Minggu
Biasa ke-23 Th.B, 9 September 2012
Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 31:31-37
Stasi Singosari,
Malang
Buka
Hari ini Tuhan kembali
mengundang kita untuk berjumpa dan menerima Dia sebagai tabib agung kita.
Dialah yang menyembuhkan, melepaskan, membebaskan kita dari pelbagai belenggu dan
ikatkan yang membuat kehidupan jiwa kita kerdil. Dalam kerapuhan sebagai
manusia mulut kita mungkin membisu ketika dituntut untuk mengatakan sesuatu
secara benar. Dalam kerapuhan yang sama mungkin telinga hati kita tertutut
untuk segala sesuatu yang membawa kabaikan dalam hidup kita dan sesama kita.
Marilah kita datang dan hadir sebagai si bisu dan tuli, berserah diri biar
Tuhan membuka mulut dan telinga kita untuk suatu masa depan yang membebaskan
kita. Seraya memohon rahmat dan kekuatan untuk membangun komitmen dalam
perayaan ini kita akui kelemahan dan dosa kita..
Renungan
Seorang ahli pidato namanya Quintilianus
pernah berkata: “Tidak ada anugerah yang Lebih indah yang diberikan oleh para
dewa, daripada keluhuran berbicara (Quintilianus). Santu Agusttinus
membahasakannya secara lain: “Kepandaian berbicara adalah seni yang mencakup
segalanya. Martin Luther King menambahkan: “Siapa yang pandai berbicara dia itu
manusia, sebab berbicara adalah kebijaksanaan, dan kebijaksanaan adalah
berbicara”. Kutipan-kutipan bijak ini bukan sekadar pemberi motivasi agar orang
bisa berbicara tetapi lebih dari itu agar orang memanfaat kemampuan berbicara
itu untuk memberikan makna pada kehidupan. Saya kira semua kita sepakat bahwa
kemampuan berbicara adalah berkat dan anugerah bagi kita. Memang karena kita
tergolong orang normal yang bisa berbicara sehingga kita menganggapnya sebagai
hal yang biasa-biasa saja. Bagi seorang yang bisu, kalau satu ketika dia
tiba-tiba bisa berbicara, maka dia akan melihat hal itu sebagai anugera dan
mukjizat.
Kemampuan berbicara sebagai suatu
anugerah bagi kehidupan kita manusia tentu tidak akan bermakna kalau
pembicaraan itu tidak didenagrkan atau tidak ada yang mendengarkannya.
Kata-kata yang keluar dari mulut seseorang bertapa pun indah dan bermaknanya
tetapi kalau tidak ada telinga yang mendengarkannya maka kata indah dan penuh
makna itu akan terbang bersama angin. Karena itulah, dalam kehidupan yang nyata
persoalan berbicara dan persoalan mendengarkan merupakan dua hal yang hanya
bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan. Coba banyangkan kalau di dunia ini
hanya ada seorang yang bisa berbicara dan semua orang yang lainnya bisu apa
yang akan terjadi? Dunia kita pasti hening dan senyap. Coba bayangkan kalau di
dunia ini hanya ada seorang yang bisa mendengarkan apa yang terjadi? Dunia kita
juga akan hening dan senyap karena orang tak mungkin berbicara kepada semua
orang yang tuli.
Dunia dan kehiduapn kita menjadi indah,
penuh dinamika terjadi karena kita dilengkapi mulut untuk bisa berbicara dan
dilengkapi telinga untuk mendengarkan. Mulut untuk berbicara dan telinga untuk
mendengarkan jika berfungsi maksimal maka terjadilah komunikasi dan interaksi
dalam kehidupan. Saya kira semua kita akan kesulitan berkomunikasi ketika
berhadapan dengan sesama kita bisu atau yang tuli. Kalau kita bisa berbicara
tetapi teman bicara kita itu tuli maka bahasa dan kata-kata kita menjadi tak
bermakna. Ketika telinga kita normal bisa mendengarkan tetapi teman bicara kita
bisu maka telinga kita menjadi tak bermakna. Sampai di sini, kita disadarkan
mulut dan telinga, kemampuan berbicara dan kemampun mendnegarkan itu amat
penting dalam hidup. Relasi dan komunikasi dalam kehidupan sepenuhnya dipertaruhkan
pada kemampuan berbicara dan kemampuan mendengarkan. Sagala bentuk aksi dan
tindakan manusia boleh dikatakan dikendalikan oleh dua kemampuan ini. Itu sama
artinya, kalau dua kemampuan ini tidak ada pada seseorang maka maka bagi orang
itu hidup menjadi beban dan kematian menjadi kerinduannya.
Firman dan sabda Tuhan yang diwartakan
untuk kita melalui tiga penggalan bacaan hari ini pada intinya berbicara
tentang perkara mulut dan telinga manusia. Soal praktik berbicara dan praktik
mendengarkan di antara sesama dalam kehidupan nyata. Nubuat Yesaya dalam bacaan
pertama jelas mewacanakan kepada kita tentang pentingnya telinga untuk
mendengarkan dan pentingnya mulut untuk membahasakan kegembiraan. Nabi Yesaya
dipilih Yahwe untuk menjadi mulut yang berbicara kepada bangsa Israel yang tawar
hati. Nabi diutus untuk mengatakan hal yang penting bagi Israel. Nabi diutus
untuk mengabarkan dan menawarkan kehidupan yang membebaskan. Nabi diutus
sebagai mulut yang bisa membahasakan dan menjabarkan program Allah bagi bangsa
yang nyaris tanpa harapan. Yesaya mengajak Israel untuk kembali meyakini Allah,
kembali bersandar pada-Nya karena janji Tuhan akan ditepati. Yesaya mengabarkan
berita keselamatan mencelikan mata yang buta membuka telinga yang tuli dan
melepaskan belenggu kebisuan, dan menguatkan kaki yang timpang dan lumpuh.
Yesaya datang mengabarkan dan menyuarakan tentang sukacita bagi Israel yang
akan menikmati sumber air yang memancar di padang yang tandus. Program Allah
jelas diteruskan sang Nabi. Agenda pembebasan itu hanya akan terjadi kalau
Israel membuka telinga hati mereka untuk kembali pada iman yang benar akan
Yahwe.
Markus dalam penggalan injil hari ini
menarasikan pengalaman pembebasan yang dialami seorang yang tuli dan kesulitan
berbicara. Markus menampilkan kuasa kebesaran Allah yang dinyatakan melalui
penyembuhan orang tuli dan setengah bisu itu. Yesus menata kembali organ mulut
dan telinga orang itu, memfungsingkan kembali sistem bicara dan sistem pendengaran
orang itu. Itu artinya bagi Yesus telinga dan mulut itu harus dibebaskan agar
manusia bisa memaknai kehidupannya secara benar sebagai manusia. Pembebasan
yang dilakukan Yesus itu sekaligus mau menegaskan bahwa jaminan keselamatan dari Allah itu terlaksana dalam diri Yesus Kristus, bahkan mencapai puncak, kepenuhan, dan kesempurnaannya. “Ia menjadikan
segala-galanya baik” (Mrk
7:37a).
Tindakan pembebasan yang
dilakukan Yesus itu dirumuskan dalam satu kata yaitu Efata yang berarti terbukalah. Kata ini merupakan kata kunci yang
sekaligus menuntut orang yang tuli itu melakaukan pembaharuan cara hidup
(reformasi) dan pembaruan arah (reorientasi) hidup. Terbukalah merupakan sebuah
perintah, amanat, imperatif yang harus dilakukan sebagai buah pembebasan. Perintah
terbuka itu merujuk pada mulut untuk mengucapkan seuatu secara tepat dan sesuai
dan juga merujuk pada telinga agar tidak tertutup pada segala sesuatu yang
membawa makna dalam kehidupan. Efata adalah kata kunci pembaruan peribahasa dan
perilaku kehidupan seseorang.
Mentalitas dan model kehidupan
bangsa Israel semasa nabi Yesaya tampaknmya masih juga menguasai kehidupan
manusia sepanjang zaman. Peribahasa, kata-kata dan perilaku sikap masa bodoh
yang mengabaikan hukum Tuhan masih mewarnai kehidupan manusia. Di dunia ini
banyak yang mulutnya dan telinganya normal tetapi dalam berbahasa banyak yang
salah karena ada hal lain yang membelengu mulut untuk mengatakan apa yang jelas
dan yang benar. Di dunia ini banyak yang telinganya normal tetapi sulit
mendengarkan apa yang bisa mengubah dan membawa harapan baru bagi hidup. Dalam
konteks seperti ini hari ini Yesus juga telah membuka belenggu mulut dan
sumbatan telinga kita untuk bisa menjadi nabi yang membawa pembabasan, untuk
menjadi seperti orang banyak yang membawa si bisu tuli untuk disentuh dan
disembuhkan Tuhan. Sebagai pengikut Kristus dalam cara yang berbeda kita dituntut
untuk menjadi mulut yang mewartakan dan telinga yang mendengarkan.
Santo Yakobus meberikan kita
resep untuk membuka mulut dan telinga manusia zaman ini dalam sikap yang adil
tidak membuat pembedaan dengan alasan apapun. Membuka mulut sesama dan membuka
telinga sesama hanya akan terjadi dan bermakna kalau kita memperlakukan orang
lain secara adil.
Kalau hari ini Markus
mengisahkan Yesus membuka mulut dan telinga orang tuli dan bisu dalam rangka menata
perilaku mulut dan perilaku telinga, maka tentu kita bisa melihat diri kita
apakah mulut dan telinga kita juga mau dibuka Yesus sebelum kita menjalankan
misi kenabian dan kerasulan kita untuk membebaskan orang bisu dan tuli dalam
kehidupan kita? Segala sesuatu yang tidak sesuai dalam kehidupan adalah wujud
kebisuan dan ketulian yang harus disembuhkan. Pelbagai ketindakberesan ada di
mana-mana, di dalam keluarga, di lingkungan kerja, di dalam masyarakat. Semunya
itu merupakan wujud kebisuan dan ketulian yang menuntut kita untuk
menyembuhkannya. Semoga Tuhan memberi kita kekuatan dan berkat untuk membuka
mulut dan telinga kita; mulut dan telinga sesama kita… Amin
No comments:
Post a Comment