Wednesday, January 29, 2014

MODAL MURID PENJALA MANUSIA

Renungan Rekoleksi Bulanan Frater BHK

Komunitas Claket, 21 Malang Kamis, 29 Jan. 2014

Teks Insipirasi: Mat 16:24; Luk.5,10b



MODAL SEORANG MURID PENJALA MANUSIA



Tema yang disampaikan Frater Vincent kepada saya adalah Kemuridan atau Menjadi Seorang Murid Kristus. Tema ini biasa dan selalu kita dengar dan renungkan. Terminologi murid itu sudah menjadi bagian dari kehidupan para frater yang bergulat dan bergelut dalam dunia pendidikan. Meskipun tema sebegini terkesan usang dan biasa tetapi saya kira tidak ada buruk juga kalau kita angkat dalam rekoleksi ini mungkin sekadar menyegarkan ingatkan kita tentang peran, status kita dalam kaitannya dengan panggilan kita kini dan di sini. Dalam dunia pendidikan masa kini kata murid tampaknya mengalami pergeseran frekuensi penggunaannya karena bersaiang dengan bentuk lain seperti siswa dan peserta didik.

Komprehensi atau pemahaman kita tentang pengertian kata murid dapat dirujuk dengan deskripsi antara lain: murid adalah orang yang lebih muda, orang masih banyak kurangnya, masih perlu bimbingan, masih harus belajar menerima lebih banyak, perlu mendnegarkan lebih banyak. Dengan kata lain, kata murid selalu mengindikasikan keberikatan dan kebergantungan pada orang lain yang diyakini dapat memenuhi harapan para murid. Dalam jagat pendidikan murid adalah orang yang mau belajar dan menimba berbagai ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas dirinya. Orang tua menyekolahkan anaknya dalam lembaga pendidikan yang berkualitas, tentu bukan untuk menyombongkan kemampuan akademik atau kehebatan anak mereka melainkan untuk meningkatkan mencerdaskan dan kualitas hidup anak di masa depan.

Pengertian murid yang hendak kita renungkan dalam rekoleksi ini merujuk pada konsep Alkitabiah artinya murid yang dimaksudkan di dalam kitab suci. Dalam konteks Alkitab, kata murid bukan hanya berarti orang yang belajar, tetapi lebih dari itu ia menjadi pengikut yang mengabdikan diri secara utuh pada guru, pembimbingnya. Pelbagai kisah tokoh penting dalam Alkitab baik dalam perjanjian lama maupun dalam perjanjian baru selalu menghadirkan dialektika status pemuridan dengan mereka yang disebut sebagai tempat murid belajar sesuatu. Sejarah hidup manusia dirajut dalam seretetan kisah waris mewarisi, meskipun tidak disebut sebagai penyerahan tongkat estafet dari guru (sebagai pendahulu) kepada murid (sebagai pengikut). Dari perjanjian lama kita bisa membaca dan mendengar contoh kisah pemuridan seperti ini. Yosua menggantikan Musa, Elisa menggantikan Elia. Hal sama kita temukan dalam Perjanjian Baru: Yohanes dengan murid-muridnya, Yesus Kristus dengan ke-12 murid-Nya, serta Paulus dengan Timotius, Titus. Dengan demikian pengertian murid Kristus adalah orang-orang yang percaya dan yang mau belajar tentang segala ajaran Kristus dan mengabdikan hidupnya untuk mengikuti Kristus.

Meskipun dikatakan bahwa murid Kristus adalah mereka yang percaya kepada Kristus tetapi tetap mesti disadari bahwa tidak semua orang yang percaya itu bersedia menjadi murid Kristus. Mengapa? Karena mereka hanya sampai pada batas percaya tetapi enggan untuk mempelajari dan melaksanakan setiap ajaran Kristus dalam hidup konkret. Menjadi murid Kristus tidak cukup dengan berkata-kata. Menjadi murid Kristus berarti aksi, tindakan. Bila kita telah mengaku diri sebagai murid Kristus, apakah kita sudah benar-benar mempelajari dan melaksanakan ajaran Kristus? Pertanyaan ini menjadi cermin tempat kita bercaca. Lalu pertanyaan selanjutnyal: Apakah tujuan kita belajar menjadi murid Kristus? Dan bagaimana kita bisa menjadi murid Kristus?

Maksud dan tujuan kita belajar menjadi murid Kristus tidak lain agar kita menjadi serupa dengan Kristus. Menjadi serupa dengan Kristus merupakan kehendak Allah atas orang-orang yang menjadi murid Kristus. Santo Paulus membahasakannya kepada kita secara tepat seperti yang disampaikannya dalam surat kepada jemaat di Roma “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara(Roma 8:29). Memilih untuk menjadi serupa dengan Kristus di sini tidak berarti kita memiliki keilahian Kristus, melainkan kita mengikuti jejak kemanusiaan-Nya. Dalam kemanusiaan-Nya, Kristus telah merendahkan diri, taat, dan setia kepada Allah Bapa dalam misi menyelamatkan manusia. Demikian juga kita perlu rendah hati, taat dan setia pada Kristus Yesus dalam mempertanggung jawabkan hidup dan panggilan kita sesuai dengan kehendak-Nya. Lalau bagaimana kita sebagai murid bisa belajar untuk menyerupai Kristus? Jawabannya, kita perlu memelihara persekutuan yang erat dengan Allah, senantiasa berpegang pada ajaran Kristus, serta memberi dan membiarkan diri hidup dalam tuntunan Roh Kudus.

Kalau di sekolah orang diterima menjadi murid harus memenuhi persyaratan administratif termasuk harus ada modal ntuk biaya, maka untuk menjadi murid Yesus apa syaratnya dan berapa kekuatan modal yang diperlukan? Penginjil Matius memberi jawaban bahwa untuk menjadi Murid Kristus kita harus memiliki modal 3M. Rinciannya 1M untuk kelengkapan administrasi penyangkalan diri, 1M modal untuk melatih kekuatan fisik menahan beban kehidupan, 1M untuk biaya perjalanan mengikuti Yesus. Matius merumuskan 3M itu dalam satu kalimat ini:”Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikuti Aku”(Mat 16:24). 3M ini sekaligus menjadi 3 langkah kemuridan kita.

Modal Menyangkal Diri

Menyangkal diri bukan berarti menghilangkan eksistensi dan makna diri dalam hidupnya. Menyangkal diri adalah tidak mendisposisikan atau menempatkan diri sebagai pusat hidupnya, tetapi menempatkan Kristus sebagai pusat dan tujuan hidupnya. Deskripsi perihal penyangkalan diri ini dalam versi Konstitusi para frater BHK dinyatakan Ingkar diri mengharapkan: Bahwa kita hidup tidak hanya untuk diri kita sendiri, Tidak menjadikan diri kita pusat perhatian, tetapi mencari harga diri dan pengembangan diri di dalam pengabdian diri kepada Allah dalam karya penciptaanNya; Di mana tak ada sesuatu atau seorangpun yang kita anggap remeh (Konst. Psl. 72)

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa orang yang memiliki modal untuk menyangkal diri akan memaknai dan memahami hidup dan panggilannya sebagai kasih karunia Kristus yang patut disyukuri dan dijalani dengan penuh tanggung jawab di hadapan-Nya. Orang yang menyangkal diri akan berkata: “Bukan kehendakku, ya Bapa, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Contoh penyangkalan diri dapat kita lihat dari hidup rasul Paulus, yang dalam surat-suratnya menyatakan bahwa apa yang dia pikirkan, apa yang dia lakukan, semata-mata bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk Tuhan. Kita tentu kagum akan kata-kata Paulus ini:” Sebab jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup dan mati, kita adalah milik Tuhan (Rom.14:8).

Apabila kita senantiasa belajar menyangkal diri, kita akan dapat menjadi murid Kristus yang menempatkan kehendak Kristus sebagai dasar dan pedoman setiap rencana dan langkah hidup kita. Orang yang dapat menyangkal diri juga tidak menganggap diri dan kepentingannya sebagai yang utama, tetapi ia dapat bersikap rendah hati dan memperhatikan kepentingan orang lain. Inilah yang dimaksudkan Paulus kepada jemaat di Filipi :”Dengan demikian sebagai murid Kristus, kita tidak hanya menempatkan Kristus sebagai pusat dan tujuan hidupnya, tapi juga senantiasa rendah hati dan peduli pada kepentingan orang lain (Filipi 2:3). Inilah eksistensi dan makna hidup seorang murid Kristus di tengah kehidupan ini.

Modal Memikul Salib

Modal dan langkah berikutnya agar menjadi murid Kristus adalah bersedia memikul salib. Pada masa Yesus, salib merupakan hukuman yang paling hina dan membuat orang menderita. Salib diberikan pengadilan Romawi kepada orang yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan dosa besar. Yesus jelas tidak pernah melakukan pelanggaran dan dosa apa pun, tetapi Ia memberi diri disalibkan untuk menggenapi misi Allah menyelamatkan umat manusia dari dosa dan maut. Karena itu makna salib bagi Yesus bukan lagi penderitaan melainkan pernyataaan dan bukti ketaatan Kristus pada Allah dan wujud nyata kasih-Nya pada umat manusia. Hal ini ditegaskan Paulus kebenaran ini kepada kita melalui suratnya kepada jemaat Filipi: “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:6-8).

Kosuke Koyama, seorang teolog Jepang pernah bertanya: “Kenapa orang Kristen harus memikul salib? Mengapa lambang orang Kristen adalah salib? Mengapa bukan rantang yang berisi makanan bergizi dan memiliki gagang sehingga mudah menentengnya?” Pertanyaan Kosuke Koyama ini membantu kita memahami salib bukan sebagai hal yang menyenangkan atau membanggakan, tetapi salib adalah harga yang harus kita bayar sebagai murid Kristus. Setiap orang pada dasarnya memiliki salibnya masing-masing, yang harus dipikul dengan sabar dan taat kepada Kristus. Dalam memikul salib sebenarnya kita tidak perlu menggembar-gemborkan kesulitan yang kita alami, tetapi justru kita perlu belajar tetap bersukacita dalam Kristus (1Petrus 4:12-14).

Modal Mengikut Kristus

Mengikut Kristus artinya setia menjejaki jalan-Nya dan taat melaksanakan segala firman-Nya. Ketika Yesus mengajak murid-murid yang pertama (Simon Petrus, Andreas, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes) untuk menjadi murid Kristus, mereka meninggalkan jala, perahu, dan ayah mereka, dan mengikut Yesus (Matius 4:18-22). Dari peristiwa ini kita belajar tentang komitmen mengikuti panggilan Kristus, dan taat melaksanakan segala firman-Nya dalam praksis hidup kita.

Saat Yesus berada di antara kerumunan orang-orang, seorang ahli Taurat berkata kepada Yesus: “Guru, aku akan mengikuti Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” Reaksi dan tanggapan Yesus singkat, tegas dan jelas: ”Serigala mempunyai liang dan burung memiliki sarang, tetapi Anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”(Matius 8:19-20). Jawaban Yesus ini menjadi suatu pernyataan penting dan mendasar sekaligus mau mengatakan bahwa sebenarnya Yesus tidak mendapat tempat di hati orang Farisi itu. Walaupun dia berkata akan mengikut Yesus, tetapi Yesus tahu keberatan hatinya. Mengapa? Karena ia adalah seorang Farisi yang pasti akan sangat sulit meninggalkan segala reputasi dan otoritasnya yang besar dalam sistem dan adat istiadat agama Yahudi. Hingga saai ini juga kita bisa merasakan bahwa pergumulan seperti orang Farisi itu cenderung dialami banyak orang Kristen.

Mengikut Kristus adalah mengutamakan Kristus di atas segalanya, menempatkan Yesus pada nomor topi, bukan menempatkan Kristus di bawah kepentingan yang lain atau pada nomor sepatu. Bila kita mau mengikut Kristus, kita perlu taat melaksanakan ajaran Kristus dan memberi kesaksian tentang kebenaran Kristus kepada sesama melalui olah kata dalam berbahasa, olah laku dalam tindakan, dan olah pikir saat menilai sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal utama yang perlu kita laksanakan sebagai murid Kristus adalah meneladani gaya hidup Kristus untuk hidup saling mengasihi. Dengan hidup saling mengasihi, kita turut mewujudnyatakan misi Kristus dalam menghadirkan kasih dan damai sejahtera bagi dunia.

Menjadi murid Kristus bukan suatu prestasi untuk menunjukkan kehebatan dan kemampuan kita melaksanakan semua ajaran agama dan gereja. Menjadi murid Kristus adalah suatu pembelajaran bagi kita untuk terus menerus mengenal Kristus, memberi diri dituntun oleh Roh Kudus, serta taat melaksanakan setiap ajaran-Nya. Matius 16:24 (menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Kristus) menjelaskan secara sederhana bagaimana kita dapat terus diproses dan diperlengkapi menjadi murid Kristus. Bila kita senantiasa berusaha menjadi murid Kristus, maka sebenarnya kita turut mewujudkan kehendak Allah agar kita hidup serupa dengan Kristus. Keserupaan kita dengan Kristus sebagai murid-Nya menuntut kita untuk membutikan bahwa kita telah memiliki modal 3M itu dalam tugas yang Tuhan berikan dan percayakan kepada kita. Apa tugas kita sebagai murid Tuhan?

Salah satu tujuan Yesus memanggil para murid adalah untuk menjadi “penjala manusia”. Ungkapan “menjala manusia” terdapat dalam kisah panggilan murid-murid pertama dalam ketiga injil sinoptik. Injil menampilkan daya tarik Yesus yang luar biasa sehingga para murid tanpa berpikir panjang dan tanpa persiapan langsung mengikuti Yesus. Panggilan untuk “menjala manusia” merupakan cara Yesus untuk menyatakan tugas baru yang akan diemban para murid-Nya. Tugas baru itu adalah mewartakan injil dan memperkenalkan Yesus agar semakin banyak orang mengenal dan percaya kepada-Nya. Para murid meninggalkan kebiasaan menangkap dan mengumpulkan ikan dan menggantinya dengan mengumpulkan dan membawa orang pada kehidupan bersama Yesus. Tugas para murid sebagai “penjala manusia” adalah mewartakan injil mulai dari lingkungan mereka (Yerusalem) sampai ke ujung bumi (Kis 1:8).

Meskipun sudah sejak panggilan pertama, para murid diberi tugas “menjala manusia”, tugas misi itu barulah sungguh-sungguh diaksanakan para murid setelah Yesus naik ke surga dan setelah Roh Kudus turun atas mereka. Para murid memulai karya misi mereka setelah Roh Kudus turun atas mereka, sebagaimana Yesus juga memulai perjalanan pewartaan-Nya dalam pimpinan Roh.

Menjadi “penjala manusia” merupakan tugas dan panggilan baru untuk Simon dan teman-temannya. Panggilan untuk menjala manusia inilah yang mendasari kebersamaan Yesus dan para murid-Nya. Yesus menginkan agar dalam kebersamaan dengan-Nya, para murid belajar menjadi “penjala manusia”. Apa arti “menjala manusia” di sini? Istilah “menjala manusia” hanya ada pada kisah panggilan versi injil Lukas. Istilah ini merupakan metafora yang digunakan Yesus untuk menyatakan maksud panggilan-Nya kepada para murid, terutama kepada Simon. Adakah makna yang tersirat dalam istilah “menjala manusia”?

Bagi masyarakat Timur Tengah, laut diyakini sebagai sumber kebijaksanaan hidup. Oleh karena itu, bagi mereka, “memancing atau menjala” merupakan simbol pencarian jiwa dan pencarian ke dalam jiwa yang menggambarkan harta kebijaksanaan dari lautan ketidaktahuan. Dalam pemahaman ini, panggilan “menjala manusia” memperoleh makna tersirat dari yang tertulis. “Menjala manusia” dapat dipahami sebagai pencarian jiwa manusia dan pencarian ke dalam jiwa manusia.

Dalam teks asli berbahasa Yunani, kata kerja yang dipakai untuk menerjemahkan istilah “menjala manusia” dalah “zōgrōn” yang dibentuk dari kata zōos (= hidup, bernyawa; alive) dan agrein (= menangkap, berburuh; catch, hunt). Kata ini berarti bekerja menangkap manusia-manusia untuk membawa mereka ke kehidupan. Dengan demikian, panggilan Simon dan teman-temannya adalah bekerja menangkap manusia-manusia untuk membawa mereka kepada kehidupan. Tugas baru Simon ini bertolak belakang dari tugasnya semula. Kalau semula mereka adalah penjala ikan yang menangkap ikan untuk dikonsumsi, (menyebabkan ikan mati), kini (“mulai sekarang”) mereka menjadi “penjala manusia” yang membawa manusia kepada kehidupan (menyelamatkan hidup mereka). Inilah tugas panggilan kemuridan Simon dan teman-temannya sepanjang hidup mereka.

Implikasi panggilan kemuridan Simon ini adalah ia akan menyelamatkan manusia dari kuasa maut dan memelihara kehidupan mereka dengan menjadikan mereka pengikut Kerajaan Allah. Dengan demikian, Simon dan teman-temannya dipanggil untuk melanjutkan misi Yesus, yakni mewartakan Injil Kerajaan Allah demi keselamatan manusia (agar manusia memperoleh kehidupan bersama Allah) serta mengumpulkan manusia untuk bergabung dalam Kerajaan itu. Tugas dan panggilan menjadi penjala manusia menjadi tahap baru dalam kehidupan seorang murid Tuhan. Yesus meneguhkan misi dan tugas itu dengan berkata: Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia (Luk.5,10b). Ayat ini mau menegaskan bahwa setiap saat dalam hidup orang terpanggil harus menjadi kesempatan membawa orang menuju kehidupan.

Perutusan para murid “menjala manusia” tidak hanya terjadi pada era gereja perdana, era para Rasul, tetapi pada saat ini pun perutusan itu masih dibutuhkan sesuai dengan konteks kekinian. Konsili Vatikan II menekankan tugas wajib umat Kristen sebagai pewarta injil (AG art. 6-7). Dengan pewartaan ini diharapkan cahaya Kristus dapat menyinari semua orang dari segala penjuru dunia (LG. 1). Semoga kita dapat membawa terang Tuhan, karena telah memutuskan menjadi murid Yesus. Tuhan memberkati kita.



Claket, 30 Januari 2014

No comments:

Post a Comment