HARI
MINGGU BIASA XXIV Th.C2 11 September 2016
Kel 32:7‑11.13‑14; 1Tim 1:12‑17; Luk 15:1‑32 (Luk 15:1‑10)
Kapela STKIP Santu Palus Ruteng
Buka
Marilah kita mensyukuri semua
berkat dan perlindungan Tuhan selama seminggu yang silam dan pagi ini kembali membawa
semua niat, rencana, orang yang kita doakan dan yang mengharapan doa kita alam
perayaan yang menyelamatkan ini. Agar kita pantas menghadap Tuhan dengans emua
niat itu, marilah kita berpantas diri dengan mengakui kelamhan dan dosa kita.
Renungan
Narasi yang digambarkan melalui Kitab Keluaran dalam bacaan pertama
pagi ini mengingatkan saya akan pengalaman beberapa tahun lalu saat malam hari
tiba di kaki Gunung Sinai Mesir. Mendaki ke puncak Sinai memang tidak mudah
apalagi saat itu kami harus berangkat malam agar bisa tiba pagi di puncak
Sinai. Semula kami dengan bus besar, kemudian berganti bus lebih kecil menuju
terminal unta. Kami berjalan dalam kegelapan dan sama sekali tidak ada banyang
bagaimana model jalan dan kondisi ke puncak Sinai itu. Ketika menunggang unta
dan unta berjalan di malam yang gelap itu dalam ingatan saya terlintas semua
kisah yang dulu diajarkan guru tentang perjalanan Israel yang dikomandani Musa.
Perjalanan menunggang unta di malam gelap itu memang asyik tetapi selalu ada
kecemasan apakah nanti unta bisa mengantar kami ke tempat tujuan. Untung saja
semua unta itu sudah terbiasa sehingga biar tanpa tuannya mereka bisa berjalan
setelah ada yang menunggang. Semuanya berjalan pasti di malam yang gelap. Kami
dilarang nyalakan senter karena unta akan takut kalau ada cahaya dan unta
justru berjalan cepat dan pasti dalam kegelapan. Unta tidak bisa membawa kami
sampai puncak. Untuk sampai kepuncak harus berkaki dan menapaki ribuan anak
tangga berupa batu-batu. Semua berniat harus sampai di puncak sebeleum matahari
terbit. Pukul 9 malam dari kaki Sinai dan baru tiba di puncak pukul 5 pagi.Saat
mentari pagi mulai bersinar barulah kami menyadari bahwa ternyata seluruh
gunung Sinai itu hanyalah batu tanpa ada tumbuhan apa pun. Konsisi puncak Sinai
itu memang indah saat matahari terbit dan keindahan itu terasa menebus semua
kelelahan dan keletihan menunggang unta dan berjalan kaki. Saat berada di
kapela Musa yang ada di puncak Sinai, semua kisah masa lalu tentang perjalanan
Israel dalam pelajaran agama saat SD seakan muncul kembali. Termasuk kisah yang
kita baca dalam bacaan pertama tadi.
Melalui bacaan pertama itu kita diingatkan tentang semua kisah Israel
menuju tanaah Terjanji. Ada banyak kisah sedih yang menimpa Israel sejak keluar
dari Mesir. Mereka kehausan dan kelaparan melintasi padang pasir yang begitu
luas dan panas. Dalam konsisi itu mereka di bawa Musa menuju tanah terjanji.
Mereka tinggalkan Mesir dengan segala suka duka dan tantangannya. Musa
dilengkapi dengan pedoman yang harus diterimanya dari Yahwe di puncak Sinai.
Peoman berupa hukum-hukum Tuhan itu dimaksudkan sebagai tuntunan bagi Israel.
Dalam kenyataannya Israel justru berbuat tidak sesuai dengan apa yang Tuhan
inginkan. Musa sebagai pimpinan harus bertanggung jawab atas perilaku bangsa
yang dibimbingnya. Kita membaca dan mendengarkan tadi bahwa banagsa itu
bertindak di luar yang diharapkan dan Musa harus berjuang agar murka tidak
ditimpakan kepada bangsa itu.Musa meampilkan citra diri sebagai pemimpin yang
bertanggung jawab. Perjuangan Musa berhasil meredam murka yang seharusnya
ditimpakan kepada mereka. Kisah keluaran ini menawarkan pesan penting kepada
kita manusia sampai masa ini untuk menyadari betapa Kasih Tuhan tidak bisa
diukur dengan perilaku manusia. Kasih Tuhan yang selalu diarahkan kepada
manusia tidak terbatalkan oleh perilaku manusia sejauh manusia itu berjuang
selalu kembali ke jalan yang benar. Dalam bahasa biblis dikatakan bahawa murka
Tuhan hanya bisa diredam dalam semnagat rendah hati dan sikap tobat yang sejati.
Sasl dan tobat sejati adalah senjata pamungkas yang meruntuhkan murka Allah.
Israel berhasil masuk tanah terjanji sebagai tanah kemakmuaran jsutru karena
mereka telah teruji dalam aneka pengalaman hidup.
Kisah tobat dan sesal sejati yang mengalirkan dan menghadirkan kembali
kasih Tuhan itu, dalam gaya dan cara yang lain dinarasikan dalam bacaan kedua
hari ini. Santu Paulus dalam surat kepada Timoteus tadi menampilkan tokoh yang
hidup dan bertindak lalim tetapi kemudian ia berbalik dan bertobat. Dia yang dinilai sebagai lalim dan penghujat
itu telah memilih arah perbaikan berupa pertobatan. Buah pertobatan itulah yang
menjadikan dirinya sebagai orang pilihan Allah untuk menyebarkan kasih dan
kebaikan yang sejati.
Perilaku Israel yang menyimpang dan tokoh Saulus dalam bacaan kedua
dalam bahasa lain dikatakan sebagai perilaku menghilangkan diri dari hadapan
Tuhan. Menghilang atau menjauhkan diri dari Tuhan itu juga menjadi inti Firman
Tuhan dalam injil hari ini. Dari Injil kita mendengarkan bahwa ada sembilan
puluh sembilan domba yang baik, dan hanya satu domba yang jahat. Namun anehnya
kesembilan puluh sembilan domba yang baik itu ditinggalkan oleh sang gembala
hanya untuk pergi mencari yang jahat seekor itu. Logika manusia biasanya
memperhatikan yang lebih banyak dan yang baik‑baik daripada hanya seekor saja
dan yang jahat. Namun Tuhan Yesus justru pergi mencari seekor domba yang hilang
itu, dan meninggalkan kesembilan puluh sembilan ekor domba lain yang baik‑baik.
Apakah makna dan motif dari sikap dan tindakan
Yesus yang digambarkan injil
seperti ini?
Makna tindakan meninggalkan 99 dan mencari yang satu mau menegaskan
kepada kita bahwa Tuhan menginginkan keselamatan bagi setiap orang per jiwa,
per individu. Bagi Tuhan keselamatan itu
bukanlah kondsi yang diberikan kepada sasaran bersifat masal. Tuhan
merencanakan keselamatan setiap orang. Kesamatan itu urusan perorang dan bukan
urusan massal. Petobatan massal tidka menjamin keselamatan seseorang. Yang
diutamakan adalah keselamatan orang perorang. Itu dan begitulah caranya Tuhan
terhadap manusia. Karena itu, 99 bukanlah angka yang terpenting bagi Tuhan.
Juga sebaliknya angka satu bukanlah angka yang tidak bermakna untuk Tuhan. Satu
jiwa untuk Tuhan tidak lebih murah dari 99 jiwa. Mengapa? Karena 99 jiwa itu
ada karena kumpulan satu jiwa. Kalau itu pesannya maka pertobatan massal dam
hidup tidak lebih menguntungkan daripada pertobatan peroangan, pertobatan
individual. Lalu kalau kita mempersoalkan motif kisah tentang satu domba hilang
dan harus tinggalkan 99 yang lain apa jawaban kita. Apa motifnya menampilkan
kisah ini? Menurut saya ada dua moti dasar yaitu:
Pertama, Motif Kasih. Kasihlah yang mendorong Tuhan untuk pergi
mencari hanya seekor domba yang hilang. Hanya karena kasih dan demi kasih,
Yesus tidak mau agar domba‑domba‑Nya ada yang hilang. Walaupun domba itu hilang
karena perbuatannya sendiri, atau karena nakal dan liar sehingga hilang, namun
Tuhan masih pergi juga mencarinya. Inilah yang dialami Santu Paulus. "Aku
yang tadinya seorang penghujat dan
seorang penganiaya dan seorang ganas, namun aku telah dikasihi‑Nya ... Kristus
Yesus datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa, dan di antara mereka
akulah yang paling berdosa. Namun justru karena itu aku dikasihani" (1Tim
1: 13.15‑16). Sulit dibayangkan bagaimana Santu Paulus menjadi seorang penghujah,
seorang penganiaya dan seorang ganas. Selayaknya ia harus ditindak dan dihukum,
atau sekurang‑kurangnya menderita sendiri akibat tingkah laku dan perbuatannya
itu. Namun kenyataannya justru ia yang dikasihi oleh Tuhan. Tuhan mengasihi
orang berdosa. Ia mencintai mereka. Pasti bukan dosa atau kejahatan yang
dikasihi atau dicintai oleh Tuhan. Tuhan tidak pernah mencintai dosa dan
kejahatan. Manusia sendiri juga tidak demikian. Namun Tuhan mencintai manusia
atau mengasihi orang berdosa. Manusia lebih penting dari dosa. Keselamatan
orang lebih penting daripada kejahatan yang dilakukannya. Tuhan mengasihi
manusia supaya manusia baik dan selamat.
Kedua, Motif Persatuan. Yesus menghendaki agar dari semua domba‑Nya
tidak ada yang hilang. Dengan kata lain, Tuhan Yesus menghendaki agar semua
domba‑Nya bersatu, utuh dan lengkap. "Inilah kehendak Dia yang telah
mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan‑Nya kepada‑Ku jangan
ada yang hilang" (Yoh 6:39). Kenyataan bahwa ada domba yang hilang karena
liar atau kemauan sendiri, namun ada juga domba yang dihilangkan. Ingat saja
kasus orang hilang.
Tuhan mencari domba yang hilang karena memang Ia mau agar domba‑domba‑Nya
tetap utuh bersatu. Ia mau agar mereka tetap lengkap jumlahnya. Maka Ia selalu
berdoa: "Ya Bapa, bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, melainkan juga
untuk orang‑orang yang percaya kepada‑Ku oleh pemberitaan mereka; supaya mereka
semua senantiasa menjadi satu, sama seperti Engkau ya Bapa di dalam Aku dan Aku
di dalam Engkau agar mereka juga di dalam kita" (Yoh 17:20‑21). Senantiasa
menjadi satu itulah kehendak Tuhan. Para murid bersatu pertama‑tama secara ke
dalam dengan sesamanya sendiri, lalu dengan orang‑orang lain. Namun para murid
juga bersatu dengan Tuhan. Sesungguhnya di dalam Tuhan para murid bersatu di
antara mereka sendiri dan dengan orang‑orang lain. Inilah yang semestinya kita
sadari. "Sadar akan perasaan bersatu dan dipersatukan di dalam Tuhan
adalah jaminan dari kepastian, kesuburan dan kegembiraan” Orang yang
senantiasa menyadari bahwa ia bersatu dengan orang lain dan dengan Tuhan akan
senantiasa merasa tenang dan pasti, merasa berhasil dan gembira.
Untuk senantiasa mencapai dan memiliki persatuan ini, kita sendiri
mesti meneladani Kristus, yaitu dengan tidak membiarkan orang lain hilang. Kita
mempunyai kewajiban untuk melindungi, menjaga dan memelihara sama saudara kita.
Lalu kalau terpaksa sesama kita hilang, entah karena kelalaiannya sendiri atau
dibuat oleh musuh‑musuhnya, maka kita mesti "pergi mencari yang sesat itu
sampai menemukannya" (Luk 15:4). Orang dapat hilang terus dalam hidupnya
karena kita tidak mau pergi mencarinya. Kita membiarkannya hilang dan hilang
terus. Yesus sebaliknya pergi mencarinya sampai Ia menemukannya.
Persatuan terpelihara dengan baik hanya kalau kita memberikan
perhatian kepada yang lemah, yang tersesat dan terluka. Henri Nouwen katakan:
"Kita tidak sendirian. Di luar semua yang memisahkan kita, kita menjadi
bersama‑sama. Kita adalah milik bersama. Kita menemukan kebersamaan manusiawi
ini, bukan ketika kita kuat dan berkuasa, melainkan ketika kita menjadi orang
yang terluka dan lemah." Persatuan kita kuat apabila kita bergabung dengan
orang‑orang kecil, lemah dan terluka. Sebab itu, di dalam kasih Tuhan,
"berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera"
dengan Tuhan dan sesamamu (Ef 4:3).
Semoga pesan Firman Tuhan hari ini sungguh memberikan kita jaminan
keselamatan bukan saja keselamatan yang bersifat massal tetapi terlibih
keselamatan secara pribai. Semoga kita menjadi domba yang mau dibawa pulang ke
kandang yang benar dan menyelamatkan. Amin
No comments:
Post a Comment