Tuesday, October 29, 2013

OPTION FOR THE POOR

Option For The Poor: Pilihan untuk Menolong
Rm.Bone Rampung, Pr
“Kalau kau lahir dalam keadaan miskin, itu bukan salah kamu, tapi kalau kamu mati dalam keadaan miskin, itu salah kamu" (Donald Trump)

1.Persoalan kita
Oikos edisi ini mengusung tema Option for The Poor (selanjutnya disingkat OTP). Tema ini jelas bukan tema yang baru sama sekali atau sama sekali baru. Ini tema lama, hanya mungkin Oikos ingin memaknainya secara baru yang lebih kontekstual sesuai dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masa kini. Tulisan ini hanya salah satu kepingan cara pandang dalam memaknai konsep OTP. Itupun tidak dilengkapi dengan  seperangkat teori yang sitematis dengan harapan membuka makna terdalam dan terluas konsep OTP itu.
Kami sungguh menyadari bahwa telah sekian banyak ulasan dan gagasan yang cenderung ilmiah perihal konsep ini. Dalam konteks iseng kami mencoba meminta konfirmasi mesin pintar dunia maya “Google” tentang penyebaran penggunaan istilah tersebut. Sungguh mencengangkan, dalam hitungan 46 detik “otak umum ini” melaporkan bahwa 262 juta alamat situs yang memuat dan membahas tema OTP ini. Artinya, persoalan ini telah menjadi persoalam mondial yang difokusi pelbagai kalangan dari segala bangsa. Tulisan ini memuat  dua pokok penting  yaitu (1) konteks dan hakikat munculnya konsep  OTP (2) Pemaknaan konsep OTP dalam dinamika masa kini.
2. Konteks dan Hakikat Konsep OTP
Option for The Poor sesungguhnya merupakan ungkapan yang menggambarkan kondisi kehidupan sosial suatu masyarakat. Faktanya, setiap masyarakat selalu didisposiskan dikotomi yang melahirkan opsisi biner. Ketika masyarakat diukur secara ekonomis lahirlah oposisi kaya-miskin; ketika diukur berdasarkan kenjamuan peradaban muncul oposisi modern-primitif. Begitu seterusnya muncul deretan oposisi biner tak terbatas sejauh dan sebanyak criteria yang digunakan. Munculnya konsep OTP menggiring pemahaman mayoritas masyakat untuk melokalisasi konsep itu pada oposisi kaya-miskin yang melahirkan  kelompok yang beruntung-kelompok malang (poor). Menghadapai kenyataan seperti ini, biasanya kelompok beruntung dapat menentukan posisinya sekaligus menentukan sikap dan pilihan berkaitan dengan kelompok yang malang.
Situasi seperti ini bukanlah monopoli masyarakat era digital karena sesungguhnya kenyataan kaya-miskin; untung-malang seperti ini telah berlangsung lama ketika manusia mendisposiskan dirinya sebagai homo economicus yang berupaya untuk survival dalam persaingan. Kelompok yang tidak beruntung itulah yang menjadi sasaran konsep OTP.
Pilihan keberpihakan kepada kaum miskin memiliki akarnya dalam Kitab Suci. Dalam kitab Mazmur dan kitab-kitab Perjanjian Lama ditunjukkan Allah yang mendengarkan jeritan kaum miskin dan melindungi mereka. Dalam Perjanjian Baru, teologi kenosis menyatakan pilihan dan keberpihakan Kristus sendiri kepada mereka yang miskin. Ia bukan hanya meninggalkan keallahan-Nya dan menjadi manusia miskin. Ia bahkan mengidentifikasikan diri-Nya dengan mereka yang miskin dan malang (Mat 25:40). Paus Paulus VI melalui Octogesima Adveniens (art.23) mengajak kita untuk berkaca pada Injil, “Dalam mengajarkan cinta kasih, Injil mengajari kita untuk secara istimewa menghormati orang-orang miskin dan situasi khusus mereka di tengah masyarakat….”.  Dengan kata lain, prinsip ini mengalir dari “perintah radikal untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri.” 
“Tujuan utama komitmen spesial kepada orang miskin ini memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam hidup bermasyarakat. Mereka diberdayakan untuk mampu berbagi dalam dan menyumbang bagi kesejahteraan umum. Karena itu, OTP bukanlah slogan permusuhan yang mengadu satu kelompok atau kelas dengan kelompok atau kelas lain. Prinsip ini menyatakan bahwa ketidakberdayaan kaum miskin melukai keseluruhan komunitas. Tingkat penderitaan mereka adalah ukuran sejauh mana kita telah menjadi sebuah komunitas sejati.
Ujian moral paling dasar bagi sebuah masyarakat adalah bagaimana anggota-anggotanya yang paling lemah diperlakukan. OTP adalah sebuah perspektif yang menguji keputusan-keputusan pribadi, kebijakan lembaga-lembaga publik maupun privat, dan hubungan-hubungan ekonomi dengan melihat bagaimana kaum paling miskin mengalami akibatnya. Apabila kebijakan publik menguntungkan mereka yang paling lemah, kelompok-kelompok lain yang lebih beruntung paling sedikit tidak akan dirugikan. 
Karena pilihannya membantu mereka yang tidak dapat membantu diri sendiri, prinsip ini bertujuan memberdayakan mereka dalam hidup bermasyarakat. Keputusan dan kebijakan publik harus dapat membuat orang miskin mampu membantu diri sendiri. Prinsip ini tidak hanya berkenaan dengan tindakan dan sikap kepada kaum miskin. Mendiang Paus Yohanes Paulus II menekankan bahwa OTP menjadi perwujudan “tanggung jawab sosial, gaya hidup, dan keputusan-keputusan yang kita buat berhubungan dengan kepemilikan dan penggunaan harta benda kita.”  OTP tidak dapat dimaknai sebagai tindakan mengabaikan orang kaya dan kemudian melulu memperhatikan kaum miskin.  OTP bukan prinsip eksklusif, yang meniadakan atau mengabaikan kelompok lain. 
3. Pemaknaan OTP Masa Kini
Melihat  konteks dan hakikat konsep OTP seperti ini, maka secara sederhana OTP itu dapat dirumuskan sebagai sikap dan pilihan untuk menolong. Menolong dalam konteks OTP dapat dipandang sebagai Komunikasi yang melibatkan seseorang atau sekelompok orang untuk membebaskan seseorang atau sekelompok orang dari kondisi yang membatasi dan membelenggunya. Untuk itu perlu dipahami beberapa elemen yang berkaitan pilihan keberpihakan itu dengan segala abentuk penjabarannya. Pilihan untuk berpihak pada kelompok tidak beruntung secara sederhana bermakna memilih untuk Menolong.
3.1 Menolong: Komunikasi kehidupan
Kata menolong biasanya disejajarkan dengan kata membantu. Dua kata itu maknanya hampir sama tetapi sebenarnya bermakna amat berbeda. Orang yang suka menolong biasa disebut penolong dan orang yang suka membantu biasanya disebut pembantu. Orang sering kesulitan membedakan kata penolong dan pembantu secara tepat. Sebenarnya, kalau mau melihat perbedaan dua kata itu, kita cukup melihat dampak dari tindakan itu. Seorang yang membantu dan disebut pembantu biasanya melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Pembantu pasti dan harus diberi imbalan entah sekecil apapun imbalan itu. Membantu, pembantu adalah tindakan memberi (barang atau jasa) dengan harapan mendapat imbalan atau upah. Lain halnya dengan kata menolong dan seorang penolong. Menolong untuk seorang penolong berarti juga tindakan memberi (barang atau jasa) hanya saja tindakan memberi itu bebas atau tanpa harapan mendapat imbalan atau upah balikannya.
Dalam pengalaman konkret manusia lebih banyak berniat baik untuk membantu bukan berniat baik untuk menolong. Manusia dan kita pada umumnya dilengkapi keinginan untuk membantu dan mau menjadi pembantu. Jarang kita mau menunjukkan kemampuan kita untuk menolong sehingga menjadi penolong. Manusia, dan mungkin juga termasuk kita semua, hanya bermental pembantu-pembantu dan bukannya bermental penolong-penolong. Kalau kita melakukan sesuatu supaya kita mendapat sesuatu baik berupa barang material maupun berupa pujian dan komentar, maka yang kita lakukan itu merupakan ekspresi semangat kita sebagai pembantu. Kalau kita melakukan sesuatu tanpa beban atau bebas dari harapan untuk mendaptkan sesuatu maka di sana kita sungguh mau menjadi penolong.
Dalam praktiknya kita justru berbuat terbalik. Kita mengatakan kita mau menolong tetapi yang terjadi justru kita hanya mau membantu. Kita ingin menjadi penolong tetapi yang kita lakukan kita menjadi pembantu. Ya, mungkin hal ini terjadi karena kita kurang menyadari bahwa antara kata menolong dan membantu itu terdapat muatan makna yang sangat berbeda. Kita sering mencampuradukkan dua hal itu sehingga apa yang kita lakukan kadang-kadang tidak sampai pada sasaran yang sesungguhnya. Sampai di sini paling kurang kita sudah bisa membedakan, mengelompokkan semua kegiatan dan aktivitas kita itu apakah termasuk kegiatan membantu ataukah kegiatan menolong.
Kita juga sudah tahu konsekuensi pemakaian masing-masing kata itu. Menolong itu adalah tindakan yang sifatnya lebih spontan dibandingkan dengan tindakan membantu. Menolong bersifat spontan karena memang ia bebas dari beban menuntut untuk mendapatkan sesuatu. Menolong itu lebih dekat artinya dengan pelayanan sedangkan membantu itu lebih dekat artinya dengan pekerjaan. Kalau menolong itu sejenis pelayanan maka jelas kita tahu bahwa kita tidak perlu dan tidak harus mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Lain halnya membantu sebagai suatu pekerjaan meskipun orang tidak menyatakannya dengan eksplisit tetapi tetap ada harapan untuk mendapatkan sesuatu.
Idealnya kehidupan yang bermakna itu adalah kehidupan yang ditandai dengan adanya gerakan untuk menolong dan bukan sekadar hidup untuk membantu. Panggilan hidup manusia yang paling ideal jelas panggilan untuk menolong sebagai pelayanan bukan untuk membantu sebagai pekerjaan. Sikap kita untuk memilih antara menolong atau membantu itu sangat dipengaruhi oleh siapa kita dan kita sedang berhadapan dengan siapa. Karena itu, kata kedua yang harus kita uraikan berupa pertanyaan Siapa yang harus menolong? Dalam konteks pilihan pada OTP seperti ini, tentu kita sepakat untuk menentukan bahwa diri kita sendirilah yang harus menolong. Kita semua, harus menjadi penolong itu. Mengapa? Karena tindakan menolong itu merupakan bentuk komunikasi kehidupan.
3.2  OTP: Saya Subjek: The Man in Action
Menentukan diri sendiri untuk menolong berarti mau menjadikan diri sendiri sebagai aktor yang hendak melakukan sesuatu. Aktor mengandaikan aksi, tindakan, aktivitas, kreativitas. Panggilan dan komitmen kita pribadi untuk menolong hanya baru bermakna untuk diri kita dan untuk orang lain kalau komitmen itu dibahasakan dalam tindakan. Artinya gagasan dan niat kita untuk menolong itu harus berbuah dalam tindakan. Menolong sebagai bentuk pelayanan terhadap orang lain berarti kerelaan kita untuk secara aktif dan kreatif meninggalkan diri kita dengan segala kepentingannya untuk secara lebih intensif melibatkan diri pada kebutuhan dan kepentingan orang lain yang hendak kita tolong. Diri kita yang menjadi aku yang berperan sebagai subjek artinya aku mau menjadi manusia yang ada selalu dalam tindakan (the man in action). 
Gerakan menolong orang lain pada dasarnya merupakan gerakan meninggalkan diri sendiri dengan segala atribut dan kepentingannya. Itu juga berarti kita menempatkan diri kita lebih rendah dari orang yang hendak kita tolong. Itu juga berarti kita menyadari bahwa orang lain lebih penting dari diri kita sendiri. Dalam konteks seperti ini, usaha menolong orang lain itu sebenarnya merupakan satu cara kita membahasakan kerendahan hati kita. Kita semua sadar bahwa menolong orang itu merupakan tindakan yang sangat mulia di mata orang lain. Tetapi, untuk kita yang bertindak sebagai subjek atau yang harus melakukannya, usaha menolong itu membutuhkan pengorbanan dari pihak kita. Menolong orang lain artinya kerelaan untuk membiarkan orang lain lebih baik. Menolong artinya  berusaha mengubah suatu kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih baik.
3.3 Sasaran OTP: Siapa yang Ditolong
Kualitas atau mutu pertolongan yang saya lakukan sangat bervariasi bergantung sasarannya. Untuk siapa dan kepada siapa saya memberikan pertolongan turut menentukan mutu dan model pertolongan yang kita berikan. Karena itu, sebelum kita melakukan tindakan menolong, pertama kita harus mampu menentukan sasarannya. Dalam konteks pangggilan kita yang sifatnya universal dan terbuka maka jelas sasaran tindakan menolong yang kita lakukan itu ditujukan dan terbuka untuk semua orang. Semangat dan keinginan untuk memberikan pertolongan itu hendaknya bercorak inklusif artinya tidak dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menolong dalam artinya yang penuh juga berarti melakukannya dalam ketidakterbatasan sasaran.
Menolong itu memang idealnya terbuka untuk semua orang, tetapi keterbatasan selalu membenarkan manusia untuk menolong secara selektif  berkaitan dengan pertanyaan siapa yang harus ditolong. Dalam konteks orang terpanggil, dengan mudah kita menjawab bahwa orang yang harus kita tolong adalah mereka yang memang memerlukan pertolongan kita. Dalam pengertian yang lebih konkret pada konteks kehidupan berkomunitas, bertarekat orang pertama yang harus kita tolong adalah sama saudara kita yang memang mengalami kesulitan. Tidak terbayangkan bahwa kehidupan bersama dalam satu komunitas apalagi dalam satu tarekat bebas dari kesulitan. Variasi tipe dan corak kepribadian yang membentuk suatu persekutuan sudah dengan sendirinya menuntut kemampuan kita untuk melihat segala macam masalah dan bahkan harus membentur dengan segala masalah. Benturan yang kita hadapi dalam aneka bentuknya bisa saja membuat kita tidak berdaya. Membuat kita seperti bebek penyakitan yang berjalan terseok-seok.
Sehebat apa pun kita, kita masihlah manusia. Belum menyerupai malaikat. Itu artinya kita masih bermasalah dan menuntut pertolongan orang lain. Konsep persaudaraan atau persaudarian mengharuskan kita untuk menolong saudara kita yang memang dilanda kesulitan dalam hidup panggilan dan perjuangan. Saudara kita haruslah menjadi sasaran atau target tindakan menolong yang hendak kita lakukan. Kita harus menolong mulai dari diri kita sendiri, sesama saudara kita sebelum kita menolong dalam konteks yang lebih luas.
3.4 Merebut Urutan Pertama dalam OTP
Tema OTP mengharuskan orang untuk menjalankan pilihan menolong di mana tidak ada yang menolong’. Ungkapan menolong di mana tidak ada yang tolong berarti kita tahu tempatnya kita melakukan pertolongan setelah kita tahu orang kita yang perlu ditolong. Ungkapan menolong di mana tidak ada yang menolong juga berarti kita memposisikan diri kita pada urutan terakhir dalam tindakan menolong. Ungkapan itu berarti kita baru mau menolong kalau memang orang lain sudah tidak dapat menolongnya. Itu juga berarti kita membiarkan orang berjuang sendiri.  Menolong sesama menunggu sampai tidak ada orang lain lagi yang menolongnya adalah sikap yang berlawanan dengan pilihan dan keberpihakan pada OTP.
Komitmen kita untuk menjadi penolong berarti kita menempatkan diri, memposisikan diri sebagai orang pertama, tokoh kunci (key person). Kalau kita baru mau menolong sesama hanya karena tidak ada lagi yang menolong berarti kita melakukannya bukan dalam kerelaan atas dasar spontanitas melainkan dalam keterpaksaan karena situasi. Persudaraan dan tindakan menolong bernuansa persaudaraan  bukanlah aksi momental, tindakan dadakan sesaat karena keterpaksaan situasi. Persaudaraan itu tidak bisa dipenggal-penggal menurut penggalan waktu, jam atau hari. Persaudaraan itu harus terjadi sepanjang hidup bersama dan konsekuensinya pertolongan juga harus berlaku sepanjang hidup kita. 
 Pilihan dan keberpihakan dalam konteks OTP adalah pihan dan komitmen tanpa batas. Savelberg, Pendiri tarekat SMSJ menggambarkan diskontinuitas pertolongan pertolongan itu dengan merujuk pada cara Allah menolong manusia. Baginya, Tuhan menolong tanpa batas waktu. Ia pernah berkata: Tuhan sudah menolong, Tuhan kini menolong, dan Tuhan akan terus menolong. Ungkapan ini bukanlah permainan kata semata penyedap telinga kita. Ungkapan ini merupakan pengendapan atau sedimentasi dari pengalaman sebagai orang yang dicintai Allah.  Tiga dimensni waktu atau tridimensi temporal (masa lalu, masa kini, dan masa depan) adalah gambaran perjalanan panggilan manusia untuk selalu menolong tanpa batas waktu. Bukan menolong hanya dalam situasi darurat. Tuhan menolong purna waktu, bukan penolong darurat.
Itu artinya, konsep dan penjabaran OTP para pengikut Kristus juga harus mampu menolong sesamanya dalam segala situasi sepanjang hidup. Bukan bermental menolong gaya pemberi obat penenang atau bertindak sebagai petugas P3K yang memberikan pertolongan bersifat sesaat dan untuk sementara. Option for the poor atau sekarang option with the poor, bukanlah sebuah tindakan yang tergantung moment. OTP harus menjadi sebuah tindakan yang berkelanjutan. Option with the poor adalah bila kita berani masuk dalam kehidupan mereka dan terlibat dalam masalahnya. Kita menjadi sahabat mereka dan bersama mereka kita berusaha mengubah hidupnya
Kalau kita sungguh berkomitmen pada prinsip OTP, mau menolong hanya menunggu orang lain tidak lagi mampu menolong sesama berarti kita hidup sebagai tenaga darurat dan petugas P3K yang berfungsi pada waktu tertentu saja. OTP harus membebaskan kita dari peran sekadar tenaga P3K bagi saudara kita yang tertindih reruntuhan masalah dalam kehidupan. Tidak ada yang menolong adalah suatu kondisi yang menuntut kita bukan saja menjadi the man in action (manusia yang mau menolong) tetapi lebih dari itu menjadi The first man in action (manusia pertama yang melakukan) tindakan menolong itu.
3.5 Kemiskinan itu Semangat Bukan Takaran Material
Tindakan menolong sesama biasanya orang langsung membayangkan segala hal secara material. Menolong orang miskin membuat orang membanyangkan sejumlah uang dan sejumlah barang yang harus diberikan. Menolong orang lapar membuat orang membayangkan adanya raskin alias beras miskin. Dalam pengertian biasa, kekurangan, kesulitan itu selalu dikaitkan dengan hal material. Persaudaraan itu tidak memiliki standar harga. Persaudaraan bukanlah semangkok bakso yang bisa dibeli dengan seribu perak. Persaduaran itu bukanlah manisan nano-nano yang dijual di kios sekadar penina bobo si kecil. Persaudaraan itu bukan buah pepaya yang dapat dibeli di pasar atau di petik dari halaman rumah tetangga. Persaudaraan itu bukanlah bubur kacang hijau yang bisa dinikmati selepas lelah. Persaudaran itu tidak dapat ditakar secara material. Persaudaraan itu hanyalah sebuah konsep yang amat abstrak. Meskipun abstrak persaudaraan itu dituntut untuk ada sebagai jiwa, semangat, roh, spirit dalam suatu kebersamaan.
Persaudaran itu sama abstraknya dengan kemiskinan. Tidak bisa di pegang tetapi hanya bisa dirasakan. Kemiskinan dan persaudaraan itu memang tidak kelihatan tetapi dirasakan dan amat diperlukan manusia. Kemiskinan dan persaudaraan sebagi semangat bagaikan nafas kita sendiri. Tidak bisa kita pegang, tidak bisa kita ukur tetapi mutlak kita perlukan. Tindakan atau aktivitas menolong sesama demi persaudaraan sama dengan tindakan menyelamatkan nafas kehidupan kita. Menolong sesama dalam semangat kemiskinan yang dipersyaratkan dalam prinsip OTP berarti tindakan menolong sesama saudara itu jauh lebih penting daripada pemenuhan akan kebutuhan matrial.
Menolong sesama demi persaudaraan tidak mesti dan tidak harus diukur secara material. Menolong dalam kemiskinan artinya menolong secara kejiwaan, secara mental. Ucapan selamat yang jujur, pujian yang sederhana, perhatian yang kecil, simpati yang lugas, empati yang tulus, dukungan yang menguatkan, dorongan yang meneguhkan, senyuman yang menggembirakan, humor yang menggelikan bahkan yang menggilakan atau menggalakan, tingkah laku yang sopan, senyuman yang manis, sentuhan yang ramah, sapaan yang lembut, dll. adalah hal-hal nonmaterial. Tak berwujud, tidak mengisi ruang dan tempat tertentu tetapi diperlukan dalam hidup.
Semua  itu tidak perlu dibeli. Bukan karena tidak dijual tetapi semata-mata karena memang mahal dan tidak terbeli oleh konglomerat dari bangsa mana pun. Dalam usaha kita menolong sesama saudara dalam pilihan OTP semua hal itu perlu dan penting. Menolong dalam kemiskinan artinya kita menggeser pengertian bercorak material dengan pengertian yang bercorak spiritual. Tubuh kita adalah barang material itu. Nafas kita adalah barang nonmaterial itu. Tubuh hanya bernilai sejauh nafas masih mendukungnya. Tubuh selepas nafas meninggalkannya hanyalah sebongkah daging santapan cacing dan ulat tanah. Menolong sesama saudara sebagai pilihan OTP artinya kita memprioritaskan semangat yang bersentuhan dengan dimensi kejiwaan daripada kepentingan material. Di sini dan dengan cara seperti inilah konsep menolong dalam kemiskinan sebagai wujud OTP mendapat aktualitas dan relevansinya yang pas atau cocok.
4. Kata Akhir
Baik dulu maupun sekarang kemiskinan itu bukanlah hal yang membahagiakan. Dalam sisi apapun. Sejatinya Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Di mana pun tempatnya, kemiskinan identik dengan kekalahan dan ketertindasan. Hanya orang istimewa dan para nabi yang dikelilingi orang miskin karena para nabi menjadikan mereka tidak tertindas, dan kemudian mengangkat mereka menjadi lebih sejahtera. Itulah pilihan OTP dalam praksis kehidupan.
Jujur, saat kita mendengar kata miskin, kita sangat membenci kemiskinan kemiskinan keluarga berantakan dan permusuhan pun tinggal menunggu waktu. Pengakuan bahwa miskin itu adalah nasib, sebenarnya bentuk penipuan naïf dari jiwa-jiwa kerdil yang merasa kalah dalam menghadapi tsunami kehidupan, padahal jika ditelisik lebih dalam, itu hanya pukulan ombak yang disapu angin sepoi.
Kalau begitu, di mana persoalan kemiskinan sebenarnya? Jawabannya, persoalan kemiskinan diawali dari dinamika psikologis yang berefek jauh terhadap perilaku yang mendorong kepada kemiskinan, terutama pada sikap bahwa kaya itu hal yang jauh di sana dan tidak terjangkau. Sikap ini yang membawa perilaku untuk bersikap biasa, tidak ada ambisi dan tidak ada impian yang menggairahkan. Memilih OTP berarti siap memperkecil jarak yang terentang antara keadaan yang menyesakkan dengan suasana yang membebaskan. Option for The Poor pada hakikatnya adalah gerakan dan pilihan untuk menolong. Harapannya hanya satu adanya perindahan dari sekadar Option for The Poor menjadi Option with The Poor. Itu tak mudah. Ibaratnya kehalirannya yang disertai rasa sakit.

 Malang, 6 Oktober 2013


No comments:

Post a Comment