Wednesday, August 7, 2013

MINGGU BIASA KE-10 TAHUN A

HARI MINGGU BIASA X TH.A2

Hosea 6: 3b-6; Rom. 4:18-25; Mat. 9: 9-13

Seminari Pius XII Kisol



Buka

Orang biasanya membandingkan pola perilaku kehidupan orang barat dengan pola perilaku kehdupan kita orang Timur. Ada banyak variabel yang dapat dipakai untuk membandingkan dua pola perilaku masyarakat tersebut. Berbeda dalam sikap terhadap waktu. Berbeda dalam mental kerja atau etos kerja berbeda dalam aspek kerumitan berbahasa. Dari sekian banyak variabel itu ada satu variabel yang penting yang membedakan orang barat dan orang timur. Orang barat biasanya mampu membuat distingsi atau pembedaan yang jelas antara perbuatan seseorang dengan kepribadiannya. Orang timur tidak membedakan hal itu. Hal ini sangat menentukan cara dan sikap orang barat dan orang timur terhadap seseorang. Orang barat biasanya lebih rasional karena orang boleh membenci pendapat seseroang tetapi tidak membenci diri orangnya. Kita orang timur biasanya lebih emosional sehingga kita pakai sistem sapu bersih artinya kalau gagasan seseorang ditolak sama dengan kepribadiannya ditolak. Sikap seperti ini tampaknya mendekati sikap ahli taurat dan orang farisi. Kelemahan kita orang timur adalah mencampuradukan segala hal tidak pada tempatnya. Marilah kita akui kelamhan dan dosa kita



Renungan

Seperti biasa, saya akan memulai renungan ini dengan cerita. Judul cerita ini adalah: Tragedi Si benjol” Benjol adalah nama seorang pemuda desa. Pada suatu waktu Benjol mengunjungi familinya di sebuah kota kecil. Pagi-pagi sebelum semua orang bangun, Benjol bangun lebih dahulu dengan perhitungan agar segala kebiasaan dari kampungnya bisa dilaksankan dengan baik. Benjol ingin membereskan segala urusan pribadinya pagi-pagi buta karena kebiasaan di kampungnya ia biasa membereskan urusan membuang-buang barang yang tidak perlu itu hanya mengandalkan kegelapan pagi atau kalau agak terpaksa kesiangan biasanya barang yang tidak perlu itu dibuang dibalik pohon besar atau di balik batu besar, biar tidak terpantau. Ia bermaksud menuju rumpun pohon pisang demi keamanan. Malang benar nasib si Benjol pagi itu. Sebelum sampai rumpun pisang Benjol terjerembab ke dalam lubang wc yang baru digali milik tetangga. Lubang wc itu sangat dalam dan ukurannya kecil. Dari dalam lubang itu si Benjol berteriak histeris. Selama beberapa jam ia berjuang tetapi gagal. Menjelang waktu kerja pagi orang mulai sibuk. Benjol terus berteriak. Kebetulan lewat seorang guru matematika. Ia melihat ke dalam lubang lalu berkata: dahulu Anda pasti tidak mengikuti pelajaran matematika dengan baik. Inilah akibatnya. Jalan tidak pakai hitungan matematis yang cermat. Saya belum bisa menolong Anda karena takut telat masuk kelas. Lalu datanglah seorang guru fisika. Dia melihat ke dalam lubang, lalu bertanya: Apakah Anda tidak pernah belajar tentang hukum gravitasi yang diajarkan Isac Newton. Benjol menjawab saya tidak pernah bertemu orang yang nama gravitasi itu. Karena jengkel guru fisika itu lalu pergi. Lalu muncul seorang guru sosiologi. Ia melihat ke dalam dan bertanya: apakah anda tidak pernah belajar sosiologi yang menjelaskan di sekitar rumah warga masyarakat harus ada lubang wc. Benjol menjawab. Di kampung saya tidak ada lubang seperti ini. Lalu mucul seorang insinyur bangunan. Ia melihat keadaan lubang wc itu dan berkata. Saya akan menolong Anda, tetapi tunggulah dengan sabar karena saya harus kembali mengambil rol meteran untuk mengukur kedalaman dan lebar lubang wc ini. Sementara itu datanglah seorang bapak penjual pisang. Tanpa omong banyak ia mengambil kayu pemikul pisangnya, dan langsung melompat masuk ke dalam lubang. Ia meminta si Bendol naik ke atas bahunya sampai berhasil keluar dari lubang itu. Si benjol menarik penjual pisang itu keluar dengan bantuan kayu pemikul yang sama.

Nasib si Benjol adalah nasib umum manusia. Semenjak manusia pertama terjebak dalam ketidaksetiaan, manusia bagaikan jatuh ke dalam lubang yang tidak terjembatani. Situasi dosa adalah kondisi, keberadaan manusia di dalam lubang yang dalam dan mematikan. Dalam kondisi seperti itu manusia mengharapkan datangnya bantuan dan pertolongan. Bantuan dan pertolongan artinya adanya unsur yang menjembatani kembali keterpisahan manusia dari Tuhan. Kejatuhan itulah dosa dan dosa adalah sesuatu yang dibenci oleh manusia, sebab dosa itu mengancam kehidupan manusia. Dosa yang bersengatkan maut tak henti hentinya mengancam manusia menuju kebinasaan dan kehancuran. Inilah alasan mengapa dosa itu dibenci oleh manusia. Yang pantas menjadi musuh kita semua hanyalah dosa, dan bukan pelakunya. Namun ini kelihatannya hanya sebuah teori. Dalam praktiknya manusia sulit sekali memisahkan dosa dari pelakunya. Dosa masih sering diidentikkan atau disatukan dengan pelakunya.

Inilah sikap dasar orang Farisi terhadap orang berdosa. Sebab itu ketika Tuhan Yesus memanggil Matius untuk mengikuti Dia, dan ketika Dia mendatangi rumahnya serta makan dan minum bersamanya, orang Farisi langsung merasa "jijik" dan bertanya kepada murid murid Nya: "Mengapa gurumu makan bersama sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa". Orang orang Farisi tidak setuju dan tidak senang kalau Yesus mendekati orang orang berdosa dan makan dan minum bersama sama dengan mereka, sebab bagi mereka dosa dan pelakunya tetap menjadi satu. Maka kalau dosa dibenci, pelakunya juga dengan sendirinya mesti dijauhi dan ditolak.

Bagaimanakah sikap Yesus? Dengan tegas Tuhan Yesus berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kuke¬hendaki ialah belaskasihan dan bukan persembahan karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdo¬sa". Orang sakit dan orang berdosa menjadi priori¬tas misi, perhatian dan pelayanan Tuhan, sebab yang diutamakan oleh Nya adalah belaskasihan. Belaskasihan mengalahkan kuasa maut dan dosa. Komitmen Yesus untuk menyelamatkan pendosa atau manusia yang terjerembab ke dalam lumpur dosa bukanlah teori semata. Komitmen Yesus adalah komitmen praktis. Dia tidak belajar perhitungan matematis saat orang jatuh ke dalam dosa. Dia tidak menggunakan argumentasi ilmiah dalam menolong orang. Dia tidak membutuhkan perhitungan seperti seorang ahli bangunan ketika berhadapan dengan manusia yang jatuh. Yesus bukan seorang ahli matematika, bukan juga ahli fisika. Meskipun anak tukang kayu Yesus tidak bergelar insinyur bangunan. Yesus tidak mau repot dengan semuanya itu. Kriteria yang digunakan Yesus terlampau pragmatis dan memang itulah yang praktis. Kriteria yang dia pakai adalah rasa belas kasih kepada manusia. Ia secara praktis mengajarkan sekaligus menunjukkan bagaimana harus bersikap terhadap para pendosa. Ia memanggil dan bahkan makan bersama orang berdosa. Ia tidak mau berteori banyak seperti orang farisi dan ahli taurat. Ia langsung terjun ke dalam lubang situasi pengalaman manusia seperti si penjual pisang yang menyelamatkan si Benjol itu. Yesus tidak berkata banyak tetapi berbuat banyak. Orang farisi dan ahli taurat selalu berkata banyak tetapi berbuat tidak banyak bahkan tidak berbuat apa-apa.

Kehadiran Yesus orang yang jatuh dalam dosa membawa nuansa tersendiri dan terbilang unik. Bagi orang berdosa, Tuhan dengan belaskasihan Nya tampil sebagai "Fajar matahari dan rintik hujan". Sebagai fajar matahari, Tuhan yang berbelas kasihan membakar segala "semak dan sarang" dosa dalam diri kita, dan sekaligus, menumbuhkan benih benih kehidupan baru dalam diri kita. Sebagai rintik air hujan yang deras, Tuhan yang berbelaskasihan mengguyur habis segala dosa dari dalam diri kita. Dengan itu, kita menjadi bersih, suci dan murni sebagai anak anak Nya. Kita terangkat dari jurang yang dalam. Manusia jatuh ke dalam dosa, kadang-kadang menyerupai pengalaman si Benjol tadi. Jatuh dan berdosa memang tidak pernah kita kehendaki tetapi oleh godaan setan dosa itu datang seperti pencuri ke dalam "rumah hati" kita.

Tuhan sudah berupaya maksimal untuk menyelamatkan kita dengan darah dan kehidupan Putra-Nya. Lalu, apa balasan dan tanggapan kita terhadap upaya Tuhan itu? Tuhan tidak menuntut banyak. Nubuat Hosea dalam bacaan pertama memberikan jawaban. Tuhan hanya meminta kita untuk tetap setia kepada-Nya dan tetap mengenal Dia dalam kelemahan dan kerapuhan kita. Hosea mencatat: Inilah kehendak Tuhan sendiri kepada kita. "Aku menyukai kasih setia dan bukan korban sembelihan, dan menyu¬kai pengenalan Allah, lebih daripada korban korban bakaran" (Hos 6:6). Tuhan setia kepada kita dan mengenal kita dengan segala kelemahan dan dosa kita. Sebab itu, kita juga setia kepada Dia dan mengenal Dia dalam keadaan yang rapuh dan berdosa. Dengan bersi¬kap setia kepada Tuhan dan mengenal Dia dalam kerapuhan kita, kita akan terdorong untuk membenci dosa, menarik diri atau menjauhkan diri dari dosa itu untuk kembali menghayati hidup yang baik dan benar, sesuai dengan martabat diri kita yang luhur sebagai anak anak Allah.

Manusia harus mengabdi Tuhan dan melepaskan dosa. Mengapa? Karena Tuhan sendiri menegaskan: "Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat men¬gabdi kepada Allah dan kepada iblis”. Dalam arti ini, kalau kita mengenal Tuhan dan mengasihi Dia, maka dengan sendir-inya kita menjauhi dan membenci dosa. Kalau kita dekat kepada Tuhan, maka pasti kita jauh dari dosa atau dosa jauh dari kita. Kalau kita mengabdi Tuhan, maka tentu kita juga akan menolak dan menghindari dosa, sebab kita tidak mungkin mengabdi kedua duanya. Kalau kita mengabdi kedua duanya, kita sendiri akan kacau balau, Tuhan dan setan juga akan berperang terus menerus dalam upaya merebut kita. Kita manusia adalah wilayah persengketaan atau perebutan dari dua kekuatan antara Tuhan dan setan. Karena itu, supaya kita menang dan aman, serahkanlah saja diri kita kepada Tuhan, dan cintailah hanya Dia dalam kesetiaan yang penuh terhadap Nya, sehingga setan dan dosa tidak berdaya atas diri kita.

Abraham seperti disebut oleh Santo Paulus dalam bacaan kedua dapat menjadi contoh kita dalam hal ini. "Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya. Imannya tidak menjadi lemah tetapi ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah dengan penuh keyakinan bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.

Karena dosa, kita sering menjadi lemah dan tak berdaya. Atau juga karena kita lemah dan tak berdaya, maka kita sering berdosa. Seperti Abraham hendaknya kita yakin bahwa "Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan" kepada kita. Janganlah takut, sebab Aku menyertai kamu untuk menyelamatkan kamu dan untuk melepaskan kamu dari tangan setan, dari jaringan dosa dan "jerat maut".

Tentu kita semua tidak mau terus berada dalam jurang yang gelap dan karena itu kita dituntut untuk selalu mencari pertolongan. Dan pertolongan kita adalah Tuhan. Yesus telah memberikan petunjuk untuk kita para pengikut-Nya dalam melakukan tindakan yang praktis, membeci dosa tetapi tetap mencintai manusia. Ibarat kita diberi kacang sukro, kita membuang kulit pembungkusnya agar menikmati enaknya kacang sukro. Membuang dan meninggalkan dosa seseroang tetapi tetap mencintai diri orangnya. Kalau pakaian kita kotor kita mencucinya agar kotornya hilang, dan bukan pakaiannya yang dibuang. Pakaian itu lebih penting dari kotorannya, manusia lebih penting dari dosanya. Dan itulah argumentasi utama Yesus berhadapan dengan orang farisi dan ahli Taurat. Argumentasi itulah yang harus kita gunakan. Jika tidak, kelak kita akan menghadap Tuhan dengan benjolan-benjolan dosa kita. Kita boleh mengalami nasib seperti si Benjol tetapi bukan bermaksud menghiasi diri dengan benjolan dosa. Amin.

Rm.Bone Rampung, Pr

No comments:

Post a Comment