Friday, August 3, 2012

MINGGU BIASA PEKAN XVII THN B


Minggu Biasa ke-17 thn. B2. 29 Juli 2012
2Raj.4,42-44;  Ef.4,1-6; Yoh.6,1-15 
Komunitas Frater BHK Malang
Renungan
Bicara tentang mukjizat, kerap orang memahami mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa yang terjadi dalam hidup: misalnya orang yang sudah divonis dokter, bahwa penyakitnya tidak akan sembuh, setelah berupaya ternyata sembuh. Atau peristiwa-peristiwa hidup yang luar biasa. Maka tidak mengherankan kalau dalam bacaan Injil dikisahkan bahwa orang berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka ingin mukjizat-mukjizat penyembuhan, yang diadakanNya. Pada kesempatan ini, Yesus mengadakan mukjizat penggandaan roti.
Mukjizat ini bukanlah mukjizat yang pertama. Artinya, orang-orang pada jaman itu tentu akan ingat bahwa sebelum Yesus juga pernah ada mukjizat ini. Dalam bacaan pertama (2Raja-raja 4:42-44) dikisahkan bahwa Elisa juga mengadakan mukjizat penggandaan roti, tapi dalam jumlah yang lebih kecil dari yang dibuat oleh Yesus. Elisa menggandakan roti untuk memberi makan seratus orang, sementara Yesus menggandakan roti untuk memberi makan lima ribu orang. Dari situ, pernyataannya adalah: apa yang ingin Yesus sampaikan dengan tindakan mengadakan mukjizat itu? Mengapa yang digunakan untuk mengadakan mukjizat adalah roti dan bukan yang lain?
Dengan mukjizat diharapkan orang menjadi semakin percaya dan semakin dekat dengan Tuhan. Bahkan Yesus ingin menegaskan bahwa Tuhan tidak hanya dekat tapi sungguh menyatu dalam hidup manusia. Yesus ingin bahwa apa yang Ia wartakan yakni Kerajaan Allah, sungguh hadir secara nyata. Kecuali itu, mukjizat penggandaan roti mencerminkan Ekaristi. Mengapa roti? Roti adalah makanan pokok orang Yahudi. Roti adalah sumber kehidupan. Sehingga, dengan mengadakan mukjizat penggandaan roti mengingat Yesus semudah mengingat roti. Artinya, dengan mukjizat ini lalu orang menyadari bahwa Yesus adalah sumber kehidupan. Yesus terus memberikan kehidupan itu kepada manusia. Itulah yang terjadi dalam Ekaristi. Yesus bukan hanya menggandakan roti, tapi memberikan diriNya sebagai makanan yang meneguhkan, menyelamatkan. Dalam Ekaristi pemberian diri yang sempurna terjadi.
Maka dari itu, beberapa inspirasi iman bisa kita petik. Kita bisa belajar dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu: Yesus, para murid, orang banyak, seorang anak yang mempunyai lima roti dan dua ikan. Belajar dari Yesus; Yesus begitu memperhatikan kebutuhan sesama (dalam hal ini kebutuhan orang banyak akan makanan). Yesus sungguh hadir sebagai Allah yang menyelenggarakan kehidupan. Yesus adalah sumber keselamatan. Seberapa besar rasa syukur kita haturkan atas rahmat kehidupan dan penyelenggaraan hidup yang telah kita terima? Apakah rasa syukur itu juga mendorong diriku untuk dengan jeli memperhatikan kebutuhan sesama? Dari orang banyak yang berbondong-bondong, kita belajar untuk bertanya motivasi dasar apakah yang melatar belakangi kita untuk mengikuti Yesus? Apakah terpesona oleh mukjizat yang dibuat Yesus atau karena sadar bahwa Yesus adalah sumber kehidupan sejati? Masihkah kita ragu bahwa setiap merayakan Ekaristi, kita menyaksikan mukjizat yang sangat agung, yakni Yesus yang hadir secara nyata. Bukan hanya menyaksikan tapi juga menerima dan bersatu dengan Yesus Sang Sumber kehidupan? Masihkah kita mencari mukjizat-mukjizat lain?
Belajar dari Filipus: apakah kita juga bersikap seperti Filipus yang mempertanyakan permintaan Yesus sebagai sebuah kemustahilan: memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan? Ada banyak keterbatasan dalam kehidupan kita, apakah keterbatasan itu lalu menghambat kita untuk berkembang, untuk maju? Belajar dari anak kecil: ia rela memberikan lima roti dan dua ikan kepada Yesus, lalu Yesus mengambil, mengucap syukur dan membagi-bagikan roti itu. Relakah kita seperti anak kecil itu, memberikan sesuatu yang kecil, terbatas kepada Yesus? Kalau sikap ini ada, maka segala keterbatasan, ketidak berdayaan bila diserahkan kepada Yesus, akan menghasilkan sebuah perubahan yang luar biasa. Kita bisa membandingkan dengan lima roti dan dua ikan untuk lima ribu orang, bahkan masih sisa.
Kita juga bisa belajar, apa yang sebenarnya terjadi kalau kita mau berbagi seperti anak kecil itu? Tuhan sendirilah yang berbagi melalui kita. Ketika saya berbagi, Allah melakukan atau mengerjakan untuk orang lain. Tuhan menciptakan jauh lebih banyak daripada yang dipikirkan oleh manusia. Maka kita belajar: 1. Tidak perlu takut berbagi, karena Tuhan sendiri yang melakukan. 2. Berbagi membuat orang terbebas dari kesombongan rohani. 3. Berbagi membuat hidup kita berkelimpahan.

No comments:

Post a Comment