RENUNGAN MISA HUT
PGRI KE-66 ,
JUMAT, 25 NOVEMBER
2011
Amsal 4,5-15; Markus
2,18-22
Kapela
Seminari Pius XII Kisol
Buka
Hari
ini kita berkumpul
merayakan Ekaristi dalam
rangka HUT
PGRI ke-66. Karena beriman dan sebagai orang
beriman, yang percaya
kepada kekuatan Tuhan,
perayaan seperti ini bukan saja perlu tetapi sudah semestinya
dan seharusnya dilaksanakan. Perayaan seperti ini menjadi penting dan relevan
hanya kalau perayaan ini memungkinkan kita sebagai pendidik, memaknai kembali
segala apa telah kita lakukan, sambil merancang
rencana menuju peningkatan kinerja sesuai dengan peran strategis kita sebagai guru dan pendidik. Dengan kata lain nilai
perayaan ini hendaknya kita jadikan sebagai titik pijak sekaligus penentu arah
perjalanan kita dalam upaya mewariskan
aneka hikmat dan pengertian. Sebagai sebuah organisasi PGRI tentu mengharapkan
agar kiprahnya terus memberi makna bagi orang yang kita layani. Agar harapan kita ini berkenan kepada Tuhan marilah kita
akui kelemahan dan dosa kita.
Renungan
Catatan: hari ini saya memimpin perayaan ini
sebentulnya hanyalah kebetulan karena
orang yang diminta yaitu Laurens Sopang (Vikjen) berhalangan. Begitu alasan
yang disampaikan ketika rm. Edy meminta saya memimpin perayaan HUT PGRI ke-66
hari ini. Permintaan yang disampaikan romo Edy saya terima dalam konteks tiada
rotan, akar pun jadi. Karena itu, saya berharap semoga apa yang saya sampaikan
dalam renungan ini sedikitnya menjawab harapan para guru yang tergabung dalam
wadah PGRI sesuai dengan tema diusung PGRI baik pada tataran nasional maupun
pada tataran lokal, konteks kita. Kalau pun apa yang saya sampaikan tidak
memenuhi harapan, anggap saja itu kebetulan. Tetapi, kalau ada yang mendapatkan
sesuatu dari renungan ini, itu bukan kebetulan, tetapi itu yang betul.
Saya kira kita masih ingat kisah yang
diangkat dalam pertemuan dengan Kepala BKD kemarin, perihal orang yang luput dalam tragedi kehancuran Hirosima dan
Nagasaki pasca gempuran pasukan sekutu. Pemimpin Jepang masa itu tidak bertanya
tentang berapa orang yang meninggal dan yang menderita luka tetapi dia justru
bertanya ada berapa guru yang masih tersisa atau yang masih hidup.
Mengapa petingi Jepang memusatkan
perhatiannya kepada guru dan bukan para pejabat, teknokrat, dan orang penting
lainnya. Mengapa petinggi Jepang hanya bertanya tentang guru yang masih hidup?
Di mana kita bisa menemukan jawaban atas pertanyaan serupa ini? Jawabannya
implisit terumus di dalam tema besar yang diusung dalam tema HUT PGRI tahun
ini. Kalau petinggi Jepang bertanya tentang jumlah guru yang tersisa hidup itu
karena bagi petinggi Jepang guru menempati posisi strategis dalam membangun
kembali Jepang dari keruntuhan karena perang. Petinggi Jepang sunguh sadar akan
penting dan strategisnya peran guru dalam meletakkan dasar bagi seluruh
pembangunan Jepang pascaperang itu. Dan, semua kita tahu, Jepang menjadi negara
yang maju dalam segala hal karena kemajuan pengetahuannya dipertaruhkan
sepenuhnya ke atas pundak para guru Gurunya didisposisikan pada posisi
strategis. Dan, bagi saya entah disadari atau tidak tema HUT PGRI tahun ini
tampaknya mengacu pada sikap dan pola pikir petinggi Jepang 60 tahun
silam. Paling kurang kata peran
strategis guru dalam tema perayaan ini sedikitnya merujuk pada idealisme
pemimpin negara Sakura itu terkait profesi guru.
Tema yang mendasari
kegiatan kita hari-hari ini pada dasarnya merujuk pada idelaisme untuk
mendisposiskan guru sebagai engsel utama penentu arah gerak dunia pendidikan
kita. Tema
HUT PGRI tahun ini secara konseptual dan
implisit menggambarkan kondisi guru saat ini. Dalam tema: “Meningkatkan Peran
Strategis Guru untuk Membangun Karakter Bangsa”
termuat jelas posisi guru sebagai sesuatu yang strategis. Dari aspek
bahasa, tema ini sebenarnya belum memenuhi syarat sebuah kalimat diawali dengan
kata kerja yang merupakan predikat. Tema ini tanpa subjek sehingga harus memunculkan
pertanyaan lanjutan: siapakah yang meningkatkan peran strategis guru itu?
Meskipun tema ini tanpa Subjek, tetapi sebenarnya mau menegaskan kepada kita
bahwa kita sendirilah yang harus menjadi subjeknya. Hal ini didukung dengan
penggunaaan kata kerja aktif meningkatkan
dan membangun. Jadi, sudah terang
bagi kita bahwa pelaku utama gerakan peningkatan peran guru adalah diri kita
sendiri. Aksi peningkatan peran
guru ini memiliki orientasi yang tegas dan jelas yaitu membangun karakter
bangsa. Membangun karakter bangsa memang sesuatu yang sangat ideal tetapi bukan
mustahil untuk diwujudkan. Orang Jepang sudah membuktikan itu ketika
pemimpinnya mengandalkan para guru dalam membangun peradaban bangsa dengan
pelbagai ide kreatif ditunjang kemampuan berinovasi. Kemajuan Jepang sungguh
diyakini karena peran para guru dan pendidikannya. Kalau tema perayaan kita
terkesan terlampau luas itu hanya mau agar kita menempatkan seluruh dinamika
dan proses pendidikan kita dalam satu bingkai standar negara kesatuan. Di sini
kita harus memahami konsep berpikir nasional bertindak lokal. Artinya apa?
Artinya, idealisme kita untuk menghadirkan suatu bangsa berkarakter tidak
mungkin terwujud jka para pelaku pendidikan pada tingkat lokal tidak memiliki
kesamaaan arah perjuangan dan pandangan tentang hakikat kehidupan berkarakter. Bangsa
akan berkarakter hanya kalau indvidu pembentuk bangsa itu berkarakter. Kalau
negara mempercayakan guru dan lembaga pendidikan sebagai salah satu wadah
pembentukan karakter maka itu sama artinya kehidupan bercitra karakter itu
harus dimulai pada tingkatan lebih kecil di sekolah-sekolah kita dan kita semua
dipanggil untuk itu.
Isu dan wacana
pendidikan berkarakter tentu bukan hasil olahan dan rajutan mimpi semalam
melainkan sebuah perhentian yang harus menyadarkan kita akan aneka fakta kasat
mata yang menampilkan pola dan perihidup tanpa nuansa karakter. Aneka praktik
hidup warga bangsa dan masyarakat yang tidak terpuji konon ditengarai banyak
kalangan sebagai dampak langsung dari kondisi terlarutnya aneka nilai kehidupan
yang tidak lagi bertahan terhadap gempuran tawaran hidup yang membius kesadaran
hati manusia. Kebeningan hati manusia telah tercemar, terkontaminasi oleh
tawaran kuasa dan jabatan, tawaran harta dan kekayaan. Logika hati manusia
zaman ini tampaknya telah dibengkokkan oleh logika kekuasaan dan logika
material. Jamak, biasa, lazim, dan terang kita alami dan saksikan ada banyak
laporan bernuansa abs, laporan fiktif digunakan sebagai jurus pamungkas mempertahankan posisi. Hal ini sudah melanda
semua instansi tanpa kecuali dunia pendidikan, dunia kita bersama. Tahun ini
kita berbangga ketika Kadis PPO Provinsi melansir pernyataan melalui Pos Kupang bahwa NTT menempati urutan
ke-6 tingkat nasional untuk nilai ujian sekolah yang dikirim ke Jakarta. Saat
itu saya yakin semua kepala sekolah, semua guru, termasuk saya ikut berbangga. Tetapi,
tentu kita bisa bayangkan betapa malunya Kadis PPO provinsi ketika menerima
hasil UN, NTT seperti biasa terus bertahan di posisi ekor pesawat Indonesia
ini. Sampai di sini kita mesti bertanya: siapa sebenarnya yang salah? Kadis PPO
Provinsi atau saya yang berhadapan langsung dengan siswa di sekolah? Kasus
seperti ini bagi saya sudah membahasakan adanya nilai dan karakter kehidupan
yang terabaikan dalam proses pembelajaran kita. Paling kurang kita telah
menggadaikan perasaan Kadis PPO NTT dan beliau tentu merasakan itu sebagai tamparan
berkadar nasional. Kemarin kita dengar dan bangga serta tepuk tangan meriah
karena Manggarai Timur menempat urutan ketiga di NTT. Itu kalau hitung nilai
yang sudah disulap dengan nilai dari sekolah yang semuanya di atas delapan.
Kalau mau fair kita pakau nilai UN maka seharusnya ada ratusan siswa sma yang
tidak lulus di Manggarai Timur. Saya kira para kepala sekolah sudah melihat
semua data itu dan tahu persis kondisi seklahnya.
Tentu ada banyak hal
yang bisa kita diskusikan dan perbincangkan terkait dunia pergelutan dan
prgulatan sebagai guru. HUT PGRI yang kita rayakan ini hendaknya dimaknai
sebagai perhentian sejenak untuk membangun kembali aneka kesadaran hati kita
tentang tugas kita sebagai guru dan pendidik. Membangun kesadaran hati dalam
konteks tema kita sama artinya membangun karakter karena karakter itu berkaitan
dengan perilaku yang dikendalikan hati. Untuk itu, baik kalau kita meneropong
keseluruhan dinamika dan arah profesi kita dalam konteks firman Tuhan hari ini.
Kitab Amsal pada hakikatnya berbicara tentang karakter yang diringkas dalam dua
kata kunci yaitu Hikmat dan Pengertian. Hikmat secara leksikal berarti
kebijaksanaan, kepandaian, kesaktian dan Pengertian berarti: pemahaman atau
kemampuan untuk memahami. Berbicara tentang karakter dengan rujukan pada hikmat
dan pengertian sesungguhnya berbicara tentang peran hati yang mengendalikan
perilaku manusia. Karena karakter itu merujuk pada sikap dan disiposisi hati
maka hal itu tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan kita. Itulah sebabnya
mengapa Amsal menekankan agar orang tidak boleh meningglkan hikmat dan
pengertian itu. Hikmat dan pengertian
itu harus dikalungkan pada leher dan harus selalu ditinggikan karena itulah
yang membawa seseorang pada kehormatan sebagai manusia. Hidup berkarakter
berarti orang membiarkan hidupnya dipimpin oleh kehendak hatinya.
Dalam kenyataan
gerak hati, kehendak
kita sering berbenturan dengan
cara berpikir. Benturan itu tampak dalam gaya hidup dan pola tindak seseorang
yang bertentangan antara apa yang ia katakan dengan apa yang ia
lakukan. Proses
pendidikan yang benar
semestinya membuat orang memperkecil kesenjangan
antara kata dan perbuatan antara
yang dipikirkan dan niatan hati. Pendidikan yang
benar harus mampu membentuk orang
untuk bertindak berdasarkan
gerakan hati bukan dikuasai pikiran.
Orang yang mempertimbangan setiap
perbuatan dengan benar dialah
orang yang mendengarkan
keputusan hati. Bisikan
hati, keputusan hati, niatan hati
yang melahirkan perbuatan manusia adalah
bisikan, keputusan yang
benar. Akar rencana ialah hati.
Pengingkaran tehadap kata
hati akan melahirkan ketidakberesan dalam
hidup.
Semua
orang mendambakan proses
pendidikan yang melahirkan manusia yang
bukan hanya pintar,
cerdik, dan licik
tetapi lebih dari
itu manusia yang bijaksana yang dikuasai bisikan hati nurani dalam
seluruh gerak hidup dan pola tindaknya.
Menjadikan orang pintar
jauh lebih mudah daripada
menjadikan orang berkarater bijaksana dan berhikmat. Sekarang mudah
kita temukan orang
pintar, cerdik, licik
dan lihai berargumentasi dan
bersilat lidah tetapi
sulit kita temukan
orang yang bijaksana yang
bertindak dalam tuntunan hati nurani. Karena itulah, hampir semua kejahatan
yang dilakukan manusia
zaman ini dikaitkan
dengan kegagalan proses pendidikan. Itulah pula alasannya mengapa
sekarang kurikulum harus bermuatan karakter.
Sebagai guru,
pendidik mungkin kita menolak anggapan yang memojokkan kita
para guru tetapi kalau mau merenungkannya
dalam keheningan dan
kebeningan hati boleh
jadi hal itu benar
adanya. Tentu tidak cukup kalau kita
hanya mengafirmasi atau membenarkan anggapan seperti itu tanpa mengambil
langkah pemecahan yang benar dan tepat. Kita perlu meneropong kembali pola,
model kehidupan dan kerja kita sebagai guru di hadapan peserta didik dan di
hadapan masyarakat pada umumnya.
Memanusiakan manusia
melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah menuntut kita
semua untuk menjadi orang yang bijaksana.
Orang bijaksana biasanya
pintar tetapi orang
pintar belum tentu bijaksana.
Kita memaknai
HUT PGRI tahun ini dengan aneka kegiatan termasuk siraman
rohani dan perayaan ekaristi itu artinya
kita menghendaki proses
yang kita lewati di sekolah sebagai guru
haruslah proses yang dituntun
nurani. Kebeningan nurani memungkinkan kita membangun
komitmen hati yang penuh dan sepenuh hati
untuk membentuk karakter
generasi penerus kita. Hikmat dan Pengertian itulah yang harus kita miliki karena hanya dengan
itu kita berkenan kepada
Tuhan dan
bisa melaksanakan hehendak Tuhan. Amsal mengingatkan kita untuk terus
hidup dalam hikmat dan pengertian: Perolehlah hikmat, dan pengertian, janganlah meninggalkan hikmat itu, peliharalah hikmat karena hikmat dan pengertian meninggikan engkau
dan menjadikan engkau terhormat. Hikmat akan memimpin engkau di jalan yang lurus.
Proses pembelajaran ke arah
pembentukan manusia berhati nurani, berkarakter
dalam konteks tema HUT PGRI ini menuntut kita untuk membaharui diri.
Membaharui diri untuk memaknai HUT PGRI ini jelas berkaitan dengan tugas kita
sebagai guru. Dalam tema kita rumuskan dengan kata kinerja. Kita ingin
meningkatkan kenerja kita sebagai guru dalam rangka pementukan karakter yang akan melahirkan mansia bermutu di
sekolah-sekolah kita. Apa dan bagaimana model pembaharuan yang harus kita kemas
untuk peningkatan kinerja dan output pendidikan yang bermutu itu?
Yesus
sang guru agung dengan gagasan ilahi-Nya yang dinarasikan penginjl Markus bisa
kita gunakan sebagai rujukan dalam menata dan menentukan langkah strategis pendidikan
berkarakter yang bermutu. Segmen injil Markus hari ini boleh dikatakan sebagai
teks yang menggambarkan kondisi seperti sebuah kelas. Ciri-cirinya jelas karena
pada teks itu disebutkan kata murid lalu ada tanya jawab terkait praktik puasa.
Pada teks itu implisit ada tiga guru yaitu Yohanes, Orang Farisi, dan Yesus.
Materi yang dipersoalkan sama dan harus dicari jawabannya. Dalam konteks misa
HUT PGRI dengan tema besar tadi, jawaban Yesus perlu kita maknai dan renungkan.
Jawaban Yesus atas pertanyaan orang banyak tadi sebenarnya berkaitan dengan
beberapa nilai dan kebijaksanaan sikap dan hidup. Jawaban Yesus bermuatan
karakter karena menyangkut pilihan dan sikap hidup. Orang mempersoalkan bahwa
murid Yesus tidak berpuasa. Yesus tampaknya dipojokkan tetapi dengan itu Yesus
mau mengajarkan beberapa nilai dan karakter yang harus dibangun dalam diri
manusia.
Pertama,
berkaitan dengan sikap, karakter: mencari, membaca, dan memanfaatkan peluang.
Yesus secara tidak langsung memuji murid-Nya yang pandai membaca dan
memafaatkan peluang yang singkat berada bersama Yesus sang mempelai. Para murid
tahu persis bahwa Yesus adalah sumber utama bagi mereka untuk mendapatkan
segala yang penting. Karena itu, di sana
para murid menentukan pilihan dan membuat urutan prioritas. Mereka mengabaikan
aturan puasa yang biasa demi suatu nilai yang lebih dan itu hanya bisa mereka
dapatkan dari perjumpaan dengan Yesus. Sebagai guru tentu kita juga sering
terbentur dengan pelbagai aturan, regulasi tetapi pada saat tertentu guru harus
bisa menentukan prioritas nilai dalam tugasnya. Guru diharapkan bisa belajar
pada cara murid Yesus yang pandai membaca, mencari dan memanfatkan peluang
untuk meraih sesuatu yang lebih dalam tugas sebagai guru. Ciri guru profesional
adalah mampu membaca peluang dan memanfaatkan peluang serta bisa menentukan
prioritas nilai. Para murid Yesus mengajarkan itu kepada kita melalui injil
tadi.
Kedua,
dari cara para murid kita juga bisa belajar tentang perlunya pilihan melakukan
terobosan baru karena mempertimbangkan adanya nilai lebih dari cara yang
baru. Keberanian melakukan hal yang baru
dalam dunia guru disebut sebagai upaya mengembangkan pemikiran yang kreatif dan
inovatif. Pengarahan awal oleh Pak Lambert Murung kemarin sore membahasakan hal
ini ketika ia menyinggung adanya perubahan dan kemajuan yang menuntut guru juga
untuk berubah. Dunia pendidikan mengalami perubahan dan kemajuan maka manusia,
guru harus mampu memanfaatkan kemajuan itu untuk menunjang profesi keguruan itu.
Murid Yesus membuat trobosan baru mengabaikan aturan puasa yang lama dan
menggantinya dengan cara belajar pada Yesus, berdialog dengan Yesus. Bagi kita
inilah cara murid Yesus mengajarkan kita cara mengubah metode yang lama
bersifat satu arah dengan metode dialog yang lebih kreatif.
Ketiga,
injil hari ini juga mengajarkan kepada kita betapa Yesus juga meunutut orang
untuk bekerja secara profesional. Tukang jahit dan pemeras anggur dalam inji
tadi juga merupakan profesi karena itu seorang pengusaha konveksi, penjahit dan
seorang petani anggur harus bekerja secara profesional. Yesus menegaskan
dimensi profesionalitas seorang penjahit berdasarkan pilihan dan sikapnya ketika
ia menjahit. Tidak ada penjahit yang menambal kain baru pada kain lama karena kalau itu yang terjadi penjahit
itu akan disebut penjahat atau dalam bahasa guru, dia bukan penjahit
profesinal. Penjahit yang profesional tahu mana kain yang baru, mana kain lama
dan tentu ia akan lebih memilih kain yang baru karena itu akan laku bila
dijual. Juga seorang petani anggur yang profesional tahu di tempat mana ia
harus menyimpan anggur yang diperasnya. Kalau dia menyimpan anggur yang baru diperasnya
ke dalam wadah yang tua maka sia-sialah ia memeras anggur itu. Dalam kaitannya
dengan tugas kita para guru, kita juga dituntut untuk profesional artinya harus
mengetahui apa yang kita kerjakan, dengan cara serta metode apa yang kita
gunakan untuk mencapai tujuan. Kita harus menjadi guru profesional artinya kita
tidak boleh bertindak ceroboh seperti penjahit yang menambal kain baru pada
kain lama atau bermental kerja seperti pemeras anggur yang menyimpan anggur
baru ke dalam wadah yang lama.
Keempat,
injil hari ini khususnya ayat terakhir membahasakan pentingnya pergeseran
paradigma dalam cara dan mentalitas kerja. Yesus menuntut agar anggur baru
ditempatkan di dalam kantong yang baru. Bagimana kita memaknai kalimat dan
ajakan Yesus ini berkaitan dengan tugas kita para guru. Ajakan Yesus adalah
ajakan untuk mengubah paradigma kerja kita agar betul menjawab kebutuhan zaman.
Dunia pendidikan kita telah berubah jauh dan teknologi dunia pendidikan juga
sudah sangat jauh. Kemajuan teknologi saat ini tidak lagi mengukuti deret
hitung melainkan mengikuti deret ukur dan kita ada di dalam perkembangan
itu. Dalam knteks perkembangan itu, kita
akan dinilai apakah kita mau menjadi anggur baru dan kantong baru bagi siswa
kita ataukah kita tetap menjadi angur lama dan kantong lama. Sisw/i kita
sekarang adalah kantong-kantong baru karena mereka sudah memanfaatkan teknologi
yang juga menuntut kita para guru untuk menjadi anggur baru dalam kaitan dengan
pilihan materi ajar kita, pilihan metode, dan pendekatan kita, pemilihan media
pembelajaran kita.
Yesus hidup 21 abad silam tetapi
gagasan pembaharuan-Nya masih menggema sampai hari ini untuk membaharu dunia.
Ide pembaharuan itu bergema untuk kita para guru agar melakukan pilihan
pembaharuan dalam tugas kita. Yesus selalu mengingatkan kita untuk tetap
menjadi angur dan kantong yang baru. Mengapa? Karena kalau kita tidak mau
menjadi anggur dan kantong yang baru maka idealisme kita untuk merevitalisasi
peran strategis guru untuk pendidikan manusia berkarakter dan bermutu tetap
hanya sebuah selogan tanpa makna. Kemajuan selalu lahir dari kerinduan untuk
berubah dan setiap kerinduan akan perubahan harus selalu diimbangi dengan
pilihan dan tindakan yang nyata. Dan tindakan kita selalu dikaitkan dengan ada
nilai yang kita raih dalam kecintaan kita akan tugas.
Scott Peck mengatakan, Ketika kita mencintai sesuatu maka itu akan berarti
bagi kita. Ketika sesuatu berarti bagi kita, maka kita akan senang menghabiskan
waktu untuknya, menikmatinya, dan memeliharanya”. Laku saya katakan ini: Ketika kita mencitai pekerjaan kita sebagai guru maka
itulah yang berarti bagi kita. Ketika menjadi guru itu menjadi sesuatu yang
berarti bagi kita, maka kita akan menghabiskan waktu untuk menjadi guru,
menikmatinya, dan memeliharnya.
Perjalanan
terpanjang terjauh adalah perjalanan ke dalam diri kita sendiri dan musuh yang paing
sulit dikalahkan adalah diri kita sendiri. Kita inginkan HUT PGRI tahun ini
membawa sesuatu buat kita karena itu tidak ada pilihan lain selain kita
membangun tekad keluar dari diri sendiri, kalahkan diri sendiri untuk terus
menjadi angggur yang baru dan kantong yang baru. Itulah karakter yang harus ada
dalam diri kita para guru sebelum hal itu kita tuntut dari para siswa. Saya
yakin kalau 800-an guru di Kota Komba telah menjadi angur dan kantong yang baru
maka Mangagari Timur akan tampil cemerlang. Ingat matahari terbit dari Timur
dan Kota Komba adalah kagian paling Timur Manggarai. Mari kita yang tergabung
dalam wadah PGRI tampil cemerlang sebagaimana matahari terbit Timur. Dirgahayu
PGRI Kota Komba dan selamat menjadi anggur dan kantong yang baru. Amin.
No comments:
Post a Comment