Wednesday, September 21, 2016

RENUNGAN MINGGU BIASA KE-25



HARI MINGGU BIASA XXIV Th.C2 11 September 2016
Kel 32:7‑11.13‑14;  1Tim 1:12‑17; Luk 15:1‑32 (Luk 15:1‑10)
Kapela STKIP Santu Palus Ruteng

Buka
Marilah kita mensyukuri semua berkat dan perlindungan Tuhan selama seminggu yang silam dan pagi ini kembali membawa semua niat, rencana, orang yang kita doakan dan yang mengharapan doa kita alam perayaan yang menyelamatkan ini. Agar kita pantas menghadap Tuhan dengans emua niat itu, marilah kita berpantas diri dengan mengakui kelamhan dan dosa kita.

Renungan
Narasi yang digambarkan melalui Kitab Keluaran dalam bacaan pertama pagi ini mengingatkan saya akan pengalaman beberapa tahun lalu saat malam hari tiba di kaki Gunung Sinai Mesir. Mendaki ke puncak Sinai memang tidak mudah apalagi saat itu kami harus berangkat malam agar bisa tiba pagi di puncak Sinai. Semula kami dengan bus besar, kemudian berganti bus lebih kecil menuju terminal unta. Kami berjalan dalam kegelapan dan sama sekali tidak ada banyang bagaimana model jalan dan kondisi ke puncak Sinai itu. Ketika menunggang unta dan unta berjalan di malam yang gelap itu dalam ingatan saya terlintas semua kisah yang dulu diajarkan guru tentang perjalanan Israel yang dikomandani Musa. Perjalanan menunggang unta di malam gelap itu memang asyik tetapi selalu ada kecemasan apakah nanti unta bisa mengantar kami ke tempat tujuan. Untung saja semua unta itu sudah terbiasa sehingga biar tanpa tuannya mereka bisa berjalan setelah ada yang menunggang. Semuanya berjalan pasti di malam yang gelap. Kami dilarang nyalakan senter karena unta akan takut kalau ada cahaya dan unta justru berjalan cepat dan pasti dalam kegelapan. Unta tidak bisa membawa kami sampai puncak. Untuk sampai kepuncak harus berkaki dan menapaki ribuan anak tangga berupa batu-batu. Semua berniat harus sampai di puncak sebeleum matahari terbit. Pukul 9 malam dari kaki Sinai dan baru tiba di puncak pukul 5 pagi.Saat mentari pagi mulai bersinar barulah kami menyadari bahwa ternyata seluruh gunung Sinai itu hanyalah batu tanpa ada tumbuhan apa pun. Konsisi puncak Sinai itu memang indah saat matahari terbit dan keindahan itu terasa menebus semua kelelahan dan keletihan menunggang unta dan berjalan kaki. Saat berada di kapela Musa yang ada di puncak Sinai, semua kisah masa lalu tentang perjalanan Israel dalam pelajaran agama saat SD seakan muncul kembali. Termasuk kisah yang kita baca dalam bacaan pertama tadi.
Melalui bacaan pertama itu kita diingatkan tentang semua kisah Israel menuju tanaah Terjanji. Ada banyak kisah sedih yang menimpa Israel sejak keluar dari Mesir. Mereka kehausan dan kelaparan melintasi padang pasir yang begitu luas dan panas. Dalam konsisi itu mereka di bawa Musa menuju tanah terjanji. Mereka tinggalkan Mesir dengan segala suka duka dan tantangannya. Musa dilengkapi dengan pedoman yang harus diterimanya dari Yahwe di puncak Sinai. Peoman berupa hukum-hukum Tuhan itu dimaksudkan sebagai tuntunan bagi Israel. Dalam kenyataannya Israel justru berbuat tidak sesuai dengan apa yang Tuhan inginkan. Musa sebagai pimpinan harus bertanggung jawab atas perilaku bangsa yang dibimbingnya. Kita membaca dan mendengarkan tadi bahwa banagsa itu bertindak di luar yang diharapkan dan Musa harus berjuang agar murka tidak ditimpakan kepada bangsa itu.Musa meampilkan citra diri sebagai pemimpin yang bertanggung jawab. Perjuangan Musa berhasil meredam murka yang seharusnya ditimpakan kepada mereka. Kisah keluaran ini menawarkan pesan penting kepada kita manusia sampai masa ini untuk menyadari betapa Kasih Tuhan tidak bisa diukur dengan perilaku manusia. Kasih Tuhan yang selalu diarahkan kepada manusia tidak terbatalkan oleh perilaku manusia sejauh manusia itu berjuang selalu kembali ke jalan yang benar. Dalam bahasa biblis dikatakan bahawa murka Tuhan hanya bisa diredam dalam semnagat rendah hati dan sikap tobat yang sejati. Sasl dan tobat sejati adalah senjata pamungkas yang meruntuhkan murka Allah. Israel berhasil masuk tanah terjanji sebagai tanah kemakmuaran jsutru karena mereka telah teruji dalam aneka pengalaman hidup.
Kisah tobat dan sesal sejati yang mengalirkan dan menghadirkan kembali kasih Tuhan itu, dalam gaya dan cara yang lain dinarasikan dalam bacaan kedua hari ini. Santu Paulus dalam surat kepada Timoteus tadi menampilkan tokoh yang hidup dan bertindak lalim tetapi kemudian ia berbalik dan bertobat.  Dia yang dinilai sebagai lalim dan penghujat itu telah memilih arah perbaikan berupa pertobatan. Buah pertobatan itulah yang menjadikan dirinya sebagai orang pilihan Allah untuk menyebarkan kasih dan kebaikan yang sejati.
Perilaku Israel yang menyimpang dan tokoh Saulus dalam bacaan kedua dalam bahasa lain dikatakan sebagai perilaku menghilangkan diri dari hadapan Tuhan. Menghilang atau menjauhkan diri dari Tuhan itu juga menjadi inti Firman Tuhan dalam injil hari ini. Dari Injil kita mendengarkan bahwa ada sembilan puluh sembilan domba yang baik, dan hanya satu domba yang jahat. Namun anehnya kesem­bilan puluh sembilan domba yang baik itu ditinggalkan oleh sang gembala hanya untuk pergi mencari yang jahat seekor itu. Logika manusia biasanya memperhatikan yang lebih banyak dan yang baik‑baik daripada hanya seekor saja dan yang jahat. Namun Tuhan Yesus justru pergi mencari seekor domba yang hilang itu, dan meninggal­kan kesembilan puluh sembilan ekor domba lain yang baik‑baik. Apakah makna dan motif dari sikap dan tindakan   Yesus yang digambarkan injil seperti ini?
Makna tindakan meninggalkan 99 dan mencari yang satu mau menegaskan kepada kita bahwa Tuhan menginginkan keselamatan bagi setiap orang per jiwa, per  individu. Bagi Tuhan keselamatan itu bukanlah kondsi yang diberikan kepada sasaran bersifat masal. Tuhan merencanakan keselamatan setiap orang. Kesamatan itu urusan perorang dan bukan urusan massal. Petobatan massal tidka menjamin keselamatan seseorang. Yang diutamakan adalah keselamatan orang perorang. Itu dan begitulah caranya Tuhan terhadap manusia. Karena itu, 99 bukanlah angka yang terpenting bagi Tuhan. Juga sebaliknya angka satu bukanlah angka yang tidak bermakna untuk Tuhan. Satu jiwa untuk Tuhan tidak lebih murah dari 99 jiwa. Mengapa? Karena 99 jiwa itu ada karena kumpulan satu jiwa. Kalau itu pesannya maka pertobatan massal dam hidup tidak lebih menguntungkan daripada pertobatan peroangan, pertobatan individual. Lalu kalau kita mempersoalkan motif kisah tentang satu domba hilang dan harus tinggalkan 99 yang lain apa jawaban kita. Apa motifnya menampilkan kisah ini? Menurut saya ada dua moti dasar yaitu:
Pertama, Motif Kasih. Kasihlah yang mendorong Tuhan untuk pergi mencari hanya seekor domba yang hilang. Hanya karena kasih dan demi kasih, Yesus tidak mau agar domba‑domba‑Nya ada yang hilang. Walaupun domba itu hilang karena perbuatannya sendiri, atau karena nakal dan liar sehingga hilang, namun Tuhan masih pergi juga mencarinya. Inilah yang dialami Santu Paulus. "Aku yang  tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, namun aku telah dikasi­hi‑Nya ... Kristus Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka akulah yang paling berdosa. Namun justru karena itu aku dikasihani" (1Tim 1: 13.15‑16). Sulit dibayangkan bagaimana Santu Paulus menjadi seorang penghu­jah, seorang penganiaya dan seorang ganas. Selayaknya ia harus ditindak dan dihukum, atau sekurang‑kurangnya menderita sendiri akibat tingkah laku dan perbuatannya itu. Namun kenyataannya justru ia yang dikasihi oleh Tuhan. Tuhan mengasihi orang berdo­sa. Ia mencintai mereka. Pasti bukan dosa atau kejahatan yang dikasihi atau dicintai oleh Tuhan. Tuhan tidak pernah mencintai dosa dan kejahatan. Manusia sendiri juga tidak demikian. Namun Tuhan mencintai manusia atau mengasihi orang berdosa. Manusia lebih penting dari dosa. Keselamatan orang lebih penting daripada kejahatan yang dilakukannya. Tuhan mengasihi manusia supaya manusia baik dan selamat.
Kedua, Motif Persatuan. Yesus menghendaki agar dari semua domba‑Nya tidak ada yang hi­lang. Dengan kata lain, Tuhan Yesus menghendaki agar semua domba‑Nya bersatu, utuh dan lengkap. "Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan‑Nya kepada‑Ku jangan ada yang hilang" (Yoh 6:39). Kenyataan bahwa ada domba yang hilang karena liar atau kemauan sendiri, namun ada juga domba yang dihilangkan. Ingat saja kasus orang hilang.
Tuhan mencari domba yang hilang karena memang Ia mau agar domba‑domba‑Nya tetap utuh bersatu. Ia mau agar mereka tetap lengkap jumlahnya. Maka Ia selalu berdoa: "Ya Bapa, bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, melainkan juga untuk orang‑orang yang percaya kepada‑Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka semua senantiasa menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau agar mereka juga di dalam kita" (Yoh 17:20‑21). Senantiasa menjadi satu itulah kehendak Tuhan. Para murid bersatu pertama‑tama secara ke dalam dengan sesamanya sendiri, lalu dengan orang‑orang lain. Namun para murid juga bersatu dengan Tuhan. Sesungguhnya di dalam Tuhan para murid bersatu di antara mereka sendiri dan dengan orang‑orang lain. Inilah yang semestin­ya kita sadari. "Sadar akan perasaan bersatu dan dipersatukan di dalam Tuhan adalah jaminan dari kepastian, kesuburan dan kegem­biraan” Orang yang senantiasa menyadari bahwa ia bersatu dengan orang lain dan dengan Tuhan akan senantiasa merasa tenang dan pasti, merasa berhasil dan gembira.
Untuk senantiasa mencapai dan memiliki persatuan ini, kita sen­diri mesti meneladani Kristus, yaitu dengan tidak membiarkan orang lain hilang. Kita mempunyai kewajiban untuk melindungi, menjaga dan memelihara sama saudara kita. Lalu kalau terpaksa sesama kita hilang, entah karena kelalaiannya sendiri atau dibuat oleh musuh‑musuhnya, maka kita mesti "pergi mencari yang sesat itu sampai menemukannya" (Luk 15:4). Orang dapat hilang terus dalam hidupnya karena kita tidak mau pergi mencarinya. Kita membiarkannya hilang dan hilang terus. Yesus sebaliknya pergi mencarinya sampai Ia menemukannya.
Persatuan terpelihara dengan baik hanya kalau kita memberikan perhatian kepada yang lemah, yang tersesat dan terluka. Henri Nouwen katakan: "Kita tidak sendirian. Di luar semua yang memi­sahkan kita, kita menjadi bersama‑sama. Kita adalah milik bersa­ma. Kita menemukan kebersamaan manusiawi ini, bukan ketika kita kuat dan berkuasa, melainkan ketika kita menjadi orang yang terluka dan lemah." Persatuan kita kuat apabila kita bergabung dengan orang‑orang kecil, lemah dan terluka. Sebab itu, di dalam kasih Tuhan, "berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera" dengan Tuhan dan sesamamu (Ef 4:3).
Semoga pesan Firman Tuhan hari ini sungguh memberikan kita jaminan keselamatan bukan saja keselamatan yang bersifat massal tetapi terlibih keselamatan secara pribai. Semoga kita menjadi domba yang mau dibawa pulang ke kandang yang benar dan menyelamatkan. Amin

No comments:

Post a Comment