidak pernah belajar pada seorang rabi yang lain seperti kebiasaan para rabi atau guru orang Yahudi pada zaman-Nya (3) Yesus mengajar dengan penuh otoritas dan keberanian. Yesus mengajarkan dengan penuh otoritas. Otoritas Yesus dalam pemberitaan dan pengajaran-Nya jelas terlihat dari instruksi-instruksi-Nya dengan satu pernyataan penekanan “Aku berkata kepadamu.” Bahkan dalam pengajaran-Nya, Yesus sering menunjuk kepada diri-Nya sebagai Anak Manusia, Mesias, Anak Allah. ( 4) Yesus mendapatkan murid-murid dalam satu cara yang sangat berbeda dengan para rabi Yahudi. Pada umumnya murid-murid Yahudi mencari guru-guru mereka, tetapi murid-murid Yesus bukan mencari Dia, melainkan Ia yang mencari dan memanggil mereka di tengah-tengah aktivitas-aktivitas mereka setiap hari (5) Yesus mengajarkan kepada bermacam-macam orang atau pendengar tanpa perbedaan (6) Yesus mengajar bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi diikuti oleh contoh dan teladan-Nya (7) Hubungan di antara Yesus dan murid-murid-Nya juga bersifat permanen dan kekal.

Dari perbedaan itu kita bias merumuskan profil Yesus sebagai guru. Ada beberapa profil Yesus sebagai guru yang menarik yaitu:

1. Yesus menemui orang-orang di mana mereka berada dan dengan demikian memampukan mereka menjadi apa yang mereka ingnkan. Dengan tindakan ini, Ia dapat menemui berbagai jenis orang dan orang-orang ini dapat menerima Dia secara serius karena kasihd an kemurahan-Nya sebagaimana terlihat ketika Ia menolong kesulitan dalam pesta pernikahan, mempedulikan perempuan Samaria yang berdosa, menyembuhkan anak pegawai istana (4:46-54), memberi makan lima ribu orang, menyembuhkan orang-orang sakit, dan membangkitkan Lazarus.

2.Yesus seringkali menggunakan unsur-unsur alam sekitarnya, seperti air, angin, makanan, domba-domba, serigala, gembala, untuk menyampaikan dan mengajarkan kebenaran rohani tentang diri-Nya maupun tentang Bapa, supaya menarik perhatian para pendengar-Nya dan membuat mereka lebih dapat mengerti pesan yang ingin disampaikan-Nya. Dalam masing-masing contoh, apakah melalui perumpamaan, amsal-amsal, atau pelajaran-pelajaran dari alam, Yesus telah menggunakan realita-realita setiap hari untuk mengajak para pendengar-Nya untuk melihat hal-hal itu secara berbeda.

3. Yesus hidup sesuai dengan apa yang Ia ajarkan dan sampaikan. Tujuannya untuk membawa perubahan dan pembaharuan pada diri para pendengar-Nya. Yesus mengajar bukan hanya dengan kata-kata yang manis seperti rabi Yahudi, tetapi juga disertai oleh perbuatan-perbuatan-Nya yang sesuai dengan ajaran-Nya.

4. Yesus berpusat pada Allah sebagai sumber otoritas-Nya. Walaupun Ia adalah Anak Allah yang diutus oleh Bapa dengan penuh kuasa dan kehendak-Nya sendiri, Yesus selama di dunia tidak pernah mencari hormat dan kemuliaan bagi diri-Nya sendiri, melainkan senantiasa bergantung dan memuliakan Bapa dalam menyelesaikan tugas Bapa. Ketergantungan-Nya kepada Bapa dinyatakan oleh tindakan-Nya yang senantiasa bersekutu dan berkomunikasi dengan Bapa melalui doa-doa-Nya. Komunikasi-Nya dengan Bapa membuat Ia dapat senantiasa fokus pada tugas Bapa yang harus Ia laksanakan dan selesaikan.

Dalam mengajar sebagai guru Yesus menggunakan beberapa metode yaitu (1) menggunakan perumpamaan (2) menggunakan dialog-dialog dan tanya jawab yang memungkinkan terjadinya interaksi secara langsung; Yesus dapat memperkenankan diri-Nya dan karya-Nya; dapat mengetahui sejauh mana pengertian para pendengar-Nya (3) banyak menggunakan simbol atau metafor dalam menyampaikan kebenaran rohani menyangkut identitas dan karya misi-Nya sebagai Mesias, Anak Allah (4) Ia menggunakan wacana (discourse). Isi wacana Yesus baik berkaitan dengan penyataan diri-Nya tentang Bapa, identitas dan karya misi-Nya menyangkut keselamatan dan hidup kekal bagi orangorang yang percaya, kedatangan Roh Kudus, dan misi Yesus melalui murid-murid yang akan datang.

6. Penutup

Pada suatu hari Kamis Mulla Nasrudin berpakaian lengkap. Ia mengenakan topi, sorban, baju koko, dan kain sarung. Ia menunggang seekor keledai. Semua orang keluar dari rumah menyaksikan Nasrudin yang berpakaian lengkap menunggang keledai. Yang menggemparkan warga adaalah: nasrudin menunggang keledai dengan posisi muka ke kebelakang. Mengapa tuan menunggang keledai dengan wajah ke belakang? Tanya seorang yang berpasan dengan Nasrudin. Ya supaya saya bias melihat apa yang telah saya lalui. Apakah tuan ke tempat pesta? Apakah nanti tuan tidak tersesat? Tidak, keledai ini sudah tahu jalan dan kemana saya diantarnya? Apakah tuan hendak menghadiri pesta? Tidak, saya mau pergi Sholat Jumad di masjid, jawab Nasrudin. Apakah tuan lupa bahwa hari ini baru hari Kamis? Saya ingat hari ini hari Kamis, jawab Nasrudin. Lalu mengapa tuan berangkat hari Kamis? Apakah Anda tidak pernah berpikir bahwa keledaiku berjalan pelan. Syukur-syukur kalau hari Jumad saya tiba di Mesjid, jawab Nasrudin mengakhiri dialog itu.

Kita memperingati hari kematian pendiri berarti kita dipaksa untuk mengambil posisi ke belakang sambil berjalan ke depan untuk melihat kembali semua yang pernah dikatakan dan semua yang pernah dilakukan pendiri dan pendahulu kita. Identitas kita sudah jelas sebagai Frater, Biarawan, dan Guru dan setiap kita ingin member makna pada semua identitas itu.Yang diperlukan adalah rencana dan target kita. Kita tentu ingin menjadi keledai yang membawa Yesus sampai ke Yerusalem atau keledai yang membawa Nasrudin ke Masjid. Semoga harapan dan keinduan Bapak Pendiri terus berbuah dalam karya para Frater. Sekian dan terima kasih. Tuhan memberkati!



Claket Malang Jumat, 20/9/2013 pkl.13.00





KELUARGA: PINTU PANGGILAN

Renungan Misa Minggu Panggilan (ME.Distrik Malang)

Kis. 2:14a,36-41; 1Ptr. 2:20b-25; Yoh. 10:1-10

Paroki Lohdalem Malang

Buka

Kita sering melihat lukisan, poster yang menggambarkan Yesus menggendong domba. Gambaran melukiskan kebaikan Tuhan yang menjaga dan melindungi setiap kita seperti halnya gembala kepada domba peliharaanya. Gambaran inilah yang sering juga disampaikan di Perjanjian Lama, yaitu Tuhan adalah Gembala dan umat-Nya adalah kawanan dombanya (Mzm 23). Para raja dan imam juga disebut sebagai gembala, yang ditugaskan Allah untuk menjaga dan memimpin umat-Nya. Namun, Nabi Yeremia memperingatkan umat akan adanya gembala-gembala yang tidak memperhatikan domba-dombanya, yang mengakibatkan domba tercerai berai.

Pada hari minggu panggilan ini kita semua sebagai keluarga-keluarga katolik diharapkan terpanggil menjadi gembala yang baik dan sekaligus menjadi pintu pintu menuju kawanan domba. Kita berdoa semoga semakin banyak keluarga yang menjalankan tugas sebagai gembala terutama dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak di dalam keluarga.



Renungan

Sebelum saya menyampaikan renungan izinkan saya bertanya kepada semua umat, keluarga yang hadir dalam perayaan ini. Apakah ada dari antara umat, bapak dan ibu yang hadir ini, keluarga yang mempunyai putra/inya atau anggota keluarga dekat yang menjadi romo, frater, bruder, atau suster? Jika ada, bagaimana perasaan Bapa, ibu jika salah seorang putra/inya terpanggil menjadi imam, biarawan/ti? Jika tidak ada, coba bayangkan kalau saya dan romo-romo ini menjadi anak bapa/i. Bagaimana perasaan bapa dan ibu menyaksikan kami sebagai putramu tampil memimpin kita dalam ekaristi ini? Senang, bangga, bahagia?

Setiap kali saya mengikuti upacara pentahbisan imam atau pengikraran kaul kekal biarawan/ti umumnya banyak orangtua yang menangis. Mereka menangis bukan karena sedih tetapi sebaliknya karena berbangga, terharu, berbahagia. Hal yang sama saya juga kami alami ketika ditahbiskan menjadi imam tahun 1995. Sejak itu sampai saat ini kami menyadari bahwa siapa pun yang menjadi imam, biarawan/ti tidak bisa menyangkal adanya peran keluarga, peran orangtua.

Hari Minggu ini ditetapkan gereja sebagai hari Minggu Panggilan seluruh dunia. Paus Fransiskus dalam pesannya untuk hari Minggu Panggilan hari ini menegaskan tentang pentingnya Panggilan untuk Bersaksi Bagi Kebenaran, yang dirumuskan sebagai tema Minggu Panggilan yang kita rayakan hari ini. Karena itu di mana-mana di seluruh gereja hari ini ada berbagai kegiatan berkaitan dengan promosi panggilan. Kemarin siang beberapa frater BHK di Komunitas Claket 21 Malang sibuk menyiapkan brosur dan bahan-bahan yang akan disampaikan dalam kegiatan aksi panggilan yang akan dilaksanakan di Semarang. Hampir semua komunitas biara di kota Malang kemarin mengutus anggotanya mengadakan promosi panggilan untuk orang muda agar tertarik menjadi biarawan, biara wati, imam, bruder dan suster. Sasaran promosi panggilan seperti itu diarahkan kepada orang muda.

Dalam konteks Minggu Panggilan itu, kelompok ME Keuskupan Malang hari dan di sini juga mengadakan promosi panggilan. Jika dibandingkan dengan kelompok sasarannya, promosi panggilan dalam pengertian umum sering disamakan dengan promosi untuk orang muda kita yang terpanggil menjadi imam, biarawan/ti. Kita sering dan sudah menjadi salah kaprah jika berbicara tentang panggilan artinya yang mau menjadi imam, frater, bruder, suster. Lebih tidak adil lagi kalau ada sikap dan pandangan bahwa menjadi panggilan menjadi imam, biarawan/ti itu lebih muliah dari panggilan hidup berkeluarga. Pandangan seperti ini perlu diluruskan. Hemat saya promosi gaya ME hari ini merupakan promosi panggilan yang paling utama dan pertama. Menagpa? Karena tidak ada panggilan tanpa peran keluarga. Tidak ada panggilan tanpa melibatkan orangtua. Tidak imam, biarawan/ti, bahkan uskup dan paus sekaligun yang dikirim langsung dari langit, tanpa peran keluarga. Yesus saja, meskipun Tuhan diutus dan dihadirkan Bapa melalui keluarga Nasareth. Karena itu, promosi panggilan yang paling mendasar seharus dan semestinya pertama-tama dirahkan kepada keluarga. Diarahkan kepafa keluarga karena keluarga merupakan seminari (tempat persemaian) pertama benih-benih panggilan baik panggilan khusus maupun panggilan umum.

Benih-benih iman, dan benih-benih panggilan itu ada dan lahir di tengah keluarga. Keluaraga adalah lahan panggilan karena itu kesuburan banggilan untuk menjalani panggilan khusus menjadi imam biarawan/ti sangat mengandaikan dan sekaligus menggambarkan kesuburan hidup beriman keluarga-keluarga Kristiani. Prinsip alam meyakinkan kita bahwa buah yang baik datang dari pohon yang baik.

Bacaan-bacaan hari Minggu Panggilan ini mengajak kita untuk merenungkan panggilan kita masing-masing sebagai pengikut Kristus. Sebagai pengikut kristus semua kita mencontohi cara hidup dan cara kerja-Nya. Cara hidup dan cara kerja Yesus yang dibahasakan dalam bacaan hari ini diringkas dalam dua kata kunci yaitu kata “Pintu” dan kata “Gembala”

Rumah selalu ditandai pintu. Semua rumah tempat tinggal kita mungkin tanpa jendela tetapi tidak mungkin tanpa pintu. Setiap rumah minimal memiliki satu pintu. Dan pintu biasanya menjadi penentu bagian terpenting dan terdepan rumah kita. Semua kita tahu apa itu pintu, di mana biasanya letak pintu sebuah rumah, apa fungsi pintu, apa syarat sebuah pintu yang baik dan lain lain. Yesus dengan sengaja menyebut dirinya sebagai sebuah pintu karena semua orang tahu apa itu pintu dan apa fungsinya. Yesus bertolak dari dan menggunakan penga¬laman biasa agar pewartaan-Nya mudah diterjemahkan dan dipahami dan diikuti.

Apa maknanya jika Yesus menjadikan dirinya sebagai sebuah pintu. Ketika Yesus menjadikan dirinya sebagai sebuah pintu, maka pintu akhrinya tidak lagi sekadar jalur yang dilalui saat keluar dari rumah atau datang memasuki rumah. Pintu rumah membahasakan kehidupan karena pintu rumah bisa memberi informasi tentang keadaan penghuni rumah. Pintu membahasakan kondisi mental Hal itu dijelaskan juga oleh Yesus dalam Injil. Cara memperlakukan pintu menentukan wa¬tak orang tersebut. Rumah dengan pintu terbuka membahasakan penghuninya bersifat terbuka dan menerima siapa saja. Rumah dengan pintu yang selalu terbuka mencerminkan keadaan lingkungan yang aman, tertib, tanpa kecurigaan satu sama lain. Sebaliknya rumah yang pintunya selalu tertutup dibentengi pagar, tembok, kawat berduri tanpa sadar mau mengatakan orang lain semuanya dicurigai sebagai pencuri.

Yesus menegaskan bahwa cara seseorang memperlakukan pintu menentukan identitas dan kualitas diri orang itu. Orang yang keluar masuk lewat pintu itu biasa dan baik karena memang pintu dibuat untuk itu. Sebaliknya, ketika seseorang mengabaikan pintu lalu keluar masuk melalui lobang yang lain termasuk melalui jendela maka orang itu diberi gelar pencuri. Dengan kata lain setiap bentuk, pola, corak hidup yang tidak sesuai dengan tuntutan Yesus sebagai pintu merupakan bentuk,corak dan pola para pencuri. Setiap usaha untuk menjauhkan diri atau meninggalkan teladan Yesus sebagai pintu boleh dikatakan sebagai gelagat seorang pencuri.

Yesus menyebutkan dirinya sebagai pintu kepada domba-dombanya. Karena Yesus berperan sebagai pintu untuk kawanan domba maka Dia mengenal semua domba-Nya dan domba-domba yang selalu melewati pintu itu mengenal suara gembala mereka. Dengan menampilkan diri sebagai pintu Yesus mengharapkan semua yang mengikuti Kristus itu dapat menemukan keselamatan. Gelar pintu bagai kawanan domba mengukuhkan peran Yesus sebagai Gembala. Peran Yesus sebagai pintu kepada Domba berarti Ye¬suslah jaminan domba ke tanah lapang yang hijau, ke sumber air yang segar. Sebagai pintu Yesus berada di depan dan untuk kawanan Domba Ia menjadi Gembala utama. Sebagai gembala Dia berada di depan dan semua domba-Nya akan mengikuti Dia ke mana Dia akan pergi.

Menjadikan Yesus sebagai pintu dan gembala yang menghantar kita kepada keselamatan diba¬hasakan dalam bacaan kedua sebagai upaya kita untuk kembali kepada gembala dan pengasuh kita. Surat Petrus menegaskan bahwa pengalaman manusia yang mengambil bagian dalam pengalaman Yesus sama artinya manusia sudah kembali kepada Bapa dan pengasuh kita. Yesus menderita bu¬kan karena kejahatannya melainkan karena kebaikan. Inilah logika Allah yang terkadang berlawanan dengan logika kita manusia. Ia menderita bukan karena kejahatan.

Apa pesan yang bisa kita ambil dari kisah tentang Yesus sebagai pintu dan gembala dalam konteks panggilan kita sebagai orangtua pada hari minggu panggilan ini. Pesan yang kiranya kita bawa adalah belajar untuk menjadikan keluarga-keluarga kita sebagai sebuah rumah yang aman. Kita belajar untuk menjadi orangtua yang menjalankan peran seperti Yesus yang telah menjadi pintu bagai kawanan domba (umat manusia). Tugas menjadi pintu dan gembala bukan hanya tugas para imam, biarawan/ti. Keluarga-keluarga kita harus menjadi rumah terbaik, harus menjadi pintu ternyaman bagi putra-putri kita. Hanya kalau keluarga-kelaurga kita menjadi rumah dan pintu nyaman maka panggilan untuk menjadi imam, biaraan/ti akan bertumbuh. Keluarga menjadi rumah terbaik dan pintu ternyaman adalah keluarga yang bisa menunjukkan teladan dan cara hidup yang baik kepada anak-anak.

Kalau keluarga-keluarga kita tidak lagi menjadi rumah terbaik dan pintu ternyaman bagi anak-anak kita kemungkinan besar mereka menacari jalan sendiri di luar rumah, di luar pengawasan orangtua. Jika pintu komunikasi suami istri tertutup rapat jangan pernah mengahrapkan anak bisa belajar terbuka dan mendengarkan orang lain. Kalau benang-benang kasih yang terajut antara suami istri mulai kusut karena saling curiga dan tidak setia, maka anak-akan sulit belajar tentang arti sebuah kesetiaan, kalau kalau jembatan saling memaafkan dan mengampuni terputus antara suami istri maka sulitlah anak untuk belajar memaafkan orang lain.

Saya bersyukur karena di Malang saya bisa mengikuti kegiatan ME yang memungkinkan saya belajar bagaimana memaknai pangggilan, memaknai relasi saya dengan Tuhan, memaknai relasi saya dengan rekan-rekan kerja saya dalam pangggilan. Semunya itu saya dapatkan dari berbagai sharing pengalaman hidup para pasutri yang selama ini bersama dalam berbagai pertemuan ME. Saya sadari melalui kegiatan ME, saya belajar untuk menjadi sebuah pintu yang pantas dilalalui dan belajar menjadi gembala yang baik. Saya punya harapan jika sebagaian besar keluarga mengikuti ME maka aneka masalah kehidupan suami istri dapat diatasi.

Saya akhir renungan ini dengan cerita. Pasutri Yo-Yo (Yohana-Yohanes dikarunia seorang 2 orang putri dan seorang putra. Selain memelihara ketiga anak mereka Yohana juga harus memelihara mama mertua yang berusia 80 tahun lebih yang tampak pikun dan terserang parkinson. Karena parkinson yang diderita sang mertua, hampir setiap hari ada gelas dan piring yang pecah. Yohana sering marah-marah kepada suaminya karena banyak gelas yang pecah. Kalau sang suami sedang di kantor Yohana biasanya memberi air minum kepada ibu mertua dengan menggunakan batok kelapa yang memang sulit dipecahkan. Satu bulan kemudian putra mereka membawa dua batok kelapa. Yohana sangat senang karena dikiranya untuk sang nenek. Saat diminta ibunya, sang putra menolak dengan alasan dua batok kelapa itu dia siapkan untuk Yohana dan Yohanes kalau nanti menjadi seperti nenek.

Anak belajar dari apa yang orangtua tunjukkan.



Claket, 21 Malang 10 Mei 2014

Rm.Bone Rampung, Pr