Friday, November 1, 2013

RENUNGAN PEMBERKATAN GEDUNG SEKOLAH

Ibadat Pemberkatan Gedung Sekolah
SMAK Frateran Malang
Jumat, 1 November 2013
Renungan
Seekor tikus yang sering dimangsa kucing berhasil membuat tempat persembunyian sebagai rumahnya. Setelah sarangnya dibangun tikus itupun berdoa kepada Tuhan demikian:
Tuhanku, Rumahku ini kecil. Pintunya selalu terbuka. Saya yakin Tuhan pasti datang. Tak usahlah Tuhan mengetuk. Masuk saja ke dalamnya. Aku percaya kedatangan-Mu itu selalu menyenangkan.
Tuhanku, tinggallah bersama aku.
Saya kira doa seekor tikus ini bisa memberikan kita inspirasi dan permenungan yang mendalam tentang pentingnya suatu tempat, sarang, gedung, rumah tempat orang tinggal dan menjalankan segala aktivitasnya. Keinginan, cita-cita, kerinduan setiap orang untuk merasakan kenyamanan di tempat tinggal dan tempat menjalankan kegiatannya merupakan kerinduan dan keinginan tergolong hakiki dan mendasar. Abraham Maslow jauh sebelumnya telah merumuskan bahwa kebutuhan akan rasa aman merupakan salah satu kebutuhan yang menempati anak tangga piramida dalam hierarkhi kebutuhan manusia. Doa seekor tikus tadi, menunjukkan kepada kita betapa tikus pun merindukan rasa aman itu dan keamaan yang diandalkannya adalah Tuhan sendiri. Membuka pintu rumah, membiarkan Tuhan masuk dan menjaga keselamatan dan kenyaman adalah sikap iman yang benar.
Sore ini kita semua, juga merindukan Tuhan sang penjaga, pengawal itu memasuki tempat ini, sekolah kita, gedung yang baru ini untuk mengawal seluruh aktivitas dan dinamika yang berkaitan dengan proyek pencerdasan dan pemanusiaan manusia melalui tindakan edukatif  yang berarti dan bermakna. Kenyamanan yang kita rindukan dari Tuhan yang kita undang dalam ibadat ini adalah kenyaman berkaitan dengan aktivitas mental kejiwaan yang akan berlansung di tempat ini. Kita sadar dan yakin, bahwa kehadiran Tuhan  dengan segala kualitas unggul yang melampaui segala keunggulan manusia akan dinyatakan Tuhan di tempat ini melalui semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan yang berlangsung di sekolah ini. Ketika Tuhan disadari dan diyakini berada bersama kita di tempat ini, di sekolah ini, di setiap ruangan maka kita mau tidak mau mendisposisikan seluruh arah gerak, tindakan dan perilaku kita sebagai arah gerak, tindakan dan perilaku yang ada dibawah pantauan Tuhan. Ketika kita mengundang Tuhan hadir di tempat ini, di gedung, dan sekolah kita maka kita ibaratnya membawa Tuhan dan menjadikan Tuhan ibarat kamera pengintai yang memantau dan memonitor seluruh dinamika pelaksanaan tugas dan panggilan kita baik sebagai pendididik maupun sebagai peserta didik.
Menyadari bahwa Tuhan hadir sebagai pemantau seluruh dinamika aktivitas kita di lembaga ini mendorong dan mewajibkan kita untuk melakukan semuanya dalam koridor atau lorong yang Tuhan inginkan. Yang Tuhan inginkan adalah semua hal yang baik yang membawa kita untuk semakin dekat pada keunggulan yang terekspresikan dalam etos kerja dan semangat pelayanan kita kepada mereka yang dipercayakan kepada kita untuk dilayani secara mental akademik.
Segmen injil Lukas yang diperdengarkan kepada kita sore ini secara implisit dan eksplisit mewacanakan perihal kualitas hidup seseorang yang dianalogikan dengan sebuah bangunan. Kualitas diri yang diwacanakan itu mempersoalkan konsistensi relasi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Konsistensi relasi antara kata-kata dan perilaku. Injil menegaskan bahwa Tuhan pada akhirnya mengelompokkan manusia berdasarkan kualitas peri berbahasa dan peri bertindaknya. Kesepadanan antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakaukan menempakan seseorang pada status dan kondisi yang kokoh tak tergoyang. Orang seperti ini dianalogikan Yesus sebagai bangunan yang memiliki fondasi dan dasar yang kokoh tak tergoyang. Kosnistensi antaraperkataan dan perbuatan adalah menurut Yesus adalah fondasi beton atau batu karang kehidupan seseorang. Sebaliknya inkonsistensi antara perbuatan dan tindakan  menedisposisikan sesorang sebagai sebuah bangunan rapuh yang dibangun di atas dasar yang rapuh.
Yesus mengibaratkan kehidupan kita sebagai bangunan. Setiap kita adalah arsitek untuk bangunan kehidupan kita. Kokoh tidaknya hidup dan kehidupan kita sangat ditentukan oleh peri berbahasa dan peri bertindaknya. Jika orang hanya bisa berbicara banyak, berkata banyak tetapi berbuat minimal maka itu sama dengan orang membangun rumah di atas dasar yang tidak kokoh dan tidak berimbang. Nasibnya akan runtuh berantakan. Tuhan menghendaki dan kita juga menghendaki agar bangunan kehidupan kita kokoh. Tidak ada cara lain selain kita berusaha menjadi Telinga yang baik atau dalam injil dikatakan mendengarkan dan melaksanakan apa yang Tuhan inginkan.
Konsep mendengarkan dan melaksanakan sesuatu adalah konsep yang akrab dengan dunia pendidikan. Proses pendidikan hakikatnya adalah proses dan dialektika antara mendendengakran dan melakukan. Sebagai guru, pendidik kita inginkan agar apa yang kita sampaikan dalam interaskis edukatif layak dan pantas didengar dan dirasakan sebagai sesuatu yang berguna oleh peserta didik kita. Kita mengininkan agar kita didengarkan orang lain. Kita inginkan agar orang lain itu menjadi telinga yang baik, yang siap mendengarkan kita. Keinginan untuk didengarkan itu, tentu saja tidak serta merta atau otomatis terjadi dalam interaksi edukatif di kelas dan sekolah kita. Kita baru akan didengarkan orang lain, hanya kalau kita menyampaikan sesuatu secara tepat dan benar. Tepat dan benar baik dari segi, waktu, tempat, suasana maupun tepat dan benar dari segi caranya. Di atas semuanya itu, kata-kata kita memiliki kekuatan dan berdaya jerat yang memungkinkan memperhatikanya hanya kalau orang melihat konsistensi antara apa yang kita katakana dan apa yang kita lakukan. Konsistensi seperti itu dalam bahasa sederhananya merujuk pada contoh, teladan hidup kita. Orang bijak pandai berkata: verba movent, exempla trahunt (kata-kata hanya mengajak teladan lebih menarik) orang. Interaksi edukatif di kelas, di sekolah kita harus dan semstinya merujuk pada dimensi exempla atau contoh ini.
Sebagai guru kita inginkan agar kita didengarkan oleh peserta didik kita melalui contoh dan teladan yang baik. Kalau kita hanya menuntut hanya kita yang selalu didengar maka kita bersikap tidak adil karena para peserta didik juga ingin didengarkan. Mereka juga menuntut adanya telinga yang siap mendengarkan mereka. Tuntutan mereka untuk didengarkan bisa hadir dalam aneka cara dan gaya yang menuntut kita untuk memberi respon yang tepat. Ada yang ingin didengarkan dengan cara yang santun tetapi ada juga yang ingin didengarkan, diperhatikan dengan menggunakan gaya dan cara yang kurang sopan mislanya dengan sikap masa bodoh, chuek, apatis, melanggar disiplin, dll.
Dialektika keinginan mendeegarkan dan didengarkan itu itu mendapat tempat yang pas di sekolah-sekolah, di kelas-kelas kita. Karena itu, acara pemberkatan gedung sekolah atau kelas seperti ini hanya bermakna jika sekolah dan ruangan kelas menjadi tempat pertemuan dan berpadunya pelbagai hal yang baik untuk kehidupan baik hal baik yang disuberkan pada guru maupun hal-hal baik yang dikembanhgkan dalam diri para peserta didik. Gedung dan ruangan kelas semegah apa pun tidak ada arti dan nilainya kalau output yang diproses di tempat, di sekolah dan di ruangan seperti itu pada akhirnya tidak menghasilkan orang yang berkarakter yang baik. Tuhan yang  kita undang hadir untuk menyertai semua komponen lembaga ini dalam acara ini adalah Tuhan yang baik, Tuhan yang setia, Tuhan yang adil, Tuhan Maha pemurah, Tuhan yang berlimpah kasih Sayang, Tuhan yang bersimpati, Tuhan yang siap menolong. Kulaitas-kualitas seperti inilah yang menjadi kerinduan kita untuk bisa ditumbuhkembanghkan dalam seluruh dinamika yang terjadi di lembaga pendidikan ini.  Secara fisik bangunan gedung  ini tidak diragukan kekuatannya. Gedung ini dibangun dan dirancang dengan desain arsitek yang andal. Dibangun oleh tukuang terpencaya. Materi yang dipakai juga bukan materi asal-asalam melainkan materi pilihan. Semuanya baik dan perlu tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kita memberi isi ruangan dan gedung ini dengan pelbagai kebajikan dan kebaikan. Di sini Tuhan yang setia menuntut kita untuk belajar setia. Di sini Tuhan yang adil hadir untuk kita belajar berlaku adil. Di sini Tuhan yang maha mendengar hadir mengajarkan kita untuk menjadi pendngar. Di sini Tuhan yang penuh cinta, kebaikan dan belahkasih hadir biar kita belajar untuk berkebaikan dan berbelas kasih. Di sini Tuhan yang berkarakter maha unggul dalam segala hal hadir untuk kita agar kita belajar menjadi diri pribadi yang unggul. Tuhan sudah ada di sini dan akan tetap ada di sini sejauh nilai-nilai iman dikembankan di tempat ini oleh semua warga lembaga pendidikan SMAK Frateran ini.
Frank Crane seorang pembimbing kehidupan keluarga, pernah menulis demikian tentang rumah: Keamanan sebuah rumah ada dalam Kejujuran. Kesukaan sebuah rumah ada dalam Kasih. Kelimpahan sebuah rumah ada dalam diri Anak. Peraturan dalam rumah ada dalam Pelayanan. Penghiburan sebuah rumah adalah Allah.
Kita tentu sangat memahami apa yang dimaksudkan Frank Crane ini. Baginya Kejujuran, kesukaan, kelimpahan, peraturan, penghiburan  itu harus menjadi corak dan ciri khas sebuah rumah karena TUhan sendiri yang hadir. Itu artinya gedung dan bangunan ini harus bisa menghasilkan ornag-orang berkarakter jujur, orang-orang yang bisa membawa kegembiraan bagi ornag lain. Dalam ketebatasan kita sebagai manusia tentu kita merindukan TUhan. Kita jelas lebih mulia dari seekor Tikus. Tetapi Tuhan juga bisa mengajarkan kita memlalui ciptaan lain termasuk seekor tikus yang mengajarkan kita cara berdoa yang sederhana. Kiranya doa sang tikus tadi mampu menyadarkan kita semua untuk menjadikan sekolah kita tempat kehadiran Tuhan. Kita yakin kalau bukan Tuhan yang membangun ru­mah maka sia‑sialah para tukang membangunnya, dan jika bu­kan Tuhan yang menjaga kota sia‑sialah para pengawal ber­jaga. Amin.

No comments:

Post a Comment