Sunday, June 3, 2012

TIGA MATERI RENUNGAN REKOLEKSI


Menolong  di  mana  Tidak  Ada  yang  Tolong
dalam Semangat Kemiskinan

A. Pengantar: Suatu Gugatan Awal
Hampir sebulan lalu suster Muder komunitas Santa Klara mendatangi saya. Beliau meminta saya untuk memberikan bahan rekoleksi bagi para suster lintas komunitas. Waktu itu saya bertanya kepada beliau. Siapa yang menentukan bahwa saya yang harus memberikan rekoleksi seperti ini? Dengan lantang tanpa ragu suster Yakoba menantang saya dengan berkata: ini kesepakatan kami bersama untuk beberapa komunitas. Mendengar jawaban itu saya lalu agak takut karena harus berhadapan dengan begitu banyak orang. Saya takut bukan karena para susternya serem-serem. Bukan juga karena susternya galak-galak. Yang saya tahu para suster itu semuanya gelak-gelak alias suka tertawa dan selalu happy. Saya yakin bahwa para suster SMSJ itu punya prinsip: No days without sweet smilling for the others (tidak ada hari tanpa senyuman manis untuk siapa saja). Lalu apa dasar ketakutan saya? Saya hanya takut karena ada begitu banyak pesertanya, tentu dengan begitu banyak harapannya. Dan saya sadar akan keterbatasan saya. Muncul pertanyaan dalam diri saya: mampukah saya memenuhi harapan para suster sebanyak ini? Mampukah saya membahasakan dan mengoperasionalkan, menjabarkan tema rekoleksi ini menjadi sebuah ajakan yang menggugah semangat refleksi dan memacu daya kritis para suster?
Sebelum kita berangkat lebih jauh menelusuri rimba permenungan ini, izinkan saya untuk menyampaikan satu gugatan awal berkaitan dengan tema yang diberikan kepada saya. Ini bukan kritik terhadap mereka yang merumuskan tema rekoleksi ini, tetapi sebuah catatan kecil dan kritis sekadar menggugat kesadaran kita.  Terus terang sudah lama tema ini dituliskan pada papan/white board di kamar saya. Setiap hari saya membaca kalimat yang menjadi tema rekoleksi ini, tetapi saya sulit menemukan gagasan yang cukup inspiratif untuk memulainya. Saya sendiri merasa kesulitan menghadapi rumusan tema itu. Apalagi kalau saya membaca tema itu sebelum saya ke kelas untuk menjelaskan kalimat yang baik dan benar kepada para siswa saya. Kalimat yang menjadi tema rekoleksi ini kalau dikaitkan dengan pengelompokkan kalimat berdasarkan kelengkapan unsurnya, maka tema rekoleksi kita ini menggunakan kalimat bahasa Indonesia yang tidak lengkap. Kalimat “menolong di mana tidak ada yang tolong dalam semangat kemiskinan” adalah kalimat yang hanya terdiri dari predikat dan keterangan. Menolong adalah predikatnya sedangkan sisanya hanyalah keterangan. Tidak jelas siapa yang menolong? Tidak jelas siapa yang ditolong? Menurut kaidah berbahasa, kalimat yang baik dan lengkap harus memiliki unsur  subjek, predikat, objek dan keterangan. Subjek penting untuk mengetahui siapa yang menolong. Objek penting juga untuk mengetahui siapa yang ditolong. Oleh karena itu, kalau mau supaya refkleksi kita ini sampai pada titik sasarnya maka temanya harus kita rumuskan dalam bentuk baru berupa pertanyaan: Siapa menolong siapa, di mana tidak ada yang menolong dalam semangat kemiskinan. Siapa menjadi subjek dan siapa menjadi objek merupakan variabel bebas artinya dapat diisi oleh setiap kita yang mengikuti rekoleksi bersama ini. Kalau rumusan tema baru ini kita sepakati barulah kita berusaha mendalami tema ini secara lebih tepat. Tentu harapannya agar kita mendapatkan sesuatu dari kegiatan rekoleksi ini.
Menjabarkan tema tentang siapa menolong siapa seperti ini, memerlukan pendasaran yang memadai. Oleh karena itu, saya mendasarkan keseluruhan permenungan kita dalam rekoleksi ini pada teks injil Mrk.4,35-41 (Catatan teksnya dibaca bersama-sama).

Versi Refleksi (kata KAMI menggantikan kata Mereka dalam teks asli)

Angin Ribut Diredahkan Mrk.4,35-41

35Pada waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada KAMI: “Marilah kita bertolak ke seberang”. 36 KAMI meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan KAMI dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyer­tai Dia. 37Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam.  Maka KAMI membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" 39Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam!  Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu men­jadi teduh sekali. 40Lalu Ia berkata kepada KAMI: "Mengapa kamu begitu takut?  Mengapa kamu tidak per­caya?" 41KAMI menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?"

B. Renungan/Refleksi: Penjelasan tentang tema
Kita sudah membuat perubahan terhadap rumusan tema rekoleksi menjadi: Siapa menolong siapa di mana tidak ada yang menolong dalam semangat kemiskinan. Tema baru ini memaksa kita untuk memaknai dan merenungkan setiap kata pembentuk tema itu sebagai pokok permenungan kita. Kemudian langkah berikutnya adalah melihat keseluruhan pemaknaan kata-kata itu dalam hubungannya dengan apa yang dibahasakan penginjil Markus yang menjadi teks kunci dalam refleksi kita bersama.
(1)  Menolong: Komunikasi kehidupan
Kata menolong biasanya disejajarkan dengan kata membantu. Dua kata itu maknanya hampir sama tetapi sebenarnya mempunyai makna yang amat berbeda. Orang yang suka menolong biasa disebut penolong dan orang yang suka membantu biasanya disebut pembantu. Antara kata penolong dan pembantu sering orang sulit membedakannya secara tepat. Sebenarnya, kalau mau melihat perbedaan dua kata itu, kita cukup melihat dampak dari tindakan itu. Seorang yang membantu dan disebut pembantu biasanya melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Pembantu pasti dan harus diberi imbalan entah sekecil apapun imbalan itu. Membantu, pembantu adalah tindakan memberi (barang atau jasa) dengan harapan mendapat imbalan atau upah. Lain halnya dengan kata menolong dan seorang penolong. Menolong untuk seorang penolong berarti juga tindakan memberi (barang atau jasa) hanya saja tindakan memberi itu bebas atau tanpa harapan mendapat imbalan atau upah balikannya.
Dalam pengalaman hidup yang konkret kita manusia lebih banyak berniat baik untuk membantu bukan berniat baik untuk menolong. Manusia dan kita pada umumnya dilengkapi keinginan untuk membantu dan mau menjadi pembantu. Jarang kita mau menunjukkan kemampuan kita untuk menolong sehingga menjadi penolong. Manusia, dan mungkin juga termasuk kita semua, hanya bermental pembantu-pembantu dan bukannya bermental penolong-penolong. Kalau kita melakukan sesuatu supaya kita mendapat sesuatu baik berupa barang material maupun berupa pujian dan komentar, maka yang kita lakukan itu merupakan ekspresi semangat kita sebagai pembantu. Tetapi kalau kita melakukan sesuatu tanpa beban atau bebas dari harapan untuk mendaptkan sesuatu maka di sana kita sungguh mau menjadi penolong. Dalam praktiknya kita justru berbuat terbalik. Kita mengatakan kita mau menolong tetapi yang terjadi justru kita hanya mau membantu. Kita ingin menjadi penolong tetapi yang kita lakukan kita menjadi pembantu. Ya, mungkin hal ini terjadi karena kita kurang menyadari bahwa antara kata menolong dan membantu itu terdapat muatan makna yang sangat berbeda. Kita sering mencampuradukkan dua hal itu sehingga apa yang kita lakukan kadang-kadang tidak sampai pada sasaran yang sesungguhnya. Sampai di sini paling kurang kita sudah bisa membedakan, mengelompokkan semua kegiatan dan aktivitas kita itu apakah termasuk kegiatan membantu ataukah kegiatan menolong. Kita juga sudah tahu konsekuensi pemakaian masing-masing kata itu. Menolong itu adalah tindakan yang sifatnya lebih spontan dibandingkan dengan tindakan membantu. Menolong bersifat spontan karena memang ia bebas dari beban menuntut untuk mendapatkan sesuatu. Menolong itu lebih dekat artinya dengan pelayanan sedangkan membantu itu lebih dekat artinya dengan pekerjaan. Kalau menolong itu sejenis pelayanan maka jelas kita tahu bahwa kita tidak perlu dan tidak harus mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Lain halnya membantu sebagai suatu pekerjaan meskipu orang tidak menyatakannya dengan eksplisit tetapi tetap ada harapan untuk mendapatkan sesuatu.
Idealnya kehidupan yang bermakna itu adalah kehidupan yang ditandai dengan adanya gerakan untuk menolong dan bukan sekadar hidup untuk membantu. Panggilan hidup manusia yang paling ideal jelas panggilan untuk menolong sebagai pelayanan bukan untuk membantu sebagai pekerjaan. Sikap kita untuk memilih antara menolong atau membantu itu sangat dipengaruhi oleh siapa kita dan kita sedang berhadapan dengan siapa. Karena itu, kata kedua yang harus kita uraikan berupa pertanyaan Siapa yang harus menolong? Dalam konteks rekoleksi seperti ini, tentu kita sepakat untuk menentukan bahwa diri kita sendirilah yang harus menolong. Kita semua, Anda dan saya harus menjadi penolong itu. Mengapa? Karena tindakan menolong itu merupakan bentuk komunikasi kehidupan.
(2) Saya sebagai Subjek: The Man in Action
Menentukan diri sendiri untuk menolong berarti mau menjadikan diri sendiri sebagai aktor yang hendak melakukan sesuatu. Aktor mengandaikan aksi, tindakan, aktivitas, kreativitas. Panggilan dan komitmen kita pribadi untuk menolong hanya baru bermakna untuk diri kita dan untuk orang lain kalau komitmen itu dibahasakan dalam tindakan. Artinya gagasan dan niat kita untuk menolong itu harus berbuah dalam tindakan. Menolong sebagai bentuk pelayanan terhadap orang lain berarti kerelaan kita untuk secara aktif dan kreatif meninggalkan diri kita dengan segala kepentingannya untuk secara lebih intensif melibatkan diri pada kebutuhan dan kepentingan orang lain yang hendak kita tolong. Diri kita yang menjadi aku yang berperan sebagai subjek artinya aku mau menjadi manusia yang ada selalu dalam tindakan (the man in action).  Gerakan menolong orang lain pada dasarnya merupakan gerakan meninggalan diri sendiri dengan segala atribut dan kepentingannya. Itu juga berarti kita menempatkan diri kita lebih rendah dari orang yang hendak kita tolong. Itu juga berarti kita menyadari bahwa orang lain lebih penting dari diri kita sendiri. Dalam konteks seperti ini, usaha menolong orang lain itu sebenarnya merupakan satu cara kita membahasakan kerendahan hati kita. Kita semua sadar bahwa menolong orang itu merupakan tindakan yang sangat mulia di mata orang lain. Tetapi, untuk kita yang bertindak sebagai subjek atau yang harus melakukannya, usaha menolong itu membutuhkan pengorbanan dari pihak kita. Menolong orang lain artinya kerelaan untuk membiarkan orang lain lebih baik. Menolong artinya  berusaha mengubah suatu kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih baik.
(3) Dia, Mereka adalah Saudara yang Harus Saya Tolong
Kualitas atau mutu pertolongan yang saya lakukan sangat bervariasi bergantung sasarannya. Untuk siapa dan kepada siapa saya memberikan pertolongan turut menentukan mutu dan model pertolongan yang kita berikan. Karena itu, sebelum kita melakukan tindakan menolong, pertama kita harus mampu menentukan sasarannya. Dalam konteks pangggilan kita yang sifatnya universal dan terbuka maka jelas sasaran tindakan menolong yang kita lakukan itu ditujukan dan terbuka untuk semua orang. Semangat dan keinginan untuk memberikan pertolongan itu hendaknya bercorak inklusif artinya tidak dibatasi oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menolong dalam artinya yang penuh juga berarti melakukannya dalam ketidakterbatasan sasaran.
Menolong itu memang idealnya terbuka untuk semua orang, tetapi keterbatasan selalu membenarkan manusia untuk menolong secara selektif  berkaitan dengan pertanyaan siapa yang harus ditolong. Dalam konteks orang terpanggil, dengan mudah kita menjawab bahwa orang yang harus kita tolong adalah mereka yang memang memerlukan pertolongan kita. Dalam pengertian yang lebih konkret pada konteks kehidupan berkomunitas, bertarekat orang pertama yang harus kita tolong adalah sama saudara kita yang memang mengalami kesulitan. Tidak terbayangkan bahwa kehidupan bersama dalam satu komunitas apalagi dalam satu tarekat bebas dari kesulitan. Variasi tipe dan corak kepribadian yang membentuk suatu persekutuan sudah dengan sendirinya menuntut kemampuan kita untuk melihat segala macam masalah dan bahkan harus membentur dengan segala masalah. Benturan yang kita hadapi dalam aneka bentuknya bisa saja membuat kita tidak berdaya. Membuat kita seperti bebek penyakitan yang berjalan terseok-seok.
Sehebat apa pun kita, kita masihlah manusia. Belum menyerupai malaikat. Itu artinya kita masih bermasalah dan menuntut pertolongan orang lain. Konsep persaudaraan atau persaudarian mengharuskan kita untuk menolong saudara kita yang memang dilanda kesulitan dalam hidup panggilan dan perjuangan. Saudara kita haruslah menjadi sasaran atau target tindakan menolong yang hendak kita lakukan. Kita harus menolong mulai dari diri kita sendiri, sesama saudara kita sebelum kita menolong dalam konteks yang lebih luas.
(4) Pertolonganku Selalu yang Pertama
Tema rekoleksi kita ini memuat satu kelompok kata berbunyi ‘menolong di mana tidak ada yang tolong’. Ungkapan menolong di mana tidak ada yang tolong berarti kita tahu tempatnya kita melakukan pertolongan setelah kita tahu saudara kita yang perlu ditolong. Ungkapan menolong di mana tidak ada yang menolong juga berarti kita memposisikan diri kita pada urutan atau menjadi orang terakhir dalam tindakan menolong. Ungkapan itu berarti kita baru mau menolong saudara kita kalau memang orang lain sudah tidak dapat menolongnya. Itu juga berarti kita membiarkan saudara kita berjuang sendiri sampai bibir kering dan kerongkongan tersumbat beban masalah baru kita mengambil langkah pertolongan. Menolong sesama saudara menunggu sampai tidak ada orang lain lagi yang menolongnya adalah sikap yang berlawanan dengan persaudaraan itu sendiri. Komitmen kita untuk menjadi penolong bagi sesama saudara artinya kita menempatkan diri, memposisikan diri sebagai orang pertama atau tokoh kunci (key person). Kalau kita baru mau menolong sesama saudara hanya karena tidak ada lagi yang menolong berarti kita melakukannya bukan dalam kerelaan atas dasar spontanitas melainkan dalam keterpaksaan karena situasi. Persudaraan dan tindakan menolong bernuansa persaudaraan  bukanlah aksi momental, tindakan dadakan sesaat karena keterpaksaan situasi. Persaudaraan itu tidak bisa dipenggal-penggal menurut penggalan waktu, jam atau hari. Persaudaraan itu harus terjadi sepanjang hidup bersama dan konsekuensinya pertolongan juga harus berlaku sepanjang hidup kita. Bapak pendiri tarekat SMSJ punya resep perihal diskontinuitas tindak menolong itu. Pengikut atau para suster SMSJ seharusnya bebas dari segala masalah kalau saja mereka setia pada komitmen awal sang pendiri. Pendiri tarekat punya visi dan misi yang jelas dalam hal menolong ini ketika pendiri bertumpu pada sikap Tuhan yang menolong tanpa batas. Pendiri tarekat yakin bahwa Allah tidak memenggal pertolongan-Nya untuk manusia dalam pembagian waktu. Ini jelas dari kata-katanya yang perlu direnungkan oleh para suster. Ia pernah berkata: Tuhan sudah menolong, Tuhan kini menolong, dan Tuhan akan terus menolong. Ungkapan ini bukanlah permainan kata semata penyedap telinga kita. Ungkapan ini merupakan pengendapan atau sedimentasi dari pengalaman pendiri sebagai orang yang dicintai Allah. Ia yakin cinta dan pertolongan Tuhan terhadap segala masalah yang ia hadapi tidak putus-putusnya. Tiga dimensni waktu atau tridimensi temporal (masa lalu, masa kini, dan masa depan) adalah gambaran perjalanan panggilan manusia untuk selalu menolong tanpa batas waktu. Bukan menolong hanya dalam situasi darurat. Pendiri tarekat yakin bahwa Tuhan menolong purna waktu, bukan penolong darurat. Itu artinya, para pengikutnya juga harus mampu menolong sesamanya dalam segala situasi sepanjang hidup. Bukan bermental menolong gaya pemberi obat penenang atau bertindak sebagai petugas P3K yang memberikan pertolongan bersifat sesaat dan untuk sementara. Kalau kita mau menolong hanya menunggu orang lain tidak lagi mampu menolong sesama saudara kita dalam komunitas atau dalam tarekat itu artinya kita hidup hanya sebagai tenaga darurat dan petugas P3K yang berfungsi pada waktu tertentu saja. Maukah kita hanya berperan sebagai tenaga P3K bagi saudara kita yang tertindih reruntuhan masalah dalam kehidupan dan dalam panggilannya? Tidak ada yang menolong adalah suatu kondisi persaudaraan yang menuntut kita bukan saja untuk menjadi the man in action (manusia yang mau menolong) tetapi lebih dari itu menjadi The first man in action (manusia pertama yang melakukan) tindakan menolong itu.
(5) Kemiskinan Suatu Semangat BUKAN Takaran Material
Tindakan menolong sesama biasanya orang langsung membayangkan segala hal secara material. Menolong orang miskin membuat orang membanyangkan sejumlah uang dan sejumlah barang yang harus diberikan. Menolong orang lapar membuat orang membayangkan adanya raskin alias beras miskin. Dalam pengertian biasa, kekurangan itu, kesulitan itu selalu dikaitkan dengan hal material. Persaudaraan/persaudarian itu tidak memiliki standar harga. Persaudaraan bukanlah semangkok bakso yang bisa dibeli dengan seribu perak. Persaduaran itu bukanlah manisan nano-nano yang dijual di kios sekadar penina bobo si kecil. Persaudaraan itu bukanlah sebiji kompiang teman secangkir kopi selepas senja di sebuah biara. Persaudaraan itu bukan buah pepaya yang dapat dibeli di pasar atau di petik dari halaman rumah tetangga. Persaudaraan itu bukanlah bubur kacang hijau yang bisa dinikmati selepas lelah. Persaudaran itu tidak dapat ditakar secara material. Persaudaraan itu hanyalah sebuah konsep yang amat abstrak. Meskipun abstrak persaudaraan itu dituntut untuk ada sebagai jiwa, semangat, roh, spirit dalam suatu kebersamaan. Persaudaran itu sama abstraknya dengan kemiskinan. Tidak bisa di pegang tetapi hanya bisa dirasakan. Kemiskinan dan persaudaraan itu memang tidak kelihatan tetapi dirasakan dan amat diperlukan manusia. Kemiskinan dan persaudaraan sebagi semangat bagaikan nafas kita sendiri. Tidak bisa kita pegang, tidak bisa kita ukur tetapi mutlak kita perlukan. Tindakan atau aktivitas menolong sesama  demi persaudaraan sama dengan tindakan menyelamatkan nafas kehidupan kita. Menolong sesama dalam semangat kemiskinan yang dipersyaratkan dalam tema rekoleksi ini berarti tindak menolong sesama saudara itu jauh lebih penting daripada pemenuhan akan kebutuhan matrial. Menolong sesama demi persaudaraan tidak mesti dan tidak harus diukur secara material. Menolong dalam kemiskinan artinya menolong secara kejiwaan, secara mental. Ucapan selamat yang jujur, pujian yang sederhana, perhatian yang kecil, simpati yang lugas, empati yang tulus, dukungan yang menguatkan, dorongan yang meneguhkan, senyuman yang menggembirakan, humor yang menggelikan bahkan yang menggilakan atau menggalakan, tingkah laku yang sopan, senyuman yang manis, sentuhan yang ramah, sapaan yang lembut, dll. adalah hal-hal nonmaterial. Tak berwujud, tidak mengisi ruang dan tempat tertentu tetapi diperlukan dalam hidup. Semua  itu tidak perlu dibeli. Bukan karena tidak dijual tetapi semata-mata karena memang mahal dan tidak terbeli oleh konglomerat dari bangsa mana pun. Dalam usaha kita menolong sesama saudara kita semua hal itu perlu dan penting. Menolong dalam kemiskinan artinya kita menggeser pengertian bercorak material dengan pengertian yang bercorak spiritual. Tubuh kita adalah barang material itu. Nafas kita adalah barang nonmaterial itu. Tubuh hanya bernilai sejauh nafas masih mendukungnya. Tubuh selepas nafas meninggalkannya hanyalah sebongkah daging santapan cacing dan ulat tanah. Menolong sesama saudara artinya kita memprioritaskan semangat yang bersentuhan dengan dimensi kejiwaan daripada kepentingan material. Di sini dan dengan cara seperti inilah konsep menolong dalam kemiskinan itu mendapat aktualitas dan relevansinya yang pas atau cocok.
Itulah beberapa pengertian yang kita pakai sebagai tema rekoleksi kita hari ini. Beberapa pengertian yang telah dijelaskan tadi akan kita gunakan untuk memperdalam proses refleksi dan permenungan tentang panggilan tugas kita untuk menolong sesama, orang lain tanpa batas waktu, tanpa batas situasi, tanpa batas sasarannya.

C. Menolong dalam  Terang Markus 4,35-41
Untuk itu kita  melihat konteks panggilan menolong itu dalam terang sabda Tuhan sendiri. Kita melihat dalam terang perikope injil Markus 4,35-41 tadi. Injil tadi memuat beberapa hal penting yang perlu kita renungkan dalam kaitannya dengan tema menolong ini. Teks tadi mengisahkan perjalanan hidup manusia secara utuh dengan segala suka dan dukanya. Teks ini sungguh menarik untuk kita renungkan karena berpautan dengan kisah perjalanan panggilan kita. Hidup kita bagaikan kisah perjalanan atau kisah pelayaran. Hidup kita bukan perjalanan atau pelayaran biasa tetapi sebuah perjalanan atau pelayaran berdimensi keselamatan. Hidup dan panggilan kita  adalah perjalanan dan pelayaran berdimensi teleologis artinya diarahkan pada suatu kondisi kehidupan menuju masa yang akan datang.  Saya mengajak kita semua untuk mencermati pesan pokok injil tadi untuk kita. Untuk itu saya memenggal teks tadi ke dalam beberap bagia yang bisa dijadikan pokok dan butir-butir permenungan kita. Ada beberapa butir permenungan yang perlu kita pertimbangkan bagi perjalanan panggilan hidup kita.
(1) Hidupku dalam ajakan Tuhan:
Pada waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang”. Bunyi ayat ini setelah kita ubah ke dalam versi rekoleksi menjadi Pada waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada Kami: “Marilah kita bertolak ke seberang”. Ayat ini secara sangat jelas menggambarkan kepada kita tentang hakikat hidup kita selalu berada dalam kondisi ajakan Tuhan. Tuhan mengajak kita untuk segera berjalan bersama Dia. Tuhan mengajak kita berjalan bersama dia pada hari menjelang petang. Pada saat kondisi kehidupan mulai redup dan terancam kegelapan malam Yesus datang dan mengajak kita dengan suara yang kian simpatik. Marilah kita berangkat ke seberang. Yesus tidak mau membiarkan kita tetap berada di satu tempat dengan ancaman kegelapan hidup. Yesus mengajak kita meninggalkan tempat lama dengan situasinya ke suatu tempat baru dengan situasinya yang baru pula. Gambaran tentang seting waktu petang hari adalah gambaran kekalutan hidup yang bakal dialami para murid atau pengikut Yesus. Situasi petang hari adalah gambaran ancaman dan masalah kehidupan yang seharusnya dan secepatnya diselamatkan. Ajakan Yesus untuk para murid dan untuk kita adalah ajakan karena terdorong oleh kehendak untuk menolong. Para murid, manusia, kita sering juga ingin tetap berada di satu tempat meskipun kita tahu bahwa tempat itu tidak aman lagi. Hidup dan berada di satu tempat pada petang hari adalah simbol kehidupan yang tertindih dalam reruntuhan masalah. Ajakan Yesus adalah panggilan untuk kita bersama dan untuk kita pribadi.
(2) Berangkat ke Seberang: Orientasi Pembebasan dan Keselamatan
Ajakan Yesus untuk melepaskan tempat lama pada petang hari dan berpindah ke tempat lain adalah ajakan untuk mendapatkan pembebasan. Yesus mengajak karena Ia yakin bhawa di tempat yang baru, di seberang orang akan mengalami kehidupan secara baru. Ajakan Yesus adalah  ajakan yang memiliki prospek yang cerah. Meskipun demikian ajakan seperti itu bukannya tanpa risiko. Yesus mengajak ke seberang disamping sebagai ajakan tetapi juga menjadi suatu tantangan yang menguji keberanian para murid. Berpindah ke seberang artinya orang harus menerima risiko basah, tenggelam, minum air laut karena harus melalui laut. Menyeberang adalah bahasa atau simbol suatu perjuangan yang menguji daya tahan dan daya juang seseorang. Hidup dan panggilan orang beriman, hidup dan panggilan kita adalah hidup dan panggilan untuk  menyeberangi lautan tantangan. Untuk dapat sampai ke seberang dibutuhkan kekuatan ekstra, dibutuhkan keberanian dan mental baja. Kalau tidak mau basah dan tenggelam kita mau tidak mau harus mempunyai kiat-kiat khusus untuk itu.
Ajakan untuk berpindah ke seberang lautan dengan mengandalkan sebuah perahu kecil sungguh merupakan satu pilihan berani mati. Bukan tidak mungkin banyak orang menolak untuk menyeberang. Bukan tidak mungkin mereka yang berjiwa kecil akan lebih suka memilih bertahan di tempat  tidak mau beranjak ke seberang. Lautan adalah gambaran kesulitan yang perjuangan hidup kita. Ketika kita menjadi orang yang berjiwa kerdil dan tidak mau ikut menyeberang, kita membutuhkan pertolongan dan bantuan orang lain. Ketika kita menjadi orang yang minder karena kurang percaya diri kita membutuhkan kehadiran sesama kita untuk menolong kita keluar dari perasaan seperti itu. Pelbagai masalah dalam panggilan hidup kita pribadi bagaikan lautan yang siap menenggelamkan kita. Pada saat seperti itu kita membutuhkan saudara yang hadir sebagai Yesus dengan ajakan simpatiknya ingin berjalan bersama kita ke seberang lautan. Di kala kita pribadi terancam badai lautan masalah kita membutuhkan Yesus. Dan ketika banyak orang menghadapi tantangan dalam hidup mereka kita sebagai pengikut Kristus ditantang untuk bertindak seperti Yesus yang mau menolong.
(3) Ke Seberang artinya Saya meninggalkan sesuatu di sini:
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah pengalaman yang biasa. Para murid dan pengikut Yesus juga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Perpindahan seperti biasanya ada risiko bahwa ada yang harus ditinggalkan di tempat yang lama. Ada orang yang harus ditinggalkan. Ada kenangan yang harus  dilepaskan. Ada barang yang juga dibiarkan di tempat. Kecuali kalau orang mau menerapkan sistem bumi hangus artinya segala dibawa ke tempat yang baru. Itu  juga bukan tanpa risiko. Membawa segala hal menyeberangi lautan adalah tindakan berani mati. Mmbawa terlalu banyak orang ke dalam sebuah perahu kecil untuk berpindah tempat juga merupakan tindakan bunuh diri. Injil tadi menegaskan kepada kita bahwa pilihan para murid untuk mengikuti ajakan Yesus ke seberang membawa akibat ada begitu banyak orang yang harus mereka tinggalkan. Jika tidak mereka akan mengalami kesulitan. Muatan perahu terlampau sarat dan bakal tenggelam. Kerelaan untuk meninggalkan banyak hal sebelum ke tempat yang baru merupakan salah bentuk atau cara kita untuk menolong diri kita sendiri. Kalau mau membawa segalanya itu sama artinya kita tidak menolong diri sendiri dan mencari masalah untuk diri kita sendiri. Orang yang waras tidak akan mau merepotkan dirinya sendiri dengan segala hal yang tidak terlalu perlu.
Dalam arti dan konteks tertentu kita semua telah mengikuti ajakan Tuhan untuk berangkat ke seberang mencari pembebasan dan keselamatan itu. Itulah sebabnya kita telah meninggalkan banyak hal. Kita meninggalkan kampung halaman kita. Kita meninggalkan sanak saudara kita. Kita meninggalkan orang-orang yang kita cintai. Kita meninggalkan segala hal yang menyenangkan kita. Mengapa kita meninggalkan semuanya itu? Jawabannya karena kita mau selamat untuk tiba di seberang bersama Yesus yang mengajak dan memanggil kita dari kegelapan hidup kita di tempat kita yang pertama. Pertanyaan yang harus dan mesti terus kita renungan adalah ini: apakah saya sungguh meninggalkan semuanya sehingga saya berjalan atau berlayar tanpa beban yang menindih hidup saya saat ke seberang? Mampukah kita menolong diri kita sendiri dan menolong sesama saudara kita dengan meninggalkan segala hal yang membenani hidup kita dan hidup sesama kita?
(4) Bukan Yesus membawa saya tetapi Saya  membawa Yesus.  
Ajakan untuk ke seberang dan meninggalkan orang banyak itu inisiatif awalnya datang dari Yesus sendiri. Bukan rencana para murid dan pengikut Yesus. Para murid memberikan tanggapan postif terhadap ajakan Yesus. Di sini kita tahu persis bahwa yang aktif adalah Yesus. Yesus mangajak mereka. Yesus sebagai subjek aktif. Para murid diajak. Mereka berlaku sebagai objek pasif. Tetapi kalau kita membaca secara teliti ayat 36 tadi kita akan terkejut karena terjadi pembalikkan peran atau lebih tepat terjadi pertukaran peran antara Yesus yang mengajak dengan para murid yang diajak. Semula Yesus yang aktif kemudian bertukar peran Yesus menjadi pasif karena yang berperan membawa Yesus justru para murid. Kita membaca kalimat berbunyi: Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyer­tai Dia. Kalau mau konsisten dengan awal kisah maka kalimatnya harus berbunyi: Yesus membawa mereka di dalam perahu. Kita tentu harus bertanya. Mengapa terjadi pergantian peran seperti itu? Mengapa justru para murid kini yang membawa Yesus dan bukan Yesus yang membawa mereka? Apakah penginjil tidak membuat kekeliruan?
Pergantian peran seperti ini bukan menunjukkan bahwa penginjil keliru. Pergantian dan pertukaran peran itu mempunyai arti dan makna yang sangat mendalam untuk kita. Pergantian atau pertukran peran itu mau menunjuukan kepada kita bahwa setiap tanggapan atau jawaban manusia terhadap ajakan dan panggillan Tuhan membawa konsekuensi yang besar. Pada ayat awal kita mendengar bahwa para murid itu mendengar dan mau mengikuti ajakan Yesus untuk bertolak ke seberang. Meninggalkan kondisi tempat lama dengan segala situasinya. Mengarungi dan menyeberangi lautan dengan risiko yang besar. Jawaban para murid itu menuntut mereka untuk membuktikan bahwa memang mereka menaruh komitmen pada apa yang mereka katakan. Bahwa mereka mau mengikuti ajakan Yesus untuk bertolak keseberang, itu artinya mereka harus menerima konsekuensinya. Mereka harus berubah dari sikap menunggu, mendengar secara pasif menjadi orang yang melakukan sesutau, mengatakan sesuatu dan melakukan sesuatu secara aktif dan kreatif. Semula mereka berjanji untuk mengikuti Yesus artinya mereka mau dibawa Yesus. Begitu mereka menerima dan menjawab ya maka mereka harus menjadi orang yang aktif membawa Yesus. Peran Yesus harus diambil alih. Yesus tidak mau repot lagi karena manusia sudah menyatakan komitmennnya. Tak mengherankan kalau  penginjil menggambarkan bah mereka atau para murid membawa Yesus beserta mereka di dalam perahu mereka. Yesus mereka  bawa bukan Yesus membawa mereka. Itulah sebabnya Yesus duduk diam-diam dalam dan selama pelayaran menuju ke seberang lautan itu.
Hingga di sini kita menjadi sadar bahwa jawaban dan kesediaan manusia untuk menerima ajakan panggilan Yesus untuk menyertai Dia pada akhirnya menuntut manusia untuk mengambil alih semua tugas yang sebelumnya dilakukan Yesus. Dengan cara ini kita menjadi sadar akan panggilan kita. Jawaban kita dan janji kita untuk dibawa Yesus pada akhirnya menuntut kita untuk membawa Yesus itu dalam keseluruhan perjalanan dan pelayaran hidupan kita. Saat kita dipanggil Tuhanmau membawa kita. Begitu kita menjawab Ya, saat itulah kita harus menjadi pembawa Tuhan.
Mengikuti Tuhan atau kerelaan untuk dibawa Tuhan ke mana saja jauh lebih gampang untuk kita karena kita hanya merelakan waktu untuk mengikuti saja ke mana Ia hendak membawa kita. Tindakan dan sikap mengikuti saja jauh lebih gampang dan semua orang bisa. Yang sulit bagi manusia adalah mengambil alih atau bertukar peran dalam arti kita rela membawa Tuhan dalam perjalanan kita. Artinya kita berjuang seperti Tuhan yang mempunyai banyak pengikut yang mau mendengarkan karena tutur kata dan cara hidupnya yang mengesankan dan patut diteladani. Mau menjadi pengikut Tuhan jauh lebih gampang bagi kita daripada kalau kita harus berjuang agar banyak orang mengenal Tuhan yang kita bawa dalam tutur kata dan cara hidup kita. Kalau kita jujur mungkin saat ini kita boleh menilai diri kita bahwa kita mungkin lebih tepat sebagai pengikut Tuhan dan bukan pembawa Tuhan dalam hidup kita. 
Kalau kita jujur kita mungkin menjadi orang yang pasif karena Tuhan yang membawa kita dan bukan menjadi orang yang aktif membawa Tuhan dalam perahu kehidupan kita. Kita boleh bertanya secara kritis pada diri kita. Apakah sampai saat ini saya berada di sini karena saya mau dan rela dibawa Tuhan ataukah saya aberada di sini karena mau membawa Tuhan. Pertanyaan ini memang tidak untuk dijawab tetapi untuk kita refeleksikan berkaitan dengan misi dan tugas kita dalam tarekat kita. Konkretnya, apakah suster datang ke Flores karena mau mengikuti Tuhan dan karena Tuhan yang membawa para suster ataukah suster datang ke Flores ini untuk membawa Tuhan karena sudah berjanji untuk membawa banyak orang kepada Tuhan?
(5). Angin dan badai bumbu kehidupanku
Mengikuti ajakan Tuhan, mengikuti suara panggilan Tuhan, mau dibawa Tuhan atau mau membawa Tuhan dalam kehidupan dan dalam panggilan tidak membebaskan kita dari masalah kehidupan kita. Selama kita merasa diri masih manusia maka selama  itu pula badai masalah terus mengempur dan meluluh lantakan segala niat baik dan rencana masa depan kita. Kita semua jelas tidak bisa mengendalikan angin atau mengatur badai dan taufan yang menerpa perahu kehidupan kita. Angin badai tidak dapat kita atur. Satu-satunya yang bisa dan mesti kita atur adalah layar kehidupan kita. Badai terus bertiup kendang dan bisa datang dari berbagai arah untuk menenggelamkan kita dalam pelayaran kehidupan kita di tengah samudra luas dunia dengan segala suka dukanya. Sekali lagi angin badai terus menggempur diri kita dalam bentuk masalah hidup yang kita jumpai. Yang kita lakukan dari saat ke saat adalah memantau arah datanganya badai, memantau sumber datangnya angin masalah sehingga dengan itu kita bisa menata, mengatur tinggi rendahnya atau besar kecilnya, lebar-sempitnya bentangan layar perahu kehidupan kita. Angin tidak dapat kita atur, tetapi layar harus kita atur. Masalah tidak dapat kita atur tetapi cara hidup kita berhadapan dengan masalah dapat kita atur. Kemampuan kita untuk mengatur layar kehidupan kita menentukan apakah badai berhasil menenggelamkan kita atau malah justru membantu mempercepat lajunya pelayaran kita sehingga secepatnya tiba di seberang.
Para murid yang semula mendengar ajakan dan panggilan Yesus pada akhirnya membawa Yesus bersama mereka dalam pelayaran mereka ke seberang lautan. Mereka menjadi orang yang aktif dan kreatif. Mereka menjadi pembawa Yesus dalam perahu diri dan kehidupan mereka. Kita sendiri mendengar kisah kurang menyenangkan perihal pelayaran mereka membawa Yesus. Dalam pelayaran itu badai dan taufan menerpa perahu mereka. Air dan gelombang laut mulai merembes masuk. Air dan gelombang laut mulai memenuhi haluan dan buritan perahu mereka. Kepanikan menjadi pemandanganya mengacaukan arah pelayaran mereka menuju seberang. Mereka kehilangan arah di tengah amukan gelombang yang tidak kenal kompromi. Usaha kecil-kecilan  mereka lakukan. Badai jelas tidak mau dijinakkan hanya dengan mengandalkan usaha kecil-kecilan. Nafas mereka semua tampaknya sudah di ujung hidung. Gambaran tentang tempat baru yang akan mereka masuk lenyap dari pikiran mereka. Mereka semua hanya sibuk dengan diri sendiri untuk menyelematkan diri dari amukan gelombang lautan. Di mana-mana mereka sibuk. Siapa saja di sana sibuk. Kecuali seorang pemuda bernama Yesus. Dia duduk dengan santainya menyaksikan kepanikan para murid yang terancam maut itu. Reaksi dan tanggapan Yesus dingin-dingin saja.
Andaikan saat itu, kita semua menjadi penumpang perahu itu mungkin kita harus ramai-ramai mengangkat Yesus itu buang ke laut karena tingkat masa bodohnya yang begitu kental. Mengapa reaksi Yesus demikian dinginnya dan tenag-saja ketika badai menerpa perahu yang membawa Dia? Sikap Yesus yang demikian mau menunjukkan kepada para murid itu bahwa pilihan mereka untuk mengikuti ajakan Tuhan membawa risiko diaduk dalam pusaran badai yang dahsyat. Mereka berjuang cukup lama melawan badai itu dan Yesus menyaksikan semuanya itu. Bagi Yesus badai dan gelombang itu merupakan bumbu penyedap pelayaran mereka. Perahu kehidupan penuh air merupakan gambaran situasi krisis yang mendera dan mengancam manusia.
(6) Para murid panik dan Yesus tidur tenang-tenang
Terpaan gelombang dan badai topan sampai air memasuki perahu adalah gambaran tentang masalah dan ancaman yang bakal merenggut nyawa para penumpang atau awak perahu. Panik dan kesibukan merupakan reaksi spontan dan wajar dalam situasi seperti itu. Sebaliknya, kalau sampai ada orang lain masih tidur nyenyak seolah-olah tidak terjadi apa-apa  pasti orang itu dianggap sakit atau tidak sehat, atau sadar setengah sadar dan setengah sadar. Persis itulah yang dilakukan Yesus. Ia tetap tidur diburitan ketika semua penumpang lain sibuk dan panik. Yesus bukanlah tipe manusia masa bodoh atau manusia yang enggan menolong. Sikap Yesus ini mempunyai pesan dan makna yang mendalam bagi para murid yang membawa-Nya.
Dengan sikap tidur tenang-tenang itu Yesus mau mengkritik cara dan sikap manusia berhadapan dengan masalah dalam kehidupan. Kepanikan dan kesibukan para murid di dalam perahu yang diterpa badai adalah gambaran reaksi manusia yang tidak matang, reaksi yang ceroboh, gegabah, tidak rasional. Mengapa sikap itu dipandang sebagai sebuah kritik gaya Yesus? Alasannya karena mereka sibuk di dalam perahu yang sudah kemasukan air. Mereka bergerak ke sana kemari. Mereka lupa hal yang praktis yang seharusnya mereka tahu bahwa kalau perahunya ditiup angin maka penumpang harus tenang dan tidak bergerak. Sebab kalau banyak yang bergerak ke sana kemari maka hal itu akan mempercepat proses tenggelamnya sebuah perahu. Tindakan yang gegabah, ceroboh, tidak rasional, tanpa pertimbangan akal sehat biasanya membawa akibat yang fatal. Seorang ibu rumah tangga tiba-tiba melihat kompornya meledak. Api mulai menjalar dan meluas. Dalam kepanikan ibu itu langsung menagngkat dan membuka sebuah cerigen. Ia menuangkan isi cerigen itu pada lidah api yang mulai menjilati dinding dapur dengan tujuan mematikan nayala api itu. Apa yang terjadi? Nyala api bukannya padam tetapi malahan bertambah besar karena ibu itu bukannya menyiram api dengan air melainkan dengan minyak tanah. Karena ia panik menghadapi api ia lalu tidak bisa  membedakan di mana cerigen berisi air dan di mana cerigen berisi minyak tanah. Inilah kepanikan yang merusak dan membakar. Seorang ibu yang sedang strika pakaian segera menuju tempat telepon ketika telepon di rumahnya berdering. Ada telepon dari rumah sakit memberitakan bahwa putranya masuk unit gawat darurat karena kecelakaan lalulintas. Mendengar itu ia membanting gagang telepon itu. Ia segera kembali ke meja strika untuk membereskan bahan strikaannya. Pikirannya kalut mendengar berita tidak sedap itu. Saat itu telepon berdering lagi. Dalam kepanikan ibu itu mengangkat dan  menempelkan strika panas itu ke pipi dan telinganya. Dalam waktu singkat pipi dan telinganya secara sukses dimakan besi panas. Inilah gambaran kepanikan yang membuat seorang terpaksa menyeterika pipi dan telinganya sendiri.
Sikap Yesus yang tenang dalam terpaan badai adalah gambaran kecerdasan dalam cara berpikir dan gambaran kecerdasan dalam bertindak ketika menghadapi masalah dalam hidup. Bagi Yesus semua masalah itu ada jalan keluarnya sejauh manusia tidak panik, sejauh manusia tetap bersikap kritis dan bernalar yang cerdas pula. Yesus tetap tenang dalam perahu karena itu tahu karakter laut. Ia tahu pasti, bagaimana harus mengambil sikap ketika perahu diterpa gelombang dan badai. Pengetahuan yang pasti dan keyakinan yang kuat biasanya membuat orang tetap tegar dalam segala situasi termasuk situasi paling mengancam dan membahayakan.
Sikap Yesus yang tidur tenang dalam perahu bukannya tanda bahwa ia tidak mau menolong. Ia tahu bahwa dalam situasi seperti itu orang atau para murid membutuhkan pertolongan. Tetapi, melihat model kepanikan para murid itu Yesus harus mempertimbangkan secara taktis tentang langkah dan jalan keluar yang harus diambil. Ia mempertimbangkan secara cermat tentang untung ruginya setiap tindakan  menolong yang ia tawarkan. Yesus mempertimbangkan secara matang cara memberikan pertolongan yang efektif kepada mereka yang menghadapi badai masalah dalam ziarah dan pelayaran hidupnya.
Hidup kita juga banyak badai dan gelombangnya. Ketika perjalanan panggilan kita dikepung dalam lilitan masalah, ketika kita tertimpa masalah dalam hidup dan panggilan, mungkin ada saudara kita yang bersikap tenang-tenang saja. Bagi kita mungkin mereka itu kelihatannya bersikap acuh tidak acuh, chuek bebek, tidak peka dan dinilai kurang solider dengan kita. Dalam kepanikan memang kita cenderung menilai orang secara hitam-putih. Mungkin sebagai anggota dalam komintas atau tarekat kita juga mengalami badai kehidupan baik yang datang dari luar maupun yang dibuat diri sendiri. Saat-saat seperti itu jelas kita membutuhkan pertolongan. Saat seperti mungkin kita juga panik tanpa arah. Dalam situasi seperti itu, kita cenderung menilai banyak saudara kita yang tidak memperhatikan kita. Ketika menghadapi aneka masalah dalam misi dan tugas yang diberikan tarekat untuk kita, kita mungkin panik, ceroboh lalu menganggap pimpinan kita, para pengambil dan penentu kebijakan sebagai orang yang tidak memperhatikan kita. Yesus melalui injil tadi mengajak kita untuk secara jernih memandang, menilai dan menempatkan masalah-masalah itu pada tempat dan situasinya yang pas sebelum kita mencari jalan dan solusi yang pas pula. Dalam kesulitan kita diminta untuk mencontohi sikap Yesus. Berpikir cerdas, kritis dalam keadaan tenang sehingga dapat mengatasi masalah secara tetap sasar dan tepat guna. Jika tidak, kita akan tenggelam lautan masalah, terkapar dalam hempasan badai topan tantangan, terbakar dalam masalah yang tidak dapat kita tangani secara tuntas. Mungkin kita perlu belajar dari tetesan embun malam. Dalam ketenangan dan keheningan malam tetesan embun membasahi dan menghancurkan batu-batu karang karang serta tiang-tiang besi. Mungkin kita perlu belajar dari cara kerja sebuah kar pohon. Dalam ketenangan dan keheningan malam sebatang akar beringin yang kecil mampu memecahkan dan menghancurkan batu yang keras. Karena itu dalam menghadapi masalah apa saja dalam hidup ini, hendaknya kita tidak panik dan membuat kesibukan yang tidak perlu. Apalagi kalau hanya sekadar sibuk-sibukan artinya pura-pura sibuk dan menyibukan diri dengan hal yang tidak perlu. Sibuk-sibukan atau pura-pura sibuk dalam menghadapi masalah tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam ketenangan hati, pikiran yang cerdas akan lahir, dalam ketenangan, pertimbangan dan jalan-jalan taktis untuk mengatasi masalah akan kita temukan. Badai tidak dapat kita atur tetapi kita bisa mengatur layar perahu kita dalam pikiran yang cerdas dan kondisi yang tenang.
(7) Membangunkan Yesus-langkah preventif dan kuratif
Ketenangan atau sikap tenang ketika menghadapi masalah itu penting. Bersikap tenang untuk berpikir jernih tidak sama dengan sikap tenang-tenang saja. Sikap tenang-tenang saja identik atau sama dengan bersikap masa bodoh terhadap segala masalah. Yesus yang tidur nyenyak dalam perahu ketika badai menerpa pelayaran bersama para murid bukannya tenang-tenang saja melainkan ia perlu ketenangan untuk menemukan jalan keluarga yang baik sejauh para murid memintanya. Dan kita sendiri mendengar bahwa dalam kepanikan itu para murid sadar bahwa mereka bukan berlayar sendirian. Mereka menyadari bahwa mereka membawa Yesus dalam pelayaran itu. Kesadaran seperti inilah yang menggerakan mereka untuk mendekati Yesus dan membangunkan Dia dari ketenangan tidurnya. Maka murid-­murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?"
Apa yang hendak dikatakan melalui tindakan membangunkan Yesus pada ayat ini? Hal yang mau dikatakan kepada kita adalah tentang kesadaran manusia dalam maslaah hidupnya. Peristiwa para murid membangunkan Yesus mau menunjukkan kepada kita bahwa dalam kemelut hidup yang mengancam orang harus mengandalkan orang lain, melibatkan orang lain. Dan lebih dari melibatkan sesama, orang lain yang paling utama adalah melibatkan Tuhan sendiri. Mencari pertolongan pada Tuhan adalah langkah yang taktis dan pikiran yang cerdas dalam mengatasi masalah kehidupan. Upaya membangunkan Yesus dalam pelayaran para murid yang dilandai badai adalah langkah preventif sekaligus langkah kuratif agar mereka selamat tiba di seberang.
Membangunkan Yesus ketika menghadapi masalah adalah jalan keluar yang taktis dan tepat. Membangunkan Yesus itu sama artinya mencari pertolongan. Membangunkan Yesus untuk mencari pertolongan adalah usaha yang memerlukan keberanian. Tidak semua orang bisa secara terbuka menyampaikan masalahnya kepada orang yang dianggap mampu mengatasi masalah. Dalam kenyataan hidup yang biasa orang umumnya enggan mencari pertolongan karena malu, tidak berani, minder. Apalagi kalau ia yakin bahwa orang yang bisa memberikan pertolongan itu status, jabatan lebih tinggi. Ada semacam keraguan dan keengganan untuk meminta pertolongan. Orang seperti ini biasanya menampung dan menumpuk semua masalah dan akan bertindak aneh-aneh. Tujuannya supaya orang lain tahu bahwa ia tengah dililit masalah kehidupan atau krisis panggilan.
Para murid Yesus sadar bahwa mereka itu murid tetapi mereka juga tahu bahwa dalam pelayaran itu mereka membawa Yesus. Para murid akhirnya sadar bahwa mereka tidak mampu menaklukan amukan badai dan hempasan gelombang laut. Dalam kesadaran itulah mereka berani membangunkan Yesus untuk menyampaikan masalah yang tengah mereka hadapi. Dalam keterbukaan dan kejujuran yang penuh tanpa menyembunyikan kenyataan sebenarnya, para murid menjelaskan masalah inti yang sedang mengancam hidup mereka. Mereka terancam kebinasaan ditelan badai. Mereka berkata jujur tentang apa masalahnya agar Yesus memberikan bantuan yang sesuai dengan masalahnya. Mereka seperti pasien yang tengaha menghadap dokter  atau bides menyampaikan apa yang tengah diderita sehingga dokter, tenaga medis mampu memberikan diagnosis yang tepat. Informasi yang disampaikan secara jujur oleh pasien menentukan ketepatan dianosis oleh tenaga medis. Dan diagnosis yang tepat menentukan jenis resep dan obat yang cocok mengatasi penyakit yang diderita. Para murid tidak melaporkan kepada Yesus tentang orang sakit tetapi melaporkan tentang badai taufan. Mereka tidak menyembunyikan masalah tetapi menjelaskan masalah. Dan Yesuspun bangun dan memberikan pertolongan yang pas dan tepat.
Perjalanan panggilan kita penuh dengan masalah, penuh dengan badai dan gelombang entah besar entah kecil. Persoalannya adalah apakah kita berani membuka semua masalah itu kepada orang lain yang dapat membantu kita ataukah kita membungkus semuanya lalu kita pikul sendiri sampai mati. Kita mempunyai masalah, persoalannya apakah kita menceritaka apa masalah kita secara jujur atau malahan kita memoles atau membelokkannya ke hal yang lain sehingga masalah yang paling inti tidak terdeteksi. Keterbukaan dan kejujuran pasien terhadap gejala penyakit yang diderita sangat menentukan efektivitas obat yang diberikan dokter kepadanya. Keterbukaan dan kejujuran kita tentang segala masalah yang kita alami menentukan efektivitas pertolongan yang diberikan orang kepada kita. Kita mungkin perlu belajar untuk berkata jujur seperti para murid yang dilanda badai taufan dalam injil tadi. Kita mungkin perlu belajar berkata jujur terhadap orang lain  kalau kita ingin membebaskan diri dari lilitan masalah dalam panggilan kita. Mungkin kita perlu belajar untuk selalu sadar bahwa kita bukan berjalan sendirian. Kita berjalan bersama orang lain bahkan bersama Tuhan. Para murid berlajar bersama orang lain dan bahkan mereka membawa Tuhan dalam pelayaran mereka. Kita berjalan dalam panggilan kita bersama orang lain, bersama Tuhan. Karena itu dalam menghadapi pelbagai persoalan kita hendaknya membangunkan sesama kita, membangunkan Tuhan sendiri yang kita imani dan kita bawa. Sesama kita dan terlebih lagi Tuhan yang kita bawa akan menolong kita dan membebaskan kita dari ancaman yang mematikan itu. Yang dituntut dari diri kita adalah kemauan kita untuk membangunkan sesama saudara kita dan membangunkan Tuhan sendiri.
(8). Aku harus segera bangun untuk menolong
Ketika para murid panik dan membangunkan Yesus, Yesus segera bangun dan langsung mengambil langkah untuk mengatasi masalah. Yesus memberikan reaksi yang cepat dan  memberikan pertolongan. Angin ribut dihardiknya sehingga selamatlah para murid dari ancaman bahaya kematian. Apa yang dapat kita pelajari dari cara dan tanggapan Yesus terhadap permintaan para murid ini? Menurut saya hal penting yang perlu kita pelajari adalah kerelaan untuk mendengarkan keluhan orang-orang yang mengalami kesulitan. Kerelaan untuk membukan hati dan membuka diri bagi sesama saudara kita yang memang kesulitan dalam kehidupan ini, kesulitan dalam menjalani panggilan hidupnya. Lebih dari kesediaan hati untuk mendengar dan membuka diri untuk menerima saudara kita yang kesulitan, kita dituntut untuk memberikan pertolongan secara tepat.
Memberi pertolongan secara tepat di sini dapat diterjemahkan secara lebih luas. Tepat waktunya kapan kita memberikan pertolongan, tepat caranya bagaimana kita harus menolong, tepat persoalannya artinya harus memberikan pertolongan sesuai dengan masalah yang dihadapi. Kita mungkin sudah mau mendengarkan sesama kita yang kesulitan, kita mungkin sudah membuka diri untuk mereka yang kesulitan, tetapi mungkin kita belum sampai memberikan pertolongan yang nyata seperti Yesus yang menghardik angin ribut. Idealnya memang kita harus sampai pada tindakan yang nyata dan konkret memberikan pertolongan. Kita hendaknya bukan saja rela dibangunkan untuk melihat masalah sesama kita tetapi tetapi lebih dari itu rela dibangunkan untuk segera memberikan pertolongan.  Tema yang kita pilih untuk kita renungkan dalam rekoleksi ini adalah tema yang mengajak kita semua melakukan pertolongan yang nyata bagi saudara-saudara kita yang memang mengalami kesulitan. Kita bisa belajar dari cara para murid membuka masalah mereka. Kita bisa belajar dari Yesus cara membantu orang yang mengalami kesulitan hidup dan krisis panggilan. Aku harus segera bangun untuk menolong saduaraku…
(9) Kata-kataku harus meneduhkan, menenangkan
Kata-kata bagi manusia memiliki kekuatan yang luar biasa. Kata-kata bisa menghidupkan tetapi juga bisa menghancurkan. Kata-kata bagi manusia dapat berperan sebagai pedang bermata dua. Kata-kata dapat berfungsi baik atau menghancurkan tergantung manusia yang membahasakan kata-kata itu. Ketika seseorang berpidato atau berkhotbah dengan bahasa dan pilihan kata yang indah semua orang tersentuh dan senang. Di situ kata-kata berdaya gugah mempengaruhi dimensi kejiwaan seseorang. Ketika seseorang memilih kata-kata yang membangkitkan amarah di situlah kata-kata menjadi pedang yang menghancurkan. Kata-kata kita bisa menghidupkan tetapi juga bisa mematikan. Kata-kata yang menghidupkan adalah kata-kata yang dipakai untuk meningkatkan rasa percaya diri, kata-kata yang memberi dorongan dan motivasi, kata-kata yang menghibur, kata-kata yang meneguhkan dan mempersatukan. Sebaliknya kata-kata yang mematikan adalah kritikan yang pedas, kemarahan dan kegeraman tanpa ampun. Manusia, termasuk kita, dapat menciptakan badai dan gelombang yang mengancam kehidupan orang lain atau sesama kita dengan kata-kata kita. Pilihan kata dan rasa bahasa kita yang tidak terolah dan terasah dengan baik membuat kita memilih kata yang tidak tepat dan cenderung merusak keutuhan hidup bersama.
Perjalanan para murid yang membawa Yesus ke seberang lautan nyaris gagal karena badai taufan menerpa mereka. Para murid kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk membahasakan kesulitan yang mereka hadapi. Itulah sebabnya mereka panik dan membangunkan Yesus. Saat Yesus bangun ia yang tidak pernah belajar bahasa itu menggunakan kalimat perintah yang tegas dan jelas. Ia menghardik dan memerintahkan angin agar diam. Pilihan kata Yesus, pilihan kalimat Yesus itu sangat cermat dan tepat. Kata-katanya melumpuhkan badai dan gelobang yang mengancam pelayaran mereka. Angin taat lalu diam. Para murid kagum dan juga diam menyaksikan laut yang kembali tenang dan hembusan angin yang kembali teduh. Kata-kata Yesus berkekutan melumpuhkan badai yang melanda dan mengancam. Betapa senangnya para murid karena kata-kata Yesus itu berkekuatan membebaskan.
Dalam pengalaman kita ada banyak orang atau sama saudara kita yang mengalami kesulitan. Dalam kesulitan seperti itu mungkin kita ada dan hadir untuk mengatakan sesuatu. Dalam kesulitan seperti itu biasanya kita yang lain mau mengatakan banyak hal. Kalau sesama kita dlanda kesulitan, hampir pasti ada banyak komentar yang kita berikan. Ada banyak kata dan kalimat yang kita susun sekadar memberi komentar terhadap saudara kita yang mengalami kesulitan. Persoalannya bukan berapa banyak kata dan berapa panjang kalimat yang kita ucapkan untuk membantu sesama kita yang mengalami kesulitan itu itu. Hal yang menjadi soal justru kata-kata kita, kalimat-kalimat kita justru banyak yang tidak berguna, banyak yang tidak penting. Kata-kata dan kalimat yang kita sampaikan mungkin tidak lebih dari sekadar basa basi sehingga tidak mengenai sasaran secara tepat. Lebih jelek lagi kata-kata dan bahasa kita bukannya untuk menolong sesama kita yang dilanda krisis tetapi kita justru meniupkan kata-kata yang mempersulit sesama yang berada dalam kesulitan. Sekian sering kita bukannya mengambil air untuk memadamkan percikan bunga api tetapi justru menyiram bensin menyulut pembakaran yang lebih besar. Ada banyak orang yang menjadi korban hanya karena sesamanya tidak mampu menertibkan kata-kata dan lidahnya. Kata-kata kita sering berbisa bagi sesama kita. Kata-kata kita sering menjadi angin yang lebih keras menerpa mereka yang kesulitan. Kata-kata kita seringkali menjadi gempuran gempa yang meluluhlantakan daya tahan seseorang.
Yesus memberi kita contoh memilih kata yang tepat. Contoh memilih kalimat yang tepat. Berhadapan dengan para murid yang panik Yesus bukannya menghardik para murid yang bermasalah. Yesus menghardik masalahnya. Yesus menghardik angin masalah dan bukan para murid yang bermasalah karena diterpa angin. Yesus tahu apa yang dibuat-Nya. Ia langsung ke masalah. Bukan mengutak-atik diri para murid yang bermasalah. Ia menghardik angin dan bukan para murid. Karena itulah, kata-katanya berdaya dan melumpuhkan sumber masalah. Angin dan laut menjadi taat. Laut tenang, para murid berlayar tenang ke seberang. Kita tentu perlu belajar berbahasa yang baik terutama ketika kita berhadapan dengan saudara kita yang ditimpa krisis dalam panggilan hidup. Betapa senangnya orang yang bermasalah kalau kata-kata kita seperti kata-kata Yesus yang menenangkan dan meneguhkan.
(10) Pertanyaan yang harus kujawab
Kisah injil tadi menginformasikan untuk kita bahwa Yesus rela dan bersedia dibangunkan untuk melihat dan mengatasi masalah yang dihadapi para murid-Nya. Yesus bangn dan memerintahkan angin badai serta gelombang laut untuk diam dan tenang. Kata-kata atau sabda Yesus itu membuat peserta pelayaran menuju seberang lautan itu kembali tenang dan harapan mereka untuk tiba dengan selamat di seberang semakin besar. Pertolongan Yesus itu membangkitakan harapn baru dalam diri mereka. Meskipun angin dan badai sudah diredahkan, dan harapan mulai bersemi kembali, para murid itu tampaknya masih merasa belum terlalu aman. Wajah-wajah mereka masih mengguratkan rasa cemas dan ketidakpastian. Wajah yang kurang ceria itu mengundang pertanyaan Yesus yang harus dijawab dengan cepat. Ada dua pertanyaan besar untuk mereka: “Mengapa kamu begitu takut?  Mengapa kamu tidak per­caya?" Rasa takut dan rasa tidak percaya terbaca pada guratan wajah dan penampilan mereka. Dua beban sikap yang menindih dan mengusir harapan mereka untuk tiba dengan selamat di seberang. Benan itu adalah ketakutan dan ketidakpercayaan. Dua sikap ini mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Orang takut biasanya karena kurang percaya. Dan orang yang tidak percaya akan menyebarkan ketakutan. Bagi Yesus yang telah menghardik angin dan gelombang ketakutan dan ketidakpercayaan para murid itu jelas tidak beralasan. Yesus bertanya untuk meminta penjelasan atau klarifiasi perihal sikap dan perasaan para murid itu.
Ketakutan dan rasa tidak percaya itu memang penyakit semua manusia. Orang yang pernah dirawat di rumah sakit tetap akan takut dan tidak percaya kepada dokter kalau kepadanya disampaikan bahwa sungguh sehat. Rasa takut dan tidak percaya adalah prasaan yang paling primitif yang mengganggu kehidupan manusia. Saya yakin kita semua memilki rasa takut dan kurang percaya ini. Kita sering menciptakan badai dan gelombang masalah dalam diri dan kehidupan kita hanya karena kita mempuk rasa takut dan kurang percaya ini.  Kita sering seperti para murid itu. Tatap takut dan tidak percaya meskipun segala masalah kita sudah diatasi dengan baik. Kita tetap merasa takut dan tidak percaya diri untuk melakukan sesuatu karena merasa diri masih menyandang pelbagai kekurangan.
Menolak untuk melakukan sesuatu biasanya terjadi karena orang takut gagal. Orang menolak melakukan sesuatu karena tidak percaya akan kemampuan dirinya bahwa ia akan berhsasil. Orang takut untuk mecoba dan memulai serta menerima. Tidak ada kegagalan kalau kita tidak pernah mencoba. Tidak ada kekalahan untuk kita kalau kita tidak pernah mengikuti pertandingan. Karena itu pertanyaanya: mengapa kita tidak mencoba sedangkan mencoba itu sebenarnya tidak mengapa. Kita boleh merumuskan tema rekoleksi ini dengan tekanan agar kita menjadi orang yang suka menolong tetapi kalau kita tidak berani dan kurang percaya diri maka tema ini tidak mempunyai arti lagi untuk kita. Membangun komitmen dan niat untuk menolong orang lain itu artinya kita berani dan percaya akan kemampuan kita bahwa kita bisa.
Kita semua sudah mengikuti ajakan Yesus berlayar dan membawa serta Dia dalam pelayaran atau ziarah iman kita. Itu artinya kita bertekad membangun komitmen yang teguh untuk bertindak sebagai orang yang rela menolong. Mengikuti Tuhan dan berjalan bersama Tuhan artinya kita harus melepaskan mental kelinci kita yang takut dan tidak percaya diri. Kita sudah mengambil pilihan untuk berlayar menyeberangi lautan kehidupan menuju ke seberang berama Tuhan yang menjanjikan keselamatan dan pembebasan. Dan kita sudah dalam pelayaran, artinya kita sudah berani memulai. Karena itu jelas tidak ada alasan lagi bagi kita untuk takut dan tidak percaya. Kalau tidak setiap saat Tuhan bertanya kepada kita: mengapa kamu takut dan tidak percaya?
(11) Kekaguman tanpa penghayatan adalah sia-sia.
Ketika Yesus berhasil menolong para murid dari ancaman badai dan gelombang laut banyak orang kagum termasuk para murid-Nya. Ketika laut menjadi tenang dan angin taufan meredah mereka semua berdecak kagum sambil bertanya diri: Siapakah orang ini sehingga angin dan laut taat kepadanya? Pertanyaan ini berisi pujian dan mengungkapkan rasa kagum yang luar biasa tehadap figur dan cara tindak Yesus. Mereka kagum atas cara Yesus memberikan mereka pertolongan tepat waktu, tempat dan sasarannya. Kekaguman ini tidak ada manfaatnya kalau tidak sampai mengubah cara hidup dan cara tindak para murid itu. Kekaguman itu hanya akan bermakna demosntratif kalau apa yang dicontohkan Yesus tidak diteruskan atau dihayai oleh para murid yang menyaksikan semua hal itu.
Dalam pengalaman hidup kita, kita sering juga kagum terhadap segala hal dan dalam hati muncul niat, keinginan untuk mencontohi apa yang kita kagumi. Niat itu kadang-kadang tidak sampai pada tindakan yang nyata. Kita kagum terhadap nasihat dan peneguhan yang diberikan kepada kita ketika kita ditimpa masalah, tetapi kita sulit untuk hidup menurut nasihat itu. Seperti para murid juga sekian sering kita kagum terhadap tindakan Yesus dalam hal menolong orang lain, tetapi kita sendiri masih takut dan kurang percaya diri untuk mempraktikkan hal yang sama dalam tugas dan karya kita. Kita memilih tema rekoleksi perihal kegiatan dan usha kita menolong. Itu artinya kita membangun niat dan komitmen untuk memberikan pertolongan kepada siapa saja termasuk sesama saudara kita yang terncam badai kehidupan. Dunia kita penuh dengan orang yang terobang-ambing dalam badai kehidupan. Beranikah kita menjadi penolong bagi mereka?

D. Harapan dan Penutup

Konstitusi tarekat suster DSY bab 1 artikel nomor 3 pada bagian akhirnya mencatat satu prinsip dasar yang harus dilakukan para suster DSY dalam kaitannya dengan semangat menolong ini. Pendiri tarekatmu menggariskan prinsip perjuangan dan komitmennya untuk menolong orang lain karena dia sendiri sudah ditolong. Tuhan bagi Savelberg adalah penolong utama yang tidak mengenal titik batas. Allah menolong dahulu, Allah menolong sekarang, Allah tetap akan menolong. Kalau para suster sungguh yakin pada prinsip dan komitmen pendiri ini maka saya yakin bahwa tidak akan ada masalah berarti menimpa para suster. Kalau saja semua pengikut Savelberg setia pada komitmen ini maka semua orang akan  merasakan bahwa para suster pun menolong dahulu, para suster menolong sekarang, para suster tetap akan menolong siapa  saja. Termasuk orang lain yang dilayani dalam tugas dan karya para suster. Kalau para suster sungguh yakin akan spirit pendiri ini maka badai akan berlalu pelayaran dan perjalanan misi panggilan tarekat akan sukses menghantar banyak orang ke seberang lautan yang menawarkan berita pembebasan dan keselamatan. Kalau saja komitmen kita untuk menolong tanpa batas waktu ini kita jalankan secara konsisten maka ketakutan dan ketidakpercayaan kita akan lenyap.
Mudah-mudahan tema rekoleksi kali ini sungguh membantu kita untuk melihat komitmen kita dalam hal menolong siapa saja. Yakinlah bahwa masih banyak orang yang terbenam dalam reruntuhan puing bangunan dunia ini. Masih banyak orang yang berlayar dan berziarah dalam hidup ini menghadapi badai yang keras. Kita sudah membangun komitmen seperti Bapak  yang setia mendampingi anaknya yang terkubur dalam reruntuhan bangunan sekolah. Kita semua sudah bertolak dari tepi laut yang satu. Kita semua sudah dalam pelayaran dengan segala kemungkinan kendala dan badainya. Tetapi kini kita optimis akan tiba dengan selamat di dunia seberang bersama dengan semua orang yang kita bawa, yang kita tolong. Kita hanya mampu menolong kalau Tuhan kita bawa bersama dalam pelayaran hiudp kita. Badai dan gelombang akan redah kalau kita siap membangunkan Tuhan yang kita bawa dalam hidup kita. Marilah kita terus berlayar ke seberang dan pasti kita akan tiba dengan selamat karena kita yakin Tuhan yang dulu menolong kita, saat inipun masih menolong kita dan akan terus menolong kita. Selamat berlayar Tuhan menyertai kita semua. Amin.
 There is never enough time unless you use it.
(Tidak pernah ada cukup waktu, kecuali Anda memanfaatkannya)


Angin ribut Diredahkan Mrk.4,35-41

35Pada waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang”. 36Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyer­tai Dia. 37Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam.  Maka murid-­murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" 39Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam!  Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu men­jadi teduh sekali. 40Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut?  Mengapa kamu tidak per­caya?" 41Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepadanya?"


Versi Refleksi (kata KAMI menggantikan kata Mereka dalam teks asli)

Angin Ribut Diredahkan Mrk.4,35-41

35Pada waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada KAMI: “Marilah kita bertolak ke seberang”. 36 KAMI meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan KAMI dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyer­tai Dia. 37Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam.  Maka KAMI membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" 39Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam!  Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu men­jadi teduh sekali. 40Lalu Ia berkata kepada KAMI: "Mengapa kamu begitu takut?  Mengapa kamu tidak per­caya?" 41KAMI menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?"










Renungan Misa Penutupan Rekoleksi
Peringatan Wafatnya Petrus Joseph Savelberg (Pendiri Suster SMSJ )
Wae Lengga Selasa, 11 Februari 2003
Bacaan Konst. No.5,6,7 Mrk.7,1-13

                      Misi Tarekat Yang Selaras Zaman
Buka
Hari ini kita merayakan misa secara khusus untuk mengenangkan hari kematian pendiri tarekat para suster SMSJ. Mengapa kita merayakannya secara khusus, tentu suster semua akan dapat menjelaskannya. Yang pasti karena Savelberg telah menjadi figur anutan bagi para suster SMSJ. Dia dipilih sebagai pendiri karena memiliki keunggulan cara hidup, yang kiranya juga meresapi seluruh arah dan gerak hidup serta misi pelayanan para suster SMSJ di mana saja. Kita memperingatinya karena Savelberg telah menjadi matahari sejati yang telah menimba samangat pada Kristus sebagai matahari keadilan dan kebenaran. Kita berdoa untuk semua suster SMSJ di mana saja agar mereka mampu menerjemahkan semangat pendiri ini dalam praktik hidup dan panggilan mereka. Untuk itu, marilah kita mengakui segala dosa dan kelemahan kita. Mungkin arah pelayanan kita dan praktik hidup kita agak menjauh dari semangat pendiri kita. Mungkin kita belum berhasil menerjemahkan semangat pendiri kita dalam praktik hidup dan karya kita….
Renungan
Setiap tarekat biara ada pendirinya. Dan setiap pendiri tarekat biasanya memiliki keunggulan-keunggulan yang khas. Keunggulan yang khas itu pada gilirannya memberikan ciri khas setiap tarekat.  Orang yang mau bergabung ke dalam satu tarekat minimal harus tahu apa yang menjadi semangat pendiri. Tujuannya supaya orang yang menjadi pengikut itu tidak ikut-ikutan saja alias membebek tanpa dasar. Karena itu, setiap anggota tarekat harus tahu riwayat hidup pendiri mereka dan harus tahu apa yang menjadi spirit pendiri. Juga harus tahu pelbagai norma dan patokan kehidupan bersama dalam bentuk regula atau konstitusi tarekat. Idealnya seorang anggota tarekat harus menguasai semua, menghafal semua aturan tarekatnyanya dari bab ke bab, pasal ke pasal, point ke point.  Minimal bisa menghafal semuanya biar pelaksanaannya ditunggu dulu. Karena itu, kalau saat ini saya menguji para suster tentang isi konstitusi tarekat maka saya jamin semuanya lulus dengan nilai seratus.
Hari ini para suster SMSJ secara khusus mengenangkan hari meninggalnya pendiri tarekat. Saya yakin tidak ada dari antara para suster ini yang pernah bertemu langsung dengan Bapak Savelberg. Paling-paling kalau sedang tidur mungkin bertemu dalam mimpi. Kalau suka berkayal ya bertemu dalam kayalan. Secara fisik para suster memang tidak bertemu Bapak Savelberg tetapi secara rohani para suster menjumpainya setiap saat. Ketika para suster menjalankan misi atas nama dan dalam semangat Savelberg pada saat itulah para suster bertemu dengan beliau. Semanagt dan spirit hidup serta cita-cita beliaulah yang hendak suster bagikan dan teruskan kepada siapa saja dalam tugas dan karya pelayanan dalam bentuk apa saja. Secara konstitusional apa yang menjadi cita-cita dan perjuangannya sudah termaktub dalam buku konstitusi tarekat. Penggalannya sudah kita baca dan dengar tadi. Kita semua memuji keutamaan-keutamaan yang dihidupi Savelberg ini dan menjadikannya sebagai tokoh idola. Artinya tokoh yang menjadi figur anutan kita.
Kita semua mengenangkan Savelberg sebagai tokoh pujaan kita. Itu sama artinya kita mau hidup dan berkarya seperti dahulu pernah ia lakukan. Dia kita puji karena pelbagai keunggulan dan keberhasilannya membawakan terang Kristus dalam tugasnya. Ia berhasil dalam misi dan pengabdiannya menolong banyak orang dan membawa banyak orang pada pengenalan akan Allah. Lalu secara spekulatif kita bisa bertanya mengapa ia berhasil menjadi manusia unggul. Mengapa ia menjadi superman, manusia unggul atau menjadi superstar yang dipuja para suster SMSJ? Jawabannya secara jelas dinyatakan dalam konstitusi yang kita baca hari ini. Pada point ke lima kita mendengar satu kata kunci sekaligus kunci rahasia keberhasilan Savelberg ini. Ia unggul karena tingkat adaptasinya atau kemampuan menyesuaikan dirinya yang luar biasa. Ia unggul karena segala sesuatu yang dilakukannya selalu up to date, sesuai tuntutan zaman. Pada point ke lima kita mendengar bahwa Savelberg memiliki komitmen yang luar biasa dalam pelayanannya. Untuk para pengikutnya  komitmen pelayanan ini dibahasakan  demikian. “Kita merelakan diri bagi kerasulan sesuai kebutuhan zaman dan tempat, sesuai pula dengan kemungkinan kemampuan yang kita miliki”. Point ini harus menjadi jantung penghayatan spiritualitas bagi para pengikut Savelberg. Mengapa? Karena pada point ini termuat satu tuntutan radikal bahkan sebuah syarat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi kalau pengikutnya ingin berhasil dalam misi perutusan. Rumusan konstitusi tadi mengharuskan pengiktunya untuk mampu beradaptasi dengan segala situasi kondisi di segala tempat dalam segala keadaan.  Kerasulan yang sesuai kondisi zaman adalah kerasulan yang selalu up to date. Tuntutan untuk beradaptasi itu penting karena zaman terus berubah seperti dijelaskan pada point ke enam konstitusi tadi.
Keberhasilan, keunggulan Savelberg adalah keunggulan adaptif artinya segala yang ia lakukan selalu pas, cocok dengan arah gerak dan perubahan zaman. Misinya mampu merespon aneka tuntutan zaman. Pendek kata ia unggul karena menerapkan misi panggilan yang bernuansa atau bercorak selaras zaman. Hidup dan menjalankan misi selaras zaman tidak sama dengan misi dan dan hidup tenggelam dan dihanyut arus zaman. Tantangan zaman boleh bermacam-macam. Badai kehidupan boleh bermacam-macam. Hal yang penting adalah bagaimana para pengikut Savelberg menata layar perahu kehidupannya agar tidak tenggelam dan terkapar dilindas zamannya.
Savelberg menjalankan misi dan pewartaan yang dulu diperjuangkan Yesus. Misi dan perwartaan Yesus juga misi dan pewartaan yang sukses besar. Yesus sukses karena ia menerapkan prinsip adaptasi yang luar biasa. Ia dapat menyesuaikan pewartaannya sesuai dengan pendengar dan situasi. Ketika berhadapan dengan orang sakit ia berbicara sebagai tabib. Ketika berhadapan dengan para petani ia berbicara tentang kebun anggur dan penabur. Ketika berhadapan dengan nelayan ia berbicara tentang ikan. Ketikan berhadapan dengan gembala ia berbicara tentang kambing dan domba. Ketika berhadapan dengan ahli hukum ia berbicara tentang hukum Musa. Ketika berhadapan dengan kelompok konservatif yang mempertahankan tradisi ia berbicara tentang tradisi yang sesungguhnya. Injil hari ini berisi polemik antara Yesus dengan para pemegang tradisi yang konservatif.  Pendek kata Yesus unggul karena bisa menyesuaian diri dengan segala situasi. Semangat seperti itulah yang dihidupi Savelberg dalam panggilannya. Ia mengembangkan pola adaptasi panggilan dan misi selaras zaman. Tentu harapannya satu agar pengikutnya juga mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Adaptif dan akomodatif.
Yesus itu manusia unggul dan Savelberg juga unggul karena ia belajar dari Yesus yang ia ikuti dan ia imani. Yesus menjadi matahari yang menerangi dunia seluruhnya. Saveberg juga menjadi matahari bagi manusia zamannya dan juga tentu terus menjadi matahari bagi para suster semunya.
Kita memperingati hari kematiannya atau memperingati hari terbenamnya matahari yang pernah terbit menerangi dunia. Pertanyaan untuk para suster renungkan dalam perjalanan dan penghayatan panggilan selanjutnya adalah: apakah para suster dapat menjadi matahari yang menerangi semua orang yang dilayani dan tugas dan karya kerasulan para suster? Apakah para ssuter sungguh menjadi matahari yang bersinar atau hanya sekadar matahari yang redup karena banyak awan dan kabut yang sengaja kita ciptakan sendiri?
Mungkin baik kalau saya mengajak para suster untuk merenungkan hakikat manusia yang mau hidup seperti matahari. Saya sengaja mengangkat ini karena ada begitu banyak orang yang mengharapkan agar suster, biarawan, biarawati, rohaniwan/ti sungguh menjadi matahari. Artinya corak dan gaya hidupnya didasarkan atas filosofi dan kebijaksanaan sebuah matahari. Ada delapan prinsip utama sekaligus kebijaksanaan yang dapat kita petik dari matahari itu.
(1)   Matahari itu terbit dari Timur. Semua orang tahu secara pasti bahwa matahari itu pasti terbit dari Timur dan terbenam di barat. Matahari tidak pernah membuat kejutan sekadar mengecoh manusia misalnya sesekali terbit dari barat dan terbenam dari Timur. Semua manusia bisa menebak di  mana ia terbit dan di mana ia terbenam. Tak ada kepalsuan pada matahari. Ia konsisten, tetap, jujur terhadap penghuni bumi. Matahari mengajarkan kita arti sebuah keterbukan, arti sebuah kejujuran, arti suatu konsistensi dalam cara bertindak. Menjalankan misi suci tanpa keterbukaan, tanpa kejujuran, tanpa konsitensi hanyalah basa-basi. Ia akan menjadi sia-sia alias menjadi mission immposible. Hidup Yesus  sebagai matahari selalu jujur, terbuka, konsisten. Savelberg mencoba menerapkannya. Dan kita pengikutnya? Apa yang harus kita lakukan?
(2)   Matahari itu tidak Pilih kasih. Matahari bersinar untuk semua orang dari segala bangsa tanpa memandang agama, suku, bahasa, ras. Matahari  bersinar untuk semua orang baik yang berkulit putih, gelap, maupun yang hitam. Baik yang berambut lurus maupun yang berambut kriting. Baik untuk yang berhidung mancung keluar maupun yang berhidung mancung ke dalam. Matahari hakikatnya mau menerangi semua isi semesta. Inilah bahasa pemerataan dan keadilan yang mau ditanamkan matahari untuk kita manusia. Bersikap adil adalah keutamaan dan kebijaksanaan yang harus dikembangkan. Yesus datang ke dunia sebagai matahari keadilan bagi dunia. Lalu, bagaimana cara kita sebagai pengikut-Nya bertindak adil seperti si matahari?
(3)   Matahari Tidak meminta persetujuan. Matahari terbit atau terbenam tidak pernah meminta persetujuan manusia. Manusia boleh tidak setuju matahari tidak terbit atau tidak terbenam tetapi matahari terus terbit dan terus terbenam. Inilah caranya matahari mengajarkan kepada manusia tentang kekuatan sikap dan karakter seorang manusia berhadapan dengan segala macam kompromi. Keteguhan karakter dan kukuhnya pendirian serta selalu berpegang pada prinsip yang benar adalah karakter matahari yang harus dimiliki seseorang yang mau menjadi matahari bagi orang lain. Yesus sepanjang hidupnya selalu mempunyai prinsip yang kukuh termasuk ketika harus berhadapan dengan vonis penyaliban atas dirinya. Keteguhan karakter inilah yang menjadi dasar bagi seseorang agar dipercaya dan dapat memperjuangkan kebenaran tanpa manipulasi.
(4)   Tidak meminta pengertian. Sepanjang sejarah manusia berdiskusi untuk mengerti proses dan cara kerja matahari. Muncul perdebatan apakah matahari yang bergerak mengeliling bumi atau bumi yang bergerak mengelilingi matahari. Manusia boleh berdiskusi sampai mati tetapi matahari terus saja terbit dan terbenam. Ia beroperasi tanpa dan di luar jangkauan pengertian manusia. Tidak meminta pengertian lebih dahulu seperti matahari memberi inspirasi bagi Covey untuk merumuskan satu kebiasaan efektif manusia. Bagi Covey manusia yang efektif dalam hidupnya adalah manusia yang berusaha mengerti lebih dahulu sebelum meminta dimengerti orang lain. Berusaha untuk mengerti orang lain lebih dahulu menjadi roh yang menghidupkan komunikasi yang mandeg. Matahari mengerti kebutuhan semesta tanpa menuntut semesta dan segala isinya mengerti tentang kerja matahari itu. Bagaimana kita? Apakah kita menuntut orang mengerti/memahami diri kita lebih dahulu ataukah kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami orang lain?
(5)   Matahari tidak menuntut pengakuan. Manusia boleh mengaku atau boleh menyangkal apakah matahari itu ada atau tidak. Matahari tidak perduli. Ia terus terbit, bersinar entah orang mengakui atau menolak keberadaannya. Matahari tidak pernah memproklamasikan diri bahwa ia ada. Ia hanya terbit entah orang mengakuinya atau tidak. Yesus selaku matahari sering muncul dalam segala situasi. Ia tidak pernah menonjolkan dirinya. Orang mengenalnya hanya melalui pelbagai perbuatan baik sebagai dampak atau akibat kehadirannya untuk orang lain. Membanggakan diri di hadapan orang lain bukanlah karater matahari. Pengikut Kristus berkarakter matahari haruslah mencontohi Yohanes pembaptis yang berkata biarlah aku semakin kecil dan Dia semakin besar. Inilah bahasa kerendahan hati dan kesederhanaan hidup gaya matahari. Bagaimana dengan kita? Apakah kita tidak tergoda menjadi pembual yang menonjolkan diri sendiri?
(6)   Memberi dan terus melayani. Matahari tidak pernah bosan dan jenuh terbit dan memancarkan sinarnya untuk semesta tanpa mempertimbangkan apakah manusia memerlukannya atau tidak. Matahari hanya mempunyai prinsip: terus bersinar memberi terang melayani kebutuhan semesta. Matahari terus memberi sinar tetapi tidak pernah merasa kehabisan dan kehilangan terangnya. Inilah bahasa matahari yang mengajarkan kita manusia tentang makna sebuah pemberian yang tulus dan makna sebuah pelayanan yang total. Yesus sebagai matahari sejati telah menerapkan prinsip ini ketika ia berkata: aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Kita mau menjadi matahari. Mampukah kita seperti matahari dan belajar padanya untuk terus memberi dan melayani tanpa lelah?
(7)   Matahari itu memberdayakan dan menghidupkan. Hakikat terang dan sinar matahari adalah memberi tenaga terhadap ciptaan lainnya. Ia memancarkan sinarnya untuk menumbuhkan tanaman dan segala makhluk hidup lainnya. Di mana saja matahari bersinar di sana bersemi kehidupan. Sinarnya memberi tenaga dan daya yang menghidupkan. Sinar matahari membuat adanya harapan hidup pada ciptaan lainnya. Yesus sebagai terang dan matahari  sejati terus memberi daya hidup dan kekuatan bagi manusia yang percaya. Yesus sebagai matahari bagaikan pokok anggur yang menghidupkan ranting-rantingnya. Apakah misi panggilan hidup kita sungguh mau menjadi sinar yang menghidupkan orang yang kita layani dan jumpai?
(8)   Matahari itu patuh dan taat. Matahari tidak pernah absen mengunjung semesta. Ia patuh dan taat pada sang pencipta sehingga tetap mengikuti tata tertib peredaran sistem tata surya. Ketaatan matahari memungkinkan sistem tata surya kita berjalan normal dan alam semesta terjamin dari ancaman kematian. Ketaatan sang matahari adalah bahasa yang mengajak manusia untuk berlaku taat dalam hidup kalau mau menjadi terang bagi orang lain. Yesus sendiri sudah belajar hidup taat bahkan taat sampai mati di salib. Kita dengan lantang telah mengangkat diri sebagai pengikut Kristus itu artinya kita juga harus belajar untuk taat. Bentuk dan wujud ketaatan kita dapat dijabarkan dalam tugas pelayanan kita masing-masing. Kataatan adalah jaminan bagi keberlangsungan sebuah sistem. Bagaimana mutu ketaatan kita?
Kita berbangga karena memiliki Kristus sebagai matahari sejati. Sebagai pengikut Savelberg para suster juga berbangga karena memiliki Savelberg sebagai matahari yang harus diteladani dalam kehidupan sebagai anggota tarekat SMSJ. Hari ini kita berbangga dan memperingati hari kematiannnya. Apa yang harus kita bawa dan apa yang harus kita lakukan sebagai wujud kebanggaan kita pada pendiri kita? Saya kira jawabannya singkat saja. Kebanggaan itu harus dinyatakan dalam usaha mengisi dan memaknai panggilan kita yang selalu selaras zaman. Dengan kata lain kita harus berjuang untuk menjadi matahari dengan segala keunggulannya. ( 2.113 kata; 13.083 huruf)





BELAJAR DARI KEISTIMEWAAN SANTU YUSUF
Bahan Rekoleksi Bulanan Sr. SMSJ

Pengantar Awal


Ketika saya merenungkan teks-teks Kitab Suci yang berbicara tentang St. Yusuf, saya menemukan beberapa keunikan atau kekhasan yang boleh dikatakan menjadi identitas St Yusuf. Identitas itu antara lain: (a) Yusuf termasuk turunan orang besar alias turunan raja Daud (Mat: 1:16),  (b) Dia memilih hidup sebagai tukang kayu, orang yang sederhana untuk tidak mengatakan miskin (c) Ia  juga seorang yang taat dalam hidup beragama (religius), lagi tulus dan jujur (d) Ia memiliki sika yang sungguh respek terhadap orang lain teristimewa terhadap kaum hawa (Mat. 1:19) yang pada masanya dan dalam budayanya menjadi manusia kelas dua (e) Ia seorang pekerja keras yang jarang bicara.
Melalui refleksi tertulis ini, saya mencoba mensheringkan beberapa keunikan pribadi St. Yusuf seperti digambarkan di atas. Tentu saja maksudnya untuk  dijadikan bahan permenungan kita bersama.  Saya mulai dengan identitas Yusuf sebagai turunan Raja.

Yusuf Berasal dari Keturunan Raja Daud.
Secara stereotip atau dalam pandangan umum, orang-orang keturunan raja itu biasanya  berpenampilan khusus atau unik misalnya hidup elite, luks, angkuh, boros, feodal (mau menguasai yang lain, suka perintah, parlente).  Tetapi turunan raja yang satu ini, unik -- untuk tidak mengatakan aneh – kalau dipandang dari prespektif dunia. Ia memilih menjadi tukang kayu, menghayati hidup yang sederhana dan miskin, penampilannya biasa-biasa saja. Kitab Suci memang tidak pernah menceritakan bagaimana sikap Yusuf terhadap kenyataan paradoks hidupnya. Kitab Suci juga tidak pernah menceritakan bagaimana pergumulan batin Yusuf menerima kenyataan hidup yang tidak layak untuk seorang bangsawan turunan raja.  Tetapi, yang pasti, penulis Kitab Suci tidak pernah menulis bahwa Yusuf mempersoalkan kenyataan hidupnya atau menyesal karena harus menjadi tukang kayu, atau menggerutu berhadapan dengan hidupnya, Malahan Kitab Suci memperlihatkan figur Yusuf yang sangat istimewa.  Pada saat ia dikecewakan karena peristiwa yang tidak diduganya, yakni Maria – tunangannya- mengandung, tidak ada lukisan bahwa Yusuf menggerutu atau marah.  Sebaliknya, ia berusaha menerima kenyataan pahit itu tanpa amarah dan kebencian di hati. (Mat.  1:19)
Mungkin orang banyak yang mengetahui identitas Yusuf sebagai turunan Daud, merasa kasihan ketika menyaksikan jalan hidup atau pilihan hidup Yusuf. Saya yakin ia sendiri happy dengan pilihannya.  Dan karena itu, sampai tua  bahkan sampai mati pun dia tetap seorang tukang kayu. Karena pilihannya Yusuf itu membuat dirinya selalu merasa happy, anaknya pun dilatihnya menjadi seorang tukang kayu.  Kalau saja pekerjaan sebagai tukang kayu itu tidak membahagiakan dia, sudah hampir pasti Yusuf melarang Yesus ‘anaknya’ untuk menjadi tukang kayu.  Secara singkat dapat dikatakan bahwa Yusuf adalah seorang turunan raja yang tidak bertindak feodal, raja yang tidak berpenampilan raja. Ia begitu sadar bahwa yang menjadi raja hanyalah nenek moyangnya Daud.  Dirinya, tetap orang biasa, orang sederhana. Ia tidak tergoda untuk berperan atau bertingkah sebagaimana layaknya anak atau turunan raja seperti yang dibuat kebanyakan anak turunan raja.  Dalam teori drama Yusuf termasuk tokoh yang dipilih untuk memerankan apa yang berlawanan dengan tipe kepribadiannya (anti type casting). Ia melakonkan sesuatu yang berlawanan dengan karakter atau statusnya sebagai seorang turunan raja.
Berkaca pada penamplian Yusuf ini, kita mencoba melihat identitas kita sebagai imam, biarawan/biarawati. Kita ini imam, biarawan/biarawati yang berjanji dan mengikrarkan kaul kesederhanaan, kemurnian, dan ketaatan. Identitas asli kita adalah miskin atau sederhana, murni, dan taat.  Penampilan kita dan peran yang kita mainkan dalam hidup tentu tidak lain diarahkan pada usaha untuk mewujudkan identitas kemuridan kita. Itulah ideal yang harus dan senantiasa kita perjuangkan kapan dan di mana saja.  Termasuk di Flores, di Manggarai atau di mana saja kita menjalankan misi perutusan kita. Tentu saja, ini bukan perkara gampang. Ada satu tantangan yang saya angkat pada kesempatan ini, yang dapat saya rumuskan begini; tantangan menjadi imam, biarawan, biarawati di Flores saat ini yang paling berat adalah godaan menjadi raja.
Masyarakat Flores masih sangat menjunjung tinggi kaum religius.  Kepada para kaum religius banyak diberikan previlese atau keistimewaan  tertentu.  Di tempat pesta, untuk mereka pada umumnya sudah disiapkan kursi khusus dan pada posisi terdepan.  Di jalan mereka disapa khusus. Jika kebentulan mereka harus mengurus sesuatu, mereka tidak ikut antre atau harus melewati pelbagai prosedur biasa, mereka selalu dilayani pertama.  Masyarakat kita memang tidak merasa hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau berlebihan. Mereka mengangapnya sebagai hal yang wajar untuk mengungkapkan hormat atau respek mereka terhadap martabat yang dimiliki imam, biaarawan/biarawati. Persoalannya justru muncul ketika kita imam, biarawan/biarawati larut di dalam pola pikir dan tindak masyarakat tersebut, lalu menyangka apa yang dikonstruksikan masyarakat tersebut sebagai identitasnya. Kita lalu merasa wajib untuk diperlakukan istimewa dan senantiasa mengharapkan perlakuan khusus seperti itu. Pada saat kita tidak di’raja’kan kita mulai marah dan tersinggung. Itu artinya, kita imam atau biarawan.biarawwati sedang keasyikan menjadi 'raja'. Hal ini membuat kita melupakan identitas kemuridan kita yang asli yakni menghayati hidup sederhana.  Seperti Yusuf kita memang mengambil peran tokoh yang berwatak anti type casting.  Kita berperan tidak sesuai dengan karakter asli kita. Tetapi, ada bedanya, kalau Yusuf seorang turunan raja namun berlaku sederhana alias tidak feodal.  Kita sebaliknya orang sederhana atau miskin tetapi berlaku feodal, bertingkah sebagai raja. Kita pada akhirnya hidup dan bertindak dalam konteks salah kaprah karena seakan-akan mendapat restu atau legitimasi melalui sikap masyarakat yang me-raja-kan kita.
Penampilan kita tampaknya paradoks dengan identitas kemuridan kita, yakni orang miskin yang berlagak menjadi raja.  Hemat saya penampilan yang demikian bukan terutama karena kita di'raja’kan  oleh pola pikir dan tingkah laku masyarakat saja tetapi karena salah kaprah.  Kita secara keliru-kalau tak mau dikatakan secara salah- menerjemahkan atau mengartikan penghormatan atau respek khusus yang diberikan masyarakat.  Kita menganggapnya sebagai harapan atau permintaan untuk menjadi raja atas mereka. Kalau pun ada segelintir masyarakat yang senang kalau kita menjadi raja atas mereka atau sekurang-kurangnya tidak melihat perlakuan istimewa itu sebagai masalah.  Barangkali itulah cerminan  keterbatasan dan kesederhanaan pola pikir mereka.  Kiranya ke sana kita dipanggil untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Bukan sebaliknya, kita mengabadikan pola pikir dan tingkah laku tersebut karena merasa diuntungkan.
Hemat saya ada yang luntur –mungkin tidak lama lagi akan hilang- dari jati diri kemuridan kita sebagai imam dan biarawan/ biarawati yakni derasnya erosi yang mengancam semangat kesederhanaan cara hidup kita. Saya katakan demikian bukan terutama karena kita mempunyai banyak harta melainkan karena kita mulai merasa asing dengan kondisi hidup yang sederhana.  Kita tidak lagi merasa nyaman bahkan malu kalau berhadapan dengan kenyataan kesederhanaan.  Kita merasa tidak nyaman, sedikit malu kalau di rumah belum ada telepon, TV, sepeda motor dll.  Kita merasa malu kalau harus berjalan kaki.  Kita merasa malu kalau di tempat pesta duduk paling belakang.  Di Bus mendapat sit atau tempat duduk paling belakang.  Perasaan-perasaan seperti ini, sesungguhnya merupakan sebuah informasi atau menjadi indikator bahwa kita sudah tidak merasa diri sebagai orang kecil, sebagai orang biasa, dan orang sederhana lagi.  Dengan berkata seperti ini tidak berarti sama dengan mengatakan bahwa kita tidak perlu memiliki TV, Sepeda Motor, Mobil dll.  Barang-barang itu perlu dan mungkin juga penting.  Dengan memiliki semuanya itu belum berarti kita tidak menghayati kesederhanaan.  Hal yang ingin digarisbawahi di sini sesungguhnya adalah sikap kita terhadap barang-barang tersebut.  Kalau kita merasa tidak aman, malu, asing, karena belum memiliki barang kebutuhan sekunder (mewah) tersebut dan dalam hati memprotes kondisi keterbatasaan yang kita hadapi, itu berarti kita tidak sederhana lagi.
Kiranya kita mau belajar dari St. Yusuf yang selalu dan tetap merasa happy dengan pilihan yang mungkin bahkan pasti tidak diperebutkan oleh kebanyakan orang yakni menjadi sederhana dalam kebesarannya sebagai turunan Daud.  Kita belajar untuk senantiasa happy dengan pilihan kita yakni menghayati hidup sederhana dalam kemewahan dan 'keluksan' dunia.  Kita mesti yakin bahwa kebahagian hidup bukan bergantung pada sesuatu yang berada di luar diri kita, melainkan terletak pada disposisi batin kita terhadap sesuatu yang kita alami ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang ada di luar diri kita.

St. Yusuf Memiliki Keterampilan Khusus.
Hal kedua yang yang mau kita pelajari dari St. Yusuf yakni berkaitan dengan profesi St. Yusuf.  Ia adalah seorang tukang kayu.  Ketika menikah dengan Maria dan dipanggil Tuhan untuk menjadi orang tua Yesus, Yusuf sudah mempunyai keterampilan khusus. Dengan berbekalkan keterampilan tersebut St.Yusuf bisa menghidupi dirinya dan keluarga Nasaret. Bakat atau ketrampilan, juga menjadi teman hidupnya untuk mengusir sepi.  Hari-harinya terisi menjadi suatu kesempatan untuk mengekpresikan bakat.  Sebagai tukang kayu Yusuf sudah tentu memiliki kualifikasi yang secara kualitas dapat diteladani seperti: sikap dan cara kerja  yang teliti, tekun, bernuansa seni, sabar, sedikit bicara banyak bekerja (kualitas terakhir ini sangat jelas dalam kitab suci).
Merenungkan profesi St. Yusuf sebagai tukang kayu yang berbakat, menghantar kita pada pertanyaan reflektif berikut:"Apa keterampilan kita, saya ketika dipanggil?  Adakah sesuatu atau bakat atau hobi yang kita miliki untuk menjadi teman dalam kesendirian yang membuat kita betah dengan diri sendiri?  Adakah sesuatu atau bakat yang kita miliki agar bisa kita abdikan untuk sesama atau untuk kelangsungan tarekat?  Pangglian untuk hidup sendiri menuntut adanya hobi atau ketrampilan pribadi sebagai teman dalam kesendirian. (Ada begitu banyak kesulitan yang muncul dalam menjawabi panggilan - hemat saya - terutama muncul karena kita tidak tahu mengisi waktu, kita tidak punya hobi atau minat yang menjadi teman dalam kesendirian kita.  Membaca bukan hobi, menulis tidak bisa; menjahit tidak bisa, menyulam tidak tahu, dst.  Selanjutnya kita pasti tahu sendiri, pikiran pasti dan dijamin untuk terus mengembara, kadang-kadang menggerakkan langkah ke tempat yang penuh risiko).
Apa pun bakat atau ketrampilan yang kita miliki senantiasa mengandaikan kualitas berikut; teliti, tekun, sabar, sedikit omong, banyak berbuat.  Kita belajar dari St.Yusuf yang betah melakukan sesuatu dari pada bicara sesuatu apalagi bicara tentang orang lain.

Sikap Yusuf terhadap Sesama

St Yusuf seorang pribadi yang penuh respek atau hormat terhadap yang lain. Ia hidup di dalam kebudayaan patriarka.  Dalam kebudayaan yang demikian perempuan dianggap manusia kelas dua. Kebudayan Yahudi sebenarnya telah mengkondisikan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan.  Namun Yusuf yang dibesarkan dalam kebudayaan yang demikian justru berlaku sebaliknya, berlawanan dengan kecenderungan umum. Ia justru menaruh respek yang sangat besar terhadap perempuan.  Meskipun ada cukup alasan baginya untuk merendahkan perempuan yang ia cintai, namun hal itu tidak ia lakukan. Ia malahan berusaha untuk meninggalkan Maria tunangannya yang hamil secara diam-diam. Ia ingin merahasiakan aib Maria, untuk mengamankan nama baik Maria.  Padahal sepintas apa yang terjadi dalam diri Maria secara manusiawi telah mengecewakan dirinya.  Yusuf tetap bersikap rasional dan sanggup berpikir positip tentang orang lain. Juga pada saat dia sedang dikecewakan. Ia masih bisa menghormati yang lain, pada saat dia dilukai.  Pada saat dia dikecewakan oleh sesama, dia tidak membalas dendam, dia tidak menjadikan aib atau kekurangan sesama sebagai objek cercaan untuk melampiaskan kemarahan terhadap sesama.  Yusuf siap mengorbankan perasaannya, demi nama baik orang yang dia cintai.  Satu pertanyaan reflektif yang perlu kita renungkan bersama yakni, "Mampukah kita berpikir positip tentang sesama yang mengecewakan kita dalam hidup ini?  Mampukah kita merahasiakan aib atau kekurangan sesama, demi menjaga nama baik dan cinta akan sesama?  Apakah kita setia pada komitmen kita untuk menghormati yang lain?

Yusuf Seorang Religius.
Ada beberapa kenyataan yang menjadi bukti bagi kita untuk menempatkan Yusuf ini ke dalam kategori manusia religius yakni: pertama, ia percaya, seperti kebanyakan orang Yahudi bahwa Allah menyatakan dirinya melalui mimpi (Mat 1,20;2,13) Dengan penuh ketaatan ia mengikuti seluruh perintah Malaikat dalam mimpi (Mat. 1,24; 2,19); Kedua, ia mempersembahkan Yesus di bait Allah (Luk.2:22). Yang kelihatan di sini adalah kesadaran Yusuf akan ketidakberdayaannya membimbing Yesus.  Sekaligus pengakuannya yang tulus bahwa anaknya adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepadanya selaku orang tua.  Ia mau mendidik anaknya bersama Tuhan.  Ketiga, ia bersama Maria dan Yesus menghadiri pesta paska di Yerusalem, meski harus menempuh perjalanan jauh (Luk.2:41). Yusuf disebut seorang yang religius terutama karena cara hidupnya yang saleh.
Kita ini disebut kaum religius karena status khusus yang kita miliki.  Namun, ketika cara hidup kita tidak memberikan arti yang penuh pada status kita, maka religiositas kita hanyalah sebatas label. Yang religius bukan kita tetapi status kita.  Sekarang tinggal pilih apa yang mau kita utamakan kulit atau isi; label atau isi.  Kiranya orang mengenal kita sebagai kaum religius bukan terutama karena status atau pakaian atau aksesoris yang kita pakai, melainkan terutama karena cara hidup kita yang baik.  Semoga cara hidup kita menjadi tanda pengenal kemuridan kita. Semoga cara hidup kita menjadi tanda pengenal bahwa kita adalah kaum religius. Saya percaya berkat doa dan teladan  St. Yusuf kita sanggup untuk mewujudkan semua harapan ini. Selamat berpesta. Santu Yusuf doakanlah kami semua…

No comments:

Post a Comment