Saturday, April 6, 2013

MISA PERINGATAN 40 MALAM

Renungan 40 Hari Bpk.Sebastianus Gudat , Jumat, 5 April 2013
Rat.3,22-36; Mat.11,25-30
Lingkungan Sawojajar, Paroki Ksatrian Malang

Kalau saat ini saya meminta semua kita yang hadir dalam perayaan ini mencari sebuah kata yang tepat untuk menggambarkan kelahiran dan kematian seorang manusia, kita akan menemukan kata apa? Jawaban yang pasti dan benar hanya satu kata yaitu MENANGIS. Dengan dan dalam Menangis inilah kehidupan dan kematian seorang manusia tersimpulkan secara singkat. Mengpa tangisan sebagai ringkasa kehidupan? Alasannya karena ketika seorang manusia lahir dia harus menangis, kalau tidak menangis dipkasakan untuk menangis. Ketika seornag manusia menginggal orang juga menangis biasanya spontan tanpa paksaan seperti halnya saat seorang bayi lahir. Kelahiran ditandai tangisan, kematian pun ditandai tangisan. Bedanya, saat lahir yang menangis adalah yang datang sedangkan pada saat kematian seseorang yang menagis adalah yang ditinggalkan. Saat lahir yang menagis hanyalah yang datang karena orang-orang yang menunggu kelahiran akan bergembira. Saat kematian yang menangis justru orang banyak yang ditinggalkan sementara yang pergi tentu akan bergembira.

Menagis dan air mata adalah bahasa universal karena dialami semua manusia dari segala bangsa tanpa pengecualian. Tangisan dan air mata itu bermakna ganda karena ia membahasa kegembiraan tetapi sekaligus juga membahasakan kesedihan. Tangisan bermakna ganda, karena terjadi pada dua situasi, dua alam kehidupan fana dan alam kehidupan baka.

Malam ini kita semua dan seluruh keluarga mengakhiri masa tangisan bagi kepergian Almahum Bapak Sebastianus Gudat karena kita yakin Kristus sebagai yang pertama bangkit dan masuk kemuliaan kekal akan membawa Almahum menkmati kemiliaan. Doa kita dan korban ekaristi adalah jaminan sukacita baik bagi kita yang ditinggalkan mmaupun bagi almahum yang pergi meninggalkan kita.

Tidak terasa, 40 hari, seorang yang kita kenal, yang kita cintai dan kasihi Bapak Sebast Gudat telah mengikuti panggilan mudik abadi. Peristiwa dan giliran mudik abadi bagi Pak Sebast adalah undangan Tuhan pencipta yang pada waktunya yang pasti dan tepat akan mendatangi kita sesuai dengan agenda kerja Tuhan. Kapan undangan mudik abadi bagi setiap kita akan tiba tidak kita ketahui. Semua kita tahu bahwa pada suatu saat kita juga akan berangkat. Kapan, dengan cara bagaimana dari dari mana kita diundang juga misterius bagi kita. Yang kita tahu hanyalah kita akan manti. Kepastian itulah yang membuat setiap orang terpaku, diam, membisu dihadapan jenazah menangisi kematian seseorang. Karena itu, dalam nada yang terkesan ekstrem penyair Chairil Anwar pernah berkata: Hidup, hanyalah menunda kekalahan. Keterpakuan, keterdiaman, kebisuan kita berhadapan dengan realitas kematian tentu saja harus menjadi sebuah kebisuan, keterpakuan dan keterdiaman yang kreatif. Artinya apa? Artinya pada saat diam, terpaku, diam membisu itu sebagai orang beriman kita tentu membayangkan akhir dari kehidupan kita sendiri. Sebagai orang yang mengimani Tuhan dalam keadaan diam trerpaku, diam membisu seperti itu kita disadarkan untuk yakin bahwa Tuhan sebagai asal kehidupan pada waktunya memanggil pulang setiap orang untuk kembali. Kita Ratapan dalam bacaan pertama menjadi dasar harapan kita. Sebagai orang beriman yang berpengahrapan kita boleh berdoa seperti penulis Kitab Ratapan tadi: Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! “TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia. Adalah baik menantikan pertolongan TUHAN.

Karena semua kita pasti akan menerima undangan eksklusif untuk ikut mudik abadi, maka satu-satunya jalan yang bisa kita lakukan berhadapan dengan kematian adalah menjalani kehidupan sebagai saat yang baik untuk selalu dan senantiasa berkenan kepada Tuhan. Hidup yang berkenan kepada Tuhan itu akan menggaransi atau menjamin keberkenanan Tuhan atas diri dan kehidupan kita. Segmen injil Matius tadi secara eksplisit menuntut manusia untuk hidup berkenan pada Tuhan. Hanya dengan itu, Manusia akan dibawa Yesus kepada Bapa. Hanya hidup yang berkenan kepada Tuhan memungkinkan Yesus yang mengenal Bapa akan memperkenalkan Bapa itu kepada setiap orang beriman. Dengan begitu, undangan Yesus untuk setiap orang adalah undangan tanda perkenanan manusia pada Tuhan. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorang pun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. Kata-kata dan undangan Tuhan, Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu merupakan undangan untuk setiap orang yang hidup dan berkenan kepada Tuhan. Hidup berkenan pada Tuhan adalah hidup dalam kelemahalembutan dan kerendahan hati sebagaimana diteladankan Yesus. “belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Di sini jelas sekali bagi kita bahwa ketengan jiwa adalah buah dari suatu kehiudpan yang berkenan kepada Tuhan.

Harapan dan kerinduan setiap kita manusia beriman adalah ketenagan jiwa ketika undangan mudik itu menghampiri kita. Untuk itu tentu sebagai orang beriman kita dituntut untuk menggunakan strategi penghampiran undangan itu secara tepat. Dalam konteks era digital dan kemajuan komunikasi saat ini, diri dan kehidupan kita harus selalu berada dalam kondisi aktif (on) ibarat telepon genggam (Hand Phone) karena Tuhan pada waktu yang tidak kita ketahui akan melakukan panggilan. Untuk bisa terus aktif HP kehidupan dan diri kita harus selalu diberi tenaga. Kalau kekuatan baterai HP kehidupan kita lemah kita tidak mungkin menjawab panggilan itu secara baik. Dengan kata lain, semua kita diharapkan menyiapkan strategi menjawab panggilan Tuhan. Ketika dipanggil untuk mudik manusia akan melintasi tiga jarur utama. Pilihan jalur itu akan menentukan ke mana dan di mana manusia yang mudik itu tiba.

Semua kita mengetahui dan pernah belajar dalam katekismus bahwa ada tiga pintu terminal kedatangan bagi manusia-manusia yang mudik abadi. Ketiga pintu terminal kedatangan itu berkode S, berkode T, dan pintu N (Surga, Transit+api penyucian, Neraka). Ketiga pintu itu terbuka untuk semua pemudik ketika kematian tiba. Jumlah orang yang mengarah ke pintu-pintu itu amat bervariasi. Ada pintu yang sepi ditunggui, tetapi ada pula pintu yang tidak pernah sepi pengunjung. Pintu pertama berkode S (surga) itu biasanya diperebutkan dan diperjuangkan banyak orang karena di balik pintu ini terdapat kebahagiaan kekal. Pintu ini akan dilewati oleh orang¬-orang yang selama hidupnya berusaha untuk hidup berkenan kepada Allah dan kepada sesama. Pintu kedua (T) adalah api penyucian, yaitu tempat seseorang mengalami proses pemurnian sebelum sampai kepada Allah. Tempat ini boleh dikatakan sebagai pintu bagi mereka yang akan transisit ke pintu berkode S karena mereka dianggap belum membawa kelengkapan adminstrasi secara lengkap. Dokumen mereka itu masih harus dilengkapi. Mereka yang berada di pintu berkode T ibarat orang yang kelengkapan portofolionya belum lengkap dan harus segera dilengkapi.

Bagi mereka yang terpaksa berada pada pintu kedua ini, tidak bisa lagi mengurus sendiri kelengkapan dokumen mereka. Mereka itu harus dibantu oleh kita yang masih hidup. Untuk melengkapi dokumen portofolio mereka itu, kita tidak perlu membuat surat tugas, surat keterangan, surat perjalanan apalagi kalau itu hanya fiktif tetapi diganti dengan Doa-doa kita. Doa-doa kita ibarat pelengkap dokumen portofolio bagi saudara kita yang masih berada di pintu terminal transit. Doa kita yang penuh iman dan pengharapan akan mempercepat proses sertifikasi mereka masuk surga. Dan pintu ketiga adalah pintu neraka, yaitu tempat jiwa-jiwa disiksa karena selama hidupnya di dunia tidak hidup sesuai dengan kehendak Allah. Yang masuk ke sana ibarat orang yang tidak memiliki dokumen apapun yang dipakai sebagai bahan pertimbangan tim asesor di tingkat pengadilan terakhir.

Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke tiga pintu tadi. Dan saya kira semua orang tidak mengharapkan untuk masuk pintu kedua, apalagi pintu ketiga. Semua orang menginginkan agar pada waktu kematian, orang bisa memasuki pintu pertama sehingga boleh menikmati kebahagiaan kekal bersama bapa di surga dan bersama mereka yang telah mendahului kita. Kehadiran kita saat ini merupakan cara dan bentuk yang kita pilih untuk melengkapi dokumen portofolio bagi Almarhum Pak Sebast yang mudik 40 hari lalu seandainya dokumen yang dibawanya masih kurang dan perlu dilengkapi. Doa-doa kita dan keluarga adalah dokumen yang melapangkan jalan baginya untuk mendapat sertifkat masuk komunitas Surga. Sebagai orang beriman tentu kita yakin Pak Sebast Lulus tanpa syarat dan memenuhi undangan Kristus untuk menjadikan jiwanya berada dalam ketenangan. Kalau dia lulus tanpa syarat doa-doa kita tentu tidak sia-sia, karena dalam ajaran dan keyakinan kita, doa-doa kita akan dialihkan kepada orang lain yang masih berada di terminal transit itu.

Kalau kita yakin bahwa hidup kita di dunia ini ibarat perjalanan untuk mengumpulkan semua sertifikat dan dokumen portofolio maka tentu kita akan berjuang mengumpulkan sebanyak-banyak. Portofolio jenis ini bukan yang dibuat-buat, dimanipulasi, direkayasa tetapi sungguh-sungguh asli berupa kebaikan, kebajikan yang kita gelarkan selama hidup. Dalam iman kita percaya bahwa 40 hari lalu Pak Sebast menjawab Undangan Yesus ini, “Pak Sebast, Marilah dan datanglah kepada-Ku biar jiwamu mendapatkan ketenangan”. Dalam iman pula kita yakin sejak 40 hari yang lalu sampai kekal Pak Sebast berujar ibarat penulis kitab Ratapan tadi: Tidak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, sungguh besar Kasih Setia-Nya, dan TUHAN adalah BAGIAN JIWAKU karena Aku berharap kepada-Nya.

Semoga kepulangan Pak Sebast memberi inspirasi bagi perjalanan hidup kita untuk selalu berkenan kepada Tuhan dan sesama kita. Tuhan memberkati kita… Amin