Tuesday, March 25, 2014

KETELADANAN IBARAT MATA AIR

HARI MINGGU PRAPASKA III
Kel 17:3-7; Rm 5:1-2.5-8; Yoh 4:5-42
Gereja Cor Jesu Malang, 23 Maret 2014
Keteladanan: Mata Air yang Senantiasa Menghidupkan
==================================================

Buka
Firman Tuhan hari ini mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa air yang menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan fisik kita secara rohani dimaknai sebagai kebutuhan yang menjamin keselamatan jiwa kita. Karena itu kitab suci berbicara tentang air lebih dari sekadar penjamin kesegeran fisik melepaskan rasa haus kita tetapi air menjadi simbol dan sarana rohani yang menyegarkan jiwa kita. Kita membutuhkan sumber dan Mata air rohani yang menjamin sampai kehidupan kekal. Kita datang ke hadapan Tuhan pagi ini dalam semangat dan spirit perempuan Samaria untuk memohon agar kita diberi air dan rahmat dalam perayaan. Untuk itu kita menyadari kelemahan dan kedosaan kita.

Renungan
Hari Jumat (21/3) kemarin  bertempat di Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR, Jakarta  berkumpul beberapa tokoh penting yaitu Ketua MPR Sidarto Danusubroto, Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Ketua DPD RI Irman Gusman. Mereka berkumpul di Kompleks MPR/DPR bukan untuk konvensi  menjadi cawapres. Mereka berada di sana untuk suatu hal yang tidak ada kaitannya dengan politik, apalagi persoalan kampenye. Mereka berkumpul untuk mengikuti acara peluncuran sebuah buku penting karya  Yudi Latif.
Judul buku setebal 650 halaman itu amat relevan untuk dikaitkan dengan Firman Tuhan yang diperdengarkan kepada kita pada Minggu ke-3 Prapaska ini. Judul buku karya pimpinan Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila itu penting dan menarik yaitu “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan”. Melalui berita  yang dirilis berbagai media online  tentang peluncuran buku itu, kita dapat membaca  berita  dan komentar bahwa buku Mata Air Keteladanan itu dianggap paling efektif dalam rangka menjamin keselamatan bangsa. Baik judul buku maupun aneka komentar tentang peluncuran buku itu semuanya memberi tekanan pada satu masalah pokok. Persoalan pokok penentu arah hidup dan gerak bangsa ini yakni Pancasila. Penulis buku itu mengakui bahwa dasar dan titik star kelahiran dan kehadiran buku itu tidak lain karena bangsa ini telah sarat dengan keluhan karena adanya krisis keteladanan.
Yudi Latif, dalam keterangan persnya, secara gamblang menyampaikan sekaligus mengingatkan warga bangsa untuk senantiasa meneladani tokoh-tokoh anutan untuk para penganut agama. Menurut Latif tokoh-tokoh seperti Yesus, Nabi Muhammad, Sidharta Gautama, telah memberikan keteladanan itu. Dan, keteladanan tokoh-tokoh itu dikisahkan secara berkesinambungan sehingga mendorong orang untuk mengikutinya. Sebagai  bangsa kita memiliki banyak keteladanan untuk berbagai bidang namun kita tidak hanya  gagal menceritakan, mengisahkan  tetapi lebih dari itu kita  gagal meneladani keteladanan itu,” Kegagalan dalam hal keteladanan yang menggelisahkan hidup manusia terjadi karena kerakusan dan keserakahan telah menjadikan kehidupan kita tandus dan gersang ibarat padang gurun tanpa harapan. Keteladanan itu ibarat mata air yang dirindukan setiap orang tetapi begitu keteladanan dikalahkan oleh kepentingan diri, kerakusan, keserakahan, korupsi, budaya suap, sikap intolerasi, mau menang sendiri, dan sejenisnya maka mata air itu hilang dan berganti rupa menjadi air mata. Kurang lebih itulah yang telah melanda bangsa kita hingga saat ini.
Pada tataran nasional, dalam konteks kehidupan berbangsa dan negara yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila buku Yudi Latif “Mata Air Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan” dapat dijadikan sebagai rujukan dalam memaknai dan memperjuangkan nilai-nilai kehidupan yang bercorak universal. “Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan” ini merekam bagaimana nilai-nilai Pancasila dipraktikkan dalam keseharian perilaku para tokoh bangsa, penyelenggara negara, para politisi, dan aktivis kemasyarakatan serta masyarakat umum.
“Keteladanan adalah nilai yang operasional, bukan sekadar kata-kata mutiara. Artinya, selain bersifat inspiratif (memperluas wawasan) keteladanan juga harus aplikatif (artinya dipraktikkan dan dihayati). Begitulah Pancasila harus berfungsi sebagai sumber dan pedoman keteladanan bagi kita semua sebagai warga bangsa dan negara.
Apa relevansi gagasan Yudi Latif yang berbicara tentang Mata Air Keteladanan terkait Pancasila dengan  pesan Firman Tuhan untuk kita hari ini?  Pertanyaan ini dapat kita runut dan temukan jawabannya dalam tiga teks bacaan  hari ini.  Yudi Latif berbicara tentang Mata Air Keteladanan sebagai sebuah perbandingan, sekadar metafora tentang betapa pentingnya pemaknaan nilai-nilai Pancasila secara benar dalam praktik hidup warga negara. Keteladanan yang dimaksudkannya berkaitan dengan para pemimpin yang diberi mandat dan amanat untuk membawa warga pada suatu kondisi kehidupan yang lebih manusiawi dan bermartabat. Pemimpin diharapkan menjadi sumber mata air yang selalu menyegarkan, menghidupkan, tempat orang mempertaruhkan hidup dan matinya.
Firman Tuhan hari ini juga berbicara tentang keteladanan tokoh kitab Suci yang diberi mandat dan amanat sebagai pemimpin untuk menuntun umat manusia selama ziarah di bumi dan sebelum berziarah ke alam baka. Dua sisi dan dua arah keteladanan pemimpin dalam konteks kitab suci digambarkan dalam bacaan pertama dan injil hari ini. Bacaan pertama menampilkan dimensi masa kini dan dimensi fisik keteladanan seorang pemimpin yang diberi mandat untuk memberi jaminan fisik bagi bangsa yang dipimpinnya. Tokoh Musa ditampilkan sebagai orang yang dimandati dan diamanati untuk menjamin perjalanan bangsa Israel menuju tanah terjanji. Injil menampilkan Yesus (Musa Baru) pemimpin juga diamanati dan diutus untuk menuntun jiwa manusia menuju kemuliaan kekal. Tokoh Musa dalam bacaan pertama memberi gambaran tentang pemenuhan fisik masa kini dan Tokoh Yesus dalam injil memberi gambaran tentang pemenuhan tuntutan jiwa pada masa mendatang.
Baik Kitab Keluaran maupun bacaan injil Yohanes  hari ini berbicara tentang kebutuhan pokok untuk kehidupan manusia yaitu air. Kekurangan air dan terlebih lagi ketiadaan air selalu menjadi masalah untuk kehidupan manusia. Kita bisa mengerti kalau orang cekcok hanya karena berebut air karena memang air menentukan hidup mati manusia. Bagi Saudara/i yang pernah ke Israel dan mengambil paket Ziarah Israel Mesir atau sebaliknya, tentu akan melihat dan merasakan betapa panasnya padang gurun Mesir dan Sinai itu.  Dua tahun lalu saat berziarah ke Israel, setelah dua hari di Mesir kami harus ke gunung (Horeb) Sinai. Dari mesir ke Gunung Sinai ditempuh selama 6 jam dengan bus melintasi di bawah laut di terusan Zues. Sekitar 20-an kilometer dari terusan Zues kami berhenti di sebuah sumur namanya sumur Mara seperti yang ditulis dalam (Kel.15,23). Di namakan sumur Mara karena airnya terasa pahit. Dari Sumur Mara sekitar dua jam perjalanan kami berhenti di Elim dan di situ ada 12 sumur dan 70 pohon kurma selanjutnya 2 jam tiba di kaki gunung Horeb atau gunung Sinai tempat Musa menerima 2 loh batu. Dalam perjalanan menuju Horeb itulah bangsa yang dipimpin Musa itu bertengkar karena mereka terancam kematian. Mereka bertengkar karena kehausan lalu meragukan kepemimpinan Musa bahkan meragukan kehadiran Yahwe.  Musa sebagai tokoh pemimpin yang ditentukan Yahwe dilengkapi kuasa untuk memenuhi harapan bangsa yang dipimpinnya. Sebagai pemimpin Musa berada di depan dan diberi tongkat sebagai lambang kuasa dan otoritas yang diterimanya. Musa terbukti bisa mengatasi rasa haus bangsa yang dipimpinnya menuju puncak untuk menerima hukum Tuhan yang menjadi pedoman kehidupan. Di mata bangsa Israel tongkat yang diterima Musa sebagai simbol kekuasaan bukan untuk menelantarkan bangsanya tetapi justru untuk membebaskan bangsanya dari aneka ancaman yang mematikan.
Yesus yang dikisahkan injil hari ini lebih dari Musa karena Yesus sendiri adalah inkarnasi Allah yang dahulu memberikan Musa Tongkat untuk memimpin dan menyelamatkan Israel. Musa menyelamatkan dan membebaskan bangsa Israel dari rasa haus fisik yang bercorak sementara sedangkan Yesus memberi jaminan melampaui jaminan fisik dan bersifat kekal. Yesus memberi kepenuhan akan harapan dan kerinduan manusia baik secara fisik maupun secara rohani. Yesus memberi kesegaran dan kehidupan bukan saja kehidupan fisik yang sementara tetapi menjanjikan jaminan jiwa yang bersifat kekal. Dialog dan kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria hari ini menjadi bukti betapa Yesus melebihi Musa. Kehadiran Yesus sebagai Mata Air menggaransi manusia secara utuh jiwa dan raganya. Jaminan utuh untuk keselamatan manusia dilakukan Yesus dengan meruntuhkan sekat-sekat pembatas antara laki-laki dan perempuan, antara orang Samaria dan Orang Yahudi. Isi dan materi dialog antara Yesus dan perempuan Samaria tadi sungguh meyakinkan kita betapa Tuhan itu bermurah hati dan berbelas kasih terhadap semua orang tanpa memandang perbedaan. Yesus mengajarkan kita bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang senang mendengarkan aneka kisah tentang kegelisahan hidup orang lain, menawarkan solusi yang tetap bukan hanya untuk jangka pendek lahiriah melainkan juga untuk jangka panjang kehidupan jiwa yang abadi.
Yesus sebagai Musa Baru telah menjadi sumber Mata Air yang menanti menghidupkan  dan menyegarkan. Darahnya yang tercurah di kayu salib adalah jaminan keselamatan orang yang percaya.  Tuhan telah memberikan semuanya dan segalanya untuk kita. Dalam bahasa santu Paulus hari ini dikatakan bahwa Air kehidupan itu adalah cinta kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita. Dan kuasa itu disalurkan bukan oleh kuasa manusia melainkan oleh kuasa Roh Kudus. Paulus mengingatkan kita bahwa hanya dalam iman akan Kristus kita akan senantiasa kuat dan berdiri megah dalam pengharapan untuk menerima kemuliaan dari Allah.
Mata air dan sumber air pada hakikatnya mengalir untuk memberi kehidupan, memancarkan harapan, menjamin kesegaran, dan memungkinkan kehidupan. Mata air akan selalu mengalir untuk memberi. Kalau para pemimpin dikatakan sebagai Mata air atau menjadi sumber air, itu artinya pemimpin diamanatkan untuk menjamin keberlangsungan hidup orang yang dipimpinnya secara utuh. Musa telah mengatasi pertengakran bangsa yang dipimpinnya dengan bahasa air yang menyejukkan. Yesus sebagai mata air telah membersihkan noda dosa manusia dengan darahnya dan menguatkan setiap yang goyah dengan kekuatan kuasa Roh Kudus. Bahasa Air adalah bahasa memberi, bahasa mengalir untuk menghidupkan dan membersihkan.  Kita merindukan orang yang memiliki semangat dan spirit ibarat Mata air yang hanya mau memberi tanpa menuntut untuk menerima.
Saat ini kita tengah disibukkan dan dihiruk-pikukkan oleh begitu banyak orang yang mau mencalonkan diri menjadi pemimpin. Kita tentu bersyukur karena ada begitu banyak orang yang mau menjadi pemimpin, pejuang. Telinga kita tengah dikuasai slogan dan janji politik dari mereka yang mau menjadi calon pemimpin. Hal yang perlu kita cermati adalah ungkapan ini, kekuasaan yang diperebutkan cenderung disalahgunakan. Sebaliknya kekuasaan yang diamanatkan, dimandatkan akan dimaknai sebagai tanggungjawab yang harus dipertanggungjawabkan. Yesus tidak tidak pernah berkampanye memaparkan visi dan misinya sekadar menaikkan elektibilitas, tidak pernah mencetak baliho sekadar promosi prestasi, tidak pernah memasang semua gelar, dan riwayat hidup tetapi anehnya Yesus tetap menjadi Mata Air Keteladanan. Kuncinya karena Ia telah menjadi Mata Air  yang memberi harapan masa kini dan masa depan bagi umat manusia yang beriman kepada-Nya.
Suatu pagi Pak Kir terperosok ke dalam lubang sampah milik tetangga. Pak Kir tidak bisa keluar karena lubang cukup dalam. Beberapa orang datang menolongnya. Mereka pak Kir untuk memberikan tangannya biar bisa ditarik keluar. Ayo Pak Kir BERIKAN TANGANMU biar kami menarikmu keluar. Pak Kir tidak bereaksi. Diam tak menanggapi. Banyak orang akhirnya biarkan pak Kir terjebak di lubang sampah itu. Kemudian datang teman dekat pak Kir. Temannya berkata: Ayo Pak Kir TERIMALAH TANGANKU biar aku menarikmu keluar. Tanpa pikir panjang Pak Kir menerima tangan temannya dan dia ditarik keluar. 
Ketika ditanya mengapa saat temannya datang pak Kir bereaksi, temannya menjelaskan. Anda rupanya belum tahu sejarah nama untuk Pak Kir itu. Dia dipanggil pak Kir karena ia terkenal karena Kikirnya.  Kamu meminta dia untuk MEMBERI tangannya kepadamu sedangkan saya memintanya MENERIMA tanganku. Untuk pak Kikir kata MEMBERI  hampir tidak dipakainya yang digunakan hanya kata MENERIMA. Kata MENERIMA merupakan kata penting untuk seorang yang kikir.

Mari kita belajar untuk menjadi Mata Air yang memberi teladan dengan tindakan dan bukan dengan kata-kata. Orang Roma bilang: Verba Movent, Exempla Trahunt, kata-kata hanya mengajak tetapi teladan senantiasa lebih menarik. Kita perlu kehadiran orang yang pantas diteladani dan semua kita dipanggil untuk menjadi teladan dan Mata air bagi sesama kita. Tuhan memberkati kita! Amin

No comments:

Post a Comment