Renungan Minggu I
Prapaska Thn.B 22 Feberuari 2015
Kej 9:8‑15; 1Ptr 3:18‑22; Mrk 1:12‑15
Kapela Biara Suster Ekaristi, Perumnas Ruteng
Buka
Hari Rabu kemarin semua kita menerima abu yang
menggambarkan kesementaraan hidup kita yang mengharuskan kita menata hidup kita
dari waktu ke waktu. Pemerimaan abu mengawali masa puasa dan tobat kita untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, sesama, da lingkungan ciptaan lainnya. Hari ini
kita memasuki minggu pertama masa puasa, prapaska, masa tobat. Setiap kita tentu
mempunyai rencana niat, janji untuk diri kita sendiri tentang apa yang
sepantasnyam sebaiknya, dan seharuskan kita lakukan dalam rentang masa puasa
ini. Niat kita pada intinya adalah pertobatan dalam segala bentuk dan
ekspresinya. Salah satu bentuk tobat kita adalah kesetiaan dan ketepatan kita
mewujudkan janji-janji dan niat-niat kita. Dalam bimbingan roh Tuhan kita mau
menjadi lebih setia sebagaimana Tuhan sendiri yang mengikat perjanjian untuk
setia menepati janji-Nya. Sambil membawa semua niat dan rencana kita dalam
kuasa bimbingan TUhan kita berdoa memohonkan kesetiaan kita dalam hidup kita.
Untuk itu kita awali perayaan ini dengan mengakui kelemahan dan dosa-dosa kita.
Renungan
Kita semua
telah mengenal dan sering menggunakan ungkapan ini, “Janji adalah utang”.
Mengapa janji menjadi utang? Jawabannya tidak lain karena setiap janji itu
harus ditepati, dilaksanakan, dibuktikan, diwujudkan, ditepati. Karena itu,
jika orang, kita tidak setia pada janji maka itu adalah utang yang paling mahal
yang tidak bisa dinilai dengan uang atau harta benda lainnya. Janji dan
kesetiaan itu ibarat dua kata pada mata uang yang sama. Kalau seseorang
mengikrarkan janji, mengucapkan janji, menandatangani suatu perjanjian itu sama
artinya seseorang itu menginginkan kesetiaan dan terikat untuk setia menepati,
melaksanakan, mewujudkan, janji itu. Kesetiaan adalah jiwa, semangat, dan roh
dari setiap janji dan perjanjian yang dibuat, diucapkan, dan dilakukan di
antara manusia. Seseorang dikatakan setia sejauh ia mampu menepati janjinya,
mewujudkan janji itu.
Dalam
perkembangan dan sejarah hidup manusia sepanjang zaman hingga zaman kita saat
ini kesetiaan itu menjadi sesuatu yang langka, menjadi sangat mahal, sulit
didapatkan, sulit ditemukan dan bahkan dijauhkan dari kehidupan. Mengapa?
Karena kata setia dan kesetiaan itu telah disembunyikan manusia di balik
dinding kebohongan, egoisme, manipuasi dan sandiwara kehidupan dengan aneka
topengnya. Manusia dari berbagai zaman lebih lancar dan mudah mengucapkan
janji, dan membuat perjanjian daripada harus berusaha menepati dan setia pada
perjanjian itu.
Orang yang
mengingkari janji, tidak setia pada janji biasanya tidak disukai banyak orang. Kalau
beberapa waktu belakangan ikan-ikan tidak lagi diminati warga saat adanya isu
formalin karena nafsu mendapatkan keuntungan maka hidup manusia yang tidak
setia dan tidak menempati janji akan dijauhkan karena hidupnya telah diracuni
formalin ketidaksetiaan, kebohongan dan egoisme.
Gambaran
ketidaksetiaan manusia tidak saja dalam relasinya dengan sesama teapi terlebih
lagi dalam relasinya dengan Tuhan. Kisah yang disampaikan kepada kita hari ini
juga mengungkapkan gambaran relasi manusia dengan Tuhan. Kisah air bahwa yang
memusanahkan sebagian besar makhluk dalam kitab kejadian terjadi hanya karena
mananusia tidak setia dan tidak menepati janji mereka kepada TUhan. Kisah
pemusnahan karena air bah aadalah kisah tentang ketidak setiaan manusia dan
bukan kisah kekejaman Tuhan. Tuhan menciptakan semuanya baik adanya dan itu
hanya untuk manusia sejauh manusia setia pada perintah dan hukum TUhan.
Selepas
bencana air bah Tuhan yang setia kembali mengingatkan bangsa manusia untuk
kembali setia. Karena itulah bacaan pertama hari ini memuat Perjanjian antara Allah dengan Nuh sungguh menjadi berita
sukacita, berita gembira karena Tuhan yang setia kembali menegaskan kesetiaan
itu untuk menjamin kelangsungan hidup manusia. Perjanjian Allah itu menjadi berita gembira karena di
dalam perjanjian itu Allah membebaskan kita dari kematian, dari kemusnahan.
Kepada Nuh dan keluarganya Allah menegaskan: "Sesungguhnya, Aku mengadakan
perjanjian‑Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk
hidup yang bersama‑sama dengan kamu ... bahwa sejak ini tidak ada yang hidup
yang akan dilenyapkan oleh air bah lagi dan tidak akan ada lagi air bah untuk
memusnahkan bumi" (Kej 9:9‑11). Inilah berita gembira dari perjanjian
Allah itu, yaitu bahwa tidak ada lagi yang hidup akan dimusnahkan oleh air bah.
Menanggapi
berita gembira ini mungkin ada yang
bertanya, apabila janji Allah itu benar, mengapa sampai saat ini masih terjadi
bencana alam, gempa bumi, banjir bandang dan longsor? Mengapa masih ada musim
kering yang berkepanjangan sehingga banyak orang mati kelaparan? Mengapa masih
terjadi peperangan atau pembantaian manusia secara massal dalam negara atau
antarsuku? Mengapa masih meraja lela kemiskinan, penderitaan dan ketidakadilan
di dunia ini dan di daerah kita? Di manakah kebenaran janji Allah terhadap Nuh
dan semua keturunannya termasuk kita, berhadapan dengan kenyataan penderitaan
dan kesengsaraan manusia hari ini?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti ini sebenar tidak tepat dialamatkan kepada Tuhan karena sejak semula
Tuhan menghendaki manusia hidup, Pertanyaan seperti ini sesungguhnya diarahkan
kepada diri manusia sendiri. Kita manusia semenstinya bertanya: mengapa justru
dalam setiap penderitaan, bencana dan kematian manusia selalu bertanya kepada Tuhan? Mengapa kita
tidak bertanya kepada manusia dan kepada kepada dirinya? Apakah Tuhan penyebab segala
bencana yang menimpa manusia?
Apa pun
keberatan kita, yang pasti penderitaan kita manusia, penderitaan dunia tetap merupakan milik kita manusia di dunia
dan ada bersama dengan manusia yang berakar secara mendalam pada diri
manusia." "Penderitaan itu bersifat hakiki bagi kodrat manusia. bukan
agenda TUhan. Kalau penderitaan itu milik manusia dan dunia, maka tak pantas
jika dialihkan kepada TUhan. Kalau penderitaan itu berakar dalam diri manusia,
jangan melemparkannya kepada Tuhan.
Jika kita
kembali kepada firman Tuhan maka kita menemukan pada Dia hanya ada kehidupan,
sebab Tuhan itu hidup (bdk. Yer 4:2). "Hidup itu senantiasa ada dalam
Dia." Karena Tuhan itu hidup dan hanya di dalam Dia ada hidup itu, maka
satu‑satunya yang dikehendaki Tuhan hanyalah kehidupan bagi manusia dan bukannya
kematian atau kehancuran. Maut itu tidak diciptakan Allah, dan Tuhan tidak
bergembira menyaksikan hidup manusia itu musnah dan lenyap. Tuhan menciptakan
segalanya untuk kebakaan, sehingga manusia yang percaya berpartispasi dalam
kebakaan itu.
Hidup dan
kehidupan bagi dunia dan manusia, merupakan agenda besar Allah. Allah hanya menghendaki
kehidupan, keselamatan dan kebakaan bagi manusia, dan bukannya kehancuran,
kebinasaan dan kematian. Itulah alasannya mengapa Allah berjanji dengan Nuh
dan kita semua keturunannya untuk tidak memusnahkan manusia dengan air bah atau
bencana lainnya. Allah tidak menghendaki kehancuran atau kemusnahan menimpa
manusia. Sesudah peristiwa air bah Allah hanya memberi kehidupan kepada
manusia. "Dengan mengaruniakan hidup kepada manusia, Allah meminta agar manusia
sendiri harus bisa mencintai, menghormati dan memajukan hidup itu.
Jaminan
yang paling sempurna dan pas untuk janji Tuhan perihal kehidupan ini adalah
Kristus. Sebagai jaminan, "Kristus telah mati sekali untuk segala dosa
kita, Ia yang benar untuk orang‑orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita
kepada Allah. Ia yang telah dibunuh dalam keadaan‑Nya sebagai manusia, namun
yang telah dibangkitkan menurut Roh" (1Ptr 3:18‑19). Kristus itu
pemenuhan janji Allah akan kehidupan bagi kita manusia. Yesus sendiri
menegaskan Akulah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan
Pemenuhan
janji yang dilakukan Kristus bersifat kekal. Orang yang percaya kepada Yesus
dan memasuki persekutuan bersama‑Nya akan memiliki hidup kekal. Dengan keyakinan ini semua bentuk
penderitaan atau bencana yang dialami manusia setelah kisah air bah bukan
karena Tuhan murka atau marah. Peristiwa
air bah menimpa manusia dan memusnahkan segala jenis makhluk hidup karena Tuhan
melihat "kejahatan besar manusia menguasai bumi. Manusia tidak lagi setia
dan menepati janjinya kepada Tuhan. Air bah mengalir dari dan karena kejahatan manusia. Meskipun demikian Allah tetap
setia menyatakan komitmen menjamin kehidupan manusia.
Dari pihak
manusia dituntut untuk bersikap setia pada perjanjian dengan Tuhan. Jika derita
dan bencana menjadi tanggungan manusia dalam hidupnya. Berbicara tentang
kesetiaan pada janji itu sering terdengar mudah tetapi berjuang agar hidup
dalam kesetiaan ternyata bukanlah mudah. Dalam kondisi seperti itu hanya ada
satu jalan yang harus manusia lewati yang bertobat dan percaya kepada Injil
sebagaimana kita dengar dalam rumusan saat kita ditandai abu. Injil yang dimaksudkan kepadanya kita harus
bertobat dan percaya adalah "Injil kehidupan" yang konkret dan
bersifat pribadi Dengan bertobat dan percaya kepada Injil kehidupan, setiap
manusia, setiap kita akan mampu "menerima dan memenuhi janji kita untuk
setia kepada Tuhan.
Orang yang
setia dan menepati janji disayangi sesama dan dicintai Tuhan. Masa puasa yang
tengah kita jalani ini hendaknya dilihat sebagai saat kita melihat kualitas
hidup kita terutama kualitas kemintmen
kita akan semua pernyataan, niat, dan janji-janji yang kita ucapkan kepada
Tuhan dan sesama kita. Janji-janji, niat-niat yang kita ucapkan dan nyatakan
baru bermakna untuk dan menjamin masa depan hidup jiwa kita hanya sekjauh kita
menepatinya, dan mewujudkannya. Niat dan janji yang tidak diwaujudkan adalah
kebohongan yang membusukkan hidup kita.
Masyarakat
Tikus mengadakan munas luar biasa menyusul bencana yang menimpa bangsa Tikus.
Pemimpin para tikus mengundang semua
tikus untuk bersidang karena serangan para kucing semakin tak terkendali.
Munas luar biasa para tikus itu membahasan satu agenda penting yaitu mencari
cara yang tepat melawan kebengisan kucing yang memangsai banyak tikus. Dalam
sidang itu terjaring pelbagai tawaan alternatif dan cara melawan kucing biar
tikus-tikus tidak musnah dimangsa kucing.
Cara yang
disepakati bersama adalah pilihan untuk menggantung lonceng kecil pada leher
setiap kucing. Dengan itu kalau kucing hendak menangkap tikus, tikus bisa
bersembunyi karena mendengar bunyi lonceng yang digantung pada leher kucing.
Pemimpin tikus meminta semua tikus menandatngani kesepakatan dan janji yang
isinya: lonceng kecil harus digantung di leher kucing. Setelah semua sepakat
dan menandatangani perjanjian itu, muncul masalah
besar. Siapa dari antara tikus-tikus itu yang berani menggantungkan lonceng
pada leher kucing. Pemimpin tikus meminta anggotanya tetapi semuanya menolak.
Kesepakatan dan janji tinggal janji. Kucing terus mengancam hidup mereka.
Ancaman kehidupan manusia adalah dosa.
Dan salah satu dosa yang sering menguasai manusia adalah kebohongan dan
lemahnya komitmen untuk melaksanakan janji-janji dan niat-niat. Zaman ini
banyak yang berlaku seperti para tikus yang hanya bisa berjanji dan bersepakat
tetapi tidak mampu melaksanakannya. Tuhan itu setia pada janji-Nya yang menghidupkan
kita. Semoga kita bisa belajar untuk setia dan menepati janji-janji kita. Amin
Rm.Bone
Rampung,
No comments:
Post a Comment