Minggu Biasa ke-16
thn. B2. 22 Juli 2012
Yer.23,1-6; Ef.2,13-18;
Mrk.6,30-34
Kapela Lingkungan Bagas Singasari Malang
Buka
Sebagai pengikut Kristus semua kita dalam dalam cara
yang berbeda dipanggil untuk menjadi gembala bukan saja untuk diri sendiri
tetapi terlebih lagi untuk orang lain. Panggilan menjadi gembala dalam konteks
ini berarti pula kita menjadikan Yesus sebagai acuan atau rujukan utama.
Kegembalaan dan kepemimpinan Yesus bermuara pada terciptaknya persaudaraan,
perdamaian dan keadilan. Persaudaraan, perdamaian, dan keadilan merupakan buah
yang paling nyata dari iman kita akan Kristus sebagai gembala agung kita.
Sebagai manusia, kita mungkin alpa dalam mewujudkan persaudaraan karena lebih
mengutamakan diri. Mungkin kita alpa mewujudkan perdamian karena terlibat dalam
perselihan dan salah paham. Mungkin kita alpa karena berlaku kurang adil. Kita
sesali semuanya mengawali perayaan yang menyelamatkan ini.
Renungan
Media
massa kita dalam aneka kemasan dan tampilannya hampir pasti mengangkat masalah
berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Pelbagai masalah yang diangkat juga
biasanya dikaitkan dengan figur pemimpin. Karena itu, apa pun masalah yang
ditemukan dalam kehidupan baik sebagai warga negara, maupun sebagai warga
gereja orang dengan mudahnya merumuskan dalil ini: “Kalau masalah ada itu sama artinya pemimpinnya bermasalah”. Dengan
kata lain, ada tidaknya masalah bergantung pada pemimpinnya. Pemimpin yang
tidak bermasalah tidak akan menghadirkan masalah pada warga yang dipimpinnya.
Firman Tuhan untuk kita hari ini tampaknya masih dan
tetap aktual dan relevan dengan situasi kita sampai saat ini. Bacaan-bacaan
tadi pada dasarnya berbicara soal dinamika
dan kinerja orang-orang yang dipercayakan sebagai pemimpin. Masalah kepemimpinan menjadi kata kunci yang kiranya perlu dan
penting untuk kita maknai dalam terang
ketiga bacaan tadi. Istilah, kata kepemimpinan itu memang tidak dibahasakan secara
eksplisit tetapi dibahasakan dalam sebuah analogi. Pemimpin dan kepemimpinan
dalam penggalan bacaan tadi menggunakan kata gembala dan kegembalaan. Seorang
pemimpin itu analog dengan seorang gembala. Analogi seperti ini terutama dalam
kaitannya dengan kualifikasi dan dinamika perannya.
Yeremia dalam nubuatnya hari ini memaparkan pelbagai
penyelewengan para pemimpin masa itu yang dipercayakan untuk memimpin bangsa
terpilih. .Para gembala yang diangkat tidak lagi melihat perannya sebagai
amanat Tuhan. Para pemimpin mengkianati kepercayaan yang diberikan untuk
memimpin dan mempersatukan. Pemimpim saat itu
bukannya mempersatukan massa yang dipimpinnya tetapi semuanya justru
menjadi provokator, pememecah belah. Melalui Yeremia Tuhan tidak lagi
menawarkan pilihan atau negosiasi tertentu melainkan membawa keputusan yang
bersifat tetap yaitu mengambil dan mengalihkan peran kepemimpinan itu kepada
pemimpin lain yang akan menjamin keadilan, perdamian. Yeremia dalam
kapasitasnya sebagai seorang nabi meneruskan keputusan itu. Pemimpin yang
bertindak lalim harus menerima hukuman setimpal. Yeremia menubuatkan bahwa
Tuhan akan mengambilalih dan mengalihkan
kekuasaan para gembala yang tidak tidak menjalankan perannya secara
benar. Tuhan mengalihkan peran itu karena dalam masa kepemimpinan sebelumnya
rakyat tidak merasakan keadilan, kedamaian, kebebasan, kebijaksanaan.
Tuhan menghendaki agar dunia ini berkeadilan karena
hakikat Allah itu adil. Pengalihan peran yang digambarkan Nabi membawa
implikasi luar biasa dalam mengubah tatatan kehidupan yang dikehendaki Tuhan.
Pengalihan itu juga membahasakan adanya pergeseran paradigma kepemimpinan dari
kepemimpinan yang cenderung lalim menjadi kepemimpinan yang mengedepankan
dimensi kebersamaan yang mendamaikan. Pemimpin itulah yang diramalkan nabi yang
kepenuhannya nyata dalam diri Yesus sang raja damai yang kelak akan menjadi
hakim yang adil.
Kondisi kehidupan yang digambarkan nabi Yeremia masih
mewarnai kehidupan manusia semasa Paulus. Penggalan surat Paulus
menginformasikan kepada kita tentang kondisi kehidupan jemaat Efesus. Paulus
dalam suratnya menegaskan dan meyakinkan jemaat Efesus untuk hidup dalam dalam
perdamaian dan persaudaraan dengan semua orang dari segala bangsa. Pada masa
itu orang Efesus membangun tembok pemisah dengan bangsa lain dan menganggap
Yesus adalah figur eksklusif mereka. Paulus menentang sikap mereka karena Yesus
itu menjadi pintu yang terbuka untuk setiap orang yang percaya. Paulus
mengingatkana mereka bahwa kedatangan Yesus telah meruntuhkan tembok pemisah,
dan mendamaikan setiap perseteruan manusia. Bagi Paulus Yesus adalah pemimpin
sejati yang mendamaikan segala bangsa. Mendekatkan yang jauh.
Yesus sebagai manusia tidak pernah mengikuti pendidikan
formal. Tidak ada catatan di mana Yesus mengikuti kuliah atau catatanh fakultas
Sosial Politik yang mempersiapkan dirinya sebagai pemimpin atau politisi.
Meskipun demikian Yesus tetap menjadi figur tipikal dalam hal kepemimpinan.
Sebagai seorang gembala Yesus menempatkan dirinya pada posisi yang strategis.
Sebagai gembala ia berada di belakang kawanan domba-Nya menuntun domba-Nya ke
padang rumput dan sumber air yang segar. Sebagai gembala ia juga berada di
tengah kawanan-Nya untuk memberikan teladan hidup, dan ketika mengakhiri
misi-Nya di dunia Yesus mengambil posisi terdepan untuk menunjukkan manusia
jalan kepada Bapa. Apa yang kemudian digagaskan tokoh pendidikan Kihajar
Dewantoro jauh sebelumnya telah diterapkan dalam kepemimpinan Yesus.
Penginjil Markus memberi penjelasan dan informasi
tentang kepemimpinan Yesus. Yesus
sungguh sukes sebagai seorang pemimpin. Ia adalah pemimpin atau gembala sejati.
Apa yang menjadi kunci keberhasilan Yesus dalam hal kepemimpinan itu? Ada
beberapa hal penting yang mungkin perlu kita renungkan dari pola kepemimpinan
Yesus sampai ia berhasil.
Pertama, Yesus memaknai
kepemimpinan itu lebih sebagai tindakan daripada status, jabatan dan
posisi. Bagi Yesus kepemimpinan itu adalah aksi bukan posisi (Leadership is
Action not position). Secara spiritual kepemimpinan Yesus adalah pelayanan). Kedua,
kepemimpinan Yesus unggul dan berhasil karena ia mampu mengintegrasikan dua
kutub kehidupan manusia yaitu aksi dan kontemplasi. Dalam menjalankan tugas-Nya
Yesus selalu menjaga keseimbangan antara vita
aktiva dengan vita kontemplativa.
Dia sibuk dalam aktivitas pewartaan-Nya tetapi selalu diimbangi dengan
mengambil waktu untuk berdiam diri dan melakukan refleksi. Setelah bergulat
dalam pelbagai kesibukan Yesus menyiapkan waktu untuk mencari kehendak Tuhan. Catatan:Lokasi
terjadinya kisah injil tadi terjadi di dua tempat. Lokasi pertama Yesus sibuk melayani di Daerah Tiberias salah
satu sisi danau yang oleh orang Galilea menyebutnya danau Galilea, dan orang
Tiberias menyebutnya danau Tiberias. Bulan Juli tahun lalu saya dengan
rombongan peziarah berlayar dengan perahu dari Kota Tiberias ke kota
Galilea sekitas 45 menit mengikuti alur
yang dilayari Yesus dalam injil tadi. Untuk sampai ke tempat yang sepi itu harus jalan darat
dari Galilea. Yang mengherankan orang banyak yang sebelumnya ada di Tiberias
tiba duluan di tempat yang sunyi itu padahal jalan darat lebih jauh daripada
menggunakan perahu. Itu artinya mereka sungguh berjuang menjumpai Yesus sebagai
satu-satunya harapan. Tempat Yesus menyepi yang dikatakan dalam injil tadi
berada di kota Kafernaum tepatnya berdekatan dengan gereja Delapan Sabda
Bahagia dan Gereja Pengangkatan Petrus. Di tempat Yesus menyepi itu sekarang
banyak rahib dan ahli kitab suci yang menjalankan refleksi dan meditasi
pribadi. Aksi dan refleksi bagi orang
beriman termasuk bagi pemimpin harus dijaga keseimbangannya. Orang banyak juga
mengikuti Yesus yang mau menyepi.
Ketiga, kepemimpinan Yesus berhasil karena Ia
mengutamakan kecerdasan emosional daripada kecerdasan intelektual. Temuan para
ahli pada abad ini tentang kecerdasan emosional sudah dipraktikkan Yesus 21
abad silam. Yesus berhasil dalam pewartaannya karena ia unggul secara
emosional. Kecerdasan emosional itulah yang mewarnai pewartaan Yesus.
Pendekatan kemanusiaan yang menjadi ciri pewartaaan-Nya merupakan ekspresi kecerdasan
emosional-Nya. Ia tidak bergelar akademis sebagai barometer kapasitas
kecerdasan inteletual-Nya. Injil tadi menggambarkan bagaimana Hati Yesus
tergerak oleh belas kasih. Hati yang tergerak karena belaskasih adalah ungkapan
kecerdasan emosional yang selalu digunakan Yesus dalam pewartaanNya. Jelaslah
bagi kita bahwa menjadi pemimpin yang baik tidak mesti dan tidak harus memiliki
kecerdasan intelektual yang tinggi. Yang harus dimiliki adalah kecerdasan
emosional yang tinggi karena kecerdasan emosional secara otomatis mengendalikan
kecerdasan inteletual.
Dalam konteks kehidupan dunia mungkin tidak semua kita
bisa menjadi pemimpin, tetapi sebagai orang beriman, pengikut Kristus kita
semua adalah pemimpin. Kita semua dalam cara dan melalui bidang tugas kita
masing-masing dapat menjadi pemimpin. Pemimpin di dalam keluarga, di dalam
komunitas, di dalam lingkungan kerja, dll. Sebagai pemimpin kita mau tidak mau
harus mengacu pada pola kepemimpinan Yesus sendiri melihat kepemimpinan sebagai
pelayanan, yang menjaga keseimbangan antara aktivitas dengan refleksi dan yang
mengedepankan hati nurani untuk melahirkan pola pendekatan manusiawi daripada
pertimbangan akal semata. Kita semua telah mengakui diri sebagai pengikut
Kristus maka marialh kita menjadi gembala dalam konteks tugas karya pelayanan
kita. Semoga..
No comments:
Post a Comment