Wednesday, May 14, 2014

KELUARGA: PINTU PANGGILAN

Renungan Misa Minggu Panggilan (ME.Distrik Malang)

Kis. 2:14a,36-41; 1Ptr. 2:20b-25; Yoh. 10:1-10

Paroki Lohdalem Malang

Buka

Kita sering melihat lukisan, poster yang menggambarkan Yesus menggendong domba. Gambaran melukiskan kebaikan Tuhan yang menjaga dan melindungi setiap kita seperti halnya gembala kepada domba peliharaanya. Gambaran inilah yang sering juga disampaikan di Perjanjian Lama, yaitu Tuhan adalah Gembala dan umat-Nya adalah kawanan dombanya (Mzm 23). Para raja dan imam juga disebut sebagai gembala, yang ditugaskan Allah untuk menjaga dan memimpin umat-Nya. Namun, Nabi Yeremia memperingatkan umat akan adanya gembala-gembala yang tidak memperhatikan domba-dombanya, yang mengakibatkan domba tercerai berai.

Pada hari minggu panggilan ini kita semua sebagai keluarga-keluarga katolik diharapkan terpanggil menjadi gembala yang baik dan sekaligus menjadi pintu pintu menuju kawanan domba. Kita berdoa semoga semakin banyak keluarga yang menjalankan tugas sebagai gembala terutama dalam kaitannya dengan pendidikan anak-anak di dalam keluarga.



Renungan

Sebelum saya menyampaikan renungan izinkan saya bertanya kepada semua umat, keluarga yang hadir dalam perayaan ini. Apakah ada dari antara umat, bapak dan ibu yang hadir ini, keluarga yang mempunyai putra/inya atau anggota keluarga dekat yang menjadi romo, frater, bruder, atau suster? Jika ada, bagaimana perasaan Bapa, ibu jika salah seorang putra/inya terpanggil menjadi imam, biarawan/ti? Jika tidak ada, coba bayangkan kalau saya dan romo-romo ini menjadi anak bapa/i. Bagaimana perasaan bapa dan ibu menyaksikan kami sebagai putramu tampil memimpin kita dalam ekaristi ini? Senang, bangga, bahagia?

Setiap kali saya mengikuti upacara pentahbisan imam atau pengikraran kaul kekal biarawan/ti umumnya banyak orangtua yang menangis. Mereka menangis bukan karena sedih tetapi sebaliknya karena berbangga, terharu, berbahagia. Hal yang sama saya juga kami alami ketika ditahbiskan menjadi imam tahun 1995. Sejak itu sampai saat ini kami menyadari bahwa siapa pun yang menjadi imam, biarawan/ti tidak bisa menyangkal adanya peran keluarga, peran orangtua.

Hari Minggu ini ditetapkan gereja sebagai hari Minggu Panggilan seluruh dunia. Paus Fransiskus dalam pesannya untuk hari Minggu Panggilan hari ini menegaskan tentang pentingnya Panggilan untuk Bersaksi Bagi Kebenaran, yang dirumuskan sebagai tema Minggu Panggilan yang kita rayakan hari ini. Karena itu di mana-mana di seluruh gereja hari ini ada berbagai kegiatan berkaitan dengan promosi panggilan. Kemarin siang beberapa frater BHK di Komunitas Claket 21 Malang sibuk menyiapkan brosur dan bahan-bahan yang akan disampaikan dalam kegiatan aksi panggilan yang akan dilaksanakan di Semarang. Hampir semua komunitas biara di kota Malang kemarin mengutus anggotanya mengadakan promosi panggilan untuk orang muda agar tertarik menjadi biarawan, biara wati, imam, bruder dan suster. Sasaran promosi panggilan seperti itu diarahkan kepada orang muda.

Dalam konteks Minggu Panggilan itu, kelompok ME Keuskupan Malang hari dan di sini juga mengadakan promosi panggilan. Jika dibandingkan dengan kelompok sasarannya, promosi panggilan dalam pengertian umum sering disamakan dengan promosi untuk orang muda kita yang terpanggil menjadi imam, biarawan/ti. Kita sering dan sudah menjadi salah kaprah jika berbicara tentang panggilan artinya yang mau menjadi imam, frater, bruder, suster. Lebih tidak adil lagi kalau ada sikap dan pandangan bahwa menjadi panggilan menjadi imam, biarawan/ti itu lebih muliah dari panggilan hidup berkeluarga. Pandangan seperti ini perlu diluruskan. Hemat saya promosi gaya ME hari ini merupakan promosi panggilan yang paling utama dan pertama. Menagpa? Karena tidak ada panggilan tanpa peran keluarga. Tidak ada panggilan tanpa melibatkan orangtua. Tidak imam, biarawan/ti, bahkan uskup dan paus sekaligun yang dikirim langsung dari langit, tanpa peran keluarga. Yesus saja, meskipun Tuhan diutus dan dihadirkan Bapa melalui keluarga Nasareth. Karena itu, promosi panggilan yang paling mendasar seharus dan semestinya pertama-tama dirahkan kepada keluarga. Diarahkan kepafa keluarga karena keluarga merupakan seminari (tempat persemaian) pertama benih-benih panggilan baik panggilan khusus maupun panggilan umum.

Benih-benih iman, dan benih-benih panggilan itu ada dan lahir di tengah keluarga. Keluaraga adalah lahan panggilan karena itu kesuburan banggilan untuk menjalani panggilan khusus menjadi imam biarawan/ti sangat mengandaikan dan sekaligus menggambarkan kesuburan hidup beriman keluarga-keluarga Kristiani. Prinsip alam meyakinkan kita bahwa buah yang baik datang dari pohon yang baik.

Bacaan-bacaan hari Minggu Panggilan ini mengajak kita untuk merenungkan panggilan kita masing-masing sebagai pengikut Kristus. Sebagai pengikut kristus semua kita mencontohi cara hidup dan cara kerja-Nya. Cara hidup dan cara kerja Yesus yang dibahasakan dalam bacaan hari ini diringkas dalam dua kata kunci yaitu kata “Pintu” dan kata “Gembala”

Rumah selalu ditandai pintu. Semua rumah tempat tinggal kita mungkin tanpa jendela tetapi tidak mungkin tanpa pintu. Setiap rumah minimal memiliki satu pintu. Dan pintu biasanya menjadi penentu bagian terpenting dan terdepan rumah kita. Semua kita tahu apa itu pintu, di mana biasanya letak pintu sebuah rumah, apa fungsi pintu, apa syarat sebuah pintu yang baik dan lain lain. Yesus dengan sengaja menyebut dirinya sebagai sebuah pintu karena semua orang tahu apa itu pintu dan apa fungsinya. Yesus bertolak dari dan menggunakan penga¬laman biasa agar pewartaan-Nya mudah diterjemahkan dan dipahami dan diikuti.

Apa maknanya jika Yesus menjadikan dirinya sebagai sebuah pintu. Ketika Yesus menjadikan dirinya sebagai sebuah pintu, maka pintu akhrinya tidak lagi sekadar jalur yang dilalui saat keluar dari rumah atau datang memasuki rumah. Pintu rumah membahasakan kehidupan karena pintu rumah bisa memberi informasi tentang keadaan penghuni rumah. Pintu membahasakan kondisi mental Hal itu dijelaskan juga oleh Yesus dalam Injil. Cara memperlakukan pintu menentukan wa¬tak orang tersebut. Rumah dengan pintu terbuka membahasakan penghuninya bersifat terbuka dan menerima siapa saja. Rumah dengan pintu yang selalu terbuka mencerminkan keadaan lingkungan yang aman, tertib, tanpa kecurigaan satu sama lain. Sebaliknya rumah yang pintunya selalu tertutup dibentengi pagar, tembok, kawat berduri tanpa sadar mau mengatakan orang lain semuanya dicurigai sebagai pencuri.

Yesus menegaskan bahwa cara seseorang memperlakukan pintu menentukan identitas dan kualitas diri orang itu. Orang yang keluar masuk lewat pintu itu biasa dan baik karena memang pintu dibuat untuk itu. Sebaliknya, ketika seseorang mengabaikan pintu lalu keluar masuk melalui lobang yang lain termasuk melalui jendela maka orang itu diberi gelar pencuri. Dengan kata lain setiap bentuk, pola, corak hidup yang tidak sesuai dengan tuntutan Yesus sebagai pintu merupakan bentuk,corak dan pola para pencuri. Setiap usaha untuk menjauhkan diri atau meninggalkan teladan Yesus sebagai pintu boleh dikatakan sebagai gelagat seorang pencuri.

Yesus menyebutkan dirinya sebagai pintu kepada domba-dombanya. Karena Yesus berperan sebagai pintu untuk kawanan domba maka Dia mengenal semua domba-Nya dan domba-domba yang selalu melewati pintu itu mengenal suara gembala mereka. Dengan menampilkan diri sebagai pintu Yesus mengharapkan semua yang mengikuti Kristus itu dapat menemukan keselamatan. Gelar pintu bagai kawanan domba mengukuhkan peran Yesus sebagai Gembala. Peran Yesus sebagai pintu kepada Domba berarti Ye¬suslah jaminan domba ke tanah lapang yang hijau, ke sumber air yang segar. Sebagai pintu Yesus berada di depan dan untuk kawanan Domba Ia menjadi Gembala utama. Sebagai gembala Dia berada di depan dan semua domba-Nya akan mengikuti Dia ke mana Dia akan pergi.

Menjadikan Yesus sebagai pintu dan gembala yang menghantar kita kepada keselamatan diba¬hasakan dalam bacaan kedua sebagai upaya kita untuk kembali kepada gembala dan pengasuh kita. Surat Petrus menegaskan bahwa pengalaman manusia yang mengambil bagian dalam pengalaman Yesus sama artinya manusia sudah kembali kepada Bapa dan pengasuh kita. Yesus menderita bu¬kan karena kejahatannya melainkan karena kebaikan. Inilah logika Allah yang terkadang berlawanan dengan logika kita manusia. Ia menderita bukan karena kejahatan.

Apa pesan yang bisa kita ambil dari kisah tentang Yesus sebagai pintu dan gembala dalam konteks panggilan kita sebagai orangtua pada hari minggu panggilan ini. Pesan yang kiranya kita bawa adalah belajar untuk menjadikan keluarga-keluarga kita sebagai sebuah rumah yang aman. Kita belajar untuk menjadi orangtua yang menjalankan peran seperti Yesus yang telah menjadi pintu bagai kawanan domba (umat manusia). Tugas menjadi pintu dan gembala bukan hanya tugas para imam, biarawan/ti. Keluarga-keluarga kita harus menjadi rumah terbaik, harus menjadi pintu ternyaman bagi putra-putri kita. Hanya kalau keluarga-kelaurga kita menjadi rumah dan pintu nyaman maka panggilan untuk menjadi imam, biaraan/ti akan bertumbuh. Keluarga menjadi rumah terbaik dan pintu ternyaman adalah keluarga yang bisa menunjukkan teladan dan cara hidup yang baik kepada anak-anak.

Kalau keluarga-keluarga kita tidak lagi menjadi rumah terbaik dan pintu ternyaman bagi anak-anak kita kemungkinan besar mereka menacari jalan sendiri di luar rumah, di luar pengawasan orangtua. Jika pintu komunikasi suami istri tertutup rapat jangan pernah mengahrapkan anak bisa belajar terbuka dan mendengarkan orang lain. Kalau benang-benang kasih yang terajut antara suami istri mulai kusut karena saling curiga dan tidak setia, maka anak-akan sulit belajar tentang arti sebuah kesetiaan, kalau kalau jembatan saling memaafkan dan mengampuni terputus antara suami istri maka sulitlah anak untuk belajar memaafkan orang lain.

Saya bersyukur karena di Malang saya bisa mengikuti kegiatan ME yang memungkinkan saya belajar bagaimana memaknai pangggilan, memaknai relasi saya dengan Tuhan, memaknai relasi saya dengan rekan-rekan kerja saya dalam pangggilan. Semunya itu saya dapatkan dari berbagai sharing pengalaman hidup para pasutri yang selama ini bersama dalam berbagai pertemuan ME. Saya sadari melalui kegiatan ME, saya belajar untuk menjadi sebuah pintu yang pantas dilalalui dan belajar menjadi gembala yang baik. Saya punya harapan jika sebagaian besar keluarga mengikuti ME maka aneka masalah kehidupan suami istri dapat diatasi.

Saya akhir renungan ini dengan cerita. Pasutri Yo-Yo (Yohana-Yohanes dikarunia seorang 2 orang putri dan seorang putra. Selain memelihara ketiga anak mereka Yohana juga harus memelihara mama mertua yang berusia 80 tahun lebih yang tampak pikun dan terserang parkinson. Karena parkinson yang diderita sang mertua, hampir setiap hari ada gelas dan piring yang pecah. Yohana sering marah-marah kepada suaminya karena banyak gelas yang pecah. Kalau sang suami sedang di kantor Yohana biasanya memberi air minum kepada ibu mertua dengan menggunakan batok kelapa yang memang sulit dipecahkan. Satu bulan kemudian putra mereka membawa dua batok kelapa. Yohana sangat senang karena dikiranya untuk sang nenek. Saat diminta ibunya, sang putra menolak dengan alasan dua batok kelapa itu dia siapkan untuk Yohana dan Yohanes kalau nanti menjadi seperti nenek.

Anak belajar dari apa yang orangtua tunjukkan.



Claket, 21 Malang 10 Mei 2014

Rm.Bone Rampung, Pr

No comments:

Post a Comment