Renungan Pekan I Thn B.2
Samuel 3:1-10.19-20; Markus 1:29-39
Efata, Rabu 11 Januari 2012 (Sidang Pastoral)
Buka
Bacaan yang ditawarkan gereja untuk kita renungkan
hari ini pada intinya berbiacara tentang panggilan. Dan, kalau kita
berbicara tentang pangggilan maka umumnya kita berbicara tentang pihak yang
memanggil dan pihak yang menjawab. Kita sering berpikir tidak proporsional ketika
panggilan itu kita maknai masalah
bagaimana Tuhan memanggil lalu meremehkan manusia yang menerima panggilan. Dalam
konteks bacaan hari ini panggilan itu sesungguhnya berbicara tentang manusia
dan sikap serta tanggapannya atas panggilan. Persoalannya bukan karena Tuhan
berhenti atau tidak memanggil tetapi
teruatama karena manusia tidak mau memberikan jawaban. Tidak mau memberikan
jawaban juga terjadi karena kita manusia tidak mau mendengarkan. Samuel
terpanggil untuk mendengarkan apa kehendak Tuhan. Kita bersukur telah men jadi
orang teranggil. Pertanyaannya apakah kita terus memberikan jawaban dengan
terus mendengarkan Tuhan atau sebaliknya kita menilai Tuhan tidal lagi
memanggil. Kesetiaan Tuhan tidak bergantung pada jawaban manusia. Lampu rumah
Allah belum juga padam dan suara panggilan-Nya terus berkumandang. Kita bedoa
semoga kita menjadi orang yang setia mendengarkan Dia bersabda. Kita akuis
kesalahan dan dosa kita...
Renungan
Saya tidak tahu apakah
ada dari antara kita ini, semalam terjaga beberapa kali hanya karena ada
panggilan seperti yang dinarasikan dalam kitab Samuel pagi ini? Yang bisa saya
duga semalam mungkin dan bisa saja ada
yang terbangun lebih dari tiga kali karena gangguan pencernaan atau karena
deringan atau getaran telepon genggamnya. Bacaan pertama hari ini terkesan
menarik dan dramatis karena ada dua aksi atau tindakan yang ditampilkan secara
seimbang yang akhirnya membingkai sebuah kisah yang bermuatan pesan yang aktual
dan relevan bagi kehidupan manusia.
Membaca judul bacaan
pertama amat jelas bagi kita berkaitan dengan Panggilan Samuel. Kata panggilan
ini mendapat tekanan dan intesitas maknanya sedemikian mendalam justru karena
kata panggilan dihubungkan dengan dua model reaksi dalam bentuk aksi Samuel.
Dua aksi yang dominan dan relatif ditampilkan seimbang ada dalam kata ”tidur”
dan ”bangun”. Tidur dalam teks tadi menjadi sangat penting. Samuel dipanggil
dalam keadaan tidur. Tidur adalah gambaran yang menampilkan nuansa pasif. Yang
mengherankan kita justru Tuhan memanggil Samuel dalam kondisi yang terkesan
pasif seperti itu. Bagi saya cara seperti ini jelas mau menekankan bahwa
inisiatif memanggil itu datang dari Allah.
Tiga kali Samuel
dipanggil dalam keadaan tidur artinya Allah tak henti-hentinya memanggil.
Karena itu, bagi saya kalau ada orang mengatakan bahwa dirinya tidak dipanggil,
itu tidak benar. Tuhan selalu memanggil dan panggillan selalu ada dan terjadi.
Yang tidak ada adalah jawaban atas panggilan itu. Mengapa tidak ada jawaban?
Alasannya karena orang hanya sampai pada tingkat mendengar dan belum sampai
pada tingkat mendengarkan. Sepintas kata mendengar dan mendengarkan itu sama
karena berkaitan dengan perkara berfungsi tidaknya daun telinga kita, tetapi
sesungguhnya ada perbedaan yang amat
mendasar antara kata mendengar dan mendengarkan. Mendengar adalah gambaran
berfungsinya telinga menangkap bunyi dan suara apa saja. Kita bisa mendengar
bunyi sepeda motor yang lalu lalang di jalan. Mendengarkan menggambarkan
berfungsinya telinga menangkap bunyi-bunyi
dengan tujuan tertentu. Kalau telinga saya menangkap bunyi sepeda motor
dan mengatakan bunyi sepeda motor seperti itu adalah bunyi sepeda motornya rm
Dion Labur, maka saya bukan sekadar mendengar bunyi sepeda motor tetapi saya
telah mendengarkan bunyi sepeda motor.
Imam Eli memberi
petunjuk dan kalimat yang benar untuk Samuel: Bersabdalah ya Tuhan, hamba-Mu
mendengarkan. Rumusan itu, tidak diubah sedikitpun oleh Samuel. Di sini jelas
bagi kita bahwa ada tingkatan dalam respon manusia terhadap panggilan Tuhan.
Jawaban Panggilan yang benar harus sampai pada tingkat mendengarkan. Itulah yang terjadi dalam kisah panggilan
Samuel. Kita semua juga merupakan orang yang setiap saat dipanggil Tuhan karena
Tuhan setia memanggil. Panggilan itu bukan soalnya pada Tuhan, tetapi soalnya
ada pada jawaban manusia. Jawaban itu terukur dalam kualitasnya apakah hanya
sekadar mendengar atau sudah sampai pada pilihan mendengarkan.
Dalam konteks panggilan
Sameul mendengarkan bukan lagi perkara telinga tetapi sudah menyentuh ranah
hati untuk menentukan keputusan dan pilihan. Samuel dipanggil dalam kondisi
tidur tetapi ia mendengarkan. Itu artinya ada model tidur yang memberi peluang
untuk dipanggil Tuhan. Dan itu tidur yang model apa? Tidur sungguhan atau
tidur-tiduran? Mata tertutup tidak selalu berarti tidur, mata terbuka tidak
selalu berarti terjaga karena ada yang matanya tertutup tetapi hatinya tetap
bangun dan ada yang mata terbuka tetapi sesungguhnya ia tidur.
Dalam ungkapan populer
ada perbedaan makna antara ungkapan toko wela wa dan wela eta toko wa.
Samuel tergolong penganut aliran toko wela wa. Secara fisik tubuhnya
melintang mata tertutup tapi telinga dan hati terus terbuka. Lain halnya dengan
mereka yang menganut filosofi wela eta toko wa, fisiknya berdiri tegak
mata terbuka tetapi telinga dan hatinya tertidur. Para pendukung filosofi wela
eta toko wa biasanya mengatakan dirinya tidak pernah dipanggil. Dia
mempersoalkan Tuhan yang memanggil dan bukan dirinya yang harus memberi jawaban
setelah mendengarkan.
Semauel mendengarkan
Panggian Tuhan dalam keheningan Bait
Allah di Yerusalem. Untuk teman yang sudah pulang dari tanah Suci tentu tahu
persis berapa lamanya kita berjalan dari Yerusalem ke Kafernaum yang menjadi
seting tempat terjadinya kisah injil tadi. Kisah penyembuhan dalam injil tadi
terjadi di Kafernaum yang telah menjadi kampung kerja Yesus setelah ditolak
dari Nasareth. Injil hari ini sesungguhnya menampilkan siklus hidup Yesus
secara lengkap karena disebutkan: Rumah ibadat sebagai gambaran tentang
pentingnya doa bersama, pelayanan orang sakit, berdoa di tempat yang sunyi untuk
menggambarkan pentingnya doa pribadi, meditasi dan kontemplasi, dan tugas
memberitakan Injil.
Kisah injil memang
tidak eksplisit berbicara tentang panggilan dan sikap mendengarkan tetapi
masalah panggilan dan sikap mendengarkan itu implisit dinyatakan dalam beberapa
hal tekait penyembuhan. Saya sudah melihat beberapa tempat di Kafernaum
termasuk rentuhan rumah ibadat dan reruntuhan rumah Simon Petrus dan murid
lainnya yang disebutkan dalam injil tadi. Kafernaum yang menjadi seting
peristiwa injil hari ini sesungguhnya mau menegaskan kepada kita bahwa dalam
arti tertentu sebenarnya Kafernaum menjadi
awal aktivitas penginjian, evangelisasi, dan tempat strategis bagi orang
yang mendengarkan panggilan Tuhan melalui pewartaan Yesus. Ini terbukti, karena
banyak murid pertama Yesus berasal dari Kafernaum dan bukan dari Yerusalem.
Kalau dalam injil tadi
ada begitu banyak orang mencari Yesus
dengan pelbagai macam alasan, sesungguhnya mereka itulah orang yang
telah mendengarkan panggilan Tuhan. Kalau di Yerusalem yang mendengarkan itu
Samule, di Kafernaum yang mendengarkan itu adalah para murid dan semua saja
mereka yang datang mendnegarkan dan mau mengikuti Yesus. Lalu, apa sebenarnya
yang perlu kita maknai dari injil terkait tugas panggilan kita?
Injil hari ini pada dasarnya menampilkan
sikap solidaritas Allah kepada manusia. Simpati dan perhatian Allah secara
nyata digambarkan dalam episode penyembuhan orang-orang sakit. Orang banyak
yang disembuhkan Yesus itu diharapkan bisa menjadi tabib bagi orang lain. Kita
semua dalam arti terntu juga dipanggil untuk menjadi tabib memerangi pelbagai
penyakit yang mendera kehidupan mereka yang kita jumpai dan layani dalam tugas
kita. Kehadiran yang menyembuhkan adalah kehadiran yang bermakna bagi orang
lain. Kehadiran yang menyembuhkan adalah kehadiran manusia yang dirasuki
semnagat dan cinta Allah sendiri. Yesus yang digambarkan Injil tadi merupakan
sosok cinta Allah yang membutuhkan daya tanggap manusia. Kisah penyembuhan Ibu
Mertua Petrus mengisyaratkan dua kebenaran penting ini. Pertama, peristiwa
penyembuhan itu merupakan simbol pembebasan dan pemerdekaan yang dibawakan
Kristus yang secara sempurna dilaksanakan pada akhir zaman. Kesembuhan dari
penyakit adalah simbol pembebasan.
Kedua, proses dan
rahmat penyembuhan yang diperoleh haruslah mendorong manusia untuk aktif dan
kreatif dalam kehidupan. Wanita yang disembuhkan dalam Injil tadi pada
akhirnya bangkit dan langsung melayani.
Ia mengalami penyembuhan dan mendorongnya untuk terlibat aktif dalam pelayanan
baik itu bagi Allah maupun bagi sesama. Dengan kata lain pengalaman pernah
disembuhkan harus membuat seseorang untuk membuktikannya dalam kehidupan nyata.
Sebagai manusia jelas kita semua pernah mengalami sakit. Pengalaman rasa sakit
kita tidak saja terbatas pada pengertian sakit fisik serangan penyakit, tetapi
sebenarnya dalam pelbagai situasi di mana kita merasa tidak aman, tidak tenang,
merasakan kekurangan di sana sebenarnya kita juga merasa sakit. Penyembuhan
yang dibuat Yesus dalam Injil adalah simbol penyembuhan situasi dunia. Dunia
kita sekarang inipun lagi sakit. Sebagai orang yang dipanggil kita telah
disembuhkan untuk dapat menyembuhkan sesama dalam wujud karya bakti dan
pelayanan kita masing-masing. Mari kita berusaha bukan hanya agar bisa
mendengar suara panggilan Tuhan tetapi lebih dari itu mau mendengarkan Tuhan
yang terus memanggil. Semoga
No comments:
Post a Comment