Saturday, May 16, 2015

RENUNGAN MINGGU I PRAPASKA THN B

Renungan Minggu I Prapaska Thn.B 22 Feberuari 2015
Kej 9:8‑15; 1Ptr 3:18‑22; Mrk 1:12‑15
Kapela Biara Suster Ekaristi, Perumnas Ruteng

Buka
Hari Rabu kemarin semua kita menerima abu yang menggambarkan kesementaraan hidup kita yang mengharuskan kita menata hidup kita dari waktu ke waktu. Pemerimaan abu mengawali masa puasa dan tobat kita untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, sesama, da lingkungan ciptaan lainnya. Hari ini kita memasuki minggu pertama masa puasa, prapaska, masa tobat. Setiap kita tentu mempunyai rencana niat, janji untuk diri kita sendiri tentang apa yang sepantasnyam sebaiknya, dan seharuskan kita lakukan dalam rentang masa puasa ini. Niat kita pada intinya adalah pertobatan dalam segala bentuk dan ekspresinya. Salah satu bentuk tobat kita adalah kesetiaan dan ketepatan kita mewujudkan janji-janji dan niat-niat kita. Dalam bimbingan roh Tuhan kita mau menjadi lebih setia sebagaimana Tuhan sendiri yang mengikat perjanjian untuk setia menepati janji-Nya. Sambil membawa semua niat dan rencana kita dalam kuasa bimbingan TUhan kita berdoa memohonkan kesetiaan kita dalam hidup kita. Untuk itu kita awali perayaan ini dengan mengakui kelemahan dan dosa-dosa kita.

Renungan
Kita semua telah mengenal dan sering menggunakan ungkapan ini, “Janji adalah utang”. Mengapa janji menjadi utang? Jawabannya tidak lain karena setiap janji itu harus ditepati, dilaksanakan, dibuktikan, diwujudkan, ditepati. Karena itu, jika orang, kita tidak setia pada janji maka itu adalah utang yang paling mahal yang tidak bisa dinilai dengan uang atau harta benda lainnya. Janji dan kesetiaan itu ibarat dua kata pada mata uang yang sama. Kalau seseorang mengikrarkan janji, mengucapkan janji, menandatangani suatu perjanjian itu sama artinya seseorang itu menginginkan kesetiaan dan terikat untuk setia menepati, melaksanakan, mewujudkan, janji itu. Kesetiaan adalah jiwa, semangat, dan roh dari setiap janji dan perjanjian yang dibuat, diucapkan, dan dilakukan di antara manusia. Seseorang dikatakan setia sejauh ia mampu menepati janjinya, mewujudkan janji itu.
Dalam perkembangan dan sejarah hidup manusia sepanjang zaman hingga zaman kita saat ini kesetiaan itu menjadi sesuatu yang langka, menjadi sangat mahal, sulit didapatkan, sulit ditemukan dan bahkan dijauhkan dari kehidupan. Mengapa? Karena kata setia dan kesetiaan itu telah disembunyikan manusia di balik dinding kebohongan, egoisme, manipuasi dan sandiwara kehidupan dengan aneka topengnya. Manusia dari berbagai zaman lebih lancar dan mudah mengucapkan janji, dan membuat perjanjian daripada harus berusaha menepati dan setia pada perjanjian itu.
Orang yang mengingkari janji, tidak setia pada janji biasanya tidak disukai banyak orang. Kalau beberapa waktu belakangan ikan-ikan tidak lagi diminati warga saat adanya isu formalin karena nafsu mendapatkan keuntungan maka hidup manusia yang tidak setia dan tidak menempati janji akan dijauhkan karena hidupnya telah diracuni formalin ketidaksetiaan, kebohongan dan egoisme.
Gambaran ketidaksetiaan manusia tidak saja dalam relasinya dengan sesama teapi terlebih lagi dalam relasinya dengan Tuhan. Kisah yang disampaikan kepada kita hari ini juga mengungkapkan gambaran relasi manusia dengan Tuhan. Kisah air bahwa yang memusanahkan sebagian besar makhluk dalam kitab kejadian terjadi hanya karena mananusia tidak setia dan tidak menepati janji mereka kepada TUhan. Kisah pemusnahan karena air bah aadalah kisah tentang ketidak setiaan manusia dan bukan kisah kekejaman Tuhan. Tuhan menciptakan semuanya baik adanya dan itu hanya untuk manusia sejauh manusia setia pada perintah dan hukum TUhan.
Selepas bencana air bah Tuhan yang setia kembali mengingatkan bangsa manusia untuk kembali setia. Karena itulah bacaan pertama hari ini memuat Perjanjian antara  Allah dengan Nuh sungguh menjadi berita sukacita, berita gembira karena Tuhan yang setia kembali menegaskan kesetiaan itu untuk menjamin kelangsungan hidup manusia.  Perjanjian  Allah itu menjadi berita gembira karena di dalam perjanjian itu Allah membebaskan kita dari kematian, dari kemusnahan. Kepada Nuh dan keluarganya Allah menegaskan: "Sesungguhnya, Aku mengadakan perjanjian‑Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersama‑sama dengan kamu ... bahwa sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi" (Kej 9:9‑11). Inilah berita gembira dari perjanjian Allah itu, yaitu bahwa tidak ada lagi yang hidup akan dimusnahkan oleh air bah.  
Menanggapi berita gembira ini mungkin  ada yang bertanya, apabila janji Allah itu benar, mengapa sampai saat ini masih terjadi bencana alam, gempa bumi, banjir bandang dan longsor? Mengapa masih ada musim kering yang berkepanjangan sehingga banyak orang mati kelaparan? Mengapa masih terjadi peperangan atau pembantaian manusia secara massal dalam negara atau antarsuku? Mengapa masih meraja lela kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini dan di daerah kita? Di manakah kebenaran janji Allah terhadap Nuh dan semua keturunannya termasuk kita, berhadapan dengan kenya­taan penderitaan dan kesengsaraan manusia  hari ini?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sebenar tidak tepat dialamatkan kepada Tuhan karena sejak semula Tuhan menghendaki manusia hidup, Pertanyaan seperti ini sesungguhnya diarahkan kepada diri manusia sendiri. Kita manusia semenstinya bertanya: mengapa justru dalam setiap penderi­taan, bencana dan kematian manusia  selalu bertanya kepada Tuhan? Mengapa kita tidak bertanya kepada manusia dan kepada  kepada dirinya? Apakah Tuhan penyebab segala bencana yang menimpa manusia?
Apa pun keberatan kita, yang pasti penderitaan kita manusia, penderitaan dunia  tetap merupakan milik kita manusia di dunia dan ada bersama dengan manu­sia yang berakar secara mendalam pada diri manusia." "Penderitaan itu bersifat hakiki bagi kodrat manusia. bukan agenda TUhan. Kalau penderitaan itu milik manusia dan dunia, maka tak pantas jika dialihkan kepada TUhan. Kalau penderitaan itu berakar dalam diri manusia, jangan melem­parkannya kepada Tuhan.
Jika kita kembali kepada firman Tuhan maka kita menemukan pada Dia hanya ada kehidupan, sebab Tuhan itu hidup (bdk. Yer 4:2). "Hidup itu senantiasa ada dalam Dia." Karena Tuhan itu hidup dan hanya di dalam Dia ada hidup itu, maka satu‑satunya yang dikehendaki Tuhan hanyalah kehidupan bagi manusia dan bukannya kematian atau kehancuran. Maut itu tidak diciptakan Allah, dan Tuhan tidak bergembira menyaksikan hidup manusia itu musnah dan lenyap. Tuhan menciptakan segalanya untuk kebakaan, sehingga manusia yang percaya berpartispasi dalam kebakaan itu. 
Hidup dan kehidupan bagi dunia dan manusia, merupakan agenda besar Allah. Allah hanya menghendaki kehidupan, kesela­matan dan kebakaan bagi manusia, dan bukannya kehancuran, kebina­saan dan kematian. Itulah alasannya mengapa Allah berjanji dengan Nuh dan kita semua keturunannya untuk tidak memusnahkan manusia dengan air bah atau bencana lainnya. Allah tidak menghenda­ki kehancuran atau kemusnahan menimpa manusia. Sesudah peristiwa air bah Allah hanya memberi kehidupan kepada manusia. "Dengan mengaruniakan hidup kepada manusia, Allah meminta agar manusia sendiri harus bisa mencintai, menghormati dan memajukan hidup itu.
Jaminan yang paling sempurna dan pas untuk janji Tuhan perihal kehidupan ini adalah Kristus. Sebagai jaminan, "Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang‑orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah. Ia yang telah dibunuh dalam keadaan‑Nya sebagai manusia, namun yang telah dibangkitkan menur­ut Roh" (1Ptr 3:18‑19). Kristus itu pemenuhan janji Allah akan kehidu­pan bagi kita manusia. Yesus sendiri menegaskan Akulah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan 
Pemenuhan janji yang dilakukan Kristus bersifat kekal. Orang yang percaya kepada Yesus dan memasuki persekutuan bersama‑Nya akan memiliki  hidup kekal. Dengan keyakinan ini semua bentuk penderitaan atau bencana yang dialami manusia setelah kisah air bah bukan karena Tuhan murka atau marah.  Peristiwa air bah menimpa manusia dan memusnahkan segala jenis makhluk hidup karena Tuhan melihat "keja­hatan besar manusia menguasai bumi. Manusia tidak lagi setia dan menepati janjinya kepada Tuhan. Air bah mengalir dari dan karena  kejahatan manusia. Meskipun demikian Allah tetap setia menyatakan komitmen menjamin kehidupan manusia.
Dari pihak manusia dituntut untuk bersikap setia pada perjanjian dengan Tuhan. Jika derita dan bencana menjadi tanggungan manusia dalam hidupnya. Berbicara tentang kesetiaan pada janji itu sering terdengar mudah tetapi berjuang agar hidup dalam kesetiaan ternyata bukanlah mudah. Dalam kondisi seperti itu hanya ada satu jalan yang harus manusia lewati yang bertobat dan percaya kepada Injil sebagaimana kita dengar dalam rumusan saat kita ditandai abu.  Injil yang dimaksudkan kepadanya kita harus bertobat dan percaya adalah "Injil kehidupan" yang konkret dan bersifat pribadi Dengan bertobat dan percaya kepada Injil kehidupan, setiap manu­sia, setiap kita akan mampu "menerima dan memenuhi janji kita untuk setia kepada Tuhan.
Orang yang setia dan menepati janji disayangi  sesama dan dicintai Tuhan. Masa puasa yang tengah kita jalani ini hendaknya dilihat sebagai saat kita melihat kualitas hidup kita terutama  kualitas kemintmen kita akan semua pernyataan, niat, dan janji-janji yang kita ucapkan kepada Tuhan dan sesama kita. Janji-janji, niat-niat yang kita ucapkan dan nyatakan baru bermakna untuk dan menjamin masa depan hidup jiwa kita hanya sekjauh kita menepatinya, dan mewujudkannya. Niat dan janji yang tidak diwaujudkan adalah kebohongan yang membusukkan hidup kita.
Masyarakat Tikus mengadakan munas luar biasa menyusul bencana yang menimpa bangsa Tikus. Pemimpin para tikus mengundang semua  tikus untuk bersidang karena serangan para kucing semakin tak terkendali. Munas luar biasa para tikus itu membahasan satu agenda penting yaitu mencari cara yang tepat melawan kebengisan kucing yang memangsai banyak tikus. Dalam sidang itu terjaring pelbagai tawaan alternatif dan cara melawan kucing biar tikus-tikus tidak musnah dimangsa kucing.
Cara yang disepakati bersama adalah pilihan untuk menggantung lonceng kecil pada leher setiap kucing. Dengan itu kalau kucing hendak menangkap tikus, tikus bisa bersembunyi karena mendengar bunyi lonceng yang digantung pada leher kucing. Pemimpin tikus meminta semua tikus menandatngani kesepakatan dan janji yang isinya: lonceng kecil harus digantung di leher kucing. Setelah semua sepakat dan menandatangani perjanjian itu, muncul masalah besar. Siapa dari antara tikus-tikus itu yang berani menggantungkan lonceng pada leher kucing. Pemimpin tikus meminta anggotanya tetapi semuanya menolak. Kesepakatan dan janji tinggal janji. Kucing terus mengancam hidup mereka.
Ancaman kehidupan manusia adalah dosa. Dan salah satu dosa yang sering menguasai manusia adalah kebohongan dan lemahnya komitmen untuk melaksanakan janji-janji dan niat-niat. Zaman ini banyak yang berlaku seperti para tikus yang hanya bisa berjanji dan bersepakat tetapi tidak mampu melaksanakannya. Tuhan itu setia pada janji-Nya yang menghidupkan kita. Semoga kita bisa belajar untuk setia dan menepati janji-janji kita. Amin

Rm.Bone Rampung,

No comments:

Post a Comment