Friday, August 3, 2012

MINGGU BIASA PEKAN XVI THN B


Minggu Biasa ke-16 thn. B2. 22 Juli 2012
Yer.23,1-6;  Ef.2,13-18;  Mrk.6,30-34
Kapela Lingkungan Bagas Singasari Malang
Buka
Sebagai pengikut Kristus semua kita dalam dalam cara yang berbeda dipanggil untuk menjadi gembala bukan saja untuk diri sendiri tetapi terlebih lagi untuk orang lain. Panggilan menjadi gembala dalam konteks ini berarti pula kita menjadikan Yesus sebagai acuan atau rujukan utama. Kegembalaan dan kepemimpinan Yesus bermuara pada terciptaknya persaudaraan, perdamaian dan keadilan. Persaudaraan, perdamaian, dan keadilan merupakan buah yang paling nyata dari iman kita akan Kristus sebagai gembala agung kita. Sebagai manusia, kita mungkin alpa dalam mewujudkan persaudaraan karena lebih mengutamakan diri. Mungkin kita alpa mewujudkan perdamian karena terlibat dalam perselihan dan salah paham. Mungkin kita alpa karena berlaku kurang adil. Kita sesali semuanya mengawali perayaan yang menyelamatkan ini.

Renungan
Media massa kita dalam aneka kemasan dan tampilannya hampir pasti mengangkat masalah berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Pelbagai masalah yang diangkat juga biasanya dikaitkan dengan figur pemimpin. Karena itu, apa pun masalah yang ditemukan dalam kehidupan baik sebagai warga negara, maupun sebagai warga gereja orang dengan mudahnya merumuskan dalil ini: “Kalau masalah ada itu sama artinya pemimpinnya bermasalah”. Dengan kata lain, ada tidaknya masalah bergantung pada pemimpinnya. Pemimpin yang tidak bermasalah tidak akan menghadirkan masalah pada warga yang dipimpinnya.
Firman Tuhan untuk kita hari ini tampaknya masih dan tetap aktual dan relevan dengan situasi kita sampai saat ini. Bacaan-bacaan tadi pada dasarnya berbicara soal  dinamika dan kinerja orang-orang yang dipercayakan sebagai pemimpin. Masalah kepemimpinan menjadi kata kunci yang kiranya perlu dan penting untuk  kita maknai dalam terang ketiga bacaan tadi. Istilah, kata kepemimpinan itu memang tidak dibahasakan secara eksplisit tetapi dibahasakan dalam sebuah analogi. Pemimpin dan kepemimpinan dalam penggalan bacaan tadi menggunakan kata gembala dan kegembalaan. Seorang pemimpin itu analog dengan seorang gembala. Analogi seperti ini terutama dalam kaitannya dengan kualifikasi dan dinamika perannya.
Yeremia dalam nubuatnya hari ini memaparkan pelbagai penyelewengan para pemimpin masa itu yang dipercayakan untuk memimpin bangsa terpilih. .Para gembala yang diangkat tidak lagi melihat perannya sebagai amanat Tuhan. Para pemimpin mengkianati kepercayaan yang diberikan untuk memimpin dan mempersatukan. Pemimpim saat itu  bukannya mempersatukan massa yang dipimpinnya tetapi semuanya justru menjadi provokator, pememecah belah. Melalui Yeremia Tuhan tidak lagi menawarkan pilihan atau negosiasi tertentu melainkan membawa keputusan yang bersifat tetap yaitu mengambil dan mengalihkan peran kepemimpinan itu kepada pemimpin lain yang akan menjamin keadilan, perdamian. Yeremia dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi meneruskan keputusan itu. Pemimpin yang bertindak lalim harus menerima hukuman setimpal. Yeremia menubuatkan bahwa Tuhan akan mengambilalih dan mengalihkan  kekuasaan para gembala yang tidak tidak menjalankan perannya secara benar. Tuhan mengalihkan peran itu karena dalam masa kepemimpinan sebelumnya rakyat tidak merasakan keadilan, kedamaian, kebebasan, kebijaksanaan.
Tuhan menghendaki agar dunia ini berkeadilan karena hakikat Allah itu adil. Pengalihan peran yang digambarkan Nabi membawa implikasi luar biasa dalam mengubah tatatan kehidupan yang dikehendaki Tuhan. Pengalihan itu juga membahasakan adanya pergeseran paradigma kepemimpinan dari kepemimpinan yang cenderung lalim menjadi kepemimpinan yang mengedepankan dimensi kebersamaan yang mendamaikan. Pemimpin itulah yang diramalkan nabi yang kepenuhannya nyata dalam diri Yesus sang raja damai yang kelak akan menjadi hakim yang adil.
Kondisi kehidupan yang digambarkan nabi Yeremia masih mewarnai kehidupan manusia semasa Paulus. Penggalan surat Paulus menginformasikan kepada kita tentang kondisi kehidupan jemaat Efesus. Paulus dalam suratnya menegaskan dan meyakinkan jemaat Efesus untuk hidup dalam dalam perdamaian dan persaudaraan dengan semua orang dari segala bangsa. Pada masa itu orang Efesus membangun tembok pemisah dengan bangsa lain dan menganggap Yesus adalah figur eksklusif mereka. Paulus menentang sikap mereka karena Yesus itu menjadi pintu yang terbuka untuk setiap orang yang percaya. Paulus mengingatkana mereka bahwa kedatangan Yesus telah meruntuhkan tembok pemisah, dan mendamaikan setiap perseteruan manusia. Bagi Paulus Yesus adalah pemimpin sejati yang mendamaikan segala bangsa. Mendekatkan yang jauh.
Yesus sebagai manusia tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Tidak ada catatan di mana Yesus mengikuti kuliah atau catatanh fakultas Sosial Politik yang mempersiapkan dirinya sebagai pemimpin atau politisi. Meskipun demikian Yesus tetap menjadi figur tipikal dalam hal kepemimpinan. Sebagai seorang gembala Yesus menempatkan dirinya pada posisi yang strategis. Sebagai gembala ia berada di belakang kawanan domba-Nya menuntun domba-Nya ke padang rumput dan sumber air yang segar. Sebagai gembala ia juga berada di tengah kawanan-Nya untuk memberikan teladan hidup, dan ketika mengakhiri misi-Nya di dunia Yesus mengambil posisi terdepan untuk menunjukkan manusia jalan kepada Bapa. Apa yang kemudian digagaskan tokoh pendidikan Kihajar Dewantoro jauh sebelumnya telah diterapkan dalam kepemimpinan Yesus.
Penginjil Markus memberi penjelasan dan informasi tentang  kepemimpinan Yesus. Yesus sungguh sukes sebagai seorang pemimpin. Ia adalah pemimpin atau gembala sejati. Apa yang menjadi kunci keberhasilan Yesus dalam hal kepemimpinan itu? Ada beberapa hal penting yang mungkin perlu kita renungkan dari pola kepemimpinan Yesus sampai ia berhasil.
Pertama, Yesus memaknai  kepemimpinan itu lebih sebagai tindakan daripada status, jabatan dan posisi. Bagi Yesus kepemimpinan itu adalah aksi bukan posisi (Leadership is Action not position). Secara spiritual kepemimpinan Yesus adalah pelayanan). Kedua, kepemimpinan Yesus unggul dan berhasil karena ia mampu mengintegrasikan dua kutub kehidupan manusia yaitu aksi dan kontemplasi. Dalam menjalankan tugas-Nya Yesus selalu menjaga keseimbangan antara vita aktiva dengan vita kontemplativa. Dia sibuk dalam aktivitas pewartaan-Nya tetapi selalu diimbangi dengan mengambil waktu untuk berdiam diri dan melakukan refleksi. Setelah bergulat dalam pelbagai kesibukan Yesus menyiapkan waktu untuk mencari kehendak Tuhan. Catatan:Lokasi terjadinya kisah injil tadi terjadi di dua tempat. Lokasi pertama  Yesus sibuk melayani di Daerah Tiberias salah satu sisi danau yang oleh orang Galilea menyebutnya danau Galilea, dan orang Tiberias menyebutnya danau Tiberias. Bulan Juli tahun lalu saya dengan rombongan peziarah berlayar dengan perahu dari Kota Tiberias ke kota Galilea  sekitas 45 menit mengikuti alur yang dilayari Yesus dalam injil tadi. Untuk sampai  ke tempat yang sepi itu harus jalan darat dari Galilea. Yang mengherankan orang banyak yang sebelumnya ada di Tiberias tiba duluan di tempat yang sunyi itu padahal jalan darat lebih jauh daripada menggunakan perahu. Itu artinya mereka sungguh berjuang menjumpai Yesus sebagai satu-satunya harapan. Tempat Yesus menyepi yang dikatakan dalam injil tadi berada di kota Kafernaum tepatnya berdekatan dengan gereja Delapan Sabda Bahagia dan Gereja Pengangkatan Petrus. Di tempat Yesus menyepi itu sekarang banyak rahib dan ahli kitab suci yang menjalankan refleksi dan meditasi pribadi.  Aksi dan refleksi bagi orang beriman termasuk bagi pemimpin harus dijaga keseimbangannya. Orang banyak juga mengikuti Yesus yang mau menyepi.
Ketiga, kepemimpinan Yesus berhasil karena Ia mengutamakan kecerdasan emosional daripada kecerdasan intelektual. Temuan para ahli pada abad ini tentang kecerdasan emosional sudah dipraktikkan Yesus 21 abad silam. Yesus berhasil dalam pewartaannya karena ia unggul secara emosional. Kecerdasan emosional itulah yang mewarnai pewartaan Yesus. Pendekatan kemanusiaan yang menjadi ciri pewartaaan-Nya merupakan ekspresi kecerdasan emosional-Nya. Ia tidak bergelar akademis sebagai barometer kapasitas kecerdasan inteletual-Nya. Injil tadi menggambarkan bagaimana Hati Yesus tergerak oleh belas kasih. Hati yang tergerak karena belaskasih adalah ungkapan kecerdasan emosional yang selalu digunakan Yesus dalam pewartaanNya. Jelaslah bagi kita bahwa menjadi pemimpin yang baik tidak mesti dan tidak harus memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi. Yang harus dimiliki adalah kecerdasan emosional yang tinggi karena kecerdasan emosional secara otomatis mengendalikan kecerdasan inteletual.
Dalam konteks kehidupan dunia mungkin tidak semua kita bisa menjadi pemimpin, tetapi sebagai orang beriman, pengikut Kristus kita semua adalah pemimpin. Kita semua dalam cara dan melalui bidang tugas kita masing-masing dapat menjadi pemimpin. Pemimpin di dalam keluarga, di dalam komunitas, di dalam lingkungan kerja, dll. Sebagai pemimpin kita mau tidak mau harus mengacu pada pola kepemimpinan Yesus sendiri melihat kepemimpinan sebagai pelayanan, yang menjaga keseimbangan antara aktivitas dengan refleksi dan yang mengedepankan hati nurani untuk melahirkan pola pendekatan manusiawi daripada pertimbangan akal semata. Kita semua telah mengakui diri sebagai pengikut Kristus maka marialh kita menjadi gembala dalam konteks tugas karya pelayanan kita. Semoga.. 

No comments:

Post a Comment