Renungan Rekoleksi Bulanan
Suster SMSJ Komunitas St.Clara Kisol
Kamis, 18 Maret 2004
Teks Inspirasi: 2Tes.3,7‑12
Yusuf
Tukang Kayu Keturunan Bangsawan:
Refleksi
Atas Kerjaku antara Berkat atau Kutukan
1. Pertanggungjawaban Soal Tema
Hari
Senin kemarin saya sempat bertanya kepada Suster Aurelia tentang tema Rekoleksi
bulanan untuk para suster di komunitas Santa Clara ini. Suster Aurelia tidak
memberikan jawaban yang jelas, malahan ia menganjurkan agar biarkan para suster
membuat refleksi pribadi atas hidup Santu Yusuf sebagai pekerja yang
menjadikannya sebagai Pelindung kaum pekerja. Kemudian, saya konfirmasikan lagi
kepada suster muder dan beliau tampaknya tidak setuju seratus persen untuk
membuat refleksi pribadi saja, minimal itu yang dapat saya tebak, dari
ekespresi nonverbalnya saat itu. Muder juga tidak merumuskan tema yang membantu
saya menyiapkan bahan yang bukan saja relevan tetapi berguna untuk kehidupan
selanjutnya.
Dalam kebingungan saya
mencoba dengan cukup percaya diri merumuskan tema dalam kaitannya dengan peran
Santu Yusuf sebagai Pekerja. Ia itu tergolong keturunan Raja Daud tetapi
berprofesi atau bekerja sebagai tukang kayu. Dalam konteks seperti inilah saya
lalu merumuskan tema permenungan ini menjadi: Yusuf Tukang Kayu Keturunan
Bangsawan:Refleksi Atas Profesiku antara Berkat atau Kutukan. Bahan ini
jelas tidak bermaksud mengabaikan atau mengambil porsi refleksi pribadi para
suster. Bahan ini, hanyalah sekadar pembanding terhadap apa yang secara pribadi
para suster temukan dalam refleksi pribadi. Saya sungguh menyadari apa yang
saya sampaikan dalam rekoleksi ini hanyalah sebuah perpespektif, hanyalah
sebuah titik pandang. Kita mesti menyadari dan saya sendiri menyadari bahwa setiap sudut pandang
selalu mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Saya percaya bahwa cara pandang,
perspektif para suster berdasarkan refeleksi pribadi atas fenomena Santu Yusuf
jauh lebih utuh daripada apa yang saya tawarkan dalam permenungan ini.
2. Santu Yusuf,
Siapakah Dia?
Tentu saja kita dapat
memberikan pelbagai macam jawaban atas pertanyaan seperti ini dan itu sangat
bergantung pada kualitas pengenalan pribadi kita akan Yusuf. Saya kira para
suster yang menjadikan Yusuf ini sebagai pelindung tarekat, mengenal Yusuf ini
secara lebih baik. Para suster pasti mengenal baik jumlah, jenis serta nama
perkakas yang Yusuf gunakan. Para suster juga pasti tahu persis berapa jumlah
rumah, bangku, kursi, poliklinik yang dibangun Yusuf selama hidupnya. Mungkin
juga ada dari antara suster yang tahu persis nama bengkel dan merek meubel yang
dihasilkan Yusuf. Kalau tidak, itu
artinya kualitas pengenalan kita akan Yusuf itu hanya sampai pada pengetahuan
umum seperti halnya juga saya yang hanya mengenalnya secara umum. Terlepas dari
semuanya itu, melalui renungan ini saya hanya akan mengangkat satu dua pokok
pikiran yang sifat informatif berdasarkan tingkat pemahaman saya akan pribadi
Yusuf itu. Saya hanya mengandalkan satu
dasar yakni apa yang diinformasikan melalui kitab suci. Untuk itu, saya akan
mengangkat beberapa identitas Yusuf dan memilih satu hal yang paling menonjol
yang berkaitan dengan keterpilihan Yusuf sebagai pelindung para pekerja. Satu
hal pokok yang akan saya dipertautkan dengan identitas Yusuf berkaitan dengan
pandangan dan sikap kita terhadap kerja apa saja yang kita lakukan. Marilah
kita berusaha melihat identitas Yusuf itu berdasarkan informasi kitab suci.
3.
Identitas Yusuf menurut informasi Kitab Suci
Kalau
kita membolak balik kitab suci perjanjian baru khususnya Injil, maka kita akan
menemukan narasi atau kisah yang melibatkan Yusuf ini sangat terbatas.
Frekuensi kemunuculan namanya sangat terbatas. Tak ada kisah yang tergolong
spekatakuler. Tak ada kisah tentang bagaimana ia menang tender proyek. Tak ada
kisah tentang bagaimana ia membangun sebuah apartemen atau poliklinik. Dalam
konteks sebuah narasi versi kitab suci Yusuf itu ditampilkan hanyalah
sekadar tokoh pelengkap. Dari analisis dan refleksi saya atas
narasi-narasi kitab suci, saya mengenal Yusuf dengan beberapa identitas berikut
ini:
3.1
Yusuf Seorang Rohaniwan
Ada
beberapa kenyataan yang menjadi bukti bagi kita untuk menempatkan Yusuf ini ke
dalam kategori Rohaniwan yakni: pertama, ia percaya, seperti kebanyakan orang
Yahudi bahwa Allah menyatakan dirinya melalui mimpi (Mat 1,20;2,13) Dengan
penuh ketaatan ia mengikuti seluruh perintah Malaikat dalam mimpi (Mat. 1,24;
2,19); Kedua, ia mamatuhi segala tuntutan kehidupan keagamaan Yahudi dengan mempersembahkan
Yesus di bait Allah (Luk.2:22). Mempersembahkan Yesus di Bait Allah merupakan
tanda pengungkapan iman Yusuf sekaligus
mau menyatakan kepada kita bahwa Yusuf menyadari keterbatasannya membimbing
Yesus. Mempersembahkan anak di bait Allah adalah tanda ketaatan sseorang yahudi
pada Allah. Tindakan Yusuf itu merupakan
wujud pengakuannya yang tulus bahwa Yesus itu milik Tuhan yang dipercayakan
kepadanya selaku orang tua. Ia mau
mendidik anaknya bersama Tuhan. Ketiga, Yusuf bersama Maria dan Yesus harus
menempuh perjalanan jauh (Luk.2:41) untuk menghadiri pesta Paska di Yerusalem.
Yusuf disebut seorang yang rohaniwan berkat cara hidupnya yang saleh.
Kita semua tergolong kaum religius karena status khusus
yang kita miliki. Namun, ketika cara
hidup kita tidak memberikan arti yang penuh pada status itu, maka kemungkinan
status itu cenderung menjadi hanya sebatas label yang ditempelkan pada diri
kita. Dalam bahasa yang terlampau kasar dikatakan bahwa yang religius itu
sebenarnya bukan diri, pribadi kita
tetapi status kita. Yang berstatus religius itu bukan inti, isi diri
kita tetapi kulit luar diri kita. Pada zaman sekarang tampaknya orang cenderung
mengenal kita karena atribut dan simbol religius yang kita pakai dan bukan
mengenal kita karena peri dan cara hidup kita yang memang menjadi kekhasan
kita.
3.2
Yusuf : Mengakrabi diri dengan Keterampilan
Profesi menjadi tukang bukanlah hal mudah. Tidak
semua orang dapat menjadi tukang. Itu artinya ada keunggulan atau kualitas
tertentu yang memang dimiliki seorang tukang. Kitab suci memberikan kita
informasi bahwa sebelum Yusuf menjalin asmara dengan Maria, Yusuf sudah
memiliki keunggulan berupa keterampilan sebagai tukang kayu. Dalam rumusan yang
agak kasar Yusuf sebenarnya sudah berpengalaman sebagai seorang pekerja.
Berbekalkan keterampilan itu ia menghidupi dirinya dan keluarga Nasareth. Bakat
atau keterampilan itu sudah menjadi semacam teman hidupnya untuk mengusir sepi.
Ia begitu asyik pada tugasnya sehingga tanpa disadarinya rambutnya banyak yang
matang. Ketika mau berpacaran dengan
Maria, Yusuf sudah tergolong manula. Hari-harinya terisi dengan baik dan
dijadikan sebagai kesempatan untuk mengekpresikan bakat dan diri. Sebagai tukang kayu Yusuf memiliki
kualifikasi unggul yang patut diteladani seperti: sikap dan cara kerja yang teliti, tekun, bernuansa seni, sabar,
sedikit bicara banyak bekerja; besar lengan kecil mulut. Kalau kita telusuri
kitab suci, hampir tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Yusuf.
Merenungkan dan merefleksikan pribadi Yusuf sebagai
tukang kayu yang berbakat, menghantar kita pada pertanyaan reflektif
ini:"Apa keterampilan saya ketika dipanggil dan sesudah dipanggil? Adakah bakat, keterampilan, hobi yang
kumiliki sebagai temanku dalam kesendirian yang memungkinkan saya betah dengan
diri sendiri? Adakah sesuatu, bakat.
keterampilan yang kumiliki agar bisa kuabdikan untuk sesama atau untuk
kelangsungan komunitas, tarekat?
Pangglian kita untuk hidup sendiri menuntut adanya hobi atau ketrampilan
pribadi sebagai teman dalam kesendirian. Kenyataanmembuktikan bahwa banyak
kesulitan yang kita alami dalam tugas panggilan kita justru muncul karena kita
tidak tahu mengisi waktu, kita tidak punya hobi atau minat, keterampilan yang
menjadi teman dalam kesendirian kita.
Membaca terasa ogah, menulis tidak bisa; menjahit tidak dapat, menyulam
tidak tahu, dst. Kita bisa bayangkan apa
yang akan terjadi kalau keadaanya demikian. Kita akan menjumpai kaum nomaden
gaya baru atau pengembara tanpa tujuan yang jelas, menjadi kelompok pengukur jalan.
Kita akan menemukan orang yang mencari keselamatan geografis. Daripada
menganggur di tempat lebih baik ambil
sepeda, ambil motor, ambil mobil dan berangkat tanpa arah. Cara lain masuk
kamar rekreasi menggelar judi, menonton semua tanyangan televisi dari semua
saluran dari semua tingkat usia. Dengan itu waktu lewat tanpa terasa.
Yusuf telah memberikan kita teladan untuk mengembangkan
bakat dan keterampilan agar tidak terkesan sebagai kaum nomaden gaya baru yang
ketiadaan kerja. Satu hal yang selalu kita ingat bahwa apa pun bakat atau
keterampilan yang kita miliki senantiasa mengandaikan kualitas berikut; teliti,
tekun, sabar, sedikit omong, banyak berbuat.
Kita belajar dari St.Yusuf yang betah melakukan tugas dan pekerjaannya,
tak mau menjadi kelompok pengembara, lebih banyak mengerjakan sesuatu daripada
bicara tentang sesuatu apalagi bicara tentang orang lain.
3.3 Yusuf: Figur Pejuang Gender
Kondisi lingkungan budaya masyarakat tempat Yusuf hidup
adalah kondisi yang bercorak patriarkat. Artinya, status pria ditempatkan pada
urutan teratas. Tidaklah mengherankan bila dalam silsilah Yesus nama kaum
prialah yang dihitung. Itulah bukti bahwa
dalam masyarakat Yahudi budaya patriarkat lebih dominan. Kaum perempuan
tidak masuk hitungan. Untung para suster tidak hidup pada masa itu. Kalau
tidak, kasihan deh lhu. Yusuf justru hidup dan menghayati pola hidup yang
persis berlawanan dengan budaya masyarakatnya. Ia justru menjadi pribadi
menaruh respek atau menaruh hormat terhadap yang lain termasuk kaum perempuan. Kebudayan
Yahudi sebenarnya telah mengkondisikan perlakuan yang tidak adil terhadap
perempuan. Namun, sekali lagi, Yusuf yang dibesarkan dalam kebudayaan
sedemikian justru berlaku sebaliknya, berlawanan dengan kecenderungan umum. Isu
gender saat ini bukanlah hal yang baru karena Yusuf sendiri sudah
memperjuangkan itu dengan contoh nyata dan praktis.
Pada masa itu kaum perempuan yang terbukti melakukan
kesalahan harus menerima hukuman berupa rajaman batu. Dalam pikiran kita sudah
cukup alasan bagi Yusuf untuk secara terus terang menghukum calon pasangannya,
namun hal itu tidak ia lakukan. Ia justru hanya berniat mengambil jalan yang
tidak terlalu populer yaitu meninggalkan Maria tunangannya secara diam-diam. Ia
beruapaya keras merahasiakan kondisi Maria demi menjamin nama baik Maria. Dalam kasus ini Yusuf bersikap rasional dan
berpikir positip tentang orang lain. Saat dikecewakan, Yusuf masih menghormati
orang lain. Pada saat dia dikecewakan
oleh sesama, dia tidak membalas dendam, dia tidak menjadikan aib atau
kekurangan sesama sebagai objek cercaan untuk melampiaskan kemarahan. Yusuf
mengorbankan perasaannya, demi nama baik orang yang dia cintai. Satu pertanyaan yang perlu kita renungkan
bersama yakni, "Mampukah kita berpikir positip tentang sesama yang mengecewakan
kita dalam hidup ini? Mampukah kita menyimpan rahasia orang lain yang telah
membuka hati kepada kita secara pribadi?
3.4
Yusuf : Tukang Kayu Keturunan Orang Besar
Kalau kita membaca teks yang
berkaitan dengan Silsilah Yesus dan kisah kelahiran Yesus maka di sana kita
akan disadarkan bahwa ternyata Yusuf itu bukan tergolong anak kolong. Dia
diberi atribut sebagai keturunan Raja Daud. Atribut ini tidak saja dikatakan
oleh manusia biasa melainkan juga ditegaskan oleh malaikat yang mengingatkannya
di dalam mimpi. Ia anak raja, anak pejabat, anak petinggi, anak penguasa. Dalam
kehidupan yang biasa, status anak pejabat atau keturunan raja seperti itu
memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa kehidupannya serba mewah dan
enteng. Konotasi dan gambaran kemewahan cara dan gaya hidup dinilai sebagai
label yang melekat pada mereka yang berstatus keturunan orang besar. Orang
besar biasanya hidup serba mewah, jabatannya besar, gajinya besar, makanan juga
besar, pokoknya semuanya membesar.
Deskripsi kemewahan seperti
ini ternyata sulit ditemukan pada pribadi Yusuf sebagai keturunan Raja Daud.
Dalam perspektif kehidupan kita sekarang Yusuf boleh dikatakan sebagai
satu-satunya keturunan raja yang memilih jalan hidup yang berlawanan dengan kecenderungan
umum. Betapa tidak ia justru memilih apa yang paling banyak dihindari manusia
biasa. Pilihannya tidak main-main. Ia memilih menjadi tukang kayu sebagai
profesinya, menghayati hidup yang sederhana dan miskin, penampilannya
biasa-biasa saja. Kitab Suci memang tidak pernah menceritakan bagaimana ia
kesulitan mencetak batu bata atau kesulitan mencari balok dan papan. Lebih dari
Kitab Suci tidak mendeskripsikan bagaimana pergumulan Yusuf menerima kenyataan
yang berlawanan dengan statusnya sebagai keturunan ningrat. Kitab Suci juga tidak pernah mencatat
bagaimana Yusuf mempersoalkan statusnya sebagi tukang kayu. Justru Kitab Suci
menampilkan Yusuf sebagai figur istimewa.
Keistimewaan Yusuf ini
semakin memuncak dalam episode kisah asmaranya dengan seorang dara dari
Nasareth. Ramalan bintangnya seakan-akan tidak berpihak padanya karena kisah
asmaranya nyaris kandas diterjang prahara. Ia digambarkan seakan-akan menabrak
batu karang ketika tertiup kabar burung, calon pasangannya terlanjur dimadu
oknum berinisial RK alias Roh Kudus. Kita tentu maklum dan mungkin berpihak
kepada Yusuf kalau ia harus melepaskan si kekasih. Pikiran kita memang bukan
pikiran Yusuf. Ia justru memilih jalan dan arah yang berlawanan dengan logika
asmara sepasang remaja. Asmaranya yang nyaris kandas tidak membuatnya marah
tetapi ia malahan semakin ramah (bukan rajin jamah melainkan rajin memahami).
Ia memahami pasangannya dalam ketulusan tiada tara (Mat. 1:19)
Status hidup dan pilihan Yusuf bagi banyak orang masa itu
memang dan jelas terasa aneh untuk tidak mengatakan gila. Tentu banyak orang
kecewa karena ia seakan-akan mengkhianati status keningratannya lalu mau
menjadi tukang kayu. Suatu pilihan yang sungguh sensasional, menarik untuk
dimaknai. Orang kebanyakan jelas menilai hidup dan pilihan itu jelas tidak
membahagiakan. Tetapi persoalannya untuk kita adalah apakah kebahagiaan itu
harus dan mesti diukur oleh orang lain? Apakah kalau orang lain merasa tidak
bahagia dengan pilihan Yusuf berarti juga Yusuf tidak berbahagia? Saya yakin
tidak demikian. Mengapa? Karena menurut hemat saya suatu pilihan yang dipilih
secara sadar, dipilih justru karena orang atau pemilihnya sungguh yakin itulah
jalan baginya menuju kebahagiaan. Kebahagiaan itu sungguh relatif dan terlampau
subjektif. Orang boleh merasa Yusuf tidak berbahagia tetapi karena Yusuf telah
memilih jalan itu sebagai panggilan hidupnya, maka pasti ia merasa bahagia
dengan pilihan itu.
Pilihan Yusuf merupakan satu ajakan untuk tidak
mengatakan sebagai satu kritikan untuk hidup kita dalam konteks panggilan kita.
Yusuf mau mengkritik hidup kita manusia, kita orang-orang terpanggil yang
kadang-kadang menjalani panggilan tugas dan panggilan hidup ini dalam kekalutan
nostalgia masa silam. Yusuf itu pribadi yang realistis. Ia tahu persis bahwa
kenyataannya ia hanya bisa menjadi tukang kayu dan ia tahu melalui tugas itu ia
akan merasa bahagia. Karena itu, tidak ada alasan baginya untuk membanggakan
masa silam bahwa nenek moyangnya tergolong ningrat. Yusuf tidak mau menjalankan
panggilan hidupnya atas nostalgia. Ia
merasa bahagia dengan pilihannya sehingga ia menjalankan profesi itu sampai
tua. Bahkan Putra Allah yang dititipkan kepadanya juga diajari untuk menekuni
profesi pertukangan. Memang Kitab Suci tidak pernah mencatat ada berapa kursi
atau bangku yang berhasil dibuat Yesus. Kalau saja pekerjaan sebagai tukang
kayu itu tidak membahagiakan dia, sudah hampir pasti Yusuf melarang Yesus
‘anaknya’ untuk menjadi tukang kayu.
Mencermati pola, gaya dan
corak hidup Yusuf ini mungkin baik kalau saat ini kita mencoba melihat
identitas keterpanggilan dan pilihan hidup kita sebagai imam dan biarawati.
Kita sebagai imam, biarawati sudah memilih dan mengikrarkan janji
kesederhanaan, kemurnian, dan ketaatan. Dengan itu sebenarnya kita secara
otomatis beridentitas sederhana, murni, dan taat. Kita hidup dalam identitas
seperti itu karena memang kita sudah menentukan bahwa itulah jalan yang
membahagiakan kita. Konsekuensinya kita tidak pantas lagi bernostalgia tentang
kegemerlapan dan kemewahan yang telah kita tinggalkan. Kita semestinya seperti
Yusuf hidup realistis dengan keadaan sekarang sebagai konsekuensi pilihan
kita. Penampilan dan peran yang kita
mainkan dalam hidup tentu tidak lain diarahkan pada usaha untuk mewujudkan
identitas kemuridan kita. Kesetiaan kita pada tugas, misi perutusan itu memang
sulit. Sulit karena kita cenderung ingin menjadikan diri kita sebagai raja. Dan
kalau godaan untuk menjadi raja
menguasai kita maka kita hampir pasti selalu ingin dilayani, ingin dihormati,
ingin menguasai, enggan berkorban, ingin yang gampang-gampang. Yusuf memilih
menjadi tukang kayu dan melepaskan kemewahan seorang raja. Sebuah kritikan atas
gaya dan cara hidup kita manusia masa kini.
Dalam kenyataan kita kaum religius banyak mendapat
previlese atau keistimewaan. Di tempat
pesta sudah tersedia kursi khusus dan pada posisi terdepan. Di dalam bus maunya
duduk paling depan. Saya tidak tahu kalau nanti di atas besi kongfanger
ditempatkan kursi apakah orang merebut disana. Di jalan kita disapa khusus.
Jika harus mengurus sesuatu, mereka tak perlu antre, dilayani pertama. Masyarakat kita tidak merasa hal itu sebagai
sesuatu yang aneh atau berlebihan. Itulah ungkapan rasa mereka terhadap kita.
Persoalannya justru muncul kalau kita larut di dalam pola pikir dan tindak
masyarakat tersebut, lalu menyangka apa yang dipolakan masyarakat itu menjadi
keharusan. Kita lalu merasa wajib untuk diperlakukan istimewa dan senantiasa
mengharapkan perlakuan khusus seperti itu. Saat
kita tidak di’raja’kan atau diperlakukan sebagai raja kita mulai
marah dan tersinggung. Itu artinya, kita keasyikan menjadi 'raja'.
Mungkin kita mau belajar dari St. Yusuf yang selalu dan
tetap merasa gembira dengan pilihan pasti tidak diperebutkan oleh
kebanyakan orang yakni menjadi sederhana dalam kebesarannya sebagai turunan
Daud. Kita belajar untuk senantiasa happy
dengan pilihan kita yakni menghayati hidup sederhana dalam kemewahan
dunia. Kita mesti yakin bahwa kebahagian
hidup bukan bergantung pada sesuatu yang berada di luar diri kita, melainkan
terletak pada disposisi batin kita terhadap sesuatu yang kita alami ketika kita
berhadapan dengan sesuatu yang ada di luar diri kita.
4. Kerja antara
Berkat Kutukan
Mencermati identitas Yusuf sebagai keturunan orang yang
bekerja sebagai Tukang Kayu atau sebagai pekerja membuat kita bertanya soal
nilai dan makna kerja itu dalam kehidupan manusia. Para suster secara sangat
meyakinkan memilih Santo Yusuf yang berstatus
Pekerja ini sebagai pelindung tarekat. Saya dalam hati bertanya, apa sih
hebatnya Yusuf yang masuk kelompok manula itu sehingga diperebutkan oleh para
suster? Kalau tujuannya merebut peralatan dan perkakasnya santo Yusuf saya kira
tidak relevan karena sampai sekarang belum ada suster SMSJ yang berprofesi
sebagai tukang kayu. Kalau ada, tentu kita tidak perlu mencari tukang lain
untuk membangun poliklinik atau laboratorium IPA. Saya hanya cemas
jangan-jangan hal itu membuat Maria iri hati dan cemburu terhadap para suster.
Saya yakin ada alasan dan argumentasi yang cukup mendasar
mengapa para suster memilih Yusuf ini sebagai pelindung tarekat. Saya hanya bisa menduga-duga, bahwa pilihan
itu jelas ada dimensi imperatifnya. Ada unsur perintah bahwa para suster
hendaknya bahkan mencintai kerja apa saja sebagaimana Yusuf bertekun dan setia
dalam pekerjaannya sebagai tukang. Oleh karena itu agar rekoleksi ini memiliki
fokus untuk hidup kita, saya mengajak kita untuk melihat nilai dan makna setiap
kerja kita apa pun jenisnya.
Orang bilang manusia itu
adalah makhluk pencari dan sekaligus penemu arti dan makna kehidupan. Itu
memang benar! Manusia dan setiap kita berjuang untuk menjadikan hidup kita ini
bermakna dan berarti. Hal inilah yang mendorong manusia untuk bergiat dan
bekerja. Dengan itu kerja pada tingkat
pertama dilihat sebagai unsur yang menjadikan kehidupan itu berarti dan
bermakna. Saya yakin bertolak dari konsep seperti inilah yang membuat para
suster SMSJ menjadikan Yusuf sebagai pelindung tarekat. Berhadapan dengan kerja
biasanya ada dua sikap dasar manusia yakni melihat kerja sebagai Rahmat pada
satu sisi dan melihat kerja sebagai Kutukan pada sisi lain. Bagi mereka yang
melihat kerja sebagai kutukan jelas sangat
mempengaruhi keseluruhan aktivitasnya. Kecintaan kita pada kerja kita
sangat ditentukan oleh pandangan kita
tentang kerja itu. Kalau kita melihatnya sebagai kutukan, beban maka sikap kita
akan lain.
Kahlil Gibral seorang
mistekus keturunan Arab pernah berkata begini: Jika Engkau bekerja, hakikatnya
Engkau mencintai Kehidupan. Kerja dan bekerja adalah kenyataan yang melekat
dan menyatu pada kehidupan kita manusia. Kerena itulah jelas dan tentu terasa
sangat penting bagi kita untuk melihat dan berusaha menyadari kembali makna
pekerjaan yang kita lakukan. Pada saat
ini kita berkesempatan untuk merenungkan secara khusus dan menyadari kembali
segala bentuk kegiatan kita selama ini. Tema rekoleksi yang menyinggung masalah
Kerja yang kita saya rumuskan ini memang sangat tepat kita refleksikan
menjelang pesta Santo Yusuf sang pekerja Ulung dan unggul itu. Kerja yang
menyatu pada kehidupan kita sering kurang disadari sebagai hal yang mulia.
Kerja sering secara sepihak dinilai sebagai kutukan. Tentu, hal ini terjadi
bila manusia kembali pada sejarah pengusiran manusia pertama dari taman
Firdaus. Dengan berpeluh engkau akan mencari makanan (Kej.3,19). Inilah
pengesahan dan penetapan awal perihal kerja yang dilakukan manusia. Motifnya
adalah ekonomi. Hal itu merupakan perluasan dari apa yang Tuhan sampaikan:
taklukanlah dan kuasailah segala
makhluk dan alam semesta beserta isinya (Kej.1,27‑29).
Kalau kita sungguh
merenungkan apa yang dikatakan dalam kitab suci perihal kerja manusia maka
seharusnya kita mengucapkan syukur karena hanya kepada kita manusia Tuhan
menyerahkan mandat untuk berkuasa atas alam semesta. Pelaksanaan mandat itu
jelas dinyatakan dalam segala bentuk pekerjaan yang kita lakukan. Kerja yang
semula dikehendaki Allah itu dilakukan juga oleh Yesus selama berkarya di
tengah manusia. Yesus bekerja melakukan yang baik. Ia berkeliling untuk berbuat
baik dengan menyembuhkan orang yang sakit dan bahkan membangkitkan orang mati.
Yesus itu menjadi model manusia yang
sibuk, manusia yang selalu aktif.
Kehidupan Yesus menjadi penuh arti
justru dari segala kesibukanNya itu. Sungguh menarik buat direnungkan kalau
kita mau mengambil satu contoh dari Injil Yohanes. Kisah penyembuhan oleh Yesus dalam versi Yohanes mengandung satu
tugas. Yesus berkata kepada orang sakit yang disembuhkan itu: bangunlah,
berjalanlah dan angkatlah tilammu. Hal ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa
Yesus mau supaya orang itu aktif bekerja dan berbuat sesuatu. Berdiri, bangun
berjalan dan mengangkat sesuatu itu adalah bahasa lain untuk bekerja.
Yesus sibuk dan bekerja
untuk membebaskan orang sakit dari penderitaanya. Yesus mau supaya orang itu
sembuh dan bisa bekerja. Dan hal itu
memang terjadi. Namun ternyata ada kelompok lain yang nota bane musuh
Yesus melihat bahwa apa yang terjadi saat itu merupakan pelecehan terhadap
kekudusan hari sabat. Tetapi Yesus tetap pada pendirian-Nya, Ia tetap
melaksanakan tugas dan pekerjaan berbuat baik. Ia menangkal pikiran sesaat para
musuhnya dengan berkata tegas: Bapa-Ku bekerja sampai sekarang maka Aku pun
bekerja sampai sekarang. Yesus mau mengubah sikap hidup para musuhnya itu.
Pengalaman Yesus itu juga dialami pada masa hidup dan karya Santu
Paulus. Kehidupan jemaat di Tesalonika yang suka bermalas‑malasan mendorong
Paulus untuk menyatakan keprihatinannya.
Hal itu sangat jelas terungkap dalam teks yang kita baca dan renungkan.
Paulus mengecam mereka yang tidak mau bekerja dengan mengatakan: yang tidak
bekerja janganlah ia makan. Dengan kata lain yang tidak berbuat sesuatu tidak
pantas mendapat sesuatu. Di Tesalonika itu begitu banyak manusia yang sibuk
sampai hidup mereka tidak bisa tertib lagi. Mereka hidup hanya bergantung pada
orang lain dan bukannya menikmati apa yang menjadi hasil karyanya sendiri.
Itulah sebabnya Paulus
menulis surat yang bercorak himbauan
kepada mereka itu agar bekerja dengan tekun. Paulus memberikan penekanan pada
nilai ekonomis kerja manusia itu. Ia menulis: setiap orang yang tidak bekerja hendaklah ia jangan
makan.
Barangkali yang menjadi
masalah inti bagi kita adalah bagaimana pemahaman dan pengertian kita tentang
kerja itu. Kita memilih kerja sebagai rekoleksi ini tentu dalam benak kita
paling kurang ada satu konsep tentang
kerja. Kita coba melihat bagaimana pemahaman kita dan bagaimana pendapat orang
lain juga tentang kerja itu. Sebagai orang beriman kita diminta untuk menyadari
arti serta makna segala kesibukan dan kegiatan kita. Hanya orang yang tidak beriman yang melihat kerja itu
sebagai kutukan. Karena itu yang paling
penting untuk kita adalah melihat kerja itu secara positif. Apa saja yang
menjadi kesibukan dan kerja kita hendaknya selalu dilihat secara positif. Cara
melihat positif itu adalah melihat kerja
sebagai rahmat.
Melihat kerja secara positif
itu bukan soal gampang. Untuk pekerjaan yang menyenangkan kita mungkin kita
mudah untuk melihatnya secara positif.
Namun yang menjadi kesulitan bagi kita adalah bagaimana melihat secara positif
semua pekerjaan yang tidak kita sukai
atau pekerjaan yang dipaksakan kepada kita. Untuk itu tentu kita membutuhkan satu dasar
pemikiran yang lain. Kita diminta agar melihatnya dalam bimbingan firman Tuhan.
Hanya dengan itu kita bisa melihat segala bentuk kerja itu menjadi media tempat
Allah melimpahkan rehmat-Nya. Dan nilai kerja kita itu bukan semata‑mata ditentukan
oleh pekerjaan yang hebat, yang besar, yang diketahui banyak orang yang
menggegerkan. Setiap kegiatan sekecil apa pun kalau dilaksanakan dalam satu
kesadaran bahwa kita mau berpartisipasi
membangun manusia dan dunia, kerja itu adalah rahmat. Kesadaran bahwa pekerjaan
kita berguna itulah yang menentukan kerja kita itu berguna sebagai rahmat. Dengan demikian apa saja yang kita
kerjakan, yang kita buat, kita buat karena sadar bahwa di sana kita melaksanakan
kehendak Tuhan yang mau bekerja.
Yusuf yang dipilih menjadi
pelindung tarekat dan pelindung para pekerja justru menghayati prinsip ini.
Kitab Pengkotbah menghimbau demikian: segala yang kau jumpai dengan tanganmu
untuk dikerjakan kerjakanlah itu sekuat tenaga (9,10). Itu berarti kita
melakukan apa yang dapat kita lakukan, dengan apa yang kita miliki di mana saja
kita berada. Untuk itu kita mesti
menghindari konsep‑konsep yang salah tentang kerja. Ada beberapa konsep
yang salah tentang kerja antara lain:
Pertama:
orang mengindentikan begitu saja kerja dan sibuk. Sibuk sama dengan kerja dan
kalau orang kerja pasti sibuk. Hemat saya, kerja itu tidak sama dengan selalu
sibuk. Orang kita sekarang ini sibuk kiri kanan. Apakah itu artinya kerja?
Tidak. Kerja bukan berarti sibuk. Karena banyak kesibukan itu tidak punya
makna dan tak berarti. Kesibukan kita yang tidak bisa mendatangkan rahmat,
bukanlah kerja. Paulus menegaskannya sebagai sesuatu yang sia‑sia. Itulah
sebabnya Hendro Nouwen berkata: zaman ini adalah zaman yang penuh dengan
kesibukan. Namun sayang zaman ini memang penuh namun hampa, padat namun tak
berisi. Dengan demikian orang yang
menjalankan tugasnya dengan tenang‑tenang di kebun, di kandang, di dapur, di
sekolah, di ruangan jahit, dll. Tidak bisa dikatakan mereka tidak bekerja.
Berbuat dengan tenang namun berguna itulah kerja. Membuat supaya hidup ini punya arti bagi diri, bagi sesama
dan bagi Tuhan itulah kerja kita.
Kedua:
Kerja itu tidak selamanya mesti kelihatan, dan tampak. Kita sering berpikir
bahwa yang namanya kerja harus peras
keringat setengah mati. Jari tangan harus keriput dan tumpul, kulitnya kasar.
Kerja itu tidak terbatas pada kerja fisik tetapi juga kerja mental rohani.
Kerja kita perlu disadari maknanya dan itu perlu meluangkan waktu mencari
penjelasan dari Tuhan dalam doa dan refleksi kita. Kerja itu akan mendatangkan
rahmat bila terjadi keseimbangan antara sibuk dan diam, kerja dan doa, sibuk dan refleksi. Tidak cukup kita sibuk! Pertanyaan yang paling
penting adalah apa yang kita sibukan. Tidak cukup kita bekerja. Yang penting
tahu apa dan untuk apa kita bekerja!
Saya akhiri renungan ini
dengan mengutip sebuah dialog yang
terjadi antara seorang penyair Kahlil Gibran dengan seorang petani: Seorang
peladang datang bertanya tentang kerja. Maka Gibran menjelaskannya demikian:
Jika Kau bekerja maka langkah seiring irama bumi. Berpangku tangan menjadikan
engkau orang yang asing bagi musim, dan
keluar dari barisan kehidupan sendiri. Bila Bekerja Engkau ibarat sepucuk seruling. Lewat jantungnya bisikan
sang waktu menjelma lagu. Selama ini kau dengar orang berkata bahwa kerja adalah kutukan dan jeri payah adalah suratan
takdir, TETAPI aku berkata kepadamu:
bila kau bekerja Engkau memenuhi sebagian cita‑cita bumi yang tertinggi.
Dengan menyibukan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan.
Mencintai hidup dengan
bekerja adalah mengalami rahasia hidup yang paling dalam. Jika engkau bekerja
dengan rasa cinta, engkau menyatukan dirimu dengan dirimu. Kau satukan dirimu
dengan orang lain, serta kau dekatkan dirimu kepada Tuhan. Kerja adalah cinta
yang mengejahwanta. Jika kau tidak sanggup bekerja dengan cinta, lebih baik
engkau meninggalkannya dan jadilah pengemis pada mereka yang bekerja sukacita.
Sebab jika engkau membakar roti dengan rasa tertekan maka pahitlah roti itu.
Bila engkau menggerutu saat memeras
anggur, gerutu itu akan meracuni anggur. Dan walau kau menyanyi dengan suara
bidadari tetapi hatimu tidak menyukainya,
maka seluruh alam akan menutup telinga terhadapnya.
Kita memilih Yusuf sebagai
pelindung kaum pekerja dan pelindung tarekat. Konsekuensinya kita harus
meneruskan dan meingkatkan semangat kerja itu dalam praktik hidup kita. Tentu
kita secara pribadi dapat menentukan kadar dan kualitas kerja kita. Apakah kita
menerima semua pekerjaan kita dengan senang hati, tekun dan setia seperti yang
terjadi pada Yusuf sang pelindung kita. Apakah kita bekerja sekedar mencari
kesibukan ataukah kita kerja karena memang kita menyadari ada nilai keselamatan
dalam kerja kita? Hanya kita yang bisa memberikan jawaban yang tepat dan pasti.
Semoga kita menjadi pekerja yang dilandasi cinta sehingga hasilnya berguna bagi
orang lain dan kerja yang berguna itulah yang kita sebut rahmat. Benarlah kata
Gibran: Dengan bekerja hakikatnya engkau mencintai kehidupan. Mari kita
mengisi hidup kita dengan kerja seperti yang diteladankan Santu Yusuf. Sekian
dan terima kasih.
No comments:
Post a Comment