Sunday, June 3, 2012

RENUNGAN REKOLEKSI SMSJ


Renungan Rekoleksi Bulanan

Suster SMSJ Komunitas St.Clara Kisol

Kamis, 18 Maret 2004

Teks Inspirasi: 2Tes.3,7‑12

Yusuf Tukang Kayu Keturunan Bangsawan:
Refleksi Atas Kerjaku antara Berkat atau Kutukan

1. Pertanggungjawaban Soal Tema
Hari Senin kemarin saya sempat bertanya kepada Suster Aurelia tentang tema Rekoleksi bulanan untuk para suster di komunitas Santa Clara ini. Suster Aurelia tidak memberikan jawaban yang jelas, malahan ia menganjurkan agar biarkan para suster membuat refleksi pribadi atas hidup Santu Yusuf sebagai pekerja yang menjadikannya sebagai Pelindung kaum pekerja. Kemudian, saya konfirmasikan lagi kepada suster muder dan beliau tampaknya tidak setuju seratus persen untuk membuat refleksi pribadi saja, minimal itu yang dapat saya tebak, dari ekespresi nonverbalnya saat itu. Muder juga tidak merumuskan tema yang membantu saya menyiapkan bahan yang bukan saja relevan tetapi berguna untuk kehidupan selanjutnya.
Dalam kebingungan saya mencoba dengan cukup percaya diri merumuskan tema dalam kaitannya dengan peran Santu Yusuf sebagai Pekerja. Ia itu tergolong keturunan Raja Daud tetapi berprofesi atau bekerja sebagai tukang kayu. Dalam konteks seperti inilah saya lalu merumuskan tema permenungan ini menjadi: Yusuf Tukang Kayu Keturunan Bangsawan:Refleksi Atas Profesiku antara Berkat atau Kutukan. Bahan ini jelas tidak bermaksud mengabaikan atau mengambil porsi refleksi pribadi para suster. Bahan ini, hanyalah sekadar pembanding terhadap apa yang secara pribadi para suster temukan dalam refleksi pribadi. Saya sungguh menyadari apa yang saya sampaikan dalam rekoleksi ini hanyalah sebuah perpespektif, hanyalah sebuah titik pandang. Kita mesti menyadari dan saya  sendiri menyadari bahwa setiap sudut pandang selalu mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Saya percaya bahwa cara pandang, perspektif para suster berdasarkan refeleksi pribadi atas fenomena Santu Yusuf jauh lebih utuh daripada apa yang saya tawarkan dalam permenungan ini.
2. Santu Yusuf, Siapakah Dia?
Tentu saja kita dapat memberikan pelbagai macam jawaban atas pertanyaan seperti ini dan itu sangat bergantung pada kualitas pengenalan pribadi kita akan Yusuf. Saya kira para suster yang menjadikan Yusuf ini sebagai pelindung tarekat, mengenal Yusuf ini secara lebih baik. Para suster pasti mengenal baik jumlah, jenis serta nama perkakas yang Yusuf gunakan. Para suster juga pasti tahu persis berapa jumlah rumah, bangku, kursi, poliklinik yang dibangun Yusuf selama hidupnya. Mungkin juga ada dari antara suster yang tahu persis nama bengkel dan merek meubel yang dihasilkan Yusuf.  Kalau tidak, itu artinya kualitas pengenalan kita akan Yusuf itu hanya sampai pada pengetahuan umum seperti halnya juga saya yang hanya mengenalnya secara umum. Terlepas dari semuanya itu, melalui renungan ini saya hanya akan mengangkat satu dua pokok pikiran yang sifat informatif berdasarkan tingkat pemahaman saya akan pribadi Yusuf itu.  Saya hanya mengandalkan satu dasar yakni apa yang diinformasikan melalui kitab suci. Untuk itu, saya akan mengangkat beberapa identitas Yusuf dan memilih satu hal yang paling menonjol yang berkaitan dengan keterpilihan Yusuf sebagai pelindung para pekerja. Satu hal pokok yang akan saya dipertautkan dengan identitas Yusuf berkaitan dengan pandangan dan sikap kita terhadap kerja apa saja yang kita lakukan. Marilah kita berusaha melihat identitas Yusuf itu berdasarkan informasi kitab suci.
3. Identitas Yusuf menurut informasi Kitab Suci
Kalau kita membolak balik kitab suci perjanjian baru khususnya Injil, maka kita akan menemukan narasi atau kisah yang melibatkan Yusuf ini sangat terbatas. Frekuensi kemunuculan namanya sangat terbatas. Tak ada kisah yang tergolong spekatakuler. Tak ada kisah tentang bagaimana ia menang tender proyek. Tak ada kisah tentang bagaimana ia membangun sebuah apartemen atau poliklinik. Dalam konteks sebuah narasi versi kitab suci Yusuf itu ditampilkan hanyalah sekadar  tokoh pelengkap.  Dari analisis dan refleksi saya atas narasi-narasi kitab suci, saya mengenal Yusuf dengan beberapa identitas berikut ini:
3.1 Yusuf Seorang Rohaniwan
Ada beberapa kenyataan yang menjadi bukti bagi kita untuk menempatkan Yusuf ini ke dalam kategori Rohaniwan yakni: pertama, ia percaya, seperti kebanyakan orang Yahudi bahwa Allah menyatakan dirinya melalui mimpi (Mat 1,20;2,13) Dengan penuh ketaatan ia mengikuti seluruh perintah Malaikat dalam mimpi (Mat. 1,24; 2,19); Kedua, ia mamatuhi segala tuntutan kehidupan keagamaan Yahudi dengan mempersembahkan Yesus di bait Allah (Luk.2:22). Mempersembahkan Yesus di Bait Allah merupakan tanda pengungkapan iman Yusuf  sekaligus mau menyatakan kepada kita bahwa Yusuf menyadari keterbatasannya membimbing Yesus. Mempersembahkan anak di bait Allah adalah tanda ketaatan sseorang yahudi pada Allah. Tindakan Yusuf  itu merupakan wujud pengakuannya yang tulus bahwa Yesus itu milik Tuhan yang dipercayakan kepadanya selaku orang tua.  Ia mau mendidik anaknya bersama Tuhan. Ketiga, Yusuf bersama Maria dan Yesus harus menempuh perjalanan jauh (Luk.2:41) untuk menghadiri pesta Paska di Yerusalem. Yusuf disebut seorang yang rohaniwan berkat cara hidupnya yang saleh.
Kita semua tergolong kaum religius karena status khusus yang kita miliki.  Namun, ketika cara hidup kita tidak memberikan arti yang penuh pada status itu, maka kemungkinan status itu cenderung menjadi hanya sebatas label yang ditempelkan pada diri kita. Dalam bahasa yang terlampau kasar dikatakan bahwa yang religius itu sebenarnya bukan diri, pribadi kita  tetapi status kita. Yang berstatus religius itu bukan inti, isi diri kita tetapi kulit luar diri kita. Pada zaman sekarang tampaknya orang cenderung mengenal kita karena atribut dan simbol religius yang kita pakai dan bukan mengenal kita karena peri dan cara hidup kita yang memang menjadi kekhasan kita.
3.2 Yusuf : Mengakrabi diri dengan Keterampilan
Profesi  menjadi tukang bukanlah hal mudah. Tidak semua orang dapat menjadi tukang. Itu artinya ada keunggulan atau kualitas tertentu yang memang dimiliki seorang tukang. Kitab suci memberikan kita informasi bahwa sebelum Yusuf menjalin asmara dengan Maria, Yusuf sudah memiliki keunggulan berupa keterampilan sebagai tukang kayu. Dalam rumusan yang agak kasar Yusuf sebenarnya sudah berpengalaman sebagai seorang pekerja. Berbekalkan keterampilan itu ia menghidupi dirinya dan keluarga Nasareth. Bakat atau keterampilan itu sudah menjadi semacam teman hidupnya untuk mengusir sepi. Ia begitu asyik pada tugasnya sehingga tanpa disadarinya rambutnya banyak yang matang. Ketika mau berpacaran dengan  Maria, Yusuf sudah tergolong manula. Hari-harinya terisi dengan baik dan dijadikan sebagai kesempatan untuk mengekpresikan bakat dan diri.  Sebagai tukang kayu Yusuf memiliki kualifikasi unggul yang patut diteladani seperti: sikap dan cara kerja  yang teliti, tekun, bernuansa seni, sabar, sedikit bicara banyak bekerja; besar lengan kecil mulut. Kalau kita telusuri kitab suci, hampir tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Yusuf.
Merenungkan dan merefleksikan pribadi Yusuf sebagai tukang kayu yang berbakat, menghantar kita pada pertanyaan reflektif ini:"Apa keterampilan saya ketika dipanggil dan sesudah dipanggil?  Adakah bakat, keterampilan, hobi yang kumiliki sebagai temanku dalam kesendirian yang memungkinkan saya betah dengan diri sendiri?  Adakah sesuatu, bakat. keterampilan yang kumiliki agar bisa kuabdikan untuk sesama atau untuk kelangsungan komunitas, tarekat?  Pangglian kita untuk hidup sendiri menuntut adanya hobi atau ketrampilan pribadi sebagai teman dalam kesendirian. Kenyataanmembuktikan bahwa banyak kesulitan yang kita alami dalam tugas panggilan kita justru muncul karena kita tidak tahu mengisi waktu, kita tidak punya hobi atau minat, keterampilan yang menjadi teman dalam kesendirian kita.  Membaca terasa ogah, menulis tidak bisa; menjahit tidak dapat, menyulam tidak tahu, dst.  Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi kalau keadaanya demikian. Kita akan menjumpai kaum nomaden gaya baru atau pengembara tanpa tujuan yang jelas, menjadi kelompok pengukur jalan. Kita akan menemukan orang yang mencari keselamatan geografis. Daripada menganggur di  tempat lebih baik ambil sepeda, ambil motor, ambil mobil dan berangkat tanpa arah. Cara lain masuk kamar rekreasi menggelar judi, menonton semua tanyangan televisi dari semua saluran dari semua tingkat usia. Dengan itu waktu lewat tanpa terasa.
Yusuf telah memberikan kita teladan untuk mengembangkan bakat dan keterampilan agar tidak terkesan sebagai kaum nomaden gaya baru yang ketiadaan kerja. Satu hal yang selalu kita ingat bahwa apa pun bakat atau keterampilan yang kita miliki senantiasa mengandaikan kualitas berikut; teliti, tekun, sabar, sedikit omong, banyak berbuat.  Kita belajar dari St.Yusuf yang betah melakukan tugas dan pekerjaannya, tak mau menjadi kelompok pengembara, lebih banyak mengerjakan sesuatu daripada bicara tentang sesuatu apalagi bicara tentang orang lain.

3.3 Yusuf: Figur Pejuang Gender

Kondisi lingkungan budaya masyarakat tempat Yusuf hidup adalah kondisi yang bercorak patriarkat. Artinya, status pria ditempatkan pada urutan teratas. Tidaklah mengherankan bila dalam silsilah Yesus nama kaum prialah yang dihitung. Itulah bukti bahwa  dalam masyarakat Yahudi budaya patriarkat lebih dominan. Kaum perempuan tidak masuk hitungan. Untung para suster tidak hidup pada masa itu. Kalau tidak, kasihan deh lhu. Yusuf justru hidup dan menghayati pola hidup yang persis berlawanan dengan budaya masyarakatnya. Ia justru menjadi pribadi menaruh respek atau menaruh hormat terhadap yang lain termasuk kaum perempuan. Kebudayan Yahudi sebenarnya telah mengkondisikan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Namun, sekali lagi, Yusuf yang dibesarkan dalam kebudayaan sedemikian justru berlaku sebaliknya, berlawanan dengan kecenderungan umum. Isu gender saat ini bukanlah hal yang baru karena Yusuf sendiri sudah memperjuangkan itu dengan contoh nyata dan praktis.
Pada masa itu kaum perempuan yang terbukti melakukan kesalahan harus menerima hukuman berupa rajaman batu. Dalam pikiran kita sudah cukup alasan bagi Yusuf untuk secara terus terang menghukum calon pasangannya, namun hal itu tidak ia lakukan. Ia justru hanya berniat mengambil jalan yang tidak terlalu populer yaitu meninggalkan Maria tunangannya secara diam-diam. Ia beruapaya keras merahasiakan kondisi Maria demi menjamin nama baik Maria.  Dalam kasus ini Yusuf bersikap rasional dan berpikir positip tentang orang lain. Saat dikecewakan, Yusuf masih menghormati orang lain.  Pada saat dia dikecewakan oleh sesama, dia tidak membalas dendam, dia tidak menjadikan aib atau kekurangan sesama sebagai objek cercaan untuk melampiaskan kemarahan. Yusuf mengorbankan perasaannya, demi nama baik orang yang dia cintai.  Satu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama yakni, "Mampukah kita berpikir positip tentang sesama yang mengecewakan kita dalam hidup ini? Mampukah kita menyimpan rahasia orang lain yang telah membuka hati kepada kita secara pribadi?
3.4 Yusuf : Tukang Kayu Keturunan Orang Besar
Kalau kita membaca teks yang berkaitan dengan Silsilah Yesus dan kisah kelahiran Yesus maka di sana kita akan disadarkan bahwa ternyata Yusuf itu bukan tergolong anak kolong. Dia diberi atribut sebagai keturunan Raja Daud. Atribut ini tidak saja dikatakan oleh manusia biasa melainkan juga ditegaskan oleh malaikat yang mengingatkannya di dalam mimpi. Ia anak raja, anak pejabat, anak petinggi, anak penguasa. Dalam kehidupan yang biasa, status anak pejabat atau keturunan raja seperti itu memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa kehidupannya serba mewah dan enteng. Konotasi dan gambaran kemewahan cara dan gaya hidup dinilai sebagai label yang melekat pada mereka yang berstatus keturunan orang besar. Orang besar biasanya hidup serba mewah, jabatannya besar, gajinya besar, makanan juga besar, pokoknya semuanya membesar.
Deskripsi kemewahan seperti ini ternyata sulit ditemukan pada pribadi Yusuf sebagai keturunan Raja Daud. Dalam perspektif kehidupan kita sekarang Yusuf boleh dikatakan sebagai satu-satunya keturunan raja yang memilih jalan hidup yang berlawanan dengan kecenderungan umum. Betapa tidak ia justru memilih apa yang paling banyak dihindari manusia biasa. Pilihannya tidak main-main. Ia memilih menjadi tukang kayu sebagai profesinya, menghayati hidup yang sederhana dan miskin, penampilannya biasa-biasa saja. Kitab Suci memang tidak pernah menceritakan bagaimana ia kesulitan mencetak batu bata atau kesulitan mencari balok dan papan. Lebih dari Kitab Suci tidak mendeskripsikan bagaimana pergumulan Yusuf menerima kenyataan yang berlawanan dengan statusnya sebagai keturunan ningrat.  Kitab Suci juga tidak pernah mencatat bagaimana Yusuf mempersoalkan statusnya sebagi tukang kayu. Justru Kitab Suci menampilkan Yusuf sebagai figur istimewa. 
Keistimewaan Yusuf ini semakin memuncak dalam episode kisah asmaranya dengan seorang dara dari Nasareth. Ramalan bintangnya seakan-akan tidak berpihak padanya karena kisah asmaranya nyaris kandas diterjang prahara. Ia digambarkan seakan-akan menabrak batu karang ketika tertiup kabar burung, calon pasangannya terlanjur dimadu oknum berinisial RK alias Roh Kudus. Kita tentu maklum dan mungkin berpihak kepada Yusuf kalau ia harus melepaskan si kekasih. Pikiran kita memang bukan pikiran Yusuf. Ia justru memilih jalan dan arah yang berlawanan dengan logika asmara sepasang remaja. Asmaranya yang nyaris kandas tidak membuatnya marah tetapi ia malahan semakin ramah (bukan rajin jamah melainkan rajin memahami). Ia memahami pasangannya dalam ketulusan tiada tara (Mat.  1:19)
Status hidup dan pilihan Yusuf bagi banyak orang masa itu memang dan jelas terasa aneh untuk tidak mengatakan gila. Tentu banyak orang kecewa karena ia seakan-akan mengkhianati status keningratannya lalu mau menjadi tukang kayu. Suatu pilihan yang sungguh sensasional, menarik untuk dimaknai. Orang kebanyakan jelas menilai hidup dan pilihan itu jelas tidak membahagiakan. Tetapi persoalannya untuk kita adalah apakah kebahagiaan itu harus dan mesti diukur oleh orang lain? Apakah kalau orang lain merasa tidak bahagia dengan pilihan Yusuf berarti juga Yusuf tidak berbahagia? Saya yakin tidak demikian. Mengapa? Karena menurut hemat saya suatu pilihan yang dipilih secara sadar, dipilih justru karena orang atau pemilihnya sungguh yakin itulah jalan baginya menuju kebahagiaan. Kebahagiaan itu sungguh relatif dan terlampau subjektif. Orang boleh merasa Yusuf tidak berbahagia tetapi karena Yusuf telah memilih jalan itu sebagai panggilan hidupnya, maka pasti ia merasa bahagia dengan pilihan itu.
Pilihan Yusuf merupakan satu ajakan untuk tidak mengatakan sebagai satu kritikan untuk hidup kita dalam konteks panggilan kita. Yusuf mau mengkritik hidup kita manusia, kita orang-orang terpanggil yang kadang-kadang menjalani panggilan tugas dan panggilan hidup ini dalam kekalutan nostalgia masa silam. Yusuf itu pribadi yang realistis. Ia tahu persis bahwa kenyataannya ia hanya bisa menjadi tukang kayu dan ia tahu melalui tugas itu ia akan merasa bahagia. Karena itu, tidak ada alasan baginya untuk membanggakan masa silam bahwa nenek moyangnya tergolong ningrat. Yusuf tidak mau menjalankan panggilan hidupnya atas nostalgia.  Ia merasa bahagia dengan pilihannya sehingga ia menjalankan profesi itu sampai tua. Bahkan Putra Allah yang dititipkan kepadanya juga diajari untuk menekuni profesi pertukangan. Memang Kitab Suci tidak pernah mencatat ada berapa kursi atau bangku yang berhasil dibuat Yesus. Kalau saja pekerjaan sebagai tukang kayu itu tidak membahagiakan dia, sudah hampir pasti Yusuf melarang Yesus ‘anaknya’ untuk menjadi tukang kayu.
Mencermati pola, gaya dan corak hidup Yusuf ini mungkin baik kalau saat ini kita mencoba melihat identitas keterpanggilan dan pilihan hidup kita sebagai imam dan biarawati. Kita sebagai imam, biarawati sudah memilih dan mengikrarkan janji kesederhanaan, kemurnian, dan ketaatan. Dengan itu sebenarnya kita secara otomatis beridentitas sederhana, murni, dan taat. Kita hidup dalam identitas seperti itu karena memang kita sudah menentukan bahwa itulah jalan yang membahagiakan kita. Konsekuensinya kita tidak pantas lagi bernostalgia tentang kegemerlapan dan kemewahan yang telah kita tinggalkan. Kita semestinya seperti Yusuf hidup realistis dengan keadaan sekarang sebagai konsekuensi pilihan kita.  Penampilan dan peran yang kita mainkan dalam hidup tentu tidak lain diarahkan pada usaha untuk mewujudkan identitas kemuridan kita. Kesetiaan kita pada tugas, misi perutusan itu memang sulit. Sulit karena kita cenderung ingin menjadikan diri kita sebagai raja. Dan kalau  godaan untuk menjadi raja menguasai kita maka kita hampir pasti selalu ingin dilayani, ingin dihormati, ingin menguasai, enggan berkorban, ingin yang gampang-gampang. Yusuf memilih menjadi tukang kayu dan melepaskan kemewahan seorang raja. Sebuah kritikan atas gaya dan cara hidup kita manusia masa kini.
Dalam kenyataan kita kaum religius banyak mendapat previlese atau keistimewaan.  Di tempat pesta sudah tersedia kursi khusus dan pada posisi terdepan. Di dalam bus maunya duduk paling depan. Saya tidak tahu kalau nanti di atas besi kongfanger ditempatkan kursi apakah orang merebut disana. Di jalan kita disapa khusus. Jika harus mengurus sesuatu, mereka tak perlu antre, dilayani pertama.  Masyarakat kita tidak merasa hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau berlebihan. Itulah ungkapan rasa mereka terhadap kita. Persoalannya justru muncul kalau kita larut di dalam pola pikir dan tindak masyarakat tersebut, lalu menyangka apa yang dipolakan masyarakat itu menjadi keharusan. Kita lalu merasa wajib untuk diperlakukan istimewa dan senantiasa mengharapkan perlakuan khusus seperti itu. Saat  kita tidak di’raja’kan atau diperlakukan sebagai raja kita mulai marah dan tersinggung. Itu artinya, kita keasyikan menjadi 'raja'.
Mungkin kita mau belajar dari St. Yusuf yang selalu dan tetap merasa gembira dengan pilihan pasti tidak diperebutkan oleh kebanyakan orang yakni menjadi sederhana dalam kebesarannya sebagai turunan Daud.  Kita belajar untuk senantiasa happy dengan pilihan kita yakni menghayati hidup sederhana dalam kemewahan dunia.  Kita mesti yakin bahwa kebahagian hidup bukan bergantung pada sesuatu yang berada di luar diri kita, melainkan terletak pada disposisi batin kita terhadap sesuatu yang kita alami ketika kita berhadapan dengan sesuatu yang ada di luar diri kita.
4. Kerja antara Berkat Kutukan
Mencermati identitas Yusuf sebagai keturunan orang yang bekerja sebagai Tukang Kayu atau sebagai pekerja membuat kita bertanya soal nilai dan makna kerja itu dalam kehidupan manusia. Para suster secara sangat meyakinkan memilih Santo Yusuf  yang berstatus Pekerja ini sebagai pelindung tarekat. Saya dalam hati bertanya, apa sih hebatnya Yusuf yang masuk kelompok manula itu sehingga diperebutkan oleh para suster? Kalau tujuannya merebut peralatan dan perkakasnya santo Yusuf saya kira tidak relevan karena sampai sekarang belum ada suster SMSJ yang berprofesi sebagai tukang kayu. Kalau ada, tentu kita tidak perlu mencari tukang lain untuk membangun poliklinik atau laboratorium IPA. Saya hanya cemas jangan-jangan hal itu membuat Maria iri hati dan cemburu terhadap para suster.
Saya yakin ada alasan dan argumentasi yang cukup mendasar mengapa para suster memilih Yusuf ini sebagai pelindung tarekat.  Saya hanya bisa menduga-duga, bahwa pilihan itu jelas ada dimensi imperatifnya. Ada unsur perintah bahwa para suster hendaknya bahkan mencintai kerja apa saja sebagaimana Yusuf bertekun dan setia dalam pekerjaannya sebagai tukang. Oleh karena itu agar rekoleksi ini memiliki fokus untuk hidup kita, saya mengajak kita untuk melihat nilai dan makna setiap kerja kita apa pun jenisnya.
Orang bilang manusia itu adalah makhluk pencari dan seka­ligus penemu arti dan makna kehidupan. Itu memang benar! Manusia dan setiap kita berjuang untuk menjadikan hidup kita ini bermakna dan berarti. Hal inilah yang mendorong manusia untuk bergiat dan bekerja. Dengan itu kerja pada tingkat  pertama dilihat sebagai unsur yang menjadikan kehidupan itu berarti dan bermakna. Saya yakin bertolak dari konsep seperti inilah yang membuat para suster SMSJ menjadikan Yusuf sebagai pelindung tarekat. Berhadapan dengan kerja biasanya ada dua sikap dasar manusia yakni melihat kerja sebagai Rahmat pada satu sisi dan melihat kerja sebagai Kutukan pada sisi lain. Bagi mereka yang melihat kerja sebagai kutukan jelas sangat  mempengaruhi keseluruhan aktivitasnya. Kecintaan kita pada kerja kita sangat  ditentukan oleh pandangan kita tentang kerja itu. Kalau kita melihatnya sebagai kutukan, beban maka sikap kita akan lain.
Kahlil Gibral seorang mistekus keturunan Arab pernah berkata begini: Jika Engkau bekerja, hakikatnya Engkau mencintai Kehidu­pan. Kerja dan bekerja adalah kenyataan yang melekat dan menya­tu pada kehidupan kita manusia. Kerena itulah jelas dan ­tentu terasa sangat penting bagi kita untuk melihat dan berusaha menyadari kembali makna pekerjaan  yang kita lakukan. Pada saat ini kita berkesempatan untuk merenungkan secara khusus dan menyadari kembali segala bentuk kegiatan kita selama ini. Tema rekoleksi yang menyinggung masalah Kerja yang kita saya rumuskan ini memang sangat tepat kita refleksikan menjelang pesta Santo Yusuf sang pekerja Ulung dan unggul itu. Kerja yang menyatu pada kehidupan kita sering kurang disadari sebagai hal yang mulia. Kerja sering secara sepihak dini­lai sebagai kutukan. Tentu, hal ini terjadi bila manusia kembali pada sejarah pengusiran manusia pertama dari taman Firdaus. Dengan berpeluh engkau akan mencari makanan (Kej.3,19). Inilah pengesahan dan penetapan awal perihal ker­ja yang dilakukan manusia. Motifnya adalah ekonomi. Hal itu merupakan perluasan dari apa yang Tuhan sampaikan: taklu­kanlah dan kuasailah  segala makhluk dan alam semesta be­serta isinya (Kej.1,27‑29).
Kalau kita sungguh merenungkan apa yang dikatakan dalam kitab suci perihal kerja manusia maka seharusnya kita men­gucapkan syukur karena hanya kepada kita manusia Tuhan menyerahkan mandat untuk berkuasa atas alam semesta. Pe­laksanaan mandat itu jelas dinyatakan dalam segala bentuk pekerjaan yang kita lakukan. Kerja yang semula dikehendaki Allah itu dilakukan juga oleh Yesus selama berkarya di tengah manusia. Yesus bekerja melakukan yang baik. Ia berkeliling untuk berbuat baik dengan menyembuhkan orang yang sakit dan bahkan membangkitkan orang mati. Yesus itu  menjadi model manusia yang sibuk, manusia yang  selalu ak­tif. Kehidupan Yesus menjadi penuh  arti justru dari sega­la kesibukanNya itu. Sungguh menarik buat direnungkan kalau kita mau mengambil satu contoh dari Injil Yohanes. Kisah penyembuhan oleh  Yesus dalam versi Yohanes mengandung satu tugas. Yesus berkata kepada orang sakit yang disembuhkan itu: bangunlah, berjalanlah dan angkatlah tilammu. Hal ini sebenarnya mau menunjukkan bahwa Yesus mau supaya orang itu aktif bekerja dan berbuat sesuatu. Berdiri, bangun berjalan dan mengangkat sesuatu itu adalah bahasa lain untuk bekerja.
Yesus sibuk dan bekerja untuk membebaskan orang sakit dari penderitaanya. Yesus mau supaya orang itu sembuh dan bisa bekerja. Dan hal itu  memang terjadi. Namun ternyata ada kelompok lain yang nota bane musuh Yesus melihat bahwa apa yang terjadi saat itu merupakan pelecehan terhadap kekudu­san hari sabat. Tetapi Yesus tetap pada pendirian-Nya, Ia tetap melaksanakan tugas dan pekerjaan berbuat baik. Ia menangkal pikiran sesaat para musuhnya dengan berkata tegas: Bapa-Ku bekerja sampai sekarang maka Aku pun bekerja sampai sekarang. Yesus mau mengubah sikap hidup para musuh­nya itu.
Pengalaman Yesus itu  juga dialami pada masa hidup dan karya Santu Paulus. Kehidupan jemaat di Tesalo­nika yang suka bermalas‑malasan mendorong Paulus untuk menyatakan keprihatinannya.  Hal itu sangat jelas terung­kap dalam teks yang kita baca dan renungkan. Paulus mengecam mereka yang tidak mau bekerja dengan mengatakan: yang tidak bekerja janganlah ia makan. Dengan kata lain yang tidak berbuat sesuatu tidak pantas mendapat sesuatu. Di Tesalonika itu begitu banyak manusia yang sibuk sampai hidup mereka tidak bisa tertib lagi. Mereka hidup hanya bergantung pada orang lain dan bukannya menikmati apa yang menjadi hasil karya­nya sendiri.
Itulah sebabnya Paulus menulis surat  yang bercorak him­bauan kepada mereka itu agar bekerja dengan tekun. Paulus memberikan penekanan pada nilai ekonomis kerja manusia itu. Ia menulis: setiap  orang yang tidak bekerja hendak­lah ia jangan makan.
Barangkali yang menjadi masalah inti bagi kita adalah bagaimana pemahaman dan pengertian kita tentang kerja itu. Kita memilih kerja sebagai rekoleksi ini tentu dalam benak kita paling kurang ada  satu konsep tentang kerja. Kita coba melihat bagaimana pemahaman kita dan bagaimana pendapat orang lain juga tentang kerja itu. Sebagai orang beriman kita diminta untuk menyadari arti serta makna segala kesibukan dan kegiatan kita. Hanya orang  yang tidak beriman yang melihat kerja itu sebagai kutukan. Karena itu  yang paling penting untuk kita adalah melihat kerja itu secara positif. Apa saja yang menjadi kesibukan dan kerja kita hendaknya selalu dilihat secara positif. Cara melihat  positif itu adalah melihat kerja sebagai rahmat.
Melihat kerja secara positif itu bukan soal gampang. Untuk pekerjaan yang menyenangkan kita mungkin kita mudah  untuk melihatnya secara positif. Namun yang menjadi kesulitan bagi kita adalah bagaimana melihat seca­ra positif semua pekerjaan yang tidak kita  sukai atau pekerjaan yang dipaksakan kepada kita. Untuk  itu tentu kita membutuhkan satu dasar pemikiran yang lain. Kita diminta agar melihatnya dalam bimbingan firman Tu­han. Hanya dengan itu kita bisa melihat segala bentuk kerja itu menjadi media tempat Allah melimpahkan rehmat-Nya. Dan nilai kerja kita itu bukan semata‑mata di­tentukan oleh pekerjaan yang hebat, yang besar, yang dike­tahui banyak orang yang menggegerkan. Setiap kegiatan sekecil apa pun kalau dilaksanakan dalam satu kesadaran  bahwa kita mau berpartisipasi membangun manusia dan dunia, kerja itu adalah rahmat. Kesadaran bahwa pekerjaan kita berguna itulah yang menentukan kerja kita itu berguna seba­gai  rahmat. Dengan demikian apa saja yang kita kerjakan, yang kita buat, kita buat karena sadar bahwa di sana kita melaksanakan kehendak Tuhan yang mau bekerja.
Yusuf yang dipilih menjadi pelindung tarekat dan pelindung para pekerja justru menghayati prinsip ini. Kitab Pengkotbah menghimbau demikian: segala yang kau jumpai dengan tanganmu untuk dikerjakan kerjakanlah itu sekuat tenaga (9,10). Itu berarti kita melakukan apa yang dapat kita lakukan, dengan apa yang kita miliki di mana saja kita berada. Untuk itu kita mesti  menghindari konsep‑konsep yang salah tentang kerja. Ada beberapa konsep yang salah tentang kerja antara lain:
Pertama: orang mengindentikan begitu saja kerja dan sibuk. Sibuk sama dengan kerja dan kalau orang kerja pasti sibuk. Hemat saya, kerja itu tidak sama dengan selalu sibuk. Orang kita sekarang ini sibuk kiri kanan. Apakah itu artinya kerja? Tidak. Kerja bukan berarti sibuk. Karena banyak ke­sibukan itu tidak punya makna dan tak berarti. Kesibukan kita yang tidak bisa mendatangkan rahmat, bukanlah kerja. Paulus menegaskannya sebagai sesuatu yang sia‑sia. Itulah sebabnya Hendro Nouwen berkata: zaman ini adalah zaman yang penuh dengan kesibukan. Namun sayang zaman ini memang penuh namun hampa, padat namun tak berisi. Dengan  demiki­an orang yang menjalankan tugasnya dengan tenang‑tenang di kebun, di kandang, di dapur, di sekolah, di ruangan jahit, dll. Tidak bisa dikatakan mereka tidak bekerja. Berbuat dengan tenang namun berguna itulah kerja. Membuat supaya  hidup ini punya arti bagi diri, bagi sesama dan bagi Tuhan itulah kerja kita.
Kedua: Kerja itu tidak selamanya mesti kelihatan, dan tam­pak. Kita sering berpikir bahwa yang  namanya kerja harus peras keringat setengah mati. Jari tangan harus keriput dan tumpul, kulitnya kasar. Kerja itu tidak terbatas pada kerja fisik tetapi juga kerja mental rohani. Kerja kita perlu disadari maknanya dan itu perlu meluangkan waktu mencari penjelasan dari Tuhan dalam doa dan refleksi kita. Kerja itu akan mendatangkan rahmat bila terjadi keseimbangan antara sibuk dan diam, kerja dan doa,  sibuk dan refleksi. Tidak  cukup kita sibuk! Perta­nyaan yang paling penting adalah apa yang kita sibukan. Tidak cukup kita bekerja. Yang penting tahu apa dan untuk apa kita bekerja!
Saya akhiri renungan ini dengan mengutip sebuah dialog  yang terjadi antara seorang penyair Kahlil Gibran dengan seorang petani: Se­orang peladang datang bertanya tentang kerja. Maka Gibran menjelaskannya demikian: Jika Kau bekerja maka langkah seiring irama bumi. Berpangku tangan menjadikan engkau orang yang asing bagi  musim, dan keluar dari barisan kehidupan sendiri. Bila Bekerja Engkau ibarat  sepucuk se­ruling. Lewat jantungnya bisikan sang waktu menjelma lagu. Selama ini kau dengar orang berkata bahwa kerja  adalah kutukan dan jeri payah adalah suratan takdir, TETAPI aku berkata kepadamu:  bila kau bekerja Engkau memenuhi seba­gian cita‑cita bumi yang tertinggi. Dengan menyibukan diri dalam kerja, hakekatnya engkau mencintai kehidupan.
Men­cintai hidup dengan bekerja adalah mengalami rahasia hidup yang paling dalam. Jika engkau bekerja dengan rasa cinta, engkau menyatukan dirimu dengan dirimu. Kau satukan dirimu dengan orang lain, serta kau dekatkan dirimu kepada Tuhan. Kerja adalah cinta yang mengejahwanta. Jika kau tidak sanggup bekerja dengan cinta, lebih baik engkau meninggal­kannya dan jadilah pengemis pada mereka yang bekerja suka­cita. Sebab jika engkau membakar roti dengan rasa tertekan maka pahitlah roti itu. Bila engkau menggerutu  saat memeras anggur, gerutu itu akan meracuni anggur. Dan walau kau menyanyi dengan suara bidadari  tetapi hatimu tidak menyu­kainya, maka seluruh alam akan menutup telinga terhadap­nya.
Kita memilih Yusuf sebagai pelindung kaum pekerja dan pelindung tarekat. Konsekuensinya kita harus meneruskan dan meingkatkan semangat kerja itu dalam praktik hidup kita. Tentu kita secara pribadi dapat menentukan kadar dan kualitas kerja kita. Apakah kita menerima semua pekerjaan kita dengan senang hati, tekun dan setia seperti yang terjadi pada Yusuf sang pelindung kita. Apakah kita bekerja sekedar mencari kesibukan ataukah kita kerja karena memang kita menyadari ada nilai keselamatan dalam kerja kita? Hanya kita yang bisa memberikan jawaban yang tepat dan pasti. Semoga kita menjadi pekerja yang dilandasi cinta sehingga hasilnya berguna bagi orang lain dan kerja yang berguna itulah yang kita sebut rahmat. Benarlah kata Gibran: Den­gan bekerja hakikatnya engkau mencintai kehidupan. Mari kita mengisi hidup kita dengan kerja seperti yang diteladankan Santu Yusuf. Sekian dan terima kasih.



Kisol, 18 Maret 2004
Rm. Bone Rampung, Pr


No comments:

Post a Comment