Wednesday, June 27, 2012

MISA HUT PGRI KE-66


RENUNGAN MISA HUT PGRI KE-66 ,
JUMAT, 25 NOVEMBER 2011
Amsal 4,5-15; Markus 2,18-22
Kapela Seminari Pius XII Kisol

Buka
Hari  ini  kita  berkumpul  merayakan  Ekaristi  dalam  rangka HUT PGRI ke-66. Karena beriman dan sebagai orang beriman,  yang  percaya  kepada  kekuatan  Tuhan,  perayaan  seperti  ini bukan saja perlu tetapi sudah semestinya dan seharusnya dilaksanakan. Perayaan seperti ini menjadi penting dan relevan hanya kalau perayaan ini memungkinkan kita sebagai pendidik, memaknai kembali segala   apa telah kita lakukan, sambil merancang rencana menuju peningkatan kinerja sesuai dengan peran strategis kita sebagai guru dan pendidik. Dengan kata lain nilai perayaan ini hendaknya kita jadikan sebagai titik pijak sekaligus penentu arah perjalanan  kita dalam upaya mewariskan aneka hikmat dan pengertian. Sebagai sebuah organisasi PGRI tentu mengharapkan agar kiprahnya terus memberi makna bagi orang yang kita layani. Agar harapan kita ini berkenan kepada Tuhan marilah kita akui kelemahan dan dosa kita.

Renungan
Catatan: hari ini saya memimpin perayaan ini sebentulnya  hanyalah kebetulan karena orang yang diminta yaitu Laurens Sopang (Vikjen) berhalangan. Begitu alasan yang disampaikan ketika rm. Edy meminta saya memimpin perayaan HUT PGRI ke-66 hari ini. Permintaan yang disampaikan romo Edy saya terima dalam konteks tiada rotan, akar pun jadi. Karena itu, saya berharap semoga apa yang saya sampaikan dalam renungan ini sedikitnya menjawab harapan para guru yang tergabung dalam wadah PGRI sesuai dengan tema diusung PGRI baik pada tataran nasional maupun pada tataran lokal, konteks kita. Kalau pun apa yang saya sampaikan tidak memenuhi harapan, anggap saja itu kebetulan. Tetapi, kalau ada yang mendapatkan sesuatu dari renungan ini, itu bukan kebetulan, tetapi itu yang betul. 
Saya kira kita masih ingat kisah yang diangkat dalam pertemuan dengan Kepala BKD kemarin, perihal orang yang  luput dalam tragedi kehancuran Hirosima dan Nagasaki pasca gempuran pasukan sekutu. Pemimpin Jepang masa itu tidak bertanya tentang berapa orang yang meninggal dan yang menderita luka tetapi dia justru bertanya ada berapa guru yang masih tersisa atau yang masih hidup.
Mengapa petingi Jepang memusatkan perhatiannya kepada guru dan bukan para pejabat, teknokrat, dan orang penting lainnya. Mengapa petinggi Jepang hanya bertanya tentang guru yang masih hidup? Di mana kita bisa menemukan jawaban atas pertanyaan serupa ini? Jawabannya implisit terumus di dalam tema besar yang diusung dalam tema HUT PGRI tahun ini. Kalau petinggi Jepang bertanya tentang jumlah guru yang tersisa hidup itu karena bagi petinggi Jepang guru menempati posisi strategis dalam membangun kembali Jepang dari keruntuhan karena perang. Petinggi Jepang sunguh sadar akan penting dan strategisnya peran guru dalam meletakkan dasar bagi seluruh pembangunan Jepang pascaperang itu. Dan, semua kita tahu, Jepang menjadi negara yang maju dalam segala hal karena kemajuan pengetahuannya dipertaruhkan sepenuhnya ke atas pundak para guru Gurunya didisposisikan pada posisi strategis. Dan, bagi saya entah disadari atau tidak tema HUT PGRI tahun ini tampaknya mengacu pada sikap dan pola pikir petinggi Jepang 60 tahun silam.  Paling kurang kata peran strategis guru dalam tema perayaan ini sedikitnya merujuk pada idealisme pemimpin negara Sakura itu terkait profesi guru.
Tema yang mendasari kegiatan kita hari-hari ini pada dasarnya merujuk pada idelaisme untuk mendisposiskan guru sebagai engsel utama penentu arah gerak dunia pendidikan kita. Tema HUT PGRI tahun ini secara konseptual  dan implisit menggambarkan kondisi guru saat ini. Dalam tema: “Meningkatkan Peran Strategis Guru untuk Membangun Karakter Bangsa”  termuat jelas posisi guru sebagai sesuatu yang strategis. Dari aspek bahasa, tema ini sebenarnya belum memenuhi syarat sebuah kalimat diawali dengan kata kerja yang merupakan predikat. Tema ini tanpa subjek sehingga harus memunculkan pertanyaan lanjutan: siapakah yang meningkatkan peran strategis guru itu? Meskipun tema ini tanpa Subjek, tetapi sebenarnya mau menegaskan kepada kita bahwa kita sendirilah yang harus menjadi subjeknya. Hal ini didukung dengan penggunaaan kata kerja aktif meningkatkan dan membangun. Jadi, sudah terang bagi kita bahwa pelaku utama gerakan peningkatan peran guru adalah diri kita sendiri. Aksi peningkatan peran guru ini memiliki orientasi yang tegas dan jelas yaitu membangun karakter bangsa. Membangun karakter bangsa memang sesuatu yang sangat ideal tetapi bukan mustahil untuk diwujudkan. Orang Jepang sudah membuktikan itu ketika pemimpinnya mengandalkan para guru dalam membangun peradaban bangsa dengan pelbagai ide kreatif ditunjang kemampuan berinovasi. Kemajuan Jepang sungguh diyakini karena peran para guru dan pendidikannya. Kalau tema perayaan kita terkesan terlampau luas itu hanya mau agar kita menempatkan seluruh dinamika dan proses pendidikan kita dalam satu bingkai standar negara kesatuan. Di sini kita harus memahami konsep berpikir nasional bertindak lokal. Artinya apa? Artinya, idealisme kita untuk menghadirkan suatu bangsa berkarakter tidak mungkin terwujud jka para pelaku pendidikan pada tingkat lokal tidak memiliki kesamaaan arah perjuangan dan pandangan tentang hakikat kehidupan berkarakter. Bangsa akan berkarakter hanya kalau indvidu pembentuk bangsa itu berkarakter. Kalau negara mempercayakan guru dan lembaga pendidikan sebagai salah satu wadah pembentukan karakter maka itu sama artinya kehidupan bercitra karakter itu harus dimulai pada tingkatan lebih kecil di sekolah-sekolah kita dan kita semua dipanggil untuk itu.
Isu dan wacana pendidikan berkarakter tentu bukan hasil olahan dan rajutan mimpi semalam melainkan sebuah perhentian yang harus menyadarkan kita akan aneka fakta kasat mata yang menampilkan pola dan perihidup tanpa nuansa karakter. Aneka praktik hidup warga bangsa dan masyarakat yang tidak terpuji konon ditengarai banyak kalangan sebagai dampak langsung dari kondisi terlarutnya aneka nilai kehidupan yang tidak lagi bertahan terhadap gempuran tawaran hidup yang membius kesadaran hati manusia. Kebeningan hati manusia telah tercemar, terkontaminasi oleh tawaran kuasa dan jabatan, tawaran harta dan kekayaan. Logika hati manusia zaman ini tampaknya telah dibengkokkan oleh logika kekuasaan dan logika material. Jamak, biasa, lazim, dan terang kita alami dan saksikan ada banyak laporan bernuansa abs, laporan fiktif digunakan sebagai jurus pamungkas  mempertahankan posisi. Hal ini sudah melanda semua instansi tanpa kecuali dunia pendidikan, dunia kita bersama. Tahun ini kita berbangga ketika Kadis PPO Provinsi melansir pernyataan melalui Pos Kupang bahwa NTT menempati urutan ke-6 tingkat nasional untuk nilai ujian sekolah yang dikirim ke Jakarta. Saat itu saya yakin semua kepala sekolah, semua guru, termasuk saya ikut berbangga. Tetapi, tentu kita bisa bayangkan betapa malunya Kadis PPO provinsi ketika menerima hasil UN, NTT seperti biasa terus bertahan di posisi ekor pesawat Indonesia ini. Sampai di sini kita mesti bertanya: siapa sebenarnya yang salah? Kadis PPO Provinsi atau saya yang berhadapan langsung dengan siswa di sekolah? Kasus seperti ini bagi saya sudah membahasakan adanya nilai dan karakter kehidupan yang terabaikan dalam proses pembelajaran kita. Paling kurang kita telah menggadaikan perasaan Kadis PPO NTT dan beliau tentu merasakan itu sebagai tamparan berkadar nasional. Kemarin kita dengar dan bangga serta tepuk tangan meriah karena Manggarai Timur menempat urutan ketiga di NTT. Itu kalau hitung nilai yang sudah disulap dengan nilai dari sekolah yang semuanya di atas delapan. Kalau mau fair kita pakau nilai UN maka seharusnya ada ratusan siswa sma yang tidak lulus di Manggarai Timur. Saya kira para kepala sekolah sudah melihat semua data itu dan tahu persis kondisi seklahnya.
Tentu ada banyak hal yang bisa kita diskusikan dan perbincangkan terkait dunia pergelutan dan prgulatan sebagai guru. HUT PGRI yang kita rayakan ini hendaknya dimaknai sebagai perhentian sejenak untuk membangun kembali aneka kesadaran hati kita tentang tugas kita sebagai guru dan pendidik. Membangun kesadaran hati dalam konteks tema kita sama artinya membangun karakter karena karakter itu berkaitan dengan perilaku yang dikendalikan hati. Untuk itu, baik kalau kita meneropong keseluruhan dinamika dan arah profesi kita dalam konteks firman Tuhan hari ini. Kitab Amsal pada hakikatnya berbicara tentang karakter yang diringkas dalam dua kata kunci yaitu Hikmat dan Pengertian. Hikmat secara leksikal berarti kebijaksanaan, kepandaian, kesaktian dan Pengertian berarti: pemahaman atau kemampuan untuk memahami. Berbicara tentang karakter dengan rujukan pada hikmat dan pengertian sesungguhnya berbicara tentang peran hati yang mengendalikan perilaku manusia. Karena karakter itu merujuk pada sikap dan disiposisi hati maka hal itu tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kita. Itulah sebabnya mengapa Amsal menekankan agar orang tidak boleh meningglkan hikmat dan pengertian itu.  Hikmat dan pengertian itu harus dikalungkan pada leher dan harus selalu ditinggikan karena itulah yang membawa seseorang pada kehormatan sebagai manusia. Hidup berkarakter berarti orang membiarkan hidupnya dipimpin oleh kehendak hatinya.
Dalam   kenyataan   gerak   hati,     kehendak   kita   sering berbenturan dengan cara berpikir. Benturan itu tampak dalam gaya hidup dan pola tindak seseorang yang bertentangan antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia lakukan. Proses   pendidikan   yang   benar   semestinya   membuat   orang memperkecil  kesenjangan  antara kata  dan perbuatan  antara  yang  dipikirkan  dan niatan  hati.  Pendidikan  yang   benar   harus   mampu membentuk  orang  untuk  bertindak  berdasarkan  gerakan  hati  bukan dikuasai  pikiran.  Orang  yang  mempertimbangan  setiap  perbuatan  dengan benar  dialah  orang  yang  mendengarkan  keputusan  hati.  Bisikan  hati, keputusan hati,  niatan hati yang melahirkan perbuatan manusia  adalah bisikan,  keputusan  yang  benar.  Akar  rencana ialah    hati.    Pengingkaran    tehadap    kata    hati    akan    melahirkan ketidakberesan  dalam  hidup. 

Semua  orang  mendambakan  proses  pendidikan   yang  melahirkan manusia  yang  bukan  hanya  pintar,  cerdik,  dan  licik  tetapi  lebih  dari  itu manusia yang bijaksana yang dikuasai bisikan hati nurani dalam seluruh gerak  hidup  dan  pola  tindaknya.  Menjadikan  orang  pintar  jauh  lebih mudah daripada menjadikan orang berkarater bijaksana dan berhikmat. Sekarang   mudah   kita   temukan   orang   pintar,   cerdik,   licik   dan   lihai berargumentasi  dan  bersilat  lidah  tetapi  sulit  kita  temukan  orang  yang bijaksana yang bertindak dalam tuntunan hati nurani. Karena itulah, hampir semua  kejahatan  yang  dilakukan  manusia  zaman  ini  dikaitkan  dengan kegagalan  proses  pendidikan. Itulah pula alasannya mengapa sekarang kurikulum harus bermuatan karakter.
Sebagai  guru,  pendidik  mungkin  kita menolak anggapan yang memojokkan kita para guru tetapi kalau mau merenungkannya  dalam  keheningan  dan  kebeningan  hati  boleh  jadi hal  itu  benar  adanya.  Tentu tidak cukup kalau kita hanya mengafirmasi atau membenarkan anggapan seperti itu tanpa mengambil langkah pemecahan yang benar dan tepat. Kita perlu meneropong kembali pola, model kehidupan dan kerja kita sebagai guru di hadapan peserta didik dan di hadapan masyarakat pada umumnya.
Memanusiakan     manusia     melalui     proses     pendidikan     dan pembelajaran di sekolah menuntut kita semua untuk menjadi orang yang bijaksana.  Orang  bijaksana  biasanya  pintar  tetapi  orang  pintar  belum tentu bijaksana. Kita memaknai HUT PGRI tahun ini dengan aneka kegiatan termasuk siraman rohani dan perayaan ekaristi itu  artinya  kita  menghendaki  proses  yang  kita  lewati di sekolah sebagai guru haruslah  proses yang     dituntun   nurani.     Kebeningan     nurani memungkinkan kita membangun komitmen hati yang penuh dan sepenuh hati  untuk  membentuk  karakter  generasi  penerus  kita.  Hikmat dan Pengertian  itulah  yang  harus kita miliki karena hanya dengan itu kita berkenan  kepada  Tuhan dan bisa melaksanakan hehendak Tuhan. Amsal mengingatkan kita untuk terus hidup dalam hikmat dan pengertian: Perolehlah hikmat, dan pengertian, janganlah meninggalkan hikmat itu, peliharalah hikmat karena hikmat dan pengertian meninggikan engkau dan menjadikan engkau terhormat. Hikmat akan memimpin engkau di jalan yang lurus.
Proses pembelajaran ke arah pembentukan manusia berhati nurani, berkarakter  dalam  konteks  tema HUT PGRI ini menuntut kita untuk membaharui diri. Membaharui diri untuk memaknai HUT PGRI ini jelas berkaitan dengan tugas kita sebagai guru. Dalam tema kita rumuskan dengan kata kinerja. Kita ingin meningkatkan kenerja kita sebagai guru dalam rangka pementukan karakter  yang akan melahirkan mansia bermutu di sekolah-sekolah kita. Apa dan bagaimana model pembaharuan yang harus kita kemas untuk peningkatan kinerja dan output pendidikan yang bermutu itu?
Yesus sang guru agung dengan gagasan ilahi-Nya yang dinarasikan penginjl Markus bisa kita gunakan sebagai rujukan dalam menata dan menentukan langkah strategis pendidikan berkarakter yang bermutu. Segmen injil Markus hari ini boleh dikatakan sebagai teks yang menggambarkan kondisi seperti sebuah kelas. Ciri-cirinya jelas karena pada teks itu disebutkan kata murid lalu ada tanya jawab terkait praktik puasa. Pada teks itu implisit ada tiga guru yaitu Yohanes, Orang Farisi, dan Yesus. Materi yang dipersoalkan sama dan harus dicari jawabannya. Dalam konteks misa HUT PGRI dengan tema besar tadi, jawaban Yesus perlu kita maknai dan renungkan. Jawaban Yesus atas pertanyaan orang banyak tadi sebenarnya berkaitan dengan beberapa nilai dan kebijaksanaan sikap dan hidup. Jawaban Yesus bermuatan karakter karena menyangkut pilihan dan sikap hidup. Orang mempersoalkan bahwa murid Yesus tidak berpuasa. Yesus tampaknya dipojokkan tetapi dengan itu Yesus mau mengajarkan beberapa nilai dan karakter yang harus dibangun dalam diri manusia.
Pertama, berkaitan dengan sikap, karakter: mencari, membaca, dan memanfaatkan peluang. Yesus secara tidak langsung memuji murid-Nya yang pandai membaca dan memafaatkan peluang yang singkat berada bersama Yesus sang mempelai. Para murid tahu persis bahwa Yesus adalah sumber utama bagi mereka untuk mendapatkan segala yang penting. Karena  itu, di sana para murid menentukan pilihan dan membuat urutan prioritas. Mereka mengabaikan aturan puasa yang biasa demi suatu nilai yang lebih dan itu hanya bisa mereka dapatkan dari perjumpaan dengan Yesus. Sebagai guru tentu kita juga sering terbentur dengan pelbagai aturan, regulasi tetapi pada saat tertentu guru harus bisa menentukan prioritas nilai dalam tugasnya. Guru diharapkan bisa belajar pada cara murid Yesus yang pandai membaca, mencari dan memanfatkan peluang untuk meraih sesuatu yang lebih dalam tugas sebagai guru. Ciri guru profesional adalah mampu membaca peluang dan memanfaatkan peluang serta bisa menentukan prioritas nilai. Para murid Yesus mengajarkan itu kepada kita melalui injil tadi.
Kedua, dari cara para murid kita juga bisa belajar tentang perlunya pilihan melakukan terobosan baru karena mempertimbangkan adanya nilai lebih dari cara yang baru.  Keberanian melakukan hal yang baru dalam dunia guru disebut sebagai upaya mengembangkan pemikiran yang kreatif dan inovatif. Pengarahan awal oleh Pak Lambert Murung kemarin sore membahasakan hal ini ketika ia menyinggung adanya perubahan dan kemajuan yang menuntut guru juga untuk berubah. Dunia pendidikan mengalami perubahan dan kemajuan maka manusia, guru harus mampu memanfaatkan kemajuan itu untuk menunjang profesi keguruan itu. Murid Yesus membuat trobosan baru mengabaikan aturan puasa yang lama dan menggantinya dengan cara belajar pada Yesus, berdialog dengan Yesus. Bagi kita inilah cara murid Yesus mengajarkan kita cara mengubah metode yang lama bersifat satu arah dengan metode dialog yang lebih kreatif.
Ketiga, injil hari ini juga mengajarkan kepada kita betapa Yesus juga meunutut orang untuk bekerja secara profesional. Tukang jahit dan pemeras anggur dalam inji tadi juga merupakan profesi karena itu seorang pengusaha konveksi, penjahit dan seorang petani anggur harus bekerja secara profesional. Yesus menegaskan dimensi profesionalitas seorang penjahit berdasarkan pilihan dan sikapnya ketika ia menjahit. Tidak ada penjahit yang menambal kain baru pada kain  lama karena kalau itu yang terjadi penjahit itu akan disebut penjahat atau dalam bahasa guru, dia bukan penjahit profesinal. Penjahit yang profesional tahu mana kain yang baru, mana kain lama dan tentu ia akan lebih memilih kain yang baru karena itu akan laku bila dijual. Juga seorang petani anggur yang profesional tahu di tempat mana ia harus menyimpan anggur yang diperasnya. Kalau dia menyimpan anggur yang baru diperasnya ke dalam wadah yang tua maka sia-sialah ia memeras anggur itu. Dalam kaitannya dengan tugas kita para guru, kita juga dituntut untuk profesional artinya harus mengetahui apa yang kita kerjakan, dengan cara serta metode apa yang kita gunakan untuk mencapai tujuan. Kita harus menjadi guru profesional artinya kita tidak boleh bertindak ceroboh seperti penjahit yang menambal kain baru pada kain lama atau bermental kerja seperti pemeras anggur yang menyimpan anggur baru ke dalam wadah yang lama.
Keempat, injil hari ini khususnya ayat terakhir membahasakan pentingnya pergeseran paradigma dalam cara dan mentalitas kerja. Yesus menuntut agar anggur baru ditempatkan di dalam kantong yang baru. Bagimana kita memaknai kalimat dan ajakan Yesus ini berkaitan dengan tugas kita para guru. Ajakan Yesus adalah ajakan untuk mengubah paradigma kerja kita agar betul menjawab kebutuhan zaman. Dunia pendidikan kita telah berubah jauh dan teknologi dunia pendidikan juga sudah sangat jauh. Kemajuan teknologi saat ini tidak lagi mengukuti deret hitung melainkan mengikuti deret ukur dan kita ada di dalam perkembangan itu.  Dalam knteks perkembangan itu, kita akan dinilai apakah kita mau menjadi anggur baru dan kantong baru bagi siswa kita ataukah kita tetap menjadi angur lama dan kantong lama. Sisw/i kita sekarang adalah kantong-kantong baru karena mereka sudah memanfaatkan teknologi yang juga menuntut kita para guru untuk menjadi anggur baru dalam kaitan dengan pilihan materi ajar kita, pilihan metode, dan pendekatan kita, pemilihan media pembelajaran kita.
Yesus hidup 21 abad silam tetapi gagasan pembaharuan-Nya masih menggema sampai hari ini untuk membaharu dunia. Ide pembaharuan itu bergema untuk kita para guru agar melakukan pilihan pembaharuan dalam tugas kita. Yesus selalu mengingatkan kita untuk tetap menjadi angur dan kantong yang baru. Mengapa? Karena kalau kita tidak mau menjadi anggur dan kantong yang baru maka idealisme kita untuk merevitalisasi peran strategis guru untuk pendidikan manusia berkarakter dan bermutu tetap hanya sebuah selogan tanpa makna. Kemajuan selalu lahir dari kerinduan untuk berubah dan setiap kerinduan akan perubahan harus selalu diimbangi dengan pilihan dan tindakan yang nyata. Dan tindakan kita selalu dikaitkan dengan ada nilai yang kita raih dalam kecintaan kita akan tugas. Scott Peck mengatakan, Ketika kita mencintai sesuatu maka itu akan berarti bagi kita. Ketika sesuatu berarti bagi kita, maka kita akan senang menghabiskan waktu untuknya, menikmatinya, dan memeliharanya”. Laku saya katakan ini: Ketika kita mencitai pekerjaan kita sebagai guru maka itulah yang berarti bagi kita. Ketika menjadi guru itu menjadi sesuatu yang berarti bagi kita, maka kita akan menghabiskan waktu untuk menjadi guru, menikmatinya, dan memeliharnya.
Perjalanan terpanjang terjauh adalah perjalanan ke dalam diri kita sendiri dan musuh yang paing sulit dikalahkan adalah diri kita sendiri. Kita inginkan HUT PGRI tahun ini membawa sesuatu buat kita karena itu tidak ada pilihan lain selain kita membangun tekad keluar dari diri sendiri, kalahkan diri sendiri untuk terus menjadi angggur yang baru dan kantong yang baru. Itulah karakter yang harus ada dalam diri kita para guru sebelum hal itu kita tuntut dari para siswa. Saya yakin kalau 800-an guru di Kota Komba telah menjadi angur dan kantong yang baru maka Mangagari Timur akan tampil cemerlang. Ingat matahari terbit dari Timur dan Kota Komba adalah kagian paling Timur Manggarai. Mari kita yang tergabung dalam wadah PGRI tampil cemerlang sebagaimana matahari terbit Timur. Dirgahayu PGRI Kota Komba dan selamat menjadi anggur dan kantong yang baru. Amin.

No comments:

Post a Comment