Menolong di
mana Tidak Ada
yang Tolong
dalam
Semangat Kemiskinan
A.
Pengantar: Suatu Gugatan Awal
Hampir sebulan lalu suster Muder komunitas Santa
Klara mendatangi saya. Beliau meminta saya untuk memberikan bahan rekoleksi
bagi para suster lintas komunitas. Waktu itu saya bertanya kepada beliau. Siapa
yang menentukan bahwa saya yang harus memberikan rekoleksi seperti ini? Dengan
lantang tanpa ragu suster Yakoba menantang saya dengan berkata: ini kesepakatan
kami bersama untuk beberapa komunitas. Mendengar jawaban itu saya lalu agak
takut karena harus berhadapan dengan begitu banyak orang. Saya takut bukan karena
para susternya serem-serem. Bukan juga karena susternya galak-galak. Yang saya
tahu para suster itu semuanya gelak-gelak alias suka tertawa dan selalu happy.
Saya yakin bahwa para suster SMSJ itu punya prinsip: No days without sweet
smilling for the others (tidak ada hari tanpa senyuman manis untuk siapa
saja). Lalu apa dasar ketakutan saya? Saya hanya takut karena ada begitu banyak
pesertanya, tentu dengan begitu banyak harapannya. Dan saya sadar akan
keterbatasan saya. Muncul pertanyaan dalam diri saya: mampukah saya memenuhi
harapan para suster sebanyak ini? Mampukah saya membahasakan dan
mengoperasionalkan, menjabarkan tema rekoleksi ini menjadi sebuah ajakan yang
menggugah semangat refleksi dan memacu daya kritis para suster?
Sebelum kita berangkat lebih jauh menelusuri
rimba permenungan ini, izinkan saya untuk menyampaikan satu gugatan awal
berkaitan dengan tema yang diberikan kepada saya. Ini bukan kritik terhadap
mereka yang merumuskan tema rekoleksi ini, tetapi sebuah catatan kecil dan
kritis sekadar menggugat kesadaran kita.
Terus terang sudah lama tema ini dituliskan pada papan/white board
di kamar saya. Setiap hari saya membaca kalimat yang menjadi tema rekoleksi
ini, tetapi saya sulit menemukan gagasan yang cukup inspiratif untuk
memulainya. Saya sendiri merasa kesulitan menghadapi rumusan tema itu. Apalagi
kalau saya membaca tema itu sebelum saya ke kelas untuk menjelaskan kalimat
yang baik dan benar kepada para siswa saya. Kalimat yang menjadi tema rekoleksi
ini kalau dikaitkan dengan pengelompokkan kalimat berdasarkan kelengkapan
unsurnya, maka tema rekoleksi kita ini menggunakan kalimat bahasa Indonesia
yang tidak lengkap. Kalimat “menolong di mana tidak ada yang tolong dalam
semangat kemiskinan” adalah kalimat yang hanya terdiri dari predikat dan
keterangan. Menolong adalah predikatnya sedangkan sisanya hanyalah keterangan.
Tidak jelas siapa yang menolong? Tidak jelas siapa yang ditolong? Menurut
kaidah berbahasa, kalimat yang baik dan lengkap harus memiliki unsur subjek, predikat, objek dan keterangan.
Subjek penting untuk mengetahui siapa yang menolong. Objek penting juga untuk
mengetahui siapa yang ditolong. Oleh karena itu, kalau mau supaya refkleksi
kita ini sampai pada titik sasarnya maka temanya harus kita rumuskan dalam
bentuk baru berupa pertanyaan: Siapa menolong siapa, di mana tidak ada yang
menolong dalam semangat kemiskinan. Siapa menjadi subjek dan siapa menjadi
objek merupakan variabel bebas artinya dapat diisi oleh setiap kita yang
mengikuti rekoleksi bersama ini. Kalau rumusan tema baru ini kita sepakati
barulah kita berusaha mendalami tema ini secara lebih tepat. Tentu harapannya
agar kita mendapatkan sesuatu dari kegiatan rekoleksi ini.
Menjabarkan tema tentang siapa menolong siapa
seperti ini, memerlukan pendasaran yang memadai. Oleh karena itu, saya
mendasarkan keseluruhan permenungan kita dalam rekoleksi ini pada teks injil
Mrk.4,35-41 (Catatan teksnya dibaca bersama-sama).
Versi Refleksi (kata KAMI
menggantikan kata Mereka dalam teks asli)
Angin Ribut Diredahkan Mrk.4,35-41
35Pada
waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada KAMI: “Marilah kita
bertolak ke seberang”. 36 KAMI meninggalkan orang banyak itu
lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan KAMI dalam perahu di mana
Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 37Lalu
mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam
perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. 38Pada waktu itu
Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam.
Maka KAMI membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru,
Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" 39Iapun bangun,
menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan
danau itu menjadi teduh sekali. 40Lalu Ia berkata kepada KAMI:
"Mengapa kamu begitu takut? Mengapa
kamu tidak percaya?" 41KAMI menjadi sangat takut dan
berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga
angin dan danau pun taat kepada-Nya?"
B. Renungan/Refleksi: Penjelasan tentang tema
Kita sudah membuat perubahan terhadap rumusan
tema rekoleksi menjadi: Siapa menolong siapa di mana tidak ada yang menolong
dalam semangat kemiskinan. Tema baru ini memaksa kita untuk memaknai dan
merenungkan setiap kata pembentuk tema itu sebagai pokok permenungan kita.
Kemudian langkah berikutnya adalah melihat keseluruhan pemaknaan kata-kata itu
dalam hubungannya dengan apa yang dibahasakan penginjil Markus yang menjadi
teks kunci dalam refleksi kita bersama.
(1)
Menolong: Komunikasi kehidupan
Kata menolong biasanya disejajarkan dengan kata
membantu. Dua kata itu maknanya hampir sama tetapi sebenarnya mempunyai makna
yang amat berbeda. Orang yang suka menolong biasa disebut penolong dan orang
yang suka membantu biasanya disebut pembantu. Antara kata penolong dan pembantu
sering orang sulit membedakannya secara tepat. Sebenarnya, kalau mau melihat
perbedaan dua kata itu, kita cukup melihat dampak dari tindakan itu. Seorang
yang membantu dan disebut pembantu biasanya melakukan sesuatu untuk mendapatkan
sesuatu. Pembantu pasti dan harus diberi imbalan entah sekecil apapun imbalan
itu. Membantu, pembantu adalah tindakan memberi (barang atau jasa) dengan
harapan mendapat imbalan atau upah. Lain halnya dengan kata menolong dan
seorang penolong. Menolong untuk seorang penolong berarti juga tindakan memberi
(barang atau jasa) hanya saja tindakan memberi itu bebas atau tanpa harapan
mendapat imbalan atau upah balikannya.
Dalam pengalaman hidup yang konkret kita manusia
lebih banyak berniat baik untuk membantu bukan berniat baik untuk menolong.
Manusia dan kita pada umumnya dilengkapi keinginan untuk membantu dan mau
menjadi pembantu. Jarang kita mau menunjukkan kemampuan kita untuk menolong
sehingga menjadi penolong. Manusia, dan mungkin juga termasuk kita semua, hanya
bermental pembantu-pembantu dan bukannya bermental penolong-penolong. Kalau
kita melakukan sesuatu supaya kita mendapat sesuatu baik berupa barang material
maupun berupa pujian dan komentar, maka yang kita lakukan itu merupakan
ekspresi semangat kita sebagai pembantu. Tetapi kalau kita melakukan sesuatu
tanpa beban atau bebas dari harapan untuk mendaptkan sesuatu maka di sana kita
sungguh mau menjadi penolong. Dalam praktiknya kita justru berbuat terbalik.
Kita mengatakan kita mau menolong tetapi yang terjadi justru kita hanya mau
membantu. Kita ingin menjadi penolong tetapi yang kita lakukan kita menjadi
pembantu. Ya, mungkin hal ini terjadi karena kita kurang menyadari bahwa antara
kata menolong dan membantu itu terdapat muatan makna yang sangat berbeda. Kita
sering mencampuradukkan dua hal itu sehingga apa yang kita lakukan
kadang-kadang tidak sampai pada sasaran yang sesungguhnya. Sampai di sini
paling kurang kita sudah bisa membedakan, mengelompokkan semua kegiatan dan
aktivitas kita itu apakah termasuk kegiatan membantu ataukah kegiatan menolong.
Kita juga sudah tahu konsekuensi pemakaian masing-masing kata itu. Menolong itu
adalah tindakan yang sifatnya lebih spontan dibandingkan dengan tindakan
membantu. Menolong bersifat spontan karena memang ia bebas dari beban menuntut
untuk mendapatkan sesuatu. Menolong itu lebih dekat artinya dengan pelayanan
sedangkan membantu itu lebih dekat artinya dengan pekerjaan. Kalau menolong itu
sejenis pelayanan maka jelas kita tahu bahwa kita tidak perlu dan tidak harus
mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Lain halnya membantu sebagai suatu
pekerjaan meskipu orang tidak menyatakannya dengan eksplisit tetapi tetap ada
harapan untuk mendapatkan sesuatu.
Idealnya kehidupan yang bermakna itu adalah
kehidupan yang ditandai dengan adanya gerakan untuk menolong dan bukan sekadar
hidup untuk membantu. Panggilan hidup manusia yang paling ideal jelas panggilan
untuk menolong sebagai pelayanan bukan untuk membantu sebagai pekerjaan. Sikap
kita untuk memilih antara menolong atau membantu itu sangat dipengaruhi oleh
siapa kita dan kita sedang berhadapan dengan siapa. Karena itu, kata kedua yang
harus kita uraikan berupa pertanyaan Siapa yang harus menolong? Dalam konteks
rekoleksi seperti ini, tentu kita sepakat untuk menentukan bahwa diri kita
sendirilah yang harus menolong. Kita semua, Anda dan saya harus menjadi
penolong itu. Mengapa? Karena tindakan menolong itu merupakan bentuk komunikasi
kehidupan.
(2) Saya sebagai Subjek: The Man in Action
Menentukan diri sendiri untuk menolong berarti
mau menjadikan diri sendiri sebagai aktor yang hendak melakukan sesuatu. Aktor
mengandaikan aksi, tindakan, aktivitas, kreativitas. Panggilan dan komitmen
kita pribadi untuk menolong hanya baru bermakna untuk diri kita dan untuk orang
lain kalau komitmen itu dibahasakan dalam tindakan. Artinya gagasan dan niat
kita untuk menolong itu harus berbuah dalam tindakan. Menolong sebagai bentuk
pelayanan terhadap orang lain berarti kerelaan kita untuk secara aktif dan
kreatif meninggalkan diri kita dengan segala kepentingannya untuk secara lebih
intensif melibatkan diri pada kebutuhan dan kepentingan orang lain yang hendak
kita tolong. Diri kita yang menjadi aku yang berperan sebagai subjek artinya
aku mau menjadi manusia yang ada selalu dalam tindakan (the man in action). Gerakan menolong orang lain pada dasarnya
merupakan gerakan meninggalan diri sendiri dengan segala atribut dan
kepentingannya. Itu juga berarti kita menempatkan diri kita lebih rendah dari
orang yang hendak kita tolong. Itu juga berarti kita menyadari bahwa orang lain
lebih penting dari diri kita sendiri. Dalam konteks seperti ini, usaha menolong
orang lain itu sebenarnya merupakan satu cara kita membahasakan kerendahan hati
kita. Kita semua sadar bahwa menolong orang itu merupakan tindakan yang sangat
mulia di mata orang lain. Tetapi, untuk kita yang bertindak sebagai subjek atau
yang harus melakukannya, usaha menolong itu membutuhkan pengorbanan dari pihak
kita. Menolong orang lain artinya kerelaan untuk membiarkan orang lain lebih
baik. Menolong artinya berusaha mengubah
suatu kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih baik.
(3) Dia, Mereka adalah Saudara yang Harus Saya
Tolong
Kualitas atau mutu pertolongan yang saya lakukan
sangat bervariasi bergantung sasarannya. Untuk siapa dan kepada siapa saya
memberikan pertolongan turut menentukan mutu dan model pertolongan yang kita
berikan. Karena itu, sebelum kita melakukan tindakan menolong, pertama kita
harus mampu menentukan sasarannya. Dalam konteks pangggilan kita yang sifatnya
universal dan terbuka maka jelas sasaran tindakan menolong yang kita lakukan
itu ditujukan dan terbuka untuk semua orang. Semangat dan keinginan untuk
memberikan pertolongan itu hendaknya bercorak inklusif artinya tidak dibatasi
oleh pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menolong dalam artinya yang penuh juga
berarti melakukannya dalam ketidakterbatasan sasaran.
Menolong itu memang idealnya terbuka untuk semua
orang, tetapi keterbatasan selalu membenarkan manusia untuk menolong secara selektif berkaitan dengan pertanyaan siapa yang harus
ditolong. Dalam konteks orang terpanggil, dengan mudah kita menjawab bahwa
orang yang harus kita tolong adalah mereka yang memang memerlukan pertolongan
kita. Dalam pengertian yang lebih konkret pada konteks kehidupan berkomunitas,
bertarekat orang pertama yang harus kita tolong adalah sama saudara kita yang
memang mengalami kesulitan. Tidak terbayangkan bahwa kehidupan bersama dalam
satu komunitas apalagi dalam satu tarekat bebas dari kesulitan. Variasi tipe
dan corak kepribadian yang membentuk suatu persekutuan sudah dengan sendirinya
menuntut kemampuan kita untuk melihat segala macam masalah dan bahkan harus
membentur dengan segala masalah. Benturan yang kita hadapi dalam aneka
bentuknya bisa saja membuat kita tidak berdaya. Membuat kita seperti bebek
penyakitan yang berjalan terseok-seok.
Sehebat apa pun kita, kita masihlah manusia.
Belum menyerupai malaikat. Itu artinya kita masih bermasalah dan menuntut
pertolongan orang lain. Konsep persaudaraan atau persaudarian mengharuskan kita
untuk menolong saudara kita yang memang dilanda kesulitan dalam hidup panggilan
dan perjuangan. Saudara kita haruslah menjadi sasaran atau target tindakan
menolong yang hendak kita lakukan. Kita harus menolong mulai dari diri kita
sendiri, sesama saudara kita sebelum kita menolong dalam konteks yang lebih
luas.
(4) Pertolonganku Selalu yang Pertama
Tema rekoleksi kita ini memuat satu kelompok
kata berbunyi ‘menolong di mana tidak ada yang tolong’. Ungkapan menolong di
mana tidak ada yang tolong berarti kita tahu tempatnya kita melakukan
pertolongan setelah kita tahu saudara kita yang perlu ditolong. Ungkapan
menolong di mana tidak ada yang menolong juga berarti kita memposisikan diri
kita pada urutan atau menjadi orang terakhir dalam tindakan menolong. Ungkapan
itu berarti kita baru mau menolong saudara kita kalau memang orang lain sudah
tidak dapat menolongnya. Itu juga berarti kita membiarkan saudara kita berjuang
sendiri sampai bibir kering dan kerongkongan tersumbat beban masalah baru kita
mengambil langkah pertolongan. Menolong sesama saudara menunggu sampai tidak
ada orang lain lagi yang menolongnya adalah sikap yang berlawanan dengan
persaudaraan itu sendiri. Komitmen kita untuk menjadi penolong bagi sesama
saudara artinya kita menempatkan diri, memposisikan diri sebagai orang pertama
atau tokoh kunci (key person). Kalau kita baru mau menolong sesama
saudara hanya karena tidak ada lagi yang menolong berarti kita melakukannya
bukan dalam kerelaan atas dasar spontanitas melainkan dalam keterpaksaan karena
situasi. Persudaraan dan tindakan menolong bernuansa persaudaraan bukanlah aksi momental, tindakan dadakan
sesaat karena keterpaksaan situasi. Persaudaraan itu tidak bisa dipenggal-penggal
menurut penggalan waktu, jam atau hari. Persaudaraan itu harus terjadi
sepanjang hidup bersama dan konsekuensinya pertolongan juga harus berlaku
sepanjang hidup kita. Bapak pendiri tarekat SMSJ punya resep perihal
diskontinuitas tindak menolong itu. Pengikut atau para suster SMSJ seharusnya
bebas dari segala masalah kalau saja mereka setia pada komitmen awal sang
pendiri. Pendiri tarekat punya visi dan misi yang jelas dalam hal menolong ini
ketika pendiri bertumpu pada sikap Tuhan yang menolong tanpa batas. Pendiri
tarekat yakin bahwa Allah tidak memenggal pertolongan-Nya untuk manusia dalam
pembagian waktu. Ini jelas dari kata-katanya yang perlu direnungkan oleh para
suster. Ia pernah berkata: Tuhan sudah menolong, Tuhan kini menolong, dan Tuhan
akan terus menolong. Ungkapan ini bukanlah permainan kata semata penyedap
telinga kita. Ungkapan ini merupakan pengendapan atau sedimentasi dari
pengalaman pendiri sebagai orang yang dicintai Allah. Ia yakin cinta dan
pertolongan Tuhan terhadap segala masalah yang ia hadapi tidak putus-putusnya.
Tiga dimensni waktu atau tridimensi temporal (masa lalu, masa kini, dan masa
depan) adalah gambaran perjalanan panggilan manusia untuk selalu menolong tanpa
batas waktu. Bukan menolong hanya dalam situasi darurat. Pendiri tarekat yakin
bahwa Tuhan menolong purna waktu, bukan penolong darurat. Itu artinya, para
pengikutnya juga harus mampu menolong sesamanya dalam segala situasi sepanjang
hidup. Bukan bermental menolong gaya pemberi obat penenang atau bertindak
sebagai petugas P3K yang memberikan pertolongan bersifat sesaat dan untuk
sementara. Kalau kita mau menolong hanya menunggu orang lain tidak lagi mampu
menolong sesama saudara kita dalam komunitas atau dalam tarekat itu artinya
kita hidup hanya sebagai tenaga darurat dan petugas P3K yang berfungsi pada waktu
tertentu saja. Maukah kita hanya berperan sebagai tenaga P3K bagi saudara kita
yang tertindih reruntuhan masalah dalam kehidupan dan dalam panggilannya? Tidak
ada yang menolong adalah suatu kondisi persaudaraan yang menuntut kita bukan
saja untuk menjadi the man in action (manusia yang mau menolong) tetapi
lebih dari itu menjadi The first man in action (manusia pertama yang
melakukan) tindakan menolong itu.
(5) Kemiskinan Suatu Semangat BUKAN Takaran
Material
Tindakan menolong sesama biasanya orang langsung
membayangkan segala hal secara material. Menolong orang miskin membuat orang
membanyangkan sejumlah uang dan sejumlah barang yang harus diberikan. Menolong
orang lapar membuat orang membayangkan adanya raskin alias beras miskin. Dalam
pengertian biasa, kekurangan itu, kesulitan itu selalu dikaitkan dengan hal
material. Persaudaraan/persaudarian itu tidak memiliki standar harga.
Persaudaraan bukanlah semangkok bakso yang bisa dibeli dengan seribu perak.
Persaduaran itu bukanlah manisan nano-nano yang dijual di kios sekadar penina
bobo si kecil. Persaudaraan itu bukanlah sebiji kompiang teman secangkir kopi
selepas senja di sebuah biara. Persaudaraan itu bukan buah pepaya yang dapat
dibeli di pasar atau di petik dari halaman rumah tetangga. Persaudaraan itu
bukanlah bubur kacang hijau yang bisa dinikmati selepas lelah. Persaudaran itu
tidak dapat ditakar secara material. Persaudaraan itu hanyalah sebuah konsep
yang amat abstrak. Meskipun abstrak persaudaraan itu dituntut untuk ada sebagai
jiwa, semangat, roh, spirit dalam suatu kebersamaan. Persaudaran itu sama
abstraknya dengan kemiskinan. Tidak bisa di pegang tetapi hanya bisa dirasakan.
Kemiskinan dan persaudaraan itu memang tidak kelihatan tetapi dirasakan dan
amat diperlukan manusia. Kemiskinan dan persaudaraan sebagi semangat bagaikan
nafas kita sendiri. Tidak bisa kita pegang, tidak bisa kita ukur tetapi mutlak
kita perlukan. Tindakan atau aktivitas menolong sesama demi persaudaraan sama dengan tindakan
menyelamatkan nafas kehidupan kita. Menolong sesama dalam semangat kemiskinan
yang dipersyaratkan dalam tema rekoleksi ini berarti tindak menolong sesama
saudara itu jauh lebih penting daripada pemenuhan akan kebutuhan matrial.
Menolong sesama demi persaudaraan tidak mesti dan tidak harus diukur secara
material. Menolong dalam kemiskinan artinya menolong secara kejiwaan, secara
mental. Ucapan selamat yang jujur, pujian yang sederhana, perhatian yang kecil,
simpati yang lugas, empati yang tulus, dukungan yang menguatkan, dorongan yang
meneguhkan, senyuman yang menggembirakan, humor yang menggelikan bahkan yang
menggilakan atau menggalakan, tingkah laku yang sopan, senyuman yang manis,
sentuhan yang ramah, sapaan yang lembut, dll. adalah hal-hal nonmaterial. Tak
berwujud, tidak mengisi ruang dan tempat tertentu tetapi diperlukan dalam
hidup. Semua itu tidak perlu dibeli.
Bukan karena tidak dijual tetapi semata-mata karena memang mahal dan tidak
terbeli oleh konglomerat dari bangsa mana pun. Dalam usaha kita menolong sesama
saudara kita semua hal itu perlu dan penting. Menolong dalam kemiskinan artinya
kita menggeser pengertian bercorak material dengan pengertian yang bercorak
spiritual. Tubuh kita adalah barang material itu. Nafas kita adalah barang
nonmaterial itu. Tubuh hanya bernilai sejauh nafas masih mendukungnya. Tubuh
selepas nafas meninggalkannya hanyalah sebongkah daging santapan cacing dan
ulat tanah. Menolong sesama saudara artinya kita memprioritaskan semangat yang
bersentuhan dengan dimensi kejiwaan daripada kepentingan material. Di sini dan
dengan cara seperti inilah konsep menolong dalam kemiskinan itu mendapat
aktualitas dan relevansinya yang pas atau cocok.
Itulah beberapa pengertian yang kita pakai
sebagai tema rekoleksi kita hari ini. Beberapa pengertian yang telah dijelaskan
tadi akan kita gunakan untuk memperdalam proses refleksi dan permenungan
tentang panggilan tugas kita untuk menolong sesama, orang lain tanpa batas
waktu, tanpa batas situasi, tanpa batas sasarannya.
C. Menolong dalam Terang Markus 4,35-41
Untuk itu kita
melihat konteks panggilan menolong itu dalam terang sabda Tuhan sendiri.
Kita melihat dalam terang perikope injil Markus 4,35-41 tadi. Injil tadi memuat
beberapa hal penting yang perlu kita renungkan dalam kaitannya dengan tema
menolong ini. Teks tadi mengisahkan perjalanan hidup manusia secara utuh dengan
segala suka dan dukanya. Teks ini sungguh menarik untuk kita renungkan karena
berpautan dengan kisah perjalanan panggilan kita. Hidup kita bagaikan kisah
perjalanan atau kisah pelayaran. Hidup kita bukan perjalanan atau pelayaran
biasa tetapi sebuah perjalanan atau pelayaran berdimensi keselamatan. Hidup dan
panggilan kita adalah perjalanan dan
pelayaran berdimensi teleologis artinya diarahkan pada suatu kondisi kehidupan
menuju masa yang akan datang. Saya
mengajak kita semua untuk mencermati pesan pokok injil tadi untuk kita. Untuk
itu saya memenggal teks tadi ke dalam beberap bagia yang bisa dijadikan pokok
dan butir-butir permenungan kita. Ada beberapa butir permenungan yang perlu
kita pertimbangkan bagi perjalanan panggilan hidup kita.
(1) Hidupku dalam ajakan Tuhan:
Pada waktu itu hari sudah petang Yesus berkata
kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang”. Bunyi ayat ini setelah kita
ubah ke dalam versi rekoleksi menjadi Pada waktu itu hari sudah petang Yesus
berkata kepada Kami: “Marilah kita bertolak ke seberang”. Ayat ini secara
sangat jelas menggambarkan kepada kita tentang hakikat hidup kita selalu berada
dalam kondisi ajakan Tuhan. Tuhan mengajak kita untuk segera berjalan bersama
Dia. Tuhan mengajak kita berjalan bersama dia pada hari menjelang petang. Pada
saat kondisi kehidupan mulai redup dan terancam kegelapan malam Yesus datang
dan mengajak kita dengan suara yang kian simpatik. Marilah kita berangkat ke
seberang. Yesus tidak mau membiarkan kita tetap berada di satu tempat dengan
ancaman kegelapan hidup. Yesus mengajak kita meninggalkan tempat lama dengan
situasinya ke suatu tempat baru dengan situasinya yang baru pula. Gambaran
tentang seting waktu petang hari adalah gambaran kekalutan hidup yang bakal
dialami para murid atau pengikut Yesus. Situasi petang hari adalah gambaran
ancaman dan masalah kehidupan yang seharusnya dan secepatnya diselamatkan.
Ajakan Yesus untuk para murid dan untuk kita adalah ajakan karena terdorong
oleh kehendak untuk menolong. Para murid, manusia, kita sering juga ingin tetap
berada di satu tempat meskipun kita tahu bahwa tempat itu tidak aman lagi.
Hidup dan berada di satu tempat pada petang hari adalah simbol kehidupan yang
tertindih dalam reruntuhan masalah. Ajakan Yesus adalah panggilan untuk kita
bersama dan untuk kita pribadi.
(2) Berangkat ke Seberang: Orientasi Pembebasan
dan Keselamatan
Ajakan Yesus untuk melepaskan tempat lama pada
petang hari dan berpindah ke tempat lain adalah ajakan untuk mendapatkan
pembebasan. Yesus mengajak karena Ia yakin bhawa di tempat yang baru, di
seberang orang akan mengalami kehidupan secara baru. Ajakan Yesus adalah ajakan yang memiliki prospek yang cerah.
Meskipun demikian ajakan seperti itu bukannya tanpa risiko. Yesus mengajak ke
seberang disamping sebagai ajakan tetapi juga menjadi suatu tantangan yang
menguji keberanian para murid. Berpindah ke seberang artinya orang harus menerima
risiko basah, tenggelam, minum air laut karena harus melalui laut. Menyeberang
adalah bahasa atau simbol suatu perjuangan yang menguji daya tahan dan daya
juang seseorang. Hidup dan panggilan orang beriman, hidup dan panggilan kita
adalah hidup dan panggilan untuk
menyeberangi lautan tantangan. Untuk dapat sampai ke seberang dibutuhkan
kekuatan ekstra, dibutuhkan keberanian dan mental baja. Kalau tidak mau basah
dan tenggelam kita mau tidak mau harus mempunyai kiat-kiat khusus untuk itu.
Ajakan untuk berpindah ke seberang lautan dengan
mengandalkan sebuah perahu kecil sungguh merupakan satu pilihan berani mati.
Bukan tidak mungkin banyak orang menolak untuk menyeberang. Bukan tidak mungkin
mereka yang berjiwa kecil akan lebih suka memilih bertahan di tempat tidak mau beranjak ke seberang. Lautan adalah
gambaran kesulitan yang perjuangan hidup kita. Ketika kita menjadi orang yang
berjiwa kerdil dan tidak mau ikut menyeberang, kita membutuhkan pertolongan dan
bantuan orang lain. Ketika kita menjadi orang yang minder karena kurang percaya
diri kita membutuhkan kehadiran sesama kita untuk menolong kita keluar dari
perasaan seperti itu. Pelbagai masalah dalam panggilan hidup kita pribadi
bagaikan lautan yang siap menenggelamkan kita. Pada saat seperti itu kita
membutuhkan saudara yang hadir sebagai Yesus dengan ajakan simpatiknya ingin
berjalan bersama kita ke seberang lautan. Di kala kita pribadi terancam badai
lautan masalah kita membutuhkan Yesus. Dan ketika banyak orang menghadapi
tantangan dalam hidup mereka kita sebagai pengikut Kristus ditantang untuk
bertindak seperti Yesus yang mau menolong.
(3) Ke Seberang artinya Saya meninggalkan
sesuatu di sini:
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah
pengalaman yang biasa. Para murid dan pengikut Yesus juga berpindah dari satu
tempat ke tempat lainnya. Perpindahan seperti biasanya ada risiko bahwa ada
yang harus ditinggalkan di tempat yang lama. Ada orang yang harus ditinggalkan.
Ada kenangan yang harus dilepaskan. Ada
barang yang juga dibiarkan di tempat. Kecuali kalau orang mau menerapkan sistem
bumi hangus artinya segala dibawa ke tempat yang baru. Itu juga bukan tanpa risiko. Membawa segala hal
menyeberangi lautan adalah tindakan berani mati. Mmbawa terlalu banyak orang ke
dalam sebuah perahu kecil untuk berpindah tempat juga merupakan tindakan bunuh
diri. Injil tadi menegaskan kepada kita bahwa pilihan para murid untuk
mengikuti ajakan Yesus ke seberang membawa akibat ada begitu banyak orang yang
harus mereka tinggalkan. Jika tidak mereka akan mengalami kesulitan. Muatan
perahu terlampau sarat dan bakal tenggelam. Kerelaan untuk meninggalkan banyak
hal sebelum ke tempat yang baru merupakan salah bentuk atau cara kita untuk
menolong diri kita sendiri. Kalau mau membawa segalanya itu sama artinya kita tidak
menolong diri sendiri dan mencari masalah untuk diri kita sendiri. Orang yang
waras tidak akan mau merepotkan dirinya sendiri dengan segala hal yang tidak
terlalu perlu.
Dalam arti dan konteks tertentu kita semua telah
mengikuti ajakan Tuhan untuk berangkat ke seberang mencari pembebasan dan
keselamatan itu. Itulah sebabnya kita telah meninggalkan banyak hal. Kita
meninggalkan kampung halaman kita. Kita meninggalkan sanak saudara kita. Kita
meninggalkan orang-orang yang kita cintai. Kita meninggalkan segala hal yang
menyenangkan kita. Mengapa kita meninggalkan semuanya itu? Jawabannya karena
kita mau selamat untuk tiba di seberang bersama Yesus yang mengajak dan
memanggil kita dari kegelapan hidup kita di tempat kita yang pertama.
Pertanyaan yang harus dan mesti terus kita renungan adalah ini: apakah saya
sungguh meninggalkan semuanya sehingga saya berjalan atau berlayar tanpa beban
yang menindih hidup saya saat ke seberang? Mampukah kita menolong diri kita
sendiri dan menolong sesama saudara kita dengan meninggalkan segala hal yang
membenani hidup kita dan hidup sesama kita?
(4) Bukan Yesus membawa saya tetapi Saya membawa Yesus.
Ajakan untuk ke seberang dan meninggalkan orang
banyak itu inisiatif awalnya datang dari Yesus sendiri. Bukan rencana para murid
dan pengikut Yesus. Para murid memberikan tanggapan postif terhadap ajakan
Yesus. Di sini kita tahu persis bahwa yang aktif adalah Yesus. Yesus mangajak
mereka. Yesus sebagai subjek aktif. Para murid diajak. Mereka berlaku sebagai
objek pasif. Tetapi kalau kita membaca secara teliti ayat 36 tadi kita akan
terkejut karena terjadi pembalikkan peran atau lebih tepat terjadi pertukaran
peran antara Yesus yang mengajak dengan para murid yang diajak. Semula Yesus
yang aktif kemudian bertukar peran Yesus menjadi pasif karena yang berperan
membawa Yesus justru para murid. Kita membaca kalimat berbunyi: Mereka
meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan
mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai
Dia. Kalau mau konsisten dengan awal kisah maka kalimatnya harus berbunyi:
Yesus membawa mereka di dalam perahu. Kita tentu harus bertanya. Mengapa
terjadi pergantian peran seperti itu? Mengapa justru para murid kini yang
membawa Yesus dan bukan Yesus yang membawa mereka? Apakah penginjil tidak
membuat kekeliruan?
Pergantian peran seperti ini bukan menunjukkan
bahwa penginjil keliru. Pergantian dan pertukaran peran itu mempunyai arti dan
makna yang sangat mendalam untuk kita. Pergantian atau pertukran peran itu mau
menunjuukan kepada kita bahwa setiap tanggapan atau jawaban manusia terhadap
ajakan dan panggillan Tuhan membawa konsekuensi yang besar. Pada ayat awal kita
mendengar bahwa para murid itu mendengar dan mau mengikuti ajakan Yesus untuk bertolak
ke seberang. Meninggalkan kondisi tempat lama dengan segala situasinya.
Mengarungi dan menyeberangi lautan dengan risiko yang besar. Jawaban para murid
itu menuntut mereka untuk membuktikan bahwa memang mereka menaruh komitmen pada
apa yang mereka katakan. Bahwa mereka mau mengikuti ajakan Yesus untuk bertolak
keseberang, itu artinya mereka harus menerima konsekuensinya. Mereka harus
berubah dari sikap menunggu, mendengar secara pasif menjadi orang yang
melakukan sesutau, mengatakan sesuatu dan melakukan sesuatu secara aktif dan
kreatif. Semula mereka berjanji untuk mengikuti Yesus artinya mereka mau dibawa
Yesus. Begitu mereka menerima dan menjawab ya maka mereka harus menjadi orang
yang aktif membawa Yesus. Peran Yesus harus diambil alih. Yesus tidak mau repot
lagi karena manusia sudah menyatakan komitmennnya. Tak mengherankan kalau penginjil menggambarkan bah mereka atau para
murid membawa Yesus beserta mereka di dalam perahu mereka. Yesus mereka bawa bukan Yesus membawa mereka. Itulah
sebabnya Yesus duduk diam-diam dalam dan selama pelayaran menuju ke seberang
lautan itu.
Hingga di sini kita menjadi sadar bahwa jawaban
dan kesediaan manusia untuk menerima ajakan panggilan Yesus untuk menyertai Dia
pada akhirnya menuntut manusia untuk mengambil alih semua tugas yang sebelumnya
dilakukan Yesus. Dengan cara ini kita menjadi sadar akan panggilan kita.
Jawaban kita dan janji kita untuk dibawa Yesus pada akhirnya menuntut kita
untuk membawa Yesus itu dalam keseluruhan perjalanan dan pelayaran hidupan kita.
Saat kita dipanggil Tuhanmau membawa kita. Begitu kita menjawab Ya, saat itulah
kita harus menjadi pembawa Tuhan.
Mengikuti Tuhan atau kerelaan untuk dibawa Tuhan
ke mana saja jauh lebih gampang untuk kita karena kita hanya merelakan waktu
untuk mengikuti saja ke mana Ia hendak membawa kita. Tindakan dan sikap
mengikuti saja jauh lebih gampang dan semua orang bisa. Yang sulit bagi manusia
adalah mengambil alih atau bertukar peran dalam arti kita rela membawa Tuhan
dalam perjalanan kita. Artinya kita berjuang seperti Tuhan yang mempunyai
banyak pengikut yang mau mendengarkan karena tutur kata dan cara hidupnya yang
mengesankan dan patut diteladani. Mau menjadi pengikut Tuhan jauh lebih gampang
bagi kita daripada kalau kita harus berjuang agar banyak orang mengenal Tuhan
yang kita bawa dalam tutur kata dan cara hidup kita. Kalau kita jujur mungkin
saat ini kita boleh menilai diri kita bahwa kita mungkin lebih tepat sebagai
pengikut Tuhan dan bukan pembawa Tuhan dalam hidup kita.
Kalau kita jujur kita mungkin menjadi orang yang
pasif karena Tuhan yang membawa kita dan bukan menjadi orang yang aktif membawa
Tuhan dalam perahu kehidupan kita. Kita boleh bertanya secara kritis pada diri
kita. Apakah sampai saat ini saya berada di sini karena saya mau dan rela dibawa
Tuhan ataukah saya aberada di sini karena mau membawa Tuhan. Pertanyaan ini
memang tidak untuk dijawab tetapi untuk kita refeleksikan berkaitan dengan misi
dan tugas kita dalam tarekat kita. Konkretnya, apakah suster datang ke Flores
karena mau mengikuti Tuhan dan karena Tuhan yang membawa para suster ataukah
suster datang ke Flores ini untuk membawa Tuhan karena sudah berjanji untuk
membawa banyak orang kepada Tuhan?
(5). Angin dan badai bumbu kehidupanku
Mengikuti ajakan Tuhan, mengikuti suara panggilan
Tuhan, mau dibawa Tuhan atau mau membawa Tuhan dalam kehidupan dan dalam
panggilan tidak membebaskan kita dari masalah kehidupan kita. Selama kita
merasa diri masih manusia maka selama
itu pula badai masalah terus mengempur dan meluluh lantakan segala niat
baik dan rencana masa depan kita. Kita semua jelas tidak bisa mengendalikan
angin atau mengatur badai dan taufan yang menerpa perahu kehidupan kita. Angin
badai tidak dapat kita atur. Satu-satunya yang bisa dan mesti kita atur adalah
layar kehidupan kita. Badai terus bertiup kendang dan bisa datang dari berbagai
arah untuk menenggelamkan kita dalam pelayaran kehidupan kita di tengah samudra
luas dunia dengan segala suka dukanya. Sekali lagi angin badai terus menggempur
diri kita dalam bentuk masalah hidup yang kita jumpai. Yang kita lakukan dari
saat ke saat adalah memantau arah datanganya badai, memantau sumber datangnya
angin masalah sehingga dengan itu kita bisa menata, mengatur tinggi rendahnya
atau besar kecilnya, lebar-sempitnya bentangan layar perahu kehidupan kita.
Angin tidak dapat kita atur, tetapi layar harus kita atur. Masalah tidak dapat
kita atur tetapi cara hidup kita berhadapan dengan masalah dapat kita atur.
Kemampuan kita untuk mengatur layar kehidupan kita menentukan apakah badai berhasil
menenggelamkan kita atau malah justru membantu mempercepat lajunya pelayaran
kita sehingga secepatnya tiba di seberang.
Para murid yang semula mendengar ajakan dan
panggilan Yesus pada akhirnya membawa Yesus bersama mereka dalam pelayaran
mereka ke seberang lautan. Mereka menjadi orang yang aktif dan kreatif. Mereka
menjadi pembawa Yesus dalam perahu diri dan kehidupan mereka. Kita sendiri
mendengar kisah kurang menyenangkan perihal pelayaran mereka membawa Yesus.
Dalam pelayaran itu badai dan taufan menerpa perahu mereka. Air dan gelombang
laut mulai merembes masuk. Air dan gelombang laut mulai memenuhi haluan dan
buritan perahu mereka. Kepanikan menjadi pemandanganya mengacaukan arah
pelayaran mereka menuju seberang. Mereka kehilangan arah di tengah amukan
gelombang yang tidak kenal kompromi. Usaha kecil-kecilan mereka lakukan. Badai jelas tidak mau
dijinakkan hanya dengan mengandalkan usaha kecil-kecilan. Nafas mereka semua
tampaknya sudah di ujung hidung. Gambaran tentang tempat baru yang akan mereka
masuk lenyap dari pikiran mereka. Mereka semua hanya sibuk dengan diri sendiri
untuk menyelematkan diri dari amukan gelombang lautan. Di mana-mana mereka
sibuk. Siapa saja di sana sibuk. Kecuali seorang pemuda bernama Yesus. Dia
duduk dengan santainya menyaksikan kepanikan para murid yang terancam maut itu.
Reaksi dan tanggapan Yesus dingin-dingin saja.
Andaikan saat itu, kita semua menjadi penumpang
perahu itu mungkin kita harus ramai-ramai mengangkat Yesus itu buang ke laut
karena tingkat masa bodohnya yang begitu kental. Mengapa reaksi Yesus demikian
dinginnya dan tenag-saja ketika badai menerpa perahu yang membawa Dia? Sikap
Yesus yang demikian mau menunjukkan kepada para murid itu bahwa pilihan mereka
untuk mengikuti ajakan Tuhan membawa risiko diaduk dalam pusaran badai yang
dahsyat. Mereka berjuang cukup lama melawan badai itu dan Yesus menyaksikan
semuanya itu. Bagi Yesus badai dan gelombang itu merupakan bumbu penyedap
pelayaran mereka. Perahu kehidupan penuh air merupakan gambaran situasi krisis yang
mendera dan mengancam manusia.
(6) Para murid panik dan Yesus tidur
tenang-tenang
Terpaan gelombang dan badai topan sampai air
memasuki perahu adalah gambaran tentang masalah dan ancaman yang bakal
merenggut nyawa para penumpang atau awak perahu. Panik dan kesibukan merupakan
reaksi spontan dan wajar dalam situasi seperti itu. Sebaliknya, kalau sampai
ada orang lain masih tidur nyenyak seolah-olah tidak terjadi apa-apa pasti orang itu dianggap sakit atau tidak sehat,
atau sadar setengah sadar dan setengah sadar. Persis itulah yang dilakukan
Yesus. Ia tetap tidur diburitan ketika semua penumpang lain sibuk dan panik.
Yesus bukanlah tipe manusia masa bodoh atau manusia yang enggan menolong. Sikap
Yesus ini mempunyai pesan dan makna yang mendalam bagi para murid yang
membawa-Nya.
Dengan sikap tidur tenang-tenang itu Yesus mau
mengkritik cara dan sikap manusia berhadapan dengan masalah dalam kehidupan.
Kepanikan dan kesibukan para murid di dalam perahu yang diterpa badai adalah
gambaran reaksi manusia yang tidak matang, reaksi yang ceroboh, gegabah, tidak
rasional. Mengapa sikap itu dipandang sebagai sebuah kritik gaya Yesus?
Alasannya karena mereka sibuk di dalam perahu yang sudah kemasukan air. Mereka
bergerak ke sana kemari. Mereka lupa hal yang praktis yang seharusnya mereka
tahu bahwa kalau perahunya ditiup angin maka penumpang harus tenang dan tidak
bergerak. Sebab kalau banyak yang bergerak ke sana kemari maka hal itu akan
mempercepat proses tenggelamnya sebuah perahu. Tindakan yang gegabah, ceroboh,
tidak rasional, tanpa pertimbangan akal sehat biasanya membawa akibat yang
fatal. Seorang ibu rumah tangga tiba-tiba melihat kompornya meledak. Api mulai
menjalar dan meluas. Dalam kepanikan ibu itu langsung menagngkat dan membuka
sebuah cerigen. Ia menuangkan isi cerigen itu pada lidah api yang mulai
menjilati dinding dapur dengan tujuan mematikan nayala api itu. Apa yang
terjadi? Nyala api bukannya padam tetapi malahan bertambah besar karena ibu itu
bukannya menyiram api dengan air melainkan dengan minyak tanah. Karena ia panik
menghadapi api ia lalu tidak bisa
membedakan di mana cerigen berisi air dan di mana cerigen berisi minyak
tanah. Inilah kepanikan yang merusak dan membakar. Seorang ibu yang sedang
strika pakaian segera menuju tempat telepon ketika telepon di rumahnya
berdering. Ada telepon dari rumah sakit memberitakan bahwa putranya masuk unit
gawat darurat karena kecelakaan lalulintas. Mendengar itu ia membanting gagang
telepon itu. Ia segera kembali ke meja strika untuk membereskan bahan strikaannya.
Pikirannya kalut mendengar berita tidak sedap itu. Saat itu telepon berdering
lagi. Dalam kepanikan ibu itu mengangkat dan
menempelkan strika panas itu ke pipi dan telinganya. Dalam waktu singkat
pipi dan telinganya secara sukses dimakan besi panas. Inilah gambaran kepanikan
yang membuat seorang terpaksa menyeterika pipi dan telinganya sendiri.
Sikap Yesus yang tenang dalam terpaan badai
adalah gambaran kecerdasan dalam cara berpikir dan gambaran kecerdasan dalam
bertindak ketika menghadapi masalah dalam hidup. Bagi Yesus semua masalah itu
ada jalan keluarnya sejauh manusia tidak panik, sejauh manusia tetap bersikap
kritis dan bernalar yang cerdas pula. Yesus tetap tenang dalam perahu karena
itu tahu karakter laut. Ia tahu pasti, bagaimana harus mengambil sikap ketika
perahu diterpa gelombang dan badai. Pengetahuan yang pasti dan keyakinan yang
kuat biasanya membuat orang tetap tegar dalam segala situasi termasuk situasi
paling mengancam dan membahayakan.
Sikap Yesus yang tidur tenang dalam perahu bukannya
tanda bahwa ia tidak mau menolong. Ia tahu bahwa dalam situasi seperti itu
orang atau para murid membutuhkan pertolongan. Tetapi, melihat model kepanikan
para murid itu Yesus harus mempertimbangkan secara taktis tentang langkah dan
jalan keluar yang harus diambil. Ia mempertimbangkan secara cermat tentang
untung ruginya setiap tindakan menolong
yang ia tawarkan. Yesus mempertimbangkan secara matang cara memberikan
pertolongan yang efektif kepada mereka yang menghadapi badai masalah dalam
ziarah dan pelayaran hidupnya.
Hidup kita juga banyak badai dan gelombangnya.
Ketika perjalanan panggilan kita dikepung dalam lilitan masalah, ketika kita
tertimpa masalah dalam hidup dan panggilan, mungkin ada saudara kita yang
bersikap tenang-tenang saja. Bagi kita mungkin mereka itu kelihatannya bersikap
acuh tidak acuh, chuek bebek, tidak peka dan dinilai kurang solider dengan
kita. Dalam kepanikan memang kita cenderung menilai orang secara hitam-putih.
Mungkin sebagai anggota dalam komintas atau tarekat kita juga mengalami badai
kehidupan baik yang datang dari luar maupun yang dibuat diri sendiri. Saat-saat
seperti itu jelas kita membutuhkan pertolongan. Saat seperti mungkin kita juga
panik tanpa arah. Dalam situasi seperti itu, kita cenderung menilai banyak
saudara kita yang tidak memperhatikan kita. Ketika menghadapi aneka masalah
dalam misi dan tugas yang diberikan tarekat untuk kita, kita mungkin panik,
ceroboh lalu menganggap pimpinan kita, para pengambil dan penentu kebijakan
sebagai orang yang tidak memperhatikan kita. Yesus melalui injil tadi mengajak
kita untuk secara jernih memandang, menilai dan menempatkan masalah-masalah itu
pada tempat dan situasinya yang pas sebelum kita mencari jalan dan solusi yang
pas pula. Dalam kesulitan kita diminta untuk mencontohi sikap Yesus. Berpikir
cerdas, kritis dalam keadaan tenang sehingga dapat mengatasi masalah secara
tetap sasar dan tepat guna. Jika tidak, kita akan tenggelam lautan masalah,
terkapar dalam hempasan badai topan tantangan, terbakar dalam masalah yang tidak
dapat kita tangani secara tuntas. Mungkin kita perlu belajar dari tetesan embun
malam. Dalam ketenangan dan keheningan malam tetesan embun membasahi dan
menghancurkan batu-batu karang karang serta tiang-tiang besi. Mungkin kita
perlu belajar dari cara kerja sebuah kar pohon. Dalam ketenangan dan keheningan
malam sebatang akar beringin yang kecil mampu memecahkan dan menghancurkan batu
yang keras. Karena itu dalam menghadapi masalah apa saja dalam hidup ini,
hendaknya kita tidak panik dan membuat kesibukan yang tidak perlu. Apalagi
kalau hanya sekadar sibuk-sibukan artinya pura-pura sibuk dan menyibukan diri
dengan hal yang tidak perlu. Sibuk-sibukan atau pura-pura sibuk dalam
menghadapi masalah tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam ketenangan hati,
pikiran yang cerdas akan lahir, dalam ketenangan, pertimbangan dan jalan-jalan
taktis untuk mengatasi masalah akan kita temukan. Badai tidak dapat kita atur
tetapi kita bisa mengatur layar perahu kita dalam pikiran yang cerdas dan
kondisi yang tenang.
(7) Membangunkan Yesus-langkah preventif dan
kuratif
Ketenangan atau sikap tenang ketika menghadapi
masalah itu penting. Bersikap tenang untuk berpikir jernih tidak sama dengan
sikap tenang-tenang saja. Sikap tenang-tenang saja identik atau sama dengan
bersikap masa bodoh terhadap segala masalah. Yesus yang tidur nyenyak dalam
perahu ketika badai menerpa pelayaran bersama para murid bukannya tenang-tenang
saja melainkan ia perlu ketenangan untuk menemukan jalan keluarga yang baik
sejauh para murid memintanya. Dan kita sendiri mendengar bahwa dalam kepanikan
itu para murid sadar bahwa mereka bukan berlayar sendirian. Mereka menyadari
bahwa mereka membawa Yesus dalam pelayaran itu. Kesadaran seperti inilah yang
menggerakan mereka untuk mendekati Yesus dan membangunkan Dia dari ketenangan
tidurnya. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya:
"Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?"
Apa yang hendak dikatakan melalui tindakan
membangunkan Yesus pada ayat ini? Hal yang mau dikatakan kepada kita adalah
tentang kesadaran manusia dalam maslaah hidupnya. Peristiwa para murid
membangunkan Yesus mau menunjukkan kepada kita bahwa dalam kemelut hidup yang
mengancam orang harus mengandalkan orang lain, melibatkan orang lain. Dan lebih
dari melibatkan sesama, orang lain yang paling utama adalah melibatkan Tuhan
sendiri. Mencari pertolongan pada Tuhan adalah langkah yang taktis dan pikiran
yang cerdas dalam mengatasi masalah kehidupan. Upaya membangunkan Yesus dalam
pelayaran para murid yang dilandai badai adalah langkah preventif sekaligus
langkah kuratif agar mereka selamat tiba di seberang.
Membangunkan Yesus ketika menghadapi masalah
adalah jalan keluar yang taktis dan tepat. Membangunkan Yesus itu sama artinya
mencari pertolongan. Membangunkan Yesus untuk mencari pertolongan adalah usaha
yang memerlukan keberanian. Tidak semua orang bisa secara terbuka menyampaikan
masalahnya kepada orang yang dianggap mampu mengatasi masalah. Dalam kenyataan
hidup yang biasa orang umumnya enggan mencari pertolongan karena malu, tidak
berani, minder. Apalagi kalau ia yakin bahwa orang yang bisa memberikan pertolongan
itu status, jabatan lebih tinggi. Ada semacam keraguan dan keengganan untuk
meminta pertolongan. Orang seperti ini biasanya menampung dan menumpuk semua
masalah dan akan bertindak aneh-aneh. Tujuannya supaya orang lain tahu bahwa ia
tengah dililit masalah kehidupan atau krisis panggilan.
Para murid Yesus sadar bahwa mereka itu murid
tetapi mereka juga tahu bahwa dalam pelayaran itu mereka membawa Yesus. Para
murid akhirnya sadar bahwa mereka tidak mampu menaklukan amukan badai dan
hempasan gelombang laut. Dalam kesadaran itulah mereka berani membangunkan
Yesus untuk menyampaikan masalah yang tengah mereka hadapi. Dalam keterbukaan
dan kejujuran yang penuh tanpa menyembunyikan kenyataan sebenarnya, para murid
menjelaskan masalah inti yang sedang mengancam hidup mereka. Mereka terancam
kebinasaan ditelan badai. Mereka berkata jujur tentang apa masalahnya agar
Yesus memberikan bantuan yang sesuai dengan masalahnya. Mereka seperti pasien
yang tengaha menghadap dokter atau bides
menyampaikan apa yang tengah diderita sehingga dokter, tenaga medis mampu
memberikan diagnosis yang tepat. Informasi yang disampaikan secara jujur oleh
pasien menentukan ketepatan dianosis oleh tenaga medis. Dan diagnosis yang
tepat menentukan jenis resep dan obat yang cocok mengatasi penyakit yang
diderita. Para murid tidak melaporkan kepada Yesus tentang orang sakit tetapi
melaporkan tentang badai taufan. Mereka tidak menyembunyikan masalah tetapi
menjelaskan masalah. Dan Yesuspun bangun dan memberikan pertolongan yang pas dan
tepat.
Perjalanan panggilan kita penuh dengan masalah,
penuh dengan badai dan gelombang entah besar entah kecil. Persoalannya adalah
apakah kita berani membuka semua masalah itu kepada orang lain yang dapat
membantu kita ataukah kita membungkus semuanya lalu kita pikul sendiri sampai
mati. Kita mempunyai masalah, persoalannya apakah kita menceritaka apa masalah
kita secara jujur atau malahan kita memoles atau membelokkannya ke hal yang
lain sehingga masalah yang paling inti tidak terdeteksi. Keterbukaan dan
kejujuran pasien terhadap gejala penyakit yang diderita sangat menentukan
efektivitas obat yang diberikan dokter kepadanya. Keterbukaan dan kejujuran
kita tentang segala masalah yang kita alami menentukan efektivitas pertolongan
yang diberikan orang kepada kita. Kita mungkin perlu belajar untuk berkata
jujur seperti para murid yang dilanda badai taufan dalam injil tadi. Kita
mungkin perlu belajar berkata jujur terhadap orang lain kalau kita ingin membebaskan diri dari
lilitan masalah dalam panggilan kita. Mungkin kita perlu belajar untuk selalu
sadar bahwa kita bukan berjalan sendirian. Kita berjalan bersama orang lain
bahkan bersama Tuhan. Para murid berlajar bersama orang lain dan bahkan mereka
membawa Tuhan dalam pelayaran mereka. Kita berjalan dalam panggilan kita
bersama orang lain, bersama Tuhan. Karena itu dalam menghadapi pelbagai
persoalan kita hendaknya membangunkan sesama kita, membangunkan Tuhan sendiri
yang kita imani dan kita bawa. Sesama kita dan terlebih lagi Tuhan yang kita
bawa akan menolong kita dan membebaskan kita dari ancaman yang mematikan itu.
Yang dituntut dari diri kita adalah kemauan kita untuk membangunkan sesama
saudara kita dan membangunkan Tuhan sendiri.
(8). Aku harus segera bangun untuk menolong
Ketika para murid panik dan membangunkan Yesus,
Yesus segera bangun dan langsung mengambil langkah untuk mengatasi masalah.
Yesus memberikan reaksi yang cepat dan
memberikan pertolongan. Angin ribut dihardiknya sehingga selamatlah para
murid dari ancaman bahaya kematian. Apa yang dapat kita pelajari dari cara dan
tanggapan Yesus terhadap permintaan para murid ini? Menurut saya hal penting
yang perlu kita pelajari adalah kerelaan untuk mendengarkan keluhan orang-orang
yang mengalami kesulitan. Kerelaan untuk membukan hati dan membuka diri bagi
sesama saudara kita yang memang kesulitan dalam kehidupan ini, kesulitan dalam
menjalani panggilan hidupnya. Lebih dari kesediaan hati untuk mendengar dan
membuka diri untuk menerima saudara kita yang kesulitan, kita dituntut untuk
memberikan pertolongan secara tepat.
Memberi pertolongan secara tepat di sini dapat
diterjemahkan secara lebih luas. Tepat waktunya kapan kita memberikan
pertolongan, tepat caranya bagaimana kita harus menolong, tepat persoalannya
artinya harus memberikan pertolongan sesuai dengan masalah yang dihadapi. Kita
mungkin sudah mau mendengarkan sesama kita yang kesulitan, kita mungkin sudah
membuka diri untuk mereka yang kesulitan, tetapi mungkin kita belum sampai
memberikan pertolongan yang nyata seperti Yesus yang menghardik angin ribut.
Idealnya memang kita harus sampai pada tindakan yang nyata dan konkret
memberikan pertolongan. Kita hendaknya bukan saja rela dibangunkan untuk
melihat masalah sesama kita tetapi tetapi lebih dari itu rela dibangunkan untuk
segera memberikan pertolongan. Tema yang
kita pilih untuk kita renungkan dalam rekoleksi ini adalah tema yang mengajak
kita semua melakukan pertolongan yang nyata bagi saudara-saudara kita yang
memang mengalami kesulitan. Kita bisa belajar dari cara para murid membuka masalah
mereka. Kita bisa belajar dari Yesus cara membantu orang yang mengalami
kesulitan hidup dan krisis panggilan. Aku harus segera bangun untuk menolong
saduaraku…
(9) Kata-kataku harus meneduhkan, menenangkan
Kata-kata bagi manusia memiliki kekuatan yang luar
biasa. Kata-kata bisa menghidupkan tetapi juga bisa menghancurkan. Kata-kata
bagi manusia dapat berperan sebagai pedang bermata dua. Kata-kata dapat
berfungsi baik atau menghancurkan tergantung manusia yang membahasakan
kata-kata itu. Ketika seseorang berpidato atau berkhotbah dengan bahasa dan
pilihan kata yang indah semua orang tersentuh dan senang. Di situ kata-kata
berdaya gugah mempengaruhi dimensi kejiwaan seseorang. Ketika seseorang memilih
kata-kata yang membangkitkan amarah di situlah kata-kata menjadi pedang yang
menghancurkan. Kata-kata kita bisa menghidupkan tetapi juga bisa mematikan.
Kata-kata yang menghidupkan adalah kata-kata yang dipakai untuk meningkatkan
rasa percaya diri, kata-kata yang memberi dorongan dan motivasi, kata-kata yang
menghibur, kata-kata yang meneguhkan dan mempersatukan. Sebaliknya kata-kata
yang mematikan adalah kritikan yang pedas, kemarahan dan kegeraman tanpa ampun.
Manusia, termasuk kita, dapat menciptakan badai dan gelombang yang mengancam
kehidupan orang lain atau sesama kita dengan kata-kata kita. Pilihan kata dan
rasa bahasa kita yang tidak terolah dan terasah dengan baik membuat kita
memilih kata yang tidak tepat dan cenderung merusak keutuhan hidup bersama.
Perjalanan para murid yang membawa Yesus ke
seberang lautan nyaris gagal karena badai taufan menerpa mereka. Para murid
kesulitan memilih kata-kata yang tepat untuk membahasakan kesulitan yang mereka
hadapi. Itulah sebabnya mereka panik dan membangunkan Yesus. Saat Yesus bangun
ia yang tidak pernah belajar bahasa itu menggunakan kalimat perintah yang tegas
dan jelas. Ia menghardik dan memerintahkan angin agar diam. Pilihan kata Yesus,
pilihan kalimat Yesus itu sangat cermat dan tepat. Kata-katanya melumpuhkan
badai dan gelobang yang mengancam pelayaran mereka. Angin taat lalu diam. Para
murid kagum dan juga diam menyaksikan laut yang kembali tenang dan hembusan
angin yang kembali teduh. Kata-kata Yesus berkekutan melumpuhkan badai yang
melanda dan mengancam. Betapa senangnya para murid karena kata-kata Yesus itu
berkekuatan membebaskan.
Dalam pengalaman kita ada banyak orang atau sama
saudara kita yang mengalami kesulitan. Dalam kesulitan seperti itu mungkin kita
ada dan hadir untuk mengatakan sesuatu. Dalam kesulitan seperti itu biasanya
kita yang lain mau mengatakan banyak hal. Kalau sesama kita dlanda kesulitan,
hampir pasti ada banyak komentar yang kita berikan. Ada banyak kata dan kalimat
yang kita susun sekadar memberi komentar terhadap saudara kita yang mengalami
kesulitan. Persoalannya bukan berapa banyak kata dan berapa panjang kalimat
yang kita ucapkan untuk membantu sesama kita yang mengalami kesulitan itu itu.
Hal yang menjadi soal justru kata-kata kita, kalimat-kalimat kita justru banyak
yang tidak berguna, banyak yang tidak penting. Kata-kata dan kalimat yang kita
sampaikan mungkin tidak lebih dari sekadar basa basi sehingga tidak mengenai
sasaran secara tepat. Lebih jelek lagi kata-kata dan bahasa kita bukannya untuk
menolong sesama kita yang dilanda krisis tetapi kita justru meniupkan kata-kata
yang mempersulit sesama yang berada dalam kesulitan. Sekian sering kita
bukannya mengambil air untuk memadamkan percikan bunga api tetapi justru
menyiram bensin menyulut pembakaran yang lebih besar. Ada banyak orang yang
menjadi korban hanya karena sesamanya tidak mampu menertibkan kata-kata dan
lidahnya. Kata-kata kita sering berbisa bagi sesama kita. Kata-kata kita sering
menjadi angin yang lebih keras menerpa mereka yang kesulitan. Kata-kata kita
seringkali menjadi gempuran gempa yang meluluhlantakan daya tahan seseorang.
Yesus memberi kita contoh memilih kata yang
tepat. Contoh memilih kalimat yang tepat. Berhadapan dengan para murid yang
panik Yesus bukannya menghardik para murid yang bermasalah. Yesus menghardik
masalahnya. Yesus menghardik angin masalah dan bukan para murid yang bermasalah
karena diterpa angin. Yesus tahu apa yang dibuat-Nya. Ia langsung ke masalah.
Bukan mengutak-atik diri para murid yang bermasalah. Ia menghardik angin dan
bukan para murid. Karena itulah, kata-katanya berdaya dan melumpuhkan sumber
masalah. Angin dan laut menjadi taat. Laut tenang, para murid berlayar tenang
ke seberang. Kita tentu perlu belajar berbahasa yang baik terutama ketika kita
berhadapan dengan saudara kita yang ditimpa krisis dalam panggilan hidup.
Betapa senangnya orang yang bermasalah kalau kata-kata kita seperti kata-kata
Yesus yang menenangkan dan meneguhkan.
(10) Pertanyaan yang harus kujawab
Kisah injil tadi menginformasikan untuk kita
bahwa Yesus rela dan bersedia dibangunkan untuk melihat dan mengatasi masalah
yang dihadapi para murid-Nya. Yesus bangn dan memerintahkan angin badai serta
gelombang laut untuk diam dan tenang. Kata-kata atau sabda Yesus itu membuat
peserta pelayaran menuju seberang lautan itu kembali tenang dan harapan mereka
untuk tiba dengan selamat di seberang semakin besar. Pertolongan Yesus itu
membangkitakan harapn baru dalam diri mereka. Meskipun angin dan badai sudah
diredahkan, dan harapan mulai bersemi kembali, para murid itu tampaknya masih
merasa belum terlalu aman. Wajah-wajah mereka masih mengguratkan rasa cemas dan
ketidakpastian. Wajah yang kurang ceria itu mengundang pertanyaan Yesus yang
harus dijawab dengan cepat. Ada dua pertanyaan besar untuk mereka: “Mengapa
kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak
percaya?" Rasa takut dan rasa tidak percaya terbaca pada guratan wajah
dan penampilan mereka. Dua beban sikap yang menindih dan mengusir harapan
mereka untuk tiba dengan selamat di seberang. Benan itu adalah ketakutan dan
ketidakpercayaan. Dua sikap ini mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi.
Orang takut biasanya karena kurang percaya. Dan orang yang tidak percaya akan
menyebarkan ketakutan. Bagi Yesus yang telah menghardik angin dan gelombang
ketakutan dan ketidakpercayaan para murid itu jelas tidak beralasan. Yesus bertanya
untuk meminta penjelasan atau klarifiasi perihal sikap dan perasaan para murid
itu.
Ketakutan dan rasa tidak percaya itu memang
penyakit semua manusia. Orang yang pernah dirawat di rumah sakit tetap akan
takut dan tidak percaya kepada dokter kalau kepadanya disampaikan bahwa sungguh
sehat. Rasa takut dan tidak percaya adalah prasaan yang paling primitif yang
mengganggu kehidupan manusia. Saya yakin kita semua memilki rasa takut dan
kurang percaya ini. Kita sering menciptakan badai dan gelombang masalah dalam
diri dan kehidupan kita hanya karena kita mempuk rasa takut dan kurang percaya
ini. Kita sering seperti para murid itu.
Tatap takut dan tidak percaya meskipun segala masalah kita sudah diatasi dengan
baik. Kita tetap merasa takut dan tidak percaya diri untuk melakukan sesuatu
karena merasa diri masih menyandang pelbagai kekurangan.
Menolak untuk melakukan sesuatu biasanya terjadi
karena orang takut gagal. Orang menolak melakukan sesuatu karena tidak percaya
akan kemampuan dirinya bahwa ia akan berhsasil. Orang takut untuk mecoba dan
memulai serta menerima. Tidak ada kegagalan kalau kita tidak pernah mencoba.
Tidak ada kekalahan untuk kita kalau kita tidak pernah mengikuti pertandingan.
Karena itu pertanyaanya: mengapa kita tidak mencoba sedangkan mencoba itu
sebenarnya tidak mengapa. Kita boleh merumuskan tema rekoleksi ini dengan
tekanan agar kita menjadi orang yang suka menolong tetapi kalau kita tidak
berani dan kurang percaya diri maka tema ini tidak mempunyai arti lagi untuk
kita. Membangun komitmen dan niat untuk menolong orang lain itu artinya kita
berani dan percaya akan kemampuan kita bahwa kita bisa.
Kita semua sudah mengikuti ajakan Yesus berlayar
dan membawa serta Dia dalam pelayaran atau ziarah iman kita. Itu artinya kita
bertekad membangun komitmen yang teguh untuk bertindak sebagai orang yang rela
menolong. Mengikuti Tuhan dan berjalan bersama Tuhan artinya kita harus
melepaskan mental kelinci kita yang takut dan tidak percaya diri. Kita sudah
mengambil pilihan untuk berlayar menyeberangi lautan kehidupan menuju ke
seberang berama Tuhan yang menjanjikan keselamatan dan pembebasan. Dan kita
sudah dalam pelayaran, artinya kita sudah berani memulai. Karena itu jelas
tidak ada alasan lagi bagi kita untuk takut dan tidak percaya. Kalau tidak setiap
saat Tuhan bertanya kepada kita: mengapa kamu takut dan tidak percaya?
(11)
Kekaguman tanpa penghayatan adalah sia-sia.
Ketika Yesus
berhasil menolong para murid dari ancaman badai dan gelombang laut banyak orang
kagum termasuk para murid-Nya. Ketika laut menjadi tenang dan angin taufan
meredah mereka semua berdecak kagum sambil bertanya diri: Siapakah orang ini
sehingga angin dan laut taat kepadanya? Pertanyaan ini berisi pujian dan
mengungkapkan rasa kagum yang luar biasa tehadap figur dan cara tindak Yesus.
Mereka kagum atas cara Yesus memberikan mereka pertolongan tepat waktu, tempat
dan sasarannya. Kekaguman ini tidak ada manfaatnya kalau tidak sampai mengubah
cara hidup dan cara tindak para murid itu. Kekaguman itu hanya akan bermakna
demosntratif kalau apa yang dicontohkan Yesus tidak diteruskan atau dihayai
oleh para murid yang menyaksikan semua hal itu.
Dalam pengalaman hidup kita,
kita sering juga kagum terhadap segala hal dan dalam hati muncul niat,
keinginan untuk mencontohi apa yang kita kagumi. Niat itu kadang-kadang tidak
sampai pada tindakan yang nyata. Kita kagum terhadap nasihat dan peneguhan yang
diberikan kepada kita ketika kita ditimpa masalah, tetapi kita sulit untuk
hidup menurut nasihat itu. Seperti para murid juga sekian sering kita kagum
terhadap tindakan Yesus dalam hal menolong orang lain, tetapi kita sendiri
masih takut dan kurang percaya diri untuk mempraktikkan hal yang sama dalam
tugas dan karya kita. Kita memilih tema rekoleksi perihal kegiatan dan usha
kita menolong. Itu artinya kita membangun niat dan komitmen untuk memberikan
pertolongan kepada siapa saja termasuk sesama saudara kita yang terncam badai
kehidupan. Dunia kita penuh dengan orang yang terobang-ambing dalam badai
kehidupan. Beranikah kita menjadi penolong bagi mereka?
D. Harapan dan Penutup
Konstitusi tarekat suster DSY
bab 1 artikel nomor 3 pada bagian akhirnya mencatat satu prinsip dasar yang
harus dilakukan para suster DSY dalam kaitannya dengan semangat menolong ini.
Pendiri tarekatmu menggariskan prinsip perjuangan dan komitmennya untuk
menolong orang lain karena dia sendiri sudah ditolong. Tuhan bagi Savelberg
adalah penolong utama yang tidak mengenal titik batas. Allah menolong dahulu,
Allah menolong sekarang, Allah tetap akan menolong. Kalau para suster sungguh
yakin pada prinsip dan komitmen pendiri ini maka saya yakin bahwa tidak akan
ada masalah berarti menimpa para suster. Kalau saja semua pengikut Savelberg
setia pada komitmen ini maka semua orang akan
merasakan bahwa para suster pun menolong dahulu, para suster menolong
sekarang, para suster tetap akan menolong siapa
saja. Termasuk orang lain yang dilayani dalam tugas dan karya para
suster. Kalau para suster sungguh yakin akan spirit pendiri ini maka badai akan
berlalu pelayaran dan perjalanan misi panggilan tarekat akan sukses menghantar
banyak orang ke seberang lautan yang menawarkan berita pembebasan dan
keselamatan. Kalau saja komitmen kita untuk menolong tanpa batas waktu ini kita
jalankan secara konsisten maka ketakutan dan ketidakpercayaan kita akan lenyap.
Mudah-mudahan tema rekoleksi
kali ini sungguh membantu kita untuk melihat komitmen kita dalam hal menolong
siapa saja. Yakinlah bahwa masih banyak orang yang terbenam dalam reruntuhan
puing bangunan dunia ini. Masih banyak orang yang berlayar dan berziarah dalam
hidup ini menghadapi badai yang keras. Kita sudah membangun komitmen seperti
Bapak yang setia mendampingi anaknya
yang terkubur dalam reruntuhan bangunan sekolah. Kita semua sudah bertolak dari
tepi laut yang satu. Kita semua sudah dalam pelayaran dengan segala kemungkinan
kendala dan badainya. Tetapi kini kita optimis akan tiba dengan selamat di
dunia seberang bersama dengan semua orang yang kita bawa, yang kita tolong.
Kita hanya mampu menolong kalau Tuhan kita bawa bersama dalam pelayaran hiudp
kita. Badai dan gelombang akan redah kalau kita siap membangunkan Tuhan yang
kita bawa dalam hidup kita. Marilah kita terus berlayar ke seberang dan pasti
kita akan tiba dengan selamat karena kita yakin Tuhan yang dulu menolong kita,
saat inipun masih menolong kita dan akan terus menolong kita. Selamat berlayar
Tuhan menyertai kita semua. Amin.
There is never enough time
unless you use it.
(Tidak pernah ada cukup waktu, kecuali Anda
memanfaatkannya)
Angin ribut Diredahkan Mrk.4,35-41
35Pada
waktu itu hari sudah petang Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak
ke seberang”. 36Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak
dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk
dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 37Lalu mengamuklah
taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga
perahu itu mulai penuh dengan air. 38Pada waktu itu Yesus sedang
tidur di buritan di sebuah tilam. Maka
murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau
tidak perduli kalau kita binasa?" 39Iapun bangun, menghardik
angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan
danau itu menjadi teduh sekali. 40Lalu Ia berkata kepada mereka:
"Mengapa kamu begitu takut? Mengapa
kamu tidak percaya?" 41Mereka menjadi sangat takut dan berkata
seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan
danau pun taat kepadanya?"
Versi Refleksi (kata KAMI
menggantikan kata Mereka dalam teks asli)
Angin Ribut Diredahkan Mrk.4,35-41
35Pada waktu itu hari sudah petang
Yesus berkata kepada KAMI: “Marilah kita bertolak ke seberang”. 36
KAMI meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus
beserta dengan KAMI dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan
perahu-perahu lain juga menyertai Dia. 37Lalu mengamuklah taufan
yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu
itu mulai penuh dengan air. 38Pada waktu itu Yesus sedang tidur di
buritan di sebuah tilam. Maka KAMI
membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau
kita binasa?" 39Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata
kepada danau itu: "Diam!
Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh
sekali. 40Lalu Ia berkata kepada KAMI: "Mengapa kamu
begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?"
41KAMI menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang
lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat
kepada-Nya?"
Renungan Misa Penutupan Rekoleksi
Peringatan Wafatnya Petrus
Joseph Savelberg (Pendiri Suster SMSJ )
Wae
Lengga Selasa, 11 Februari 2003
Bacaan
Konst. No.5,6,7 Mrk.7,1-13
Misi Tarekat Yang Selaras Zaman
Buka
Hari ini kita merayakan misa secara
khusus untuk mengenangkan hari kematian pendiri tarekat para suster SMSJ.
Mengapa kita merayakannya secara khusus, tentu suster semua akan dapat
menjelaskannya. Yang pasti karena Savelberg telah menjadi figur anutan bagi
para suster SMSJ. Dia dipilih sebagai pendiri karena memiliki keunggulan cara
hidup, yang kiranya juga meresapi seluruh arah dan gerak hidup serta misi
pelayanan para suster SMSJ di mana saja. Kita memperingatinya karena Savelberg
telah menjadi matahari sejati yang telah menimba samangat pada Kristus sebagai
matahari keadilan dan kebenaran. Kita berdoa untuk semua suster SMSJ di mana
saja agar mereka mampu menerjemahkan semangat pendiri ini dalam praktik hidup
dan panggilan mereka. Untuk itu, marilah kita mengakui segala dosa dan
kelemahan kita. Mungkin arah pelayanan kita dan praktik hidup kita agak menjauh
dari semangat pendiri kita. Mungkin kita belum berhasil menerjemahkan semangat
pendiri kita dalam praktik hidup dan karya kita….
Renungan
Setiap tarekat biara ada pendirinya. Dan
setiap pendiri tarekat biasanya memiliki keunggulan-keunggulan yang khas.
Keunggulan yang khas itu pada gilirannya memberikan ciri khas setiap
tarekat. Orang yang mau bergabung ke
dalam satu tarekat minimal harus tahu apa yang menjadi semangat pendiri.
Tujuannya supaya orang yang menjadi pengikut itu tidak ikut-ikutan saja alias
membebek tanpa dasar. Karena itu, setiap anggota tarekat harus tahu riwayat
hidup pendiri mereka dan harus tahu apa yang menjadi spirit pendiri. Juga harus
tahu pelbagai norma dan patokan kehidupan bersama dalam bentuk regula atau
konstitusi tarekat. Idealnya seorang anggota tarekat harus menguasai semua,
menghafal semua aturan tarekatnyanya dari bab ke bab, pasal ke pasal, point ke
point. Minimal bisa menghafal semuanya
biar pelaksanaannya ditunggu dulu. Karena itu, kalau saat ini saya menguji para
suster tentang isi konstitusi tarekat maka saya jamin semuanya lulus dengan
nilai seratus.
Hari ini para suster SMSJ secara khusus
mengenangkan hari meninggalnya pendiri tarekat. Saya yakin tidak ada dari
antara para suster ini yang pernah bertemu langsung dengan Bapak Savelberg.
Paling-paling kalau sedang tidur mungkin bertemu dalam mimpi. Kalau suka
berkayal ya bertemu dalam kayalan. Secara fisik para suster memang tidak
bertemu Bapak Savelberg tetapi secara rohani para suster menjumpainya setiap
saat. Ketika para suster menjalankan misi atas nama dan dalam semangat
Savelberg pada saat itulah para suster bertemu dengan beliau. Semanagt dan
spirit hidup serta cita-cita beliaulah yang hendak suster bagikan dan teruskan
kepada siapa saja dalam tugas dan karya pelayanan dalam bentuk apa saja. Secara
konstitusional apa yang menjadi cita-cita dan perjuangannya sudah termaktub
dalam buku konstitusi tarekat. Penggalannya sudah kita baca dan dengar tadi.
Kita semua memuji keutamaan-keutamaan yang dihidupi Savelberg ini dan
menjadikannya sebagai tokoh idola. Artinya tokoh yang menjadi figur anutan
kita.
Kita semua mengenangkan Savelberg
sebagai tokoh pujaan kita. Itu sama artinya kita mau hidup dan berkarya seperti
dahulu pernah ia lakukan. Dia kita puji karena pelbagai keunggulan dan
keberhasilannya membawakan terang Kristus dalam tugasnya. Ia berhasil dalam
misi dan pengabdiannya menolong banyak orang dan membawa banyak orang pada
pengenalan akan Allah. Lalu secara spekulatif kita bisa bertanya mengapa ia
berhasil menjadi manusia unggul. Mengapa ia menjadi superman, manusia unggul
atau menjadi superstar yang dipuja para suster SMSJ? Jawabannya secara jelas
dinyatakan dalam konstitusi yang kita baca hari ini. Pada point ke lima kita
mendengar satu kata kunci sekaligus kunci rahasia keberhasilan Savelberg ini.
Ia unggul karena tingkat adaptasinya atau kemampuan menyesuaikan dirinya yang
luar biasa. Ia unggul karena segala sesuatu yang dilakukannya selalu up to
date, sesuai tuntutan zaman. Pada point ke lima kita mendengar bahwa
Savelberg memiliki komitmen yang luar biasa dalam pelayanannya. Untuk para
pengikutnya komitmen pelayanan ini
dibahasakan demikian. “Kita merelakan
diri bagi kerasulan sesuai kebutuhan zaman dan tempat, sesuai pula dengan
kemungkinan kemampuan yang kita miliki”. Point ini harus menjadi jantung
penghayatan spiritualitas bagi para pengikut Savelberg. Mengapa? Karena pada
point ini termuat satu tuntutan radikal bahkan sebuah syarat yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi kalau pengikutnya ingin berhasil dalam misi perutusan.
Rumusan konstitusi tadi mengharuskan pengiktunya untuk mampu beradaptasi dengan
segala situasi kondisi di segala tempat dalam segala keadaan. Kerasulan yang sesuai kondisi zaman adalah
kerasulan yang selalu up to date. Tuntutan untuk beradaptasi itu penting
karena zaman terus berubah seperti dijelaskan pada point ke enam konstitusi
tadi.
Keberhasilan, keunggulan Savelberg adalah
keunggulan adaptif artinya segala yang ia lakukan selalu pas, cocok dengan arah
gerak dan perubahan zaman. Misinya mampu merespon aneka tuntutan zaman. Pendek
kata ia unggul karena menerapkan misi panggilan yang bernuansa atau bercorak
selaras zaman. Hidup dan menjalankan misi selaras zaman tidak sama dengan misi
dan dan hidup tenggelam dan dihanyut arus zaman. Tantangan zaman boleh
bermacam-macam. Badai kehidupan boleh bermacam-macam. Hal yang penting adalah
bagaimana para pengikut Savelberg menata layar perahu kehidupannya agar tidak
tenggelam dan terkapar dilindas zamannya.
Savelberg menjalankan misi dan pewartaan
yang dulu diperjuangkan Yesus. Misi dan perwartaan Yesus juga misi dan
pewartaan yang sukses besar. Yesus sukses karena ia menerapkan prinsip adaptasi
yang luar biasa. Ia dapat menyesuaikan pewartaannya sesuai dengan pendengar dan
situasi. Ketika berhadapan dengan orang sakit ia berbicara sebagai tabib.
Ketika berhadapan dengan para petani ia berbicara tentang kebun anggur dan
penabur. Ketika berhadapan dengan nelayan ia berbicara tentang ikan. Ketikan
berhadapan dengan gembala ia berbicara tentang kambing dan domba. Ketika
berhadapan dengan ahli hukum ia berbicara tentang hukum Musa. Ketika berhadapan
dengan kelompok konservatif yang mempertahankan tradisi ia berbicara tentang
tradisi yang sesungguhnya. Injil hari ini berisi polemik antara Yesus dengan
para pemegang tradisi yang konservatif.
Pendek kata Yesus unggul karena bisa menyesuaian diri dengan segala
situasi. Semangat seperti itulah yang dihidupi Savelberg dalam panggilannya. Ia
mengembangkan pola adaptasi panggilan dan misi selaras zaman. Tentu harapannya
satu agar pengikutnya juga mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.
Adaptif dan akomodatif.
Yesus itu manusia unggul dan Savelberg
juga unggul karena ia belajar dari Yesus yang ia ikuti dan ia imani. Yesus
menjadi matahari yang menerangi dunia seluruhnya. Saveberg juga menjadi
matahari bagi manusia zamannya dan juga tentu terus menjadi matahari bagi para
suster semunya.
Kita memperingati hari kematiannya atau
memperingati hari terbenamnya matahari yang pernah terbit menerangi dunia.
Pertanyaan untuk para suster renungkan dalam perjalanan dan penghayatan
panggilan selanjutnya adalah: apakah para suster dapat menjadi matahari yang
menerangi semua orang yang dilayani dan tugas dan karya kerasulan para suster?
Apakah para ssuter sungguh menjadi matahari yang bersinar atau hanya sekadar
matahari yang redup karena banyak awan dan kabut yang sengaja kita ciptakan
sendiri?
Mungkin baik kalau saya mengajak para
suster untuk merenungkan hakikat manusia yang mau hidup seperti matahari. Saya
sengaja mengangkat ini karena ada begitu banyak orang yang mengharapkan agar
suster, biarawan, biarawati, rohaniwan/ti sungguh menjadi matahari. Artinya
corak dan gaya hidupnya didasarkan atas filosofi dan kebijaksanaan sebuah
matahari. Ada delapan prinsip utama sekaligus kebijaksanaan yang dapat kita
petik dari matahari itu.
(1)
Matahari itu terbit dari Timur. Semua orang
tahu secara pasti bahwa matahari itu pasti terbit dari Timur dan terbenam di
barat. Matahari tidak pernah membuat kejutan sekadar mengecoh manusia misalnya
sesekali terbit dari barat dan terbenam dari Timur. Semua manusia bisa menebak
di mana ia terbit dan di mana ia
terbenam. Tak ada kepalsuan pada matahari. Ia konsisten, tetap, jujur terhadap
penghuni bumi. Matahari mengajarkan kita arti sebuah keterbukan, arti sebuah
kejujuran, arti suatu konsistensi dalam cara bertindak. Menjalankan misi suci
tanpa keterbukaan, tanpa kejujuran, tanpa konsitensi hanyalah basa-basi. Ia
akan menjadi sia-sia alias menjadi mission immposible. Hidup Yesus sebagai matahari selalu jujur, terbuka,
konsisten. Savelberg mencoba menerapkannya. Dan kita pengikutnya? Apa yang
harus kita lakukan?
(2)
Matahari itu tidak Pilih kasih. Matahari
bersinar untuk semua orang dari segala bangsa tanpa memandang agama, suku,
bahasa, ras. Matahari bersinar untuk
semua orang baik yang berkulit putih, gelap, maupun yang hitam. Baik yang berambut
lurus maupun yang berambut kriting. Baik untuk yang berhidung mancung keluar
maupun yang berhidung mancung ke dalam. Matahari hakikatnya mau menerangi semua
isi semesta. Inilah bahasa pemerataan dan keadilan yang mau ditanamkan matahari
untuk kita manusia. Bersikap adil adalah keutamaan dan kebijaksanaan yang harus
dikembangkan. Yesus datang ke dunia sebagai matahari keadilan bagi dunia. Lalu,
bagaimana cara kita sebagai pengikut-Nya bertindak adil seperti si matahari?
(3)
Matahari Tidak meminta persetujuan. Matahari
terbit atau terbenam tidak pernah meminta persetujuan manusia. Manusia boleh
tidak setuju matahari tidak terbit atau tidak terbenam tetapi matahari terus
terbit dan terus terbenam. Inilah caranya matahari mengajarkan kepada manusia
tentang kekuatan sikap dan karakter seorang manusia berhadapan dengan segala
macam kompromi. Keteguhan karakter dan kukuhnya pendirian serta selalu
berpegang pada prinsip yang benar adalah karakter matahari yang harus dimiliki
seseorang yang mau menjadi matahari bagi orang lain. Yesus sepanjang hidupnya
selalu mempunyai prinsip yang kukuh termasuk ketika harus berhadapan dengan
vonis penyaliban atas dirinya. Keteguhan karakter inilah yang menjadi dasar
bagi seseorang agar dipercaya dan dapat memperjuangkan kebenaran tanpa
manipulasi.
(4)
Tidak meminta pengertian. Sepanjang sejarah
manusia berdiskusi untuk mengerti proses dan cara kerja matahari. Muncul
perdebatan apakah matahari yang bergerak mengeliling bumi atau bumi yang
bergerak mengelilingi matahari. Manusia boleh berdiskusi sampai mati tetapi matahari
terus saja terbit dan terbenam. Ia beroperasi tanpa dan di luar jangkauan
pengertian manusia. Tidak meminta pengertian lebih dahulu seperti matahari
memberi inspirasi bagi Covey untuk merumuskan satu kebiasaan efektif
manusia. Bagi Covey manusia yang efektif dalam hidupnya adalah manusia
yang berusaha mengerti lebih dahulu sebelum meminta dimengerti orang lain.
Berusaha untuk mengerti orang lain lebih dahulu menjadi roh yang menghidupkan
komunikasi yang mandeg. Matahari mengerti kebutuhan semesta tanpa menuntut
semesta dan segala isinya mengerti tentang kerja matahari itu. Bagaimana kita?
Apakah kita menuntut orang mengerti/memahami diri kita lebih dahulu ataukah
kita harus lebih dahulu mengerti dan memahami orang lain?
(5)
Matahari tidak menuntut pengakuan. Manusia
boleh mengaku atau boleh menyangkal apakah matahari itu ada atau tidak.
Matahari tidak perduli. Ia terus terbit, bersinar entah orang mengakui atau
menolak keberadaannya. Matahari tidak pernah memproklamasikan diri bahwa ia
ada. Ia hanya terbit entah orang mengakuinya atau tidak. Yesus selaku matahari
sering muncul dalam segala situasi. Ia tidak pernah menonjolkan dirinya. Orang
mengenalnya hanya melalui pelbagai perbuatan baik sebagai dampak atau akibat
kehadirannya untuk orang lain. Membanggakan diri di hadapan orang lain bukanlah
karater matahari. Pengikut Kristus berkarakter matahari haruslah mencontohi
Yohanes pembaptis yang berkata biarlah aku semakin kecil dan Dia semakin besar.
Inilah bahasa kerendahan hati dan kesederhanaan hidup gaya matahari. Bagaimana
dengan kita? Apakah kita tidak tergoda menjadi pembual yang menonjolkan diri
sendiri?
(6)
Memberi dan terus melayani. Matahari tidak
pernah bosan dan jenuh terbit dan memancarkan sinarnya untuk semesta tanpa
mempertimbangkan apakah manusia memerlukannya atau tidak. Matahari hanya
mempunyai prinsip: terus bersinar memberi terang melayani kebutuhan semesta.
Matahari terus memberi sinar tetapi tidak pernah merasa kehabisan dan
kehilangan terangnya. Inilah bahasa matahari yang mengajarkan kita manusia
tentang makna sebuah pemberian yang tulus dan makna sebuah pelayanan yang
total. Yesus sebagai matahari sejati telah menerapkan prinsip ini ketika ia
berkata: aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Kita mau
menjadi matahari. Mampukah kita seperti matahari dan belajar padanya untuk
terus memberi dan melayani tanpa lelah?
(7)
Matahari itu memberdayakan dan menghidupkan.
Hakikat terang dan sinar matahari adalah memberi tenaga terhadap ciptaan
lainnya. Ia memancarkan sinarnya untuk menumbuhkan tanaman dan segala makhluk
hidup lainnya. Di mana saja matahari bersinar di sana bersemi kehidupan.
Sinarnya memberi tenaga dan daya yang menghidupkan. Sinar matahari membuat
adanya harapan hidup pada ciptaan lainnya. Yesus sebagai terang dan
matahari sejati terus memberi daya hidup
dan kekuatan bagi manusia yang percaya. Yesus sebagai matahari bagaikan pokok
anggur yang menghidupkan ranting-rantingnya. Apakah misi panggilan hidup kita
sungguh mau menjadi sinar yang menghidupkan orang yang kita layani dan jumpai?
(8)
Matahari itu patuh dan taat. Matahari tidak
pernah absen mengunjung semesta. Ia patuh dan taat pada sang pencipta sehingga
tetap mengikuti tata tertib peredaran sistem tata surya. Ketaatan matahari
memungkinkan sistem tata surya kita berjalan normal dan alam semesta terjamin
dari ancaman kematian. Ketaatan sang matahari adalah bahasa yang mengajak
manusia untuk berlaku taat dalam hidup kalau mau menjadi terang bagi orang
lain. Yesus sendiri sudah belajar hidup taat bahkan taat sampai mati di salib.
Kita dengan lantang telah mengangkat diri sebagai pengikut Kristus itu artinya
kita juga harus belajar untuk taat. Bentuk dan wujud ketaatan kita dapat
dijabarkan dalam tugas pelayanan kita masing-masing. Kataatan adalah jaminan
bagi keberlangsungan sebuah sistem. Bagaimana mutu ketaatan kita?
Kita berbangga
karena memiliki Kristus sebagai matahari sejati. Sebagai pengikut Savelberg
para suster juga berbangga karena memiliki Savelberg sebagai matahari yang
harus diteladani dalam kehidupan sebagai anggota tarekat SMSJ. Hari ini kita
berbangga dan memperingati hari kematiannnya. Apa yang harus kita bawa dan apa
yang harus kita lakukan sebagai wujud kebanggaan kita pada pendiri kita? Saya
kira jawabannya singkat saja. Kebanggaan itu harus dinyatakan dalam usaha
mengisi dan memaknai panggilan kita yang selalu selaras zaman. Dengan kata lain
kita harus berjuang untuk menjadi matahari dengan segala keunggulannya. ( 2.113 kata; 13.083 huruf)
BELAJAR DARI KEISTIMEWAAN SANTU YUSUF
Bahan Rekoleksi Bulanan Sr. SMSJ
Pengantar Awal
Ketika saya merenungkan teks-teks Kitab Suci
yang berbicara tentang St. Yusuf, saya menemukan beberapa keunikan atau kekhasan
yang boleh dikatakan menjadi identitas St Yusuf. Identitas itu antara lain: (a)
Yusuf termasuk turunan orang besar alias turunan raja Daud (Mat: 1:16), (b) Dia memilih hidup sebagai tukang kayu,
orang yang sederhana untuk tidak mengatakan miskin (c) Ia juga seorang yang taat dalam hidup beragama
(religius), lagi tulus dan jujur (d) Ia memiliki sika yang sungguh respek
terhadap orang lain teristimewa terhadap kaum hawa (Mat. 1:19) yang pada
masanya dan dalam budayanya menjadi manusia kelas dua (e) Ia seorang pekerja
keras yang jarang bicara.
Melalui
refleksi tertulis ini, saya mencoba mensheringkan beberapa keunikan pribadi St.
Yusuf seperti digambarkan di atas. Tentu saja maksudnya untuk dijadikan bahan permenungan kita bersama. Saya mulai dengan identitas Yusuf sebagai
turunan Raja.
Yusuf
Berasal dari Keturunan Raja Daud.
Secara stereotip atau dalam pandangan umum,
orang-orang keturunan raja itu biasanya
berpenampilan khusus atau unik misalnya hidup elite, luks, angkuh,
boros, feodal (mau menguasai yang lain, suka perintah, parlente). Tetapi turunan raja yang satu ini, unik --
untuk tidak mengatakan aneh – kalau dipandang dari prespektif dunia. Ia memilih
menjadi tukang kayu, menghayati hidup yang sederhana dan miskin, penampilannya
biasa-biasa saja. Kitab Suci memang tidak pernah menceritakan bagaimana sikap
Yusuf terhadap kenyataan paradoks hidupnya. Kitab Suci juga tidak pernah menceritakan
bagaimana pergumulan batin Yusuf menerima kenyataan hidup yang tidak layak
untuk seorang bangsawan turunan raja.
Tetapi, yang pasti, penulis Kitab Suci tidak pernah menulis bahwa Yusuf
mempersoalkan kenyataan hidupnya atau menyesal karena harus menjadi tukang
kayu, atau menggerutu berhadapan dengan hidupnya, Malahan Kitab Suci
memperlihatkan figur Yusuf yang sangat istimewa. Pada saat ia dikecewakan karena peristiwa
yang tidak diduganya, yakni Maria – tunangannya- mengandung, tidak ada lukisan
bahwa Yusuf menggerutu atau marah.
Sebaliknya, ia berusaha menerima kenyataan pahit itu tanpa amarah dan
kebencian di hati. (Mat. 1:19)
Mungkin
orang banyak yang mengetahui identitas Yusuf sebagai turunan Daud, merasa
kasihan ketika menyaksikan jalan hidup atau pilihan hidup Yusuf. Saya yakin ia
sendiri happy dengan pilihannya.
Dan karena itu, sampai tua bahkan
sampai mati pun dia tetap seorang tukang kayu. Karena pilihannya Yusuf itu
membuat dirinya selalu merasa happy, anaknya pun dilatihnya menjadi
seorang tukang kayu. Kalau saja
pekerjaan sebagai tukang kayu itu tidak membahagiakan dia, sudah hampir pasti
Yusuf melarang Yesus ‘anaknya’ untuk menjadi tukang kayu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Yusuf
adalah seorang turunan raja yang tidak bertindak feodal, raja yang tidak
berpenampilan raja. Ia begitu sadar bahwa yang menjadi raja hanyalah nenek
moyangnya Daud. Dirinya, tetap orang
biasa, orang sederhana. Ia tidak tergoda untuk berperan atau bertingkah sebagaimana
layaknya anak atau turunan raja seperti yang dibuat kebanyakan anak turunan
raja. Dalam teori drama Yusuf termasuk
tokoh yang dipilih untuk memerankan apa yang berlawanan dengan tipe
kepribadiannya (anti type casting). Ia melakonkan sesuatu
yang berlawanan dengan karakter atau statusnya sebagai seorang turunan raja.
Berkaca pada penamplian Yusuf ini, kita
mencoba melihat identitas kita sebagai imam, biarawan/biarawati. Kita ini imam,
biarawan/biarawati yang berjanji dan mengikrarkan kaul kesederhanaan,
kemurnian, dan ketaatan. Identitas asli kita adalah miskin atau sederhana,
murni, dan taat. Penampilan kita dan
peran yang kita mainkan dalam hidup tentu tidak lain diarahkan pada usaha untuk
mewujudkan identitas kemuridan kita. Itulah ideal yang harus dan senantiasa
kita perjuangkan kapan dan di mana saja.
Termasuk di Flores, di Manggarai atau di mana saja kita menjalankan misi
perutusan kita. Tentu saja, ini bukan perkara gampang. Ada satu tantangan yang
saya angkat pada kesempatan ini, yang dapat saya rumuskan begini; tantangan
menjadi imam, biarawan, biarawati di Flores saat ini yang paling berat adalah
godaan menjadi raja.
Masyarakat Flores masih sangat menjunjung tinggi kaum
religius. Kepada para kaum religius
banyak diberikan previlese atau keistimewaan
tertentu. Di tempat pesta, untuk
mereka pada umumnya sudah disiapkan kursi khusus dan pada posisi terdepan. Di jalan mereka disapa khusus. Jika
kebentulan mereka harus mengurus sesuatu, mereka tidak ikut antre atau harus
melewati pelbagai prosedur biasa, mereka selalu dilayani pertama. Masyarakat kita memang tidak merasa hal itu
sebagai sesuatu yang aneh atau berlebihan. Mereka mengangapnya sebagai hal yang
wajar untuk mengungkapkan hormat atau respek mereka terhadap martabat yang
dimiliki imam, biaarawan/biarawati. Persoalannya justru muncul ketika kita
imam, biarawan/biarawati larut di dalam pola pikir dan tindak masyarakat
tersebut, lalu menyangka apa yang dikonstruksikan masyarakat tersebut sebagai
identitasnya. Kita lalu merasa wajib untuk diperlakukan istimewa dan senantiasa
mengharapkan perlakuan khusus seperti itu. Pada saat kita tidak di’raja’kan
kita mulai marah dan tersinggung. Itu artinya, kita imam atau
biarawan.biarawwati sedang keasyikan menjadi 'raja'. Hal ini membuat kita
melupakan identitas kemuridan kita yang asli yakni menghayati hidup
sederhana. Seperti Yusuf kita memang
mengambil peran tokoh yang berwatak anti type casting. Kita berperan tidak sesuai dengan karakter
asli kita. Tetapi, ada bedanya, kalau Yusuf seorang turunan raja namun berlaku
sederhana alias tidak feodal. Kita
sebaliknya orang sederhana atau miskin tetapi berlaku feodal, bertingkah
sebagai raja. Kita pada akhirnya hidup dan bertindak dalam konteks salah kaprah
karena seakan-akan mendapat restu atau legitimasi melalui sikap masyarakat yang
me-raja-kan kita.
Penampilan
kita tampaknya paradoks dengan identitas kemuridan kita, yakni orang miskin
yang berlagak menjadi raja. Hemat saya
penampilan yang demikian bukan terutama karena kita di'raja’kan oleh pola pikir dan tingkah laku masyarakat
saja tetapi karena salah kaprah. Kita
secara keliru-kalau tak mau dikatakan secara salah- menerjemahkan atau
mengartikan penghormatan atau respek khusus yang diberikan masyarakat. Kita menganggapnya sebagai harapan atau
permintaan untuk menjadi raja atas mereka. Kalau pun ada segelintir masyarakat
yang senang kalau kita menjadi raja atas mereka atau sekurang-kurangnya tidak
melihat perlakuan istimewa itu sebagai masalah.
Barangkali itulah cerminan
keterbatasan dan kesederhanaan pola pikir mereka. Kiranya ke sana kita dipanggil untuk
memberikan kesaksian tentang kebenaran. Bukan sebaliknya, kita mengabadikan
pola pikir dan tingkah laku tersebut karena merasa diuntungkan.
Hemat
saya ada yang luntur –mungkin tidak lama lagi akan hilang- dari jati diri
kemuridan kita sebagai imam dan biarawan/ biarawati yakni derasnya erosi yang
mengancam semangat kesederhanaan cara hidup kita. Saya katakan demikian bukan
terutama karena kita mempunyai banyak harta melainkan karena kita mulai merasa
asing dengan kondisi hidup yang sederhana.
Kita tidak lagi merasa nyaman bahkan malu kalau berhadapan dengan
kenyataan kesederhanaan. Kita merasa
tidak nyaman, sedikit malu kalau di rumah belum ada telepon, TV, sepeda motor
dll. Kita merasa malu kalau harus
berjalan kaki. Kita merasa malu kalau di
tempat pesta duduk paling belakang. Di
Bus mendapat sit atau tempat duduk paling belakang. Perasaan-perasaan seperti ini, sesungguhnya
merupakan sebuah informasi atau menjadi indikator bahwa kita sudah tidak merasa
diri sebagai orang kecil, sebagai orang biasa, dan orang sederhana lagi. Dengan berkata seperti ini tidak berarti sama
dengan mengatakan bahwa kita tidak perlu memiliki TV, Sepeda Motor, Mobil
dll. Barang-barang itu perlu dan mungkin
juga penting. Dengan memiliki semuanya
itu belum berarti kita tidak menghayati kesederhanaan. Hal yang ingin digarisbawahi di sini
sesungguhnya adalah sikap kita terhadap barang-barang tersebut. Kalau kita merasa tidak aman, malu, asing,
karena belum memiliki barang kebutuhan sekunder (mewah) tersebut dan dalam hati
memprotes kondisi keterbatasaan yang kita hadapi, itu berarti kita tidak
sederhana lagi.
Kiranya
kita mau belajar dari St. Yusuf yang selalu dan tetap merasa happy
dengan pilihan yang mungkin bahkan pasti tidak diperebutkan oleh kebanyakan
orang yakni menjadi sederhana dalam kebesarannya sebagai turunan Daud. Kita belajar untuk senantiasa happy
dengan pilihan kita yakni menghayati hidup sederhana dalam kemewahan dan
'keluksan' dunia. Kita mesti yakin bahwa
kebahagian hidup bukan bergantung pada sesuatu yang berada di luar diri kita,
melainkan terletak pada disposisi batin kita terhadap sesuatu yang kita alami
ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang ada di luar diri kita.
St.
Yusuf Memiliki Keterampilan Khusus.
Hal kedua yang yang mau kita pelajari dari
St. Yusuf yakni berkaitan dengan profesi St. Yusuf. Ia adalah seorang tukang kayu. Ketika menikah dengan Maria dan dipanggil
Tuhan untuk menjadi orang tua Yesus, Yusuf sudah mempunyai keterampilan khusus.
Dengan berbekalkan keterampilan tersebut St.Yusuf bisa menghidupi dirinya dan
keluarga Nasaret. Bakat atau ketrampilan, juga menjadi teman hidupnya untuk
mengusir sepi. Hari-harinya terisi
menjadi suatu kesempatan untuk mengekpresikan bakat. Sebagai tukang kayu Yusuf sudah tentu memiliki
kualifikasi yang secara kualitas dapat diteladani seperti: sikap dan cara
kerja yang teliti, tekun, bernuansa
seni, sabar, sedikit bicara banyak bekerja (kualitas terakhir ini sangat jelas
dalam kitab suci).
Merenungkan
profesi St. Yusuf sebagai tukang kayu yang berbakat, menghantar kita pada
pertanyaan reflektif berikut:"Apa keterampilan kita, saya ketika
dipanggil? Adakah sesuatu atau bakat
atau hobi yang kita miliki untuk menjadi teman dalam kesendirian yang membuat
kita betah dengan diri sendiri? Adakah
sesuatu atau bakat yang kita miliki agar bisa kita abdikan untuk sesama atau
untuk kelangsungan tarekat? Pangglian
untuk hidup sendiri menuntut adanya hobi atau ketrampilan pribadi sebagai teman
dalam kesendirian. (Ada begitu banyak kesulitan yang muncul dalam menjawabi
panggilan - hemat saya - terutama muncul karena kita tidak tahu mengisi waktu,
kita tidak punya hobi atau minat yang menjadi teman dalam kesendirian
kita. Membaca bukan hobi, menulis tidak
bisa; menjahit tidak bisa, menyulam tidak tahu, dst. Selanjutnya kita pasti tahu sendiri, pikiran
pasti dan dijamin untuk terus mengembara, kadang-kadang menggerakkan langkah ke
tempat yang penuh risiko).
Apa pun
bakat atau ketrampilan yang kita miliki senantiasa mengandaikan kualitas
berikut; teliti, tekun, sabar, sedikit omong, banyak berbuat. Kita belajar dari St.Yusuf yang betah
melakukan sesuatu dari pada bicara sesuatu apalagi bicara tentang orang lain.
Sikap Yusuf terhadap Sesama
St Yusuf seorang pribadi yang penuh respek
atau hormat terhadap yang lain. Ia hidup di dalam kebudayaan patriarka. Dalam kebudayaan yang demikian perempuan
dianggap manusia kelas dua. Kebudayan Yahudi sebenarnya telah mengkondisikan
perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan.
Namun Yusuf yang dibesarkan dalam kebudayaan yang demikian justru
berlaku sebaliknya, berlawanan dengan kecenderungan umum. Ia justru menaruh
respek yang sangat besar terhadap perempuan.
Meskipun ada cukup alasan baginya untuk merendahkan perempuan yang ia
cintai, namun hal itu tidak ia lakukan. Ia malahan berusaha untuk meninggalkan
Maria tunangannya yang hamil secara diam-diam. Ia ingin merahasiakan aib Maria,
untuk mengamankan nama baik Maria.
Padahal sepintas apa yang terjadi dalam diri Maria secara manusiawi
telah mengecewakan dirinya. Yusuf tetap
bersikap rasional dan sanggup berpikir positip tentang orang lain. Juga pada
saat dia sedang dikecewakan. Ia masih bisa menghormati yang lain, pada saat dia
dilukai. Pada saat dia dikecewakan oleh
sesama, dia tidak membalas dendam, dia tidak menjadikan aib atau kekurangan
sesama sebagai objek cercaan untuk melampiaskan kemarahan terhadap sesama. Yusuf siap mengorbankan perasaannya, demi
nama baik orang yang dia cintai. Satu
pertanyaan reflektif yang perlu kita renungkan bersama yakni, "Mampukah
kita berpikir positip tentang sesama yang mengecewakan kita dalam hidup
ini? Mampukah kita merahasiakan aib atau
kekurangan sesama, demi menjaga nama baik dan cinta akan sesama? Apakah kita setia pada komitmen kita untuk
menghormati yang lain?
Yusuf
Seorang Religius.
Ada beberapa kenyataan yang menjadi bukti bagi kita untuk menempatkan
Yusuf ini ke dalam kategori manusia religius yakni: pertama, ia percaya,
seperti kebanyakan orang Yahudi bahwa Allah menyatakan dirinya melalui mimpi
(Mat 1,20;2,13) Dengan penuh ketaatan ia mengikuti seluruh perintah Malaikat
dalam mimpi (Mat. 1,24; 2,19); Kedua, ia mempersembahkan Yesus di bait Allah
(Luk.2:22). Yang kelihatan di sini adalah kesadaran Yusuf akan ketidakberdayaannya
membimbing Yesus. Sekaligus pengakuannya
yang tulus bahwa anaknya adalah milik Tuhan yang dipercayakan kepadanya selaku
orang tua. Ia mau mendidik anaknya
bersama Tuhan. Ketiga, ia bersama Maria
dan Yesus menghadiri pesta paska di Yerusalem, meski harus menempuh perjalanan
jauh (Luk.2:41). Yusuf disebut seorang yang religius terutama karena cara
hidupnya yang saleh.
Kita ini
disebut kaum religius karena status khusus yang kita miliki. Namun, ketika cara hidup kita tidak
memberikan arti yang penuh pada status kita, maka religiositas kita hanyalah
sebatas label. Yang religius bukan kita tetapi status kita. Sekarang tinggal pilih apa yang mau kita
utamakan kulit atau isi; label atau isi.
Kiranya orang mengenal kita sebagai kaum religius bukan terutama karena
status atau pakaian atau aksesoris yang kita pakai, melainkan terutama karena
cara hidup kita yang baik. Semoga cara
hidup kita menjadi tanda pengenal kemuridan kita. Semoga cara hidup kita
menjadi tanda pengenal bahwa kita adalah kaum religius. Saya percaya berkat doa
dan teladan St. Yusuf kita sanggup untuk
mewujudkan semua harapan ini. Selamat berpesta. Santu Yusuf doakanlah kami
semua…
No comments:
Post a Comment