HARI MINGGU PRAPASKA III
Kel 17:3-7; Rm 5:1-2.5-8; Yoh 4:5-42
Gereja Cor Jesu Malang, 23 Maret 2014
Keteladanan: Mata Air yang Senantiasa Menghidupkan
==================================================
==================================================
Buka
Firman
Tuhan hari ini mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa air yang menjadi
kebutuhan utama dalam kehidupan fisik kita secara rohani dimaknai sebagai
kebutuhan yang menjamin keselamatan jiwa kita. Karena itu kitab suci berbicara
tentang air lebih dari sekadar penjamin kesegeran fisik melepaskan rasa haus
kita tetapi air menjadi simbol dan sarana rohani yang menyegarkan jiwa kita.
Kita membutuhkan sumber dan Mata air rohani yang menjamin sampai kehidupan
kekal. Kita datang ke hadapan Tuhan pagi ini dalam semangat dan spirit
perempuan Samaria untuk memohon agar kita diberi air dan rahmat dalam perayaan.
Untuk itu kita menyadari kelemahan dan kedosaan kita.
Renungan
Hari
Jumat (21/3) kemarin bertempat di Gedung
Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR, Jakarta
berkumpul beberapa tokoh penting yaitu Ketua MPR Sidarto Danusubroto,
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno,
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar,
Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan Ketua DPD RI Irman Gusman. Mereka
berkumpul di Kompleks MPR/DPR bukan untuk konvensi menjadi cawapres. Mereka berada di sana untuk
suatu hal yang tidak ada kaitannya dengan politik, apalagi persoalan kampenye.
Mereka berkumpul untuk mengikuti acara peluncuran sebuah buku penting
karya Yudi Latif.
Judul
buku setebal 650 halaman itu amat relevan untuk dikaitkan dengan Firman Tuhan
yang diperdengarkan kepada kita pada Minggu ke-3 Prapaska ini. Judul buku karya
pimpinan Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila itu penting dan menarik
yaitu “Mata
Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan”. Melalui berita yang dirilis berbagai media online tentang peluncuran buku itu, kita dapat
membaca berita dan komentar bahwa buku Mata Air Keteladanan
itu dianggap paling efektif dalam rangka menjamin keselamatan bangsa. Baik
judul buku maupun aneka komentar tentang peluncuran buku itu semuanya memberi
tekanan pada satu masalah pokok. Persoalan pokok penentu arah hidup dan gerak
bangsa ini yakni Pancasila. Penulis buku itu mengakui bahwa dasar dan titik
star kelahiran dan kehadiran buku itu tidak lain karena bangsa ini telah sarat
dengan keluhan karena adanya krisis keteladanan.
Yudi
Latif, dalam keterangan persnya, secara gamblang menyampaikan sekaligus
mengingatkan warga bangsa untuk senantiasa meneladani tokoh-tokoh anutan untuk
para penganut agama. Menurut Latif tokoh-tokoh seperti Yesus, Nabi Muhammad,
Sidharta Gautama, telah memberikan keteladanan itu. Dan, keteladanan
tokoh-tokoh itu dikisahkan secara berkesinambungan sehingga mendorong orang
untuk mengikutinya. Sebagai bangsa kita
memiliki banyak keteladanan untuk berbagai bidang namun kita tidak hanya gagal menceritakan, mengisahkan tetapi lebih dari itu kita gagal meneladani keteladanan itu,” Kegagalan
dalam hal keteladanan yang menggelisahkan hidup manusia terjadi karena
kerakusan dan keserakahan telah menjadikan kehidupan kita tandus dan gersang
ibarat padang gurun tanpa harapan. Keteladanan itu ibarat mata air yang
dirindukan setiap orang tetapi begitu keteladanan dikalahkan oleh kepentingan
diri, kerakusan, keserakahan, korupsi, budaya suap, sikap intolerasi, mau
menang sendiri, dan sejenisnya maka mata air itu hilang dan berganti rupa
menjadi air mata. Kurang lebih itulah yang telah melanda bangsa kita hingga
saat ini.
Pada
tataran nasional, dalam konteks kehidupan berbangsa dan negara yang berdasarkan
nilai-nilai Pancasila buku Yudi Latif “Mata Air Keteladanan : Pancasila dalam Perbuatan” dapat dijadikan
sebagai rujukan dalam memaknai dan memperjuangkan nilai-nilai kehidupan yang
bercorak universal.
“Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan” ini merekam bagaimana
nilai-nilai Pancasila dipraktikkan dalam keseharian perilaku para tokoh bangsa,
penyelenggara negara, para politisi, dan aktivis kemasyarakatan serta
masyarakat umum.
“Keteladanan
adalah nilai yang operasional, bukan sekadar kata-kata mutiara. Artinya, selain
bersifat inspiratif (memperluas wawasan) keteladanan juga harus aplikatif
(artinya dipraktikkan dan dihayati). Begitulah Pancasila harus berfungsi
sebagai sumber dan pedoman keteladanan bagi kita semua sebagai warga bangsa dan
negara.
Apa
relevansi gagasan Yudi Latif yang berbicara tentang Mata Air Keteladanan
terkait Pancasila dengan pesan Firman
Tuhan untuk kita hari ini? Pertanyaan
ini dapat kita runut dan temukan jawabannya dalam tiga teks bacaan hari ini.
Yudi Latif berbicara tentang Mata Air Keteladanan sebagai sebuah
perbandingan, sekadar metafora tentang betapa pentingnya pemaknaan nilai-nilai
Pancasila secara benar dalam praktik hidup warga negara. Keteladanan yang
dimaksudkannya berkaitan dengan para pemimpin yang diberi mandat dan amanat
untuk membawa warga pada suatu kondisi kehidupan yang lebih manusiawi dan
bermartabat. Pemimpin diharapkan menjadi sumber mata air yang selalu
menyegarkan, menghidupkan, tempat orang mempertaruhkan hidup dan matinya.
Firman Tuhan
hari ini juga berbicara tentang keteladanan tokoh kitab Suci yang diberi mandat
dan amanat sebagai pemimpin untuk menuntun umat manusia selama ziarah di bumi
dan sebelum berziarah ke alam baka. Dua sisi dan dua arah keteladanan pemimpin
dalam konteks kitab suci digambarkan dalam bacaan pertama dan injil hari ini.
Bacaan pertama menampilkan dimensi masa kini dan dimensi fisik keteladanan
seorang pemimpin yang diberi mandat untuk memberi jaminan fisik bagi bangsa
yang dipimpinnya. Tokoh Musa ditampilkan sebagai orang yang dimandati dan
diamanati untuk menjamin perjalanan bangsa Israel menuju tanah terjanji. Injil
menampilkan Yesus (Musa Baru) pemimpin juga diamanati dan diutus untuk menuntun
jiwa manusia menuju kemuliaan kekal. Tokoh Musa dalam bacaan pertama memberi
gambaran tentang pemenuhan fisik masa kini dan Tokoh Yesus dalam injil memberi
gambaran tentang pemenuhan tuntutan jiwa pada masa mendatang.
Baik Kitab
Keluaran maupun bacaan injil Yohanes
hari ini berbicara tentang kebutuhan pokok untuk kehidupan manusia yaitu
air. Kekurangan air dan terlebih lagi ketiadaan air selalu menjadi masalah
untuk kehidupan manusia. Kita bisa mengerti kalau orang cekcok hanya karena
berebut air karena memang air menentukan hidup mati manusia. Bagi Saudara/i
yang pernah ke Israel dan mengambil paket Ziarah Israel Mesir atau sebaliknya,
tentu akan melihat dan merasakan betapa panasnya padang gurun Mesir dan Sinai
itu. Dua tahun lalu saat berziarah ke
Israel, setelah dua hari di Mesir kami harus ke gunung (Horeb) Sinai. Dari
mesir ke Gunung Sinai ditempuh selama 6 jam dengan bus melintasi di bawah laut
di terusan Zues. Sekitar 20-an kilometer dari terusan Zues kami berhenti di
sebuah sumur namanya sumur Mara seperti yang ditulis dalam (Kel.15,23). Di
namakan sumur Mara karena airnya terasa pahit. Dari Sumur Mara sekitar dua jam
perjalanan kami berhenti di Elim dan di situ ada 12 sumur dan 70 pohon kurma
selanjutnya 2 jam tiba di kaki gunung Horeb atau gunung Sinai tempat Musa
menerima 2 loh batu. Dalam perjalanan menuju Horeb itulah bangsa yang dipimpin
Musa itu bertengkar karena mereka terancam kematian. Mereka bertengkar karena
kehausan lalu meragukan kepemimpinan Musa bahkan meragukan kehadiran
Yahwe. Musa sebagai tokoh pemimpin yang
ditentukan Yahwe dilengkapi kuasa untuk memenuhi harapan bangsa yang
dipimpinnya. Sebagai pemimpin Musa berada di depan dan diberi tongkat sebagai
lambang kuasa dan otoritas yang diterimanya. Musa terbukti bisa mengatasi rasa
haus bangsa yang dipimpinnya menuju puncak untuk menerima hukum Tuhan yang
menjadi pedoman kehidupan. Di mata bangsa Israel tongkat yang diterima Musa
sebagai simbol kekuasaan bukan untuk menelantarkan bangsanya tetapi justru
untuk membebaskan bangsanya dari aneka ancaman yang mematikan.
Yesus yang
dikisahkan injil hari ini lebih dari Musa karena Yesus sendiri adalah inkarnasi
Allah yang dahulu memberikan Musa Tongkat untuk memimpin dan menyelamatkan
Israel. Musa menyelamatkan dan membebaskan bangsa Israel dari rasa haus fisik
yang bercorak sementara sedangkan Yesus memberi jaminan melampaui jaminan fisik
dan bersifat kekal. Yesus memberi kepenuhan akan harapan dan kerinduan manusia
baik secara fisik maupun secara rohani. Yesus memberi kesegaran dan kehidupan
bukan saja kehidupan fisik yang sementara tetapi menjanjikan jaminan jiwa yang
bersifat kekal. Dialog dan kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Samaria hari
ini menjadi bukti betapa Yesus melebihi Musa. Kehadiran Yesus sebagai Mata Air
menggaransi manusia secara utuh jiwa dan raganya. Jaminan utuh untuk keselamatan
manusia dilakukan Yesus dengan meruntuhkan sekat-sekat pembatas antara
laki-laki dan perempuan, antara orang Samaria dan Orang Yahudi. Isi dan materi
dialog antara Yesus dan perempuan Samaria tadi sungguh meyakinkan kita betapa
Tuhan itu bermurah hati dan berbelas kasih terhadap semua orang tanpa memandang
perbedaan. Yesus mengajarkan kita bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang
senang mendengarkan aneka kisah tentang kegelisahan hidup orang lain,
menawarkan solusi yang tetap bukan hanya untuk jangka pendek lahiriah melainkan
juga untuk jangka panjang kehidupan jiwa yang abadi.
Yesus
sebagai Musa Baru telah menjadi sumber Mata Air yang menanti menghidupkan dan menyegarkan. Darahnya yang tercurah di
kayu salib adalah jaminan keselamatan orang yang percaya. Tuhan telah memberikan semuanya dan segalanya
untuk kita. Dalam bahasa santu Paulus hari ini dikatakan bahwa Air kehidupan
itu adalah cinta kasih Allah yang telah dicurahkan ke dalam hati kita. Dan
kuasa itu disalurkan bukan oleh kuasa manusia melainkan oleh kuasa Roh Kudus.
Paulus mengingatkan kita bahwa hanya dalam iman akan Kristus kita akan
senantiasa kuat dan berdiri megah dalam pengharapan untuk menerima kemuliaan
dari Allah.
Mata air
dan sumber air pada hakikatnya mengalir untuk memberi kehidupan, memancarkan
harapan, menjamin kesegaran, dan memungkinkan kehidupan. Mata air akan selalu
mengalir untuk memberi. Kalau para pemimpin dikatakan sebagai Mata air atau
menjadi sumber air, itu artinya pemimpin diamanatkan untuk menjamin keberlangsungan
hidup orang yang dipimpinnya secara utuh. Musa telah mengatasi pertengakran
bangsa yang dipimpinnya dengan bahasa air yang menyejukkan. Yesus sebagai mata
air telah membersihkan noda dosa manusia dengan darahnya dan menguatkan setiap
yang goyah dengan kekuatan kuasa Roh Kudus. Bahasa Air adalah bahasa memberi,
bahasa mengalir untuk menghidupkan dan membersihkan. Kita merindukan orang yang memiliki semangat
dan spirit ibarat Mata air yang hanya mau memberi tanpa menuntut untuk
menerima.
Saat ini
kita tengah disibukkan dan dihiruk-pikukkan oleh begitu banyak orang yang mau
mencalonkan diri menjadi pemimpin. Kita tentu bersyukur karena ada begitu
banyak orang yang mau menjadi pemimpin, pejuang. Telinga kita tengah dikuasai
slogan dan janji politik dari mereka yang mau menjadi calon pemimpin. Hal yang
perlu kita cermati adalah ungkapan ini, kekuasaan yang diperebutkan cenderung
disalahgunakan. Sebaliknya kekuasaan yang diamanatkan, dimandatkan akan
dimaknai sebagai tanggungjawab yang harus dipertanggungjawabkan. Yesus tidak
tidak pernah berkampanye memaparkan visi dan misinya sekadar menaikkan
elektibilitas, tidak pernah mencetak baliho sekadar promosi prestasi, tidak
pernah memasang semua gelar, dan riwayat hidup tetapi anehnya Yesus tetap
menjadi Mata Air Keteladanan. Kuncinya karena Ia telah menjadi Mata Air yang memberi harapan masa kini dan masa depan
bagi umat manusia yang beriman kepada-Nya.
Suatu pagi
Pak Kir terperosok ke dalam lubang sampah milik tetangga. Pak Kir tidak bisa
keluar karena lubang cukup dalam. Beberapa orang datang menolongnya. Mereka pak
Kir untuk memberikan tangannya biar bisa ditarik keluar. Ayo Pak Kir BERIKAN
TANGANMU biar kami menarikmu keluar. Pak Kir tidak bereaksi. Diam tak
menanggapi. Banyak orang akhirnya biarkan pak Kir terjebak di lubang sampah
itu. Kemudian datang teman dekat pak Kir. Temannya berkata: Ayo Pak Kir
TERIMALAH TANGANKU biar aku menarikmu keluar. Tanpa pikir panjang Pak Kir
menerima tangan temannya dan dia ditarik keluar.
Ketika
ditanya mengapa saat temannya datang pak Kir bereaksi, temannya menjelaskan.
Anda rupanya belum tahu sejarah nama untuk Pak Kir itu. Dia dipanggil pak Kir
karena ia terkenal karena Kikirnya. Kamu
meminta dia untuk MEMBERI tangannya kepadamu sedangkan saya memintanya MENERIMA
tanganku. Untuk pak Kikir kata MEMBERI
hampir tidak dipakainya yang digunakan hanya kata MENERIMA. Kata
MENERIMA merupakan kata penting untuk seorang yang kikir.
Mari kita
belajar untuk menjadi Mata Air yang memberi teladan dengan tindakan dan bukan
dengan kata-kata. Orang Roma bilang: Verba Movent, Exempla Trahunt,
kata-kata hanya mengajak tetapi teladan senantiasa lebih menarik. Kita perlu
kehadiran orang yang pantas diteladani dan semua kita dipanggil untuk menjadi
teladan dan Mata air bagi sesama kita. Tuhan memberkati kita! Amin
No comments:
Post a Comment