Wednesday, August 7, 2013

MINGGU BIASA KE-24 TAHUN A


Minggu Biasa ke-24 Th.A2 15 September 2002

Sir.27,33-28,9 Rm.14,7-9; Mat.18,21-35

Seminari Pius XII Kisol

Buka

Mencermati kehidupan dunia manusia milenium ketiga ini, rupa-rupanya sulit bagi kita untuk berbicara soal pengampunan dan sikap saling memaafkan. Di mana-mana dan kapan saja di berbagai belahan dunia ini terjadi aneka tindak kekerasan yang sering melanggar kehidupan. Hukum rimba memang tidak tertulis sebagai hal yang legal dalam hukum kemasyarakat manusia, tetapi yang paling banyak dipraktikkan justru hukum rimba itu. Hukum rimba selalu menganulir konsep pengampunan dan memaafkan. Pengampunan dan memaafkan terkikis habis ketika manusia ingin mempertahankan wibawanya. Pertanyaan tentang berapa banyak pengampunan yang harus diberikan kepada orang lain dinilai tidak relevan lagi karena manusia sudah meletakkan perjalan hidupnya di atas rasa permusuhan dan balas dendam. Manusia terlampau cepat untuk setiap tindakan pembenaran diri tanpa dasar. Manusia sudah terjebat pada spirit hidup untuk dirinya sendiri dan juga mati untuk dirinya sendiri. Inilah dosa manusia dan kita zaman ini. Agar perayaan ini berkanan kepada Tuhan marilah kita memohonkan pengampunan dari Tuhan dan sesama kita sambil belajar untuk mengapuni dan memafkan.



Renungan

Konon dikisahkan, raja langit merayakan pesta ulang tahun kelahirannya yang ke-47. Untuk itu pihak istana langit mengundang semua binatang yang bisa terbang diundang. Sementara bianatang yang tidak bisa terbang hanya diwakili oleh salah satu jenis binatang. Utusan binatang yang tidak dapat terbang diharpkan menumpang atau meminjam sayap binatang udara yang tidak bersedia hadir. Binatang laut mengutus seekor penyu jantan yang besar. Penyu meminjam sayap dari elang betina yang berhalangan hadir. Pada saat memulai perjamuan semuanya mulai mengambil sop. Pada menikmati sop itu sebagian dari sop terpercik keluar dari mulut elang dan menyebut menyirami tubuh penyu. Penyu itu merasa sangat malu karena itu penyu menuntut elang untuk memulihkan kehormatan penyu itu dengan membayar uang terbusan 1 juta rupiah. Karena takut mengacaukan situasi pesta elang terpaksa harus segera membayar 1 juta kepada penyu itu. Kemudian, ketika penyu itu hendak membuka botol bir, minuman itu tertumpah dan buih-buih bir membasahi seluruh bulu elang itu. Elang merasa dipermalukan di hadapan raja dan semua binatang lainnya. Lalu penyu cepat-cepat meminta maaf dan menawarkan kepada elang untuk menerima kembali uang 1 juta yang telah diterima penyu. Elang tidak mau menerima. Elang tidak menuntut uang tebusan rasa malu. Elang langsung mengambil sayap milik istrinya yang dipinjangkan kepada penyu itu. Penyu tidak berdaya. Kini pesta telah usai. Semua mereka harus segera kembali ke tempat masing-masing. Tidak ada lagi binatang lain yang bersedia menerbangkan penyu kemabli ke bumi. Ketika hari mulai gelap penyu itu mengambil ancang-ancang dan hendak mebuang dirinya ke darat. Tentu dengan harapan ia bisa jatuh pas di laut atau paling kurang di danau. Malang bagi si penyu. Ia jatuh dan punggungnya membentur karang. Semua tulang punggungnya remuk dan kulit tubuhnya tercabik dan tersececer. Sebelum penyu itu menghembuskan napasnya yang terakhir, seorang pemuda yang kebetulan melihat penyu itu mencoba mengumpulkan semua kepingan kulit penyu itu dan menyusunnya kembali biar bentuk penyu itu mendekati aslinya. Tetapi karena memang kulit penyu sudah pecah berantakan maka pecahan-pecahan itu ditumpuk begitu saja. Konon itulah sebabnya mengapa kulit penyu sampai saat ini terdiri dari kepingan-kepingan kecil.

Tragedi yang menghancurkan penyu dalam cerita tadi muncul karena ketidakrelaan untuk saling memaafkan di antara elang dan penyu. Cerita ini tentu saja dengan mudah kita kaitkan dengan apa yang disampaikan di dalam ketiga bacaan suci hari ini. Kitab Putra Sirakh dalam bacaan pertama secara eksplisit memberikan perintah agar manusia memaafkan sesamanya. Hal yang sama disampaikan Yesus dalam injil Matius hari ini. Yesus menuntut sikap manusia untuk memaafkan bukan sekadar basa basi. Memaafkan dalam konteks Yesus adalah tindakan yang memiliki tingkat kualitas tertentu. Kualitas sikap memaafkan itu dibuktikan dengan hitungan praktik memaafkan tanpa batas. Dan tindakan memaafkan orang lain dalam konteks Yesus itu selalu membawa perbaikan kualitas hidup seseorang. Mengapa? Karena setiap bentuk maaf yang kita berikan kepada orang lain sekaligus menjadi jaminan bagi kita untuk dimaafkan. Prinsipnya kita menerima apa yang pernah kita berikan. Bagi Yesus sikap saling memafkan itu harus terjadi sepanjang hidup manusia. Karena itu, tidak ada batasnya. Tentu hal ini ada alasannya yaitu selama hidup manusia selalu jatuh ke dalam aneka kelemahan.

Perkara saling memaafkan atau saling mengampuni seperti disarankan dalam bacaan hari ini bukanlah barang baru atau tuntutan baru untuk kita. Kita sudah sering mendengarnya. Yang jarang untuk kita adalah mempraktikan sikap memafkan itu dalam kehidupan kita. Dalam dialog dengan Petrus, tampak Petrus tahu baik sekali tentang pengampunan orang Yahudi. Orang Yahudi mengampuni orang sampai tiga kali saja. Namun Petrus masih lebih dari itu, dan malahan berbuat, bertindak mengampuni lebih dari itu: sampai tujuh kali. Petrus berpikir bahwa mengampuni sampai tujuh kali itu sudah hebat sekali, serta pas untuk mendapat predikat terpuji dari Kristus, sebab lebih dari kebiasaan masyarakat Yahudi. Namun ternyata jumlah itu sama sekali tidak cukup dalam tuntutan Yesus. Yang dikemukakan dan dilaksanakan oleh Petrus itu belum sempurna, belum tuntas. Katakan, masih terbatas. Karena itu Yesus tambahkan: "Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali". Suatu jumlah tak terbatas, angka sempurna di atas sempurna. Tujuh dan sepuluh itu angka sempurna dalam kebiasaan Yahudi. Bayangkan kesempurnaan di balik angka 70 kali 7 kali. Dengan ini mau ditunjukkan kualitas pengampunan itu. Tak terbatas, sampai habis, tuntas, bulat, utuh, dan menyeluruh.

Dalam cerita perumpamaan tentang Kerajaan Allah juga demikian. Hamba yang berutang 10.000 talenta itu sebenarnya tidak punya apa apa lagi. Karena untuk membayar utangnya itu, ia sendiri, anak, istri dan segala miliknya mesti dijual habis. Namun apa yang terjadi? Raja itu membebaskan dia dan menghapuskan utangnya. 10.000 talenta itu tidak dibayar sedikit pun. Dengan ucapan terima kasih saja tidak apalagi dengan hal lain. Demikianlah semestinya kualitas pengampunan yang dikehendaki Tuhan. Mengampuni orang yang bersalah tanpa syarat, sampai tuntas, sampai selesai. Mengampuni orang hanya di atas bibir bukanlah pengampunan tanpa batas. Meminta maaf sambil dendam dalam hati bukan pengampunan tanpa batas. Memberi maaf kepada orang sambil menanti saat balas dendam bukanlah pengampunan tanpa batas. Mengampuni orang sambil menghindarkan diri bukan pengampunan tanpa batas. Pengampunan tanpa batas menuntut suatu kesadaran batin. Kesadaran dari dalam atau kesadaran dari inti diri. Dari sanalah keluar suatu pengampunan yang utuh, sempurna, sampai tuntas, sampai selesai, di sini dan sekarang juga. Tanpa itu, kita hanya main sandiwara.

Hambatan paling besar bagi manusia dalam tindakan memafkan dan mengampuni ini adalah sikap yang tergesa-gesa. Sikap yang tidak sabar. Dalam injil tadi kita mendengar bagaimana pihak yang berutang itu meminta kesabaran pihak yang ingin menagih utangnya. Hamba yang telah dilepaskan itu tidak bersabar terhadap hamba yang lain. Sikap yang demikian telah menodai niat baik tuan yang menghapus segala utangnya. Karena kurang sabar orang itu kemudian diberi gelar sebagi penjahat yang hanya cocok dijebloskan ke dalam penjara.

Kisah tragis antara penyu dan elang yang pada akhirnya harus bermusuhan seperti dalam ilustrasi awal tadi, terjadi karena mereka kurang bersabar menetukan sikap terhadap satu sama lain. Keduanya menyambil keputusan secara gegabah, tidak matang. Mereka mengorbankan kebersamaan hanya karena mau menjaga gensi dan wibawa. Keduanya tidak mau saling memaafkan. Mereka masing-masing menjaga wibawa dan mempertaruhkan kewibawaan itu. Alhasil elang mengambil sayap yang dipijamkan kepada penyu. Lalu penyu justru hancur berkeping-keping. Tentu kita tidak mau mengalami nasib seperti penyu itu. Untuk itu, kita perlu bersabar, kritis terhadap segala penyimpangan, kelemahan, kesalahan pihak lain. Bersikap kritis dan selektif adalah dasar pengampunan yang berkualitas. Marilah kita belajar untuk lebih bersabar biar diri dan hidup kita menjadi lebih subur sebelum disebarkan sebagai pengikuti Kristus yang sejati. Amin.



Rm. Bone Rampung, Pr

No comments:

Post a Comment