Thursday, November 14, 2013

PERINGATAN 25 TAHUN NOVISIAT BHK

Renungan Misa HUT 25 Tahun Komunitas Novisiat
Frater Bunda Hati Kudus, Malang, 14 November 2013
Keb.7,22-8,1; Luk.17,20-25
Buka

Kalau bukan Tuhan yang membangun ru­mah maka sia‑sialah para tukang membangunnya, dan jika bu­kan Tuhan yang menjaga kota sia‑sialah para pengawal ber­jaga.  Saya sengaja mengutip ayat mazmur ini untuk meringkas semua kesadaran dan keyakinan kita bersama tentang kasih dan kesetiaan Tuhan menyertai Novisiat ini dengan  segala program formasinya sepanjang 25 tahun silam. Sebagai orang beriman kita yakin karya agung TUhan telah dinyatakan melalui semua saja yang terlibat dan melibatkan diri dalam proses formasi di tempat ini. Hanya satu kata yang pantas kitalambungkan yakni SYUKUR. Syukur untuk semua pengalaman suka dan duka yang mewarnai dinamika yang terjadi selama 25 tahun silam. Sambil bersyukur kita juga memohonkan agar karya agung dan kemuliaan Tuhan terus hadir di tempat ini dan terus mengalir dari tempat ini. Kita akui segala kelapaan kita agar syukur ini berkanan kepada Tuhan dan membawa berkat bagi kita.

Renungan

Hari Selasa malam saat masuk kamar makan, saya lihat ada satu buku dan satu teks ditempatkan samping piring saya. Buku itu ditempatkan Frater Vincen yang setelah siangnya beliau meminta saya untuk memimpin ekaristi HUT ke-25 atau pesta Perak. Saya menafsirkan bahwa kehadiran buku dan teks itu mengharuskan saya untuk membaca dan memakanainya untuk dikorelasikan atau dikontekskan dengan kehadiran Komunitas Novisiat ini selama 25 tahun. Jujur saya akui bahwa memahami buku setebal itu dan mencari intinya untuk diangkat dalam permenungan seperti ini bukanlah hal mudah. Sebagai orang luar, tentu saja sisi tilik dan jangkauan pemahaman saya, tidak secermat para frater memaknai aneka pesan yang impilisit dan eksplisit yang ditemukan dalam buku kenangan itu.
Dalam konteks peringatan 25 tahun keberadaan komunitas novisiat ini tentu yang paling relevan untuk kita adalah melihat kembali hakikat, fungsi, dan pentingnya novisiat. Kita tidak tidak mempersoalkan 25 tahun novisiat berkaitan gedung secara fisik. Gedung itu hanya nama dan hanya bermakna berkaitan dengan segala sesuatu yang terjadi dan dilakukan di dalam rumah/gedung ini. Fokus kita adalah melihat kembali hakikat novisiat sebagai salah satu simpul awal dan paling penting bagi kita yang memilih jalan khusus menjadi biarawan dan rohaniwan. Saya mengatakan bahwa tahap ini merupakan tahap awal yang penting karena dalam masa seperti inilah kita berusaha mencari kehendak Tuhan dan pentunjuk-Nya untuk masa depan panggilan kita.
Saya sendiri memang tidak pernah menjadi novis dalam masa novisiat tetapi tahun 1986-1987 selama setahun saya mengikuti Tahun Orientasi Rohani di bawah bimbingan Romo Vincent Sensy, Pr (kini Uskup Agung Ende). Waktu setahun itu menjadi waktu penuh refleksi untuk membangun fondasi panggilan selanjutnya. Kami menjalani itu hanya setahun sedangkan para frater BHK menjalaninya selama dua tahun. Membangun fondasi panggilan selama dua tahun saya kira dalam logika seorang ahli bangunan tentu akan menghasilkan sebuah bangunan yang kokoh, kuat, tak tergoyahkan. Para frater yang telah dan sedang menjalankan masa novisiat untuk dua tahun tentu harapanya tampil sebagai pribadi yang matang, seimbang, dan kokoh dalam semua aspeknya.
Kepribadian yang matang, seimbang, kokoh dalam multiaspek inilah yang menjadi inti dan sasaran pergulatan dan pergelutan dalam masa novisiat. Idealisme akan terbinanya dan lahirnya pribadi seperti inilah yang mendorong dibangunnya tempat yang dinilai lebih kondusif, atraktif, inspiratif. Tempat yang kondusif, atraktif, inspiratif ini diharapkan menjadi arena pembentukan citra diri yang kreatif sekaligus meditatif; yang aktif sekaligus reflektif. Selanjutnya, dari citra diri yang kreatif-meditatif; aktif-reflektif ini orang dapat menentukan langkah yang pasti ke masa depan. Sejarah perpindahan lokasi program novisat sebagaimana digambarkan di dalam buku kenangan yang saya baca pada dasarnya terjadi dan dilakukan karena mempertimbangkan aspek-aspek ini. Kalau komunitas ini sudah bertahan 25 tahun, maka ada pengandaian sekaligus harapan di balik kenyataan historis temporal ini bahwa memang di sinilah, di tempat inilah para frater menemukan sesuatu yang lebih kondusif, atraktif, dan inspiratif. Karena itu, tanpa keraguan dari tempat ini pasti lahir para frater dengan citra diri yang mampu menjaga keseimbangan  antara kemandirian dan kebersamaan; antara kemampuan kreatif dan meditatif, antara kemampuan aktif dan reflektif.
Jika itu yang terjadi di tempat ini dari tahun ke tahun sampai usia perak ini maka bukan hanya para frater yang akan menilai tempat ini sebagai puncak tabor tetapi juga setiap orang yang menyaksikan dan mengalami buah-buah kebajikan yang dihayati setiap frater yang pernah diproses di tempat ini. Menurut hemat saya, tidaklah terlalu penting kita bereaksi seperti Petrus yang ingin tetap berada dan berkemah di puncak tabor karena merasakan sesuatu yang luar biasa. Peristiwa Tabor tidak akan bermakna bagi Petrus dan kedua murid lainnya jika pengalaman itu tidak memberi inspirasi, semangat, dan model kehidupan yang patut dianut dan diteladani oleh orang lain setelah mereka keluar dan turun dari Tabor. Puncak tabor memang terlampau indah dan saya sendiri rasakan itu selama hampir satu jam berada di gereja Tabor menikmati keindahan lembah Yizrel.
Pada halaman depan teks Syukur 25 tahun tepatnya di bawah foto gedung novisiat terkutup teks Lukas 9,23: Guru betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Para frater yang pernah dan yang sedang menjalankan novisiat di tempat ini tentu dan harus mengalami kemuliaan dan keindahan Tabor di tempat ini. Jika tidak, siapa pun yang menyelesaikan novisiat di sini tidak akan membawa pesan indah dan mulia secara maksimal kepada orang lain.
Kalau tempat ini atau novisiat ini menjadi Tabor tempat Tuhan menyatakan dan membahasakan kemulian-Nya maka itu berarti di tempat ini kita diproses dalam kondisi berkemuliaan maka pada waktunya kita menjadi output atau produk yang mampu menghadirkan kemuliaan itu dalam aneka kebaikan dan kebajikan sesuati dengan semangat dan spirit pendiri, frater BKH, uskup Schaepman. Dalam konteks ini, izinkan saya mengutip ungkapan hati frater Simon dalam buku kenangan 75 BHK halaman 8. Di sana ditulisnya: “novisiat harus merasakan diri sebagai DAPUR KONGREGASI”. Pernyataan singkat padat dan syarat makna ini coba saya rentanghubungkan dengan kalimat yang menjuduli sebuah data pada halaman 186 buku yang sama. Judul data itu tertulis: Hanyalah sebuah data” mengundang Tanya. Bagaimana konsep Novisiat sebagai sebuah Dapur dan mengapa sebuah data mengundang pertanyaan?
Dalam konteks mikro, pengalaman hidup sehari-hari kita semua mengetahui apa itu dapur, apa yang terjadi dan dilakukan di sana, barang apa yang diperlukan di sana. Dalam konteks makro yang lebih luas (dunia industry) kita bisa mengatakan bahwa dapur itu lokasi atau salah satu unit produksi yang utama sebuah perusahaan. Dapur kita menjadi tempat pengolahan dan produksi makanan yang mempertahankan kelangsungan hidup kita secara fisik. Di dapur akan diproses semua bahan makanan dengan keadaan dan kondisi materi yang kita beli atau dapatkan. Beruntung kalau kita mendapatkan bahan yang bagus, ikan, sayur, daging yang segar maka kita tidak kesulitan mengolahnya dan asupan gizi yang kita dapatkan dapat dipertanggung-jawabkan secara tata boga dunia kegizian. Tetapi, sekian sering juga kita dapatkan bahan yang sudah tak segar, lagu, beraroma tak sedap. Di sini diperlukan keahliah tukang masak untuk membumbi secara tepat agar menu masakan itu tetap diminati. Jika tidak, semua akan menjadi menu yang pas untuk binatang peliharaan kita. Dalam dunia industry juga berlaku hal yang sama. Bahan yang diproduksi untuk disebarluaskan kepada konsumen harus diolah dan diproses dalam standar yang pakem.
Apa yang bisa kita maknai dari konsep analogi Novisiat sebagai Dapur Kongregasi yang diwacanakan Fr.Simon ini? Saya kira jelas arah dan maksudnya, asasaran tembaknya, merujuk pada keseluruhan kebijakan, program formasi terhadap para calon sebagai formandi dan kualitas, kemampuan, keahlian formator. Kondisi formandi jelas menjadi bahan pertimbangan formatur dalam menentukan cara mengolahnya secara benar, ibarat tukang masak yang siap menyajikan menu yang bukan saja menarik dalam tampilannya, tetapi tetap berkualitas dalam kandungan gizinya. Dalam konteks mikro Novisiat menjadi dapur untuk Kongregasi BHK tetapi dalam konteks makro berkaitan dengan misi tarekat untuk gereja, novisiat harus menjadi unit produksi bagi lahirnya tenaga-tenaga yang andal. Karena itu, yang menjadi tantangan bagi formandi dan formatur adalah bagaimana proses produksi di dapur ini, di tempat ini dapat berjalan sesuai dengan harapan.
Ini penting untuk dimaknai dalam momen spesial 25 tahun seperti ini karena jika tidak dimaknai secara tepat maka kita akan terus dihantui dengan tampilan data yang selalu diakhir dengan sebuah tanda tanya. Logikanya, jika ada pertanyaan itu artinya ada masalah. Dan setiap pertanyaan bermasalah menuntut adanya jawaban. Tugas kita adalah menemukan masalah lalu mencari kemungkinan jalan terbaik memebaskan diri dari masalah. Data yang disuguhkan dalam buku kenangan itu bagi siapa pun yang membacanya pasti dan harus bertanya? Baiamana orang tidak bertanya kalau yang masuk novisiat sejak tahun 1986 sampai 2011 itu berjumlah 285 orang tetapi yang sampai kaul hanya 43 orang atau hanya 15,08%?Data seperti ini memang harus melahirkan pertanyaan. Ibarat tukang masak yang membeli 285 ekor dan menggorengnya lalu yang muncul di meja makan hanya 43 ekor sementara yang mau makan ikan itu lebih dari 285 orang. Logis kalau semua orang bertanya. Arah pertanyaan ditujukan kepada siapa? Tidak mudah memberikan jawaban karena dapur novisiat ini hanyalah sebuah subsistem dalam sistem besar tarekat BHK. Karena itu pertanyaan tadi bukan saja ditujukan kepada formandi, formatur tetapi ditujukan kepada tarekat secara keseluruhan.Saya sama sekali tidak bermaksud menggugat aneka kebijakan internal dan proses yang terjadi tetapi hanya sekadar menyentak kita berdasarkan data yang ada.
Satu-satunya jawaban yang paling mudah dan melepaskan kita dari pikiran lebih rumit adalah berlindung di balik ayat kitb suci: Banyak yang dipanggil sedikit yang dipilih. Menurut saya ayat ini tidak seluruhnya benar. Kita harus menempatkan teks itu pada konteksnya. Semasa Yesus orang-orang itu memang dipanggil (dipaksakan) lalu dipilih. Dalam konteks sekarang inisiatif itu bukan lagi dipaksakan tetapi orang harus melamar. Tarekat hanya menyebarkan brosur, melakukan promosi panggilan dan yang tertarik dan berminat, merasa terpanggil membuat lamaran. Kalau konteksnya orang sendiri yang melamar maka mestinya dia akan lebih bertahan. Yang terjadi justru sebaliknya orang ramai-ramai masukkan lamaran juga ramai-ramai pamit baik secara sopan maupun dalam cara yang kurang sopan.
Masa novisiat sebagai saat peletakkan dasar fondasi panggilan harus disadari para calon bahwa panggilan itu sifatnya pribadi. Formator hanyalah sarana yang juga tidak sempurna karena dia sendiri juga masih berusaha memberi makna pada panggilannya. Karena itu, tentu keliru kalau orang sering memperslahkan para formatur ketika setelah masa novisiat ada para frater menunjukkan perilaku anomali (hidup tidak tertur). Jika itu terjadi maka jelas sebagai indikasi para frater bukannya mau menjawab panggilan Tuhan tetapi mau memenuhi keinginan formator. Kita dipanggil Tuhan dan mau menjawab panggilan Tuhan bukan dipanggil formator dan menjawab keingian formator. Jika rasa dan sikap ini ada dalam diri para calon maka baginya formator itu hanya sebagai teman, socius perjalanan dan bukan polisi lalulitas dalam perjalan panggilan kita. Dengan ini tidak berarti, formator tidak penting karena bagaimana pun Tuhan dapat berkarya secara ajaib melalui orang lain dalam segala peristiwa kehidupan.
Novisiat sebagai Dapur Kongregasi akan menjadi lebih bermakna kalau di tempat ini kita belajar makna kebijaksanaan  menjadi orang yang berkebijaksanaan. Bacaan pertama tadi mengingatkan sekaligus meneguhkan kita untuk menyadari intervensi Allah dalam hiudp dan panggilan kita. Raja Salomo mengingatkan kita untuk senantiasa memiliki kebijaksanaan karena kebijaksaan menjadi jaminan penyertaaan Tuhan. Tiada sesuatu pun yang dikasihi Allah kecuali orang yang berdiam bersama dengan kebijaksanaan. Ada sekian banyak bentuk kebijaksanaan itu antara lain:sikap arif, kudus,  rajin, berpikir jernih, hidup tidak bernoda, menjadi terang, bertahan dalam kesulitan, suka akan yang baik, bermurah hati dan sayang akan manusia, teguh tidak tergoyangkan. Kebijaksaan adalah pernafasan kekuatan Allah, dan pancaran murni dari kemuliaan Yang Mahakuasa. Kebijaksanaan  adalah pantulan cahaya kekal. Kebijaksanaan lebih indah dan lebih terang dari pada matahari. Masa Novisiat dan tempat novisaiat adalah masa dan tempat orang mengalami Allah secara telah mendalam. Di sini di tempat inilah sejak 25 tahun silam Kebijaksanaan itu ada dan hadir memberi inspirasi bagi para frater yang diproses di sini.
Dalam keyakinan seperti ini kita menyadari kehadiran Tuhan di sini sebelum novisiat ini dibangun selama novisaiat berjalan 25 tahun dan akan terus hadir dalam setiap kehendak baik yang akan terjadi di tempat ini. Sebagai orang beriman kita tentu menepis mental dan cara bertanya orang Farisi kepada Yesus dalam injil tadi tentang kapan dan tanda-tanda kehadiran kerajaan Allah. Tuhan sudah hadir dan akan terus hadir di sini dalam setiap usaha dan kehendak yang baik, dalam ketekunan dan kesitiaan kita menjawabi panggilannya dan memaknainya dalam praktik kehidupan.
Semoga rahmat kebijaksaaan Tuhan terus melingkupi tempat ini agar segala masalah yang ditemukan selama 25 tahun silam secara perlahan mendpatkan titik terang. Mari kita jadikan Novisiat ini sebagai DAPUR tempat mengolah kehidupan panggilan kita sehingga hidup dan karya kita menjadi menu yang berguna bagi Tuhan dan sesama. Profiat, Selamat berpesta, Ad Multos Annos.

No comments:

Post a Comment