Friday, May 31, 2013

MISA SULUNG RM.ALO J & FERDI T

Renungan Misa Pertama

Rm.Aloyisus Jonson, Pr & Rm.Ferdinandus Tahul Pr
Paroki Fransiskus Asisi Karot, Minggu, 15-8-2004


Catatan Awal:
Motto tahbisan dua imam baru yang tercetak pada kartu Undangan perlu dicermati karena ada kesalahan penulisan. Romo Ferdi mengambil motto tahbisan :Rancangan-Ku bukanlah rancangan-MU (Yes.55,8). Huruf M pada rancangan-Mu menggunakan huruf besar. Seharusnya, dan sesuai dengan teks asli menggunakan huruf m kecil karena mengacu kepada manusia. Romo Alo mengambil motto: Bertolaklah ke tempat yang dalam (tertulis: Mat.4,5). Ada dua kesalahan pada kutipan motto ini yaitu penulisan kata depan ke yang salah dan Teks injil yang tertulis salah baik pengarangnya maupun bab dan ayatnya. Kalau kita melihat Mat.4,5 maka kita akan jumpai kalimat yang berbunyi: Kemudian Iblis membawanya ke tempat suci dan menempatkannya di atas bubungan bait Allah. Teks yang pas untuk motto justru dari injil Lukas bab 5 ayat 4. Koreksi ini perlu saya sampaikan agar kita yang membaca teks berdasarkan surat Undangan tidak merasa bahwa apa yang akan saya sampaikan dalam renungan sebenatar tidak sesuai dengan teks.

Renungan
Semalam setelah pulang pentahbisan di Pateng saya bermimpi. Mimpi ini tidak bermaksud membantu para pencandu kupon putih untuk membuat analisis dan interpretasi. Dalam mimpi itu saya sepertinya sedang berjalan ke satu tempat yang ramai. Saya menyaksikan ada begitu banyak orang yang berwajah gembira berjalan ke arah yang sama. Sepertinya ada pesta besar yang hendak mereka ikuti. Masih dalam mimpi saya melintasi sebuah jembatan kecil seebelum ke tempat keramian itu. Pada tembok jembatan yang saya lewati itu saya membaca satu tulisan yang berbunyi: HARI INI, HANYA KATA PENDAHULUAN. Setelah terjaga dari mimpi, saya membayangkan kalimat itu pasti tertulis di jembatan Wae Ces sebelum ke Paroki Karot ini. Saat melintasi jembatan Wae Ces tadi, tulisan HARI INI, HANYA KATA PENDAHULUAN itu tidak saya temukan. Juga tidak saya temukan pada dekorasi misa sulung kedua imam baru kita ini. Meskipun demikian saya merasa amat tertarik untuk mamaknai, menafsir, dan menginterpretasi kalimat: HARI INI, HANYA KATA PENDAHULUAN itu dalam konteks motto tahbisan kedua imam baru ini yang diambil berdasarkan teks Yesaya (55,8) dan Teks Lukas (5,4).

Kalimat” HARI INI, HANYA KATA PENDAHULUAN” bagi saya sungguh menjadi sebuah teks atau wacana yang sarat arti dan kaya makna. Kalimat itu memang terkesan ilmiah,amat teknis bahkan sangat akademis. Tentu saja kalimat itu pas untuk dua imam baru kita yang sudah banyak makan es karena es satu mereka makan dan ada es dua mungkin sedang mereka cari. Kata pendahuluan dalam konteks akademik berkaitan dengan buku, karya tulis ilmiah (skripsi/Tesis). Bagian Pendahuluan sebuah buku, skripsi, tesis biasanya memuat secara singkat pelbagai unsur penting yang harus dijabarkan dalam bab-bab selanjutnya. Apa yang akan dijabarkan dalam bab-bab lanjutan sebagai bab inti atau bab isi tidak boleh menyimpang dari apa yang digambarkan dalam pendahuluan. Isi keseluruhan sebuah karya ilmiah secara singkat dan padat bisa dibaca pada bagaian pendahuluan. Lalu bagaimana kalau kalimat pada tembok jembatan tadi dikaitkan dengan peristiwa pentahbisan dan misa sulung dua imam kita ini? Apakah tahbisan menjadi imam bisa diibaratkan dengan sebuah karya ilmiah? Menurut saya keduanya bisa saja dibandingkan tetapi perbandingannya harus terbalik. Dalam karya ilmiah isi uraian sudah ada bahkan harus jelas, ekspilisit pada bagian pendahuluan sedang dalam penghayatan hidup sebagai seorang imam isinya tidak bisa dilihat langsung pada saat seorang ditahbiskan. Tahbisan itu barulah pendahuluan tetapi isi imamatnya akan terlihat dalam penghayatan lebih kemudian. Kiranya kita semua sepakat bahwa tahbisan hanyalah saat seseorang membuka kemungkinan untuk mengisi, memaknai peristiwa pentahbisan itu. Tahbisan menjadi imam itu hanya berlangsung dua jam tetapi hidup dalam status sebagai imam tidak lagi ada batas waktunya. Sampai di sini kita disadarkan bahwa yang paling penting itu bukan pesta tahbisan tetapi justru bagaimana hidup sebagai imam yang tertahbis. Pendahuluan karya tulis terbatas tetapi penghayatan hidup sebagai imam terjadi dari hari ke hari sepajang hidup. Setiap hari yang baru adalah pendahuluan yang baru dalam memaknai imamat itu. Kalau skripsi jelas tidak mungkin setiap hari kita membuat pendahuluan yang baru. Dalam menghayati hidup sebagai imam kita harus selalu diperbaharui dalam semangat, dalam pola kerja dan pelayanan kita.

Pentahbisan itu bagi saya hanyalah kata pendahuluan untuk seorang imam atau pastor. Mengapa? Karena kualifikasi keimaman dan kepastoran seseorang tidak secara otomatis dan komplit, sempurna terjadi saat ditahbiskan. Tahbisan hanyalah satu titik simpul atau satu titik perhentian sejenak untuk suatu perjalanan yang panjang. Kita sering mendengar ucapan salah kaprah yang mengatakan bahwa Tahbisan adalah puncak dari panggilan menjadi imam. Bagi saya tahbisan hanyalah titik star bagi seseorang untuk membuktikan apakah ia mampu berlari dalam statusnya sebagai seorang imam. Jika tidak, maka tahbisan hanyalah kenangan yang boleh dilupakan dan imamnya akan terkena peraturan eliminasi dari pertarungan kehidupan. Tahbisan adalah ritus yang mengesahkan peralihan status. Bukan isi imamat itu sendiri. Tahbisan itu ibarat proses klarifikasi dan legitimasi publik. Saat seorang ditahbiskan atau caleg dilantik kita tidak dapat membuktikan bahwa mereka sungguh imam atau sungguh wakil rakyat. Kualitas dan integritas keimaman atau status dan jabatan apa saja baru diukur ketika status itu diaplikasikan secara nyata dalam kehidupan. Ini sudah sangat jelas terbaca dan terdengar dalam aneka harapan banyak orang saat seseorang ditahbiskan atau dilantik. Peristiwa pentahbisan menurut hemat saya justru menjadi saat perang antara harapan dan kecemasan. Ketika seseorang ditahbiskan ribuan umat bahkan seluruh gereja menaruh harapan akan apa yang dapat kita lakukan sebagai imam/pastor. Juga bersamaan muncul ribuan kecemasan yang membayang-bayangi pola tingkah seorang imam/pastor. Imamat kita, di hadapan banyak orang ibarat permen halia yang kadang-kadang terasa manis tetapi kadang-kadang terasa pedis. Manis dan pedis itulah hakikat permen halia; Keindahan puncak tabor dan kekejian golgota itulah gambaran kehidupan imam.

Tahbisan hanyalah kata pendahuluan. Kalimat ini, bagi saya sungguh tepat untuk dikaitkan dengan motto tahbisan dua imam baru ini. Kalau melihat tampang dua imam baru ini mungkin kita keliru karena Rm.Ferdi bertampang seperti insinyur jebolan fakultas teknik sementara Romo Alo kulit mukanya seperti kapten kapal penangkap ikan jebolan sekolah tinggi pelayaran. Tampang mereka yang unik ini mereka kaitkan dengan motto tahbisannya. RangcanganKu bukanlah rancangmu dipilih Rm. Ferdi sebagai titik pijak perziarahan keimaman dan kepastorannya.

Motto seperti ini jelas diambil dari dunia teknik rancang bangun. Motto ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rm.Ferdi melihat Tuhan sebagai arsitek yang merancang bangunan imamatnya. Hari Kamis lalu secara publik ia menerima sebuah gambar/denah bangunan imamat dari Tuhan sebagai arsitek andalannya. Romo Ferdi menerima rancangan/gambar bangunan imamat dari sang arsitek agung untuk dijadikan patokan dan pedoman pembangunan rumah imamatnya. Romo Ferdi ditahbiskan ibarat seorang tukang bangunan yang mendapat tender proyek imamat yang harus ia bangun. Ia menjadi pelaksana sekaligus pemilik proyek itu sementara Tuhan insinyur dan konsultannya. Tahbisannya, barulah awal atau pendahuluan untuk menerima rancangan yang Tuhan kehendaki. Sebagai pelaksana lapangan, Romo Ferdi tentu menyadari sungguh bahwa Anda mau mengabdi kepada Tuhan yang memberi rancangan bangunan imamat itu kepadamu. Yang hendak Anda bangun bukanlah rancangan Anda sendiri melainkan rancangan Tuhan. Mottomu memang bernada pernyataan tetapi berisi perintah. Mottomu bermodus deklaratif tetapi bermakna imperatif. Kalau Tuhan sendiri menegaskan bahwa Rancangan-Nya bukan rancangmu, itu secara implisit mau mengatakan kepadamu bahwa janganlah Anda membuat rancangan tandingan di hadapan Tuhan. Mottomu amat menarik tetapi ingatlah, motto itu mengharuskan Anda untuk mengalah di hadapan Tuhan. Manusia, zaman ini termasuk kita para imam, cenderung mengatur Tuhan menurut format dan rancangan kita. Mottomu mengingatkan saya pada rumusan doa yang diucapkan Uskup pentahbis saat pengenaan stola dan kasula. Di sana di katakan: pada umur mudamu engkau sendiri mengikat pinggangmu dan pergi ke mana saja engkau kehendaki, Tetapi kini engkau mengulurkan tangan dan orang lain mengikat pinggangmu lalu menuntun engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki. Doa seperti ini jelas mempertegas identitas dan keterikatan kita setelah kita menjadi imam. Kita tidaklah muda lagi karena sudah terikat. Prinsip tua di rumah muda di jalan atau tuang di rumah om dan pak di jalanan hendaknya dihindari. Tuhan sudah membuat rancangan bagimu. Itu artinya Tuhan telah mengikatmu untuk melakukan apa yang memang dikehendaki Tuhan. Pengabdian dan pelayanan terhadap manusia itulah proyek raksasa yang dirancang Tuhan dan proyek itu diberikan kepadamu. Anda menerima rancangan itu dengan konsekuensi bahwa Anda harus setia dalam pengabdian dan pelayanan terhadap manusia dan kemanusiaan. Norma, ukuran dan patokan pelayanan telah Anda terima dari Tuhan.

Kalau Romo Ferdi menerima gambar bangunan imamatnya seperti yang Tuhan rancang, Romo Alo calon penangkap ikan ini mau menjalankan perintah Tuhan untuk berlayar ke tempat yang lebih dalam. Motto imamatnya: tegas dan jelas. Bertolaklah ke tempat yang dalam. Motto ini bermodus impratif, bernada perintah langsung. Saya sendiri heran mengapa dia memilih motto seperti ini. Alasannya karena saya tahu ia tidak bisa berenang apalagi selama berada di Kisol sebagai Frater TOP dan sebagai Dikon ia tidak pernah bercerita tentang bagaimana ia minum lumpur saat melatih berenang di parit Wae Ces. Berenang di parit saja belum pernah apalagi mau berenang di laut dan nekat mau mencari tempat yang dalam. Ya, bagi saya kalau seorang yang tidak pernah melihat laut tetapi begitu melihat laut langsung mau berenang ke tempat yang dalam, itu adalah tindakan mengusir nyawa tanpa alasan. Sejauh yang saya kenal Alo ini memang tipe manusia yang suka mencari, mengamati segala hal sampai sekecil-kecilnya. Kita bisa bertanya ke Romo Alo berapa jumlah kutu seekor anjing betina di Seminari Kisol.

Romo Alo memposisikan atau mengidentifikasikan diri sebagai seorang nelayan yang siap melakukan sesuatu sesuai dengan perintah yang diterima. Motto yang dipilih merupakan potongan kalimat panjang dan lengkap: Bertolaklah ke tempat yang dalam, dan terbarkanlah jalamu untuk menangkap ikan. Potongan motto itu memang bernada imperatif, perintah untuk bertolak ke tempat yang dalam. Perintah untuk bertolak ke tempat yang dalam saja terkesan belum bertenaga untuk melakukan dan menghasilkan sesuatu. Kita harus melihat keseluruhan konteks perikope injil itu. Kutipan teks yang lengkap sangat membantu kita memahami teks itu secara utuh. Kutipan teks yang seperti tadi akan memberikan banyak informasi untuk kita dan terutama untuk Romo Alo.

Teks Lukas memaparkan sepenggal narasi perihal pengalaman buruk yang menimpa sekelompok nelayan. Narasi versi Lukas ini amat menarik karena narasi itu dirajut dari dua sisi kehidupan antara kegagalan dan kesuksesan manusia yang berprofesi nelayan. Dari teks yang sama kita mendapatkan informasi perihal dinamika, mentalitas, cara kerja, para nelayan. Diceritakan bahwa Yesus datang ke pantai menjumpai nelayan yang tidak lagi melaut. Perahu mereka sudah dihela ke darat. Mereka semua kelihatan kecewa karena semalaman gagal menangkap ikan. Dalam kondisi demikian seorang anak tukang kayu datang dan meminta Simon untuk menghela perahunya ke laut disertai dengan perintah yang tegas: bertolaklah ke tempat yang dalam, dan tebarkanlah jala untuk menangkap ikan. Simon yang merasa diri berpengalaman sebagai nelayan dengan berat hati menerima perintah Yesus itu.

Kalau sampai seorang anak tukang kayu yang tidak pernah melihat laut, memerintah nelayan untuk bertolak ke tempat yang dalam, menebarkan jala dan menangkap ikan itu sungguh memalukan. Perintah seperti itu untuk seorang nelayan yang profesional jelas tidak perlu. Sebagai nelayan Simon sudah harus tahu bahwa kalau mau menangkap ikan maka perahunya harus diapungkan di laut. Kalau mau menangkap ikan jalanya ditebarkan di laut yang dalam. Kalau perahu hanya dibiarkan di darat itu artinya perahunya akan berubah menjadi palungan tempat makanan babi. Kalau jalanya dibentangkan saja di tepi pantai maka jala itu lebih tepat dijadikan net untuk pertandingan bola volly pantai menjelang 17 Agustus. Kalau orang mencari ikan di tempat yang dangkal itu lebih tepat disebut sebagai orang yang mandi bukan mencari ikan. Profesionalitas seorang nelayan diukur berdasarkan kemampuannya untuk menentukan cara, waktu, tempat, dan tujuan setiap kali ia melaut sesuai dengan etika profesi nelayan. Di mata Yesus Simon yang berprofesi nelayan itu, tergolong sebagai nelayan karbitan, nelayan amatiran. Bukan nelayan profesional. Mengapa? Karena ia tidak menjalankan profesinya sebagai seorang yang profesional. Perahunya ia tambat di darat. Jalanya tidak ia tebarkan. Ia takut basah dan tenggelam lalu berada di tempat yang dangkal dan kering. Kalau perahunya dan jalanya diikat di darat dan hanya mau mencari di tempat yang dangkal maka biar orang menunggu sampai kumis bercabang (dangka gipi) atau sampai rambut beruban (muwang sai) tidak mungkin ia mendapatkan ikan. Profesi dan profesinalitas seorang nelayan justru ditandai dengan suatu dinamika yang terlihat pada perahu yang selalu terpung dihempas gelombang, ditandai dengan jala yang yang selalu tertebar di laut yang dalam. Profesionlitas adalah aktivitas, dinamika, gerakan yang selalu menghadapi tantangan. Desakan dan perintah Yesus untuk Simon adalah desakan/perintah demi profesionalitas yang ditandai dinamika perjuangan penuh tantangan. Tidak ada profesi tanpa aktivitas dan tidak ada profesionlitas tanpa tantangan. Yesus sungguh memahami psikologi kehidupan nelayan. Ukuran atau takaran kualifikasi profesionalitas seorang nelayan ada dalam dinamika tantangan hempasan gelombang. Bukan dalam kesantaian bercanda di bibir pantai. Hidup seorang nelayan tidak sekadar menikmati pemandangan pantai yang indah, deburan ombak yang memukau tetapi justru harus berani menceburkan diri ke tempat yang dalam dengan risiko basah, dan mungkin juga sampai minum air garam. Dan inilah obsesi Romo Alo yang harus kita dukung dalam mengisi lembaran imamatnya.

Kita semua berbangga karena seorang manusia yang tidak pernah membuat perahu atas nama Rm.Alo ingin menjadi Simon yang akan menghela perahu imamatnya ke tengah hempasan laut yang dalam. Sebuah pilihan yang berani sekaligus menjanjikan harapan bagi kita bahwa Romo Alo mau menjadi nelayan profesional yang selalu mau mencari tempat yang dalam.

Kedua imam baru ini telah dinyatakan menang, mendapat tender untuk menjadi pelaksana proyek imamat mereka. Satunya akan menjadi pelaksana proyek di darat, dan satunya mau menjalankan proyek di laut. Romo Ferdi telah menerima rancangan dari Tuhan sendiri dan Romo Alo telah mendengar perintah Yesus untuk bertolak terus ke tempat yang dalam. Rm.Ferdi mau membawa rancangan imamatnya ke Paroki Mamba dan Rm.Alo ingin bersama kami berenang dan bertolak ke lautan yang dalam di lembaga pendidikan calon imam seminari Kisol. Itu artinya Romo Ferdi menjadi Pastor di Paroki Mamba bukan pastor Mamba saja. Dan Romo Alo menjadi imam di seminari Kisol bukan imam seminari Kisol saja. Mengapa harus ada rumusan Pastor di Mamba dan bukan Pastor Mamba saja? Imam di Seminari dan bukan Imam seminari saja? Mengapa satunya disebut pastor dan satunya di sebut imam. Saya sengaja menegaskan hal ini, supaya tidak dikritik Pater Flori yang pendek fisik tetapi selalu panjang akal itu. Menurut Pater Flori Pastor adalah sebutan bagi imam yang mempunyai umat di paroki sedangkan imam yang tidak ada umat/paroki atau sudah pensiun seperti Pater Flori harus dipanggil imam Flori dan bukan Pastor Flori. Lalu antara istilah pastor di paroki dan pastor paroki berbeda besar. Kalau pastor paroki itu artinya secara hukum ia ditempatkan di paroki tetapi de facto ia bisa berada di luar paroki lebih banyak atau menjadi pastor pengembara; pastor turis. Alasan mengapa lebih banyak di luar mungkin karena memang merasa diri sebagai pastor yang luar biasa sehingga antara pastor yang luar biasa dan pastor yang biasa di luar dianggap sama saja. Pastor Paroki bisa saja ia lebih banyak di luar parokinya karena ia merasa memang di luar banyak lebihnya untuk dia dibandingkan kalau dia menjadi pastor di parokinya dan di tempat tugasnya. Kalau pastor di paroki itu artinya baik secara de jure maupun secara de facto ia berada di paroki bersama umat yang dipercayakan kepadanya. Begitu juga istilah imam di seminari dan imam seminari. Kami tentu senang kalau Romo Ferdi menjadi pastor di Mamba dan Romo Alo imam di seminari.

Hari ini Anda berdua mulai mengisi lembaran awal ziarah imamatmu. Hari ini hanyalah kata Pendahuluan. Saya tidak berani memberikan banyak nasihat kepada Anda berdua karena takut nanti saya sendiri tidak melaksanakannya. Karena itu mungkin baik saya akhiri renungan ini dengan beberapa butir refleksi atas perjalanan imamat saya selama hampir 10 tahun. Ini sharing persaudaraan karena kebetulan saya menjadi kakakmu dalam imamat.

Anda berdua mempunyai motto tahbisan yang bagus. Motto tahbisan bagi saya sungguh menjadi nafas yang menghidupi ziarah imamat saya dengan segala tantangannya. Motto itu menjadi motor penggerak bagi saya dalam memaknai panggilan dan mengisi panggilan saya. Anda berdua memilih motto yang bagus. Jadikanlah itu sebagai nafas imamat kita.

Banyak orang menaruh harapan pada status kita sebagai imam/pastor. Harapan itu turut membentuk cara hidup kita. Ziarah imamat saya turut dibentuk oleh cara pikir dan cara pandang orang lain berupa nasihat bijak yang tidak perlu saya beli. Saya harus mendengarkan apa kata mereka karena menurut saya orang bijak yang sukses pasti memilki prinsip dalam menjalani kehidupan dengan tantangannya. Tantangan adalah bagian hidup dan panggilan kita. Orang bijak berkata bahwa di dunia ini hanya ada dua kelompok manusia yang bebas tantangan yaitu mereka yang sudah mati dan mereka yang belum lahir. Ziarah imamat kita adalah ziarah kehidupan dengan tantangannya. Yang dperlukan adalah kesabaran dan bukan kepasrahan. Tantangan pasti berlalu.

Imamat itu Prestasi bukan Prestise. Pemahaman saya akan Imamat adalah prestasi karena ternyata tidak semua orang bisa meraihnya. Imamat bagiku mahal harganya, lama proses pencapaiannya, rumit proses mewujudkannya, susah memakanainya. Saya kira bukan hanya saya yang berbangga tetapi banyak orang berbangga atas prestasi seperti ini. Tentu bukan karena saya hebat. Bagiku mau mencapai imamat bagaikan usaha memetik mawar yang ada di antara duri-duri. Mau memetik mawar harus mampu menghindari duri-duri yang menantang. Itu risiko pilihan. Kadang saya menggerutu dan bertanya mengapa Tuhan memekarkan mawar di antara duri? Mengapa imamat selalu ada tantangannya? Pertanyaanku tidak menghilangkan duri kehidupan karena itu tidak ada cara lain bagiku untuk bersyukur karena Tuhan masih memekarkan mawar indah di tengah duri-duri. Konsentarsiku cukup pada mawarnya karena toh tidak ada mawar tanpa duri. Tidak ada panggilan dan pilihan hidup tanpa tantangan.

Hari ini kita bergembira karena dua imam baru mengajak kita semua untuk hidup dalam rancangan Tuhan dan terus bertolak ke tempat yang lebih dalam. Ajakan yang sama hendaknya kita bawa ke dalam tugas dan karya kita di mana dan ke mana saja kita pergi. Kita diajak untuk selalu bercermin kepada Maria yang selalu hidup dalam rancangan Tuhan dan selalu bertolak ke tempat yang dalam. Pesta Maria diangkat ke surga dan dimuliakan Allah adalah bukti betapa Maria telah secara sempurna melaksanakan kehendak Tuhan dalam misi dan tugas panggilannya. Hari ini hanyalah Kata Pendahuluan buat dua imam dan buat kita semua. Bunda Maria doakanlah kami agar mampu mengisi lembaran kehidupan panggilan kami secara baik. Amin

Kisol, 14 Agustus 2004





















































No comments:

Post a Comment