Wednesday, August 7, 2013

MINGGU BIASA KE-7 TAHUN A

Minggu Biasa Ketujuh Tahun A/1

Im.19,1-2.17-18; 1Kor.3,16-23; Mat.5,38-48

Buka

Mengampuni dan memaafkan orang yang menyakiti hati kita rasa-rasanya merupakan pekerjaaan yang sulit. Deretan maslaah dalam hidup manusia semaukin panjang dan menumpuk justru karena orang merasa bahwa mengampuni dan memaafkan itu mustahil dijalankan secara utuh dan sempurna. Kita manusia sering terlalu cepat menganggap bahwa yang sulit itu sama dengan yang mustahil. Padahal, sulit itu tidak harus sama dengan mustahil. Hal yang dituntut dari manusia untuk menghilangkan sikap seperti itu adalah kemauannya untuk belajar dari pengalaman orang lain yang menjadi pahlwan dalam mengampuni dan memaafkan. Yesus adalah tokoh pengampun dan pemaaf anutan dan yang menjadi tempat kita berguru dan belajar mengampuni. Marilah kita awali perayaan ini dengan mengakui segala sikap kita yang sering enggan memberi pengampunan kepada yang bersalah tehadap kita.



Renungan

Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama kita dapat membaca apa yang dinamakan dan dikenal orang sebagai ‘hukum balas dendam’. Bunyi hukum balasdendam itu: “Nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.” (Kel. 21:23-25). Mendengar segala apa yang disampaikan kepada kita melalui kitab keluaran ini, mungkin secara spontan kita berkata, “Alangkah kejam dan biadabnya hukum yang tertulis dalam Perjanjian Lama itu! Mungkin juga kita mengumpat: “Dasar manusia primitif!”

Penilaian kita yang demikian tidak seluruhnya benar. Kalau kita memperhatikan secara lebih cermat, manusia modern sekarang ini yang kadang-kadang kelihatannya jauh lebih primitif dan buas daripada manusia yang hidup pada zaman dulu atau manusia zaman Perjanjian Lama itu. Bandingkan saja dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini di tanah air kita sendiri. Juga perlu diinsyafi bahwa bila dibandingkan dengan hukum bangsa-bangsa lain sezamannya, hukum yang dirumuskan dalam Taurat Musa itu jauh lebih berperikemanusiaan. Dia membatasi balas dendam pada hukuman yang setimpal saja. Mata ganti mata. Bukannya: mata ganti nyawa. Gigi ganti gigi. Bukannya: gigi ganti leher. Dengan adanya hukum ini, maka berkuranglah jumlah pertikaian berdarah antarkeluarga, antarmarga, antarkampung, antarkelompok yang biasanya bermula dari perasaan tersinggung dalam diri salah seorang warganya. Dan juga, di dalam kenyataan hidup harian kalangan bangsa Israel, hukum Musa ini jarang dilaksanakan secara hurufiah. Biasanya kalau si Anu merontokkan gigi si Beta, maka gigi milik Si Anu tidak harus dirubuhkan. Keselamatan gigi-gigi ini biasanya ditebus dengan sejumlah uang. Kasus perontokan gigi seperti itu dapat diatasi dengan kompensasi atau tebusan dengan barang yang lain. Tidak mesti barang sejenis.

Jadi, hukum ‘gigi ganti gigi’ itu sesungguhnya juga berasaskan kasih. Namun, meskipun demikian, Yesus tetap menolak hukum Musa itu. Lalu muncul pertanyaan, mengapa Yesus menolak penerapan hukum yang sebenarnya masih berunsur kasih dan kemanusiaan seperti itu?

Apa yang diinginkan Yesus dari setiap pengikutnya adalah seperti yang kita dengar melalui bacaan Injil tadi: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu. Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu. Berdoalah bagi orang yang mencaci kamu. Bila orang menampar pipi kananmu, berikanlah juga pipi kirimu. Bila orang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.

Jadi, konsep keadilan Yesus jauh lebih mulia daripada konsep keadilan dalam hukum Musa. Menurut konsep Musa, adil kalau satu-satu gigi yang jatuh. Sedangkan Yesus mengajarkan, itu adil, itu berkenan kepada Tuhan, kalau kita tidak membalas ketidakadilan yang kita rasakan. Bahkan lebih dari itu. Kita mesti mengasihi, meminta berkat dan berdoa bagi orang yang merontokkan gigi kita.

Ini sesuatu yang sangat sulit, tapi bukannya mustahil. Yesus sendiri telah memberikan contoh atau menerapkan prinsip itu. Di jalan salib-Nya, Dia ditampar, dipukuli, dilucuti pakaiannya, akhirnya dipaku pada palang salib. Dalam sederetan pengalaman dan kasus tersebut Dia tetap memperlihatkan kasih-Nya kepada mereka yang berlaku kasar dan jahat itu. Dia malahan mendoakan mereka karena mereka bagi Dia segala apa yang mereka lakukan terhadap diri-Nya merupakan akibat kurangnya pengetahuan mereka akan rencana Allah. Bagi Yesus, semua yang menganiaya-Nya, tidak tahu apa yang mereka perbuat. Ya Bapa ampunlah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.

Banyak orang, entah sadar entah tidak, telah meniru teladan Yesus itu. Konon dikisahkan bahwa seorang ibu muda Israel suatu hari tiba-tiba seperti kehilangan segalanya, karena suaminya ditembak mati oleh seorang Palestina musuh bebuyutan Israel. Berdasarkan berita-berita yang beredar kemudian, ibu itu tahu bahwa istri sang penembak suaminya lagi di rumah sakit menunggu operasi pencangkokan jantung. Sambil menyingkirkan rasa sakit hati dan keinginan balas dendam, yang sebetulnya sangat membara dalam dadanya, dia menawarkan jantung suami kepada istri si pembunuh itu. Tidak lama kemudian, berdetaklah jantung sang suaminya itu di dalam dada istri musuhnya.

Contoh lain kita saksikan pengalaman Paus Yoh Paulus II yang nyaris mati ditembak oleh penjahat Ali Aqca. Tetapi, kita semua tahu bahwa kemudian Paus memberi pegampunan bahkan mengunjungi penjahat itu yang terpaksa harus meringkuk di penjara. Daud dalam bacaan pertama tadi dikejar-kejar oleh Raja Saul untuk dimusnahkan. Beberapa kali tombak Raja Saul nyaris tertancap di dada dan pelipisnya. Kita mendengarkan sebuah kisah yang sungguh dramatis ketika Daud mendapat kesempatan emas untuk membalas dendam terhadap aneka kejahatan yang dilakukan Saul itu, Daud tidak mau menggunakan kesempatan untuk melakukan tindakan balas dendam terhadap Saul itu. Yang diberikan Daud kepada Saul hanyalah sikap mengampuni. Barangkali kita sendiri pernah bertemu dengan orang-orang seperti itu, yang rela mengampuni orang lain, bahkan mengampuni diri kita sendiri.

Mari kita bertanya diri, “Mengapa orang-orang itu bisa mengampuni sesamanya dan saya tidak bisa?” Jawabannya, “Kita sendiri pun sangat bisa, hanya kadang-kadang kita tidak mau mencobanya. Kita terlalu cepat menyerah pada kecenderungan balas dendam yang memang sudah ada dalam diri kita masing-masing. Ssikap balas dendam yang diwariskan dalam tragedi taman firdaus itu lebih menguasai diri dan hidup kita daripada harus berjuang memupuk dan menumbuhkan sikap untuk mengampuni. Barangkali ada yang berkata dalam hatinya, “Saya tidak setuju dengan ajaran Yesus itu. Masa kita membiarkan saja diri kita diperlakukan sewenang-wenang?”

Bukanlah maksud Yesus untuk menyuruh kita menyerah saja pada kekerasan, ketidakadilan, dalam arti menerimanya sebagai sesuatu yang boleh terjadi atau berlangsung di bumi ini. Saat seorang serdadu menampar Yesus, Yesus tidak berdiam diri, tetapi Dia menantang serdadu itu dengan mengajukan pertanyaan reflektif, “Jikalau kata-Ku itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kata-Ku itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?” Pertanyaan Yesus ini, bukanlah untuk menyakiti hati orang itu tetapi untuk menyadarkannya, untuk menolongnya menemukan bukan saja apa yang baik tetapi juga menemukan apa yang benar.

Itulah juga yang mesti kita lakukan. Bila kita diperlakukan secara kasar, maka kita perlu membela diri dengan mengingatkan orang itu akan kekeliruannya sehingga dengan demikian, dia menghentikan perbuatan jahat itu. Kalau toh dia tidak sadar, tetapi terus menyakiti kita, Yesus katakan, ‘Tidak apa-apa, lebih baik kehilangan satu mata, satu tangan atau satu kaki, tapi masuk surga, daripada memiliki tubuh yang utuh dan sehat tetapi diceburkan ke api neraka,’ kalau kita balas melakukan ketidakadilan.

Ada yang membenarkan aksi balas dendam dengan mengagungkan tujuannya yang mulia yaitu untuk mengubah situasi, mengubah orang lain. Dari pengalaman sehari-hari kita mengetahui, bahwa bila seseorang berlaku kasar atas kita dan melakukan hal yang sama terhadapnya, maka hampir pasti bahwa keretakan hubungan kita akan bertambah lebar. Tetapi, bila kita coba menerima perlakukan kasar itu dengan hati yang damai, tanpa usaha untuk membalas dendam, orang itu akan kaget, tercengang, malu dan kemudian datang meminta maaf. Kita pun akan keluar sebagai pemenang pertikaian itu. Kita berhasil menjadikan orang itu sebagai teman kita, kita juga mendapatkan kedamaian dalam hidup.

Mungkin baik kalau kita mengingat kembali cerita bijak tentang bagaimana caranya memenangkan hati orang dengan kelembutan:

“Pada suatu ketika, angin dan matahari bersengketa. Angin membanggakan diri bahwa dialah yang lebih kuat. Katanya, “Saya akan tunjukkan kepadamu bahwa sayalah yang lebih kuat. Lihat orang tua yang mengenakan mantol di sana. Saya bertaruh bahwa saya akan membuat dia segera mencopot mantolnya itu.” Matahari menjawab, “Silahkan, kita akan lihat nanti.” Lalu dia bersembunyi di balik awan.

Angin pun mulai bertiup dan bertiup sederas-derasnya sehingga terjadi topan. Namun sederas-derasnya ia bertiup, orang tua itu tetap mengencangkan matolnya dan membungkus dirinya semakin ketat. Sesekali dia terjatuh, tetapi segera bangun lagi tanpa sedikitpun melonggarkan cengkraman pada mantolnya. Akhirnya angin itu jadi tenang dan menyerah.

Bersamaan dengan itu, sang matahari muncul pelan-pelan dari balik awan sambil mengumbar senyum dengan sinarnya kepada orang tua itu. Sesudah beberapa saat orang tua itu mulai mengusap keningnya, kemudian mencopot mantolnya dengan sukarela. Demikianlah matahari mengalahkan angin yang sombong itu dan menjalin persahabatan dengan orang tua tadi.

Kalau kita mau memenangkan hati orang, kalau kita mau mengubah suasana yang mendung jadi cerah kembali, belajarlah dari cara kerja matahari yang kita lihat sehari-hari. Lalu apa yang akan kita peroleh: Matahari akan bersinar cerah dalam hidup kita. Seperti Yesus rela menanggung sengsara, tetapi kemudian dimuliakan oleh Bapa-Nya di Surga, kitapun akan dimuliakan bersama Dia. Mari kita berdoa dalam hati masing-masing: “Tuhan, saya percaya Engkau telah menciptakan hati yang suka berdamai dalam diriku. Bantulah aku untuk meniru teladan pengampunan-Mu. Amin.

No comments:

Post a Comment