Saturday, October 13, 2012

MISA PERINGATAN ARWAH

-->
Misa Peringatan Arwah
Yesaya 35,1-10; Matius 21,18-22
Lingkungan Paroki Lawang Malang 9 Oktober 2012

Buka

Tanpa kita sadari seorang yang kita cinta, Almarhum.....hari lalu telah mudik ke rumah Bapa dan meninggalkan kita semua. Yang tertinggal hanyalah aneka kisah dan kenangan tentang segala perbuatan baik dan amalnya selama hidup. Saat ini kita datang untuk mengenangkan kisah mudik almarhum. Bagi kita, Amatlah penting mengenangkan kembali orang pernah hidup bersama kita. Setiap kali kita mengenang kehidupan orang yang telah meninggal, kita mungkin merasa sedih. Sedih  dan menangis bukanlah sesuatu yang buruk. Bahkan dikatakan, itu baik dan bahkan perlu. Kalau kita berusaha untuk menekan perasaan sedih itu maka kita pasti akan merasa sakit.

Kita semua tentu ingin dikenang. Jesus sendiri pun ingin dikenang. Dia meninggalkan bagi kita suatu cara untuk mengenangkan Dia yaitu melalui Ekaristi. Dalam dan melalui Ekaristi Dia  hadir bersama kita. Bukan suatu kehadiran fisik tetapi secara rohani: Suatu kehadiran nyata yang mengatasi ruang dan waktu. Dengan demikian kita masuk dalam suatu relasi dengan Dia lebih dalam daripada relasi melalui kehadiran fisik. Kita tidak hanya berkomunikasi dengan Dia tetapi kita bersatu dengan Dia. Orang-orang yang kita cintai yang telah meninggal dunia, termasuk almarhum.... tidak pernah hilang, tidak pernah dipisahkan dari kita. Dalam konteks itulah malam ini semua kita hadir dan mau bersyukur kepada Allah atas anugerah hidup yang telah Ia berikan kepada almarhum.  Agar syukur dan doa-doa kita berkenan pada Tuhan mari kita akui aneka kealpaan dan kelemahan kita...

 

Renungan

Harian Kompas edisi Minggu 29 Januari 2012 memuat sebuah cerita Pendek berjudul ”Pohon Hayat”. Pohon Hayat yang menjuduli cerpen itu adalah sebatang pohon raksasa yang tumbuh di alun-alun kota. Seorang kakek bercerita kepada cucunya tentang pohon itu. Suatu hari sang cucu meminta kakek membawanya ke alun-alun kota untuk melihat pohon yang diceritakan itu. Setiba di alun-alun keduanya langsung menuju pohon yang besar, tinggi, dan rindang itu. Kakek menceritakan kepada cucunya bahwa pohon itu tidak diketahui kapan ditanam dan juga tidak diketahui siapa yang menanamnya.  Setelah keduanya berteduh, sang kakek mengajak cucunya untuk menengadah mengamati dahan, ranting, dan daun-daun pohon itu. Sambil mengamati bagian pohon itu, sang kakek berkata kepada cucunya, lihat dan tahukah kamu bahwa ada banyak misteri terungkap dari dahan, ranting, dan daun pohon ini? Setelah lelah mengamati bagian-bagian pohon raksasa itu sang kakek melanjutkan pembicaraannya kepada cucunya, katanya:  kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat pada setiap lembaran daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon ini. Setiap kali ada satu daun yang gugur itu artinya ada seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, Satu daun adalah satu jiwa, begitu kisah sang kakek.

Setelah mendengarkan penjelasan kekeknya, mata sang cucunya mengamati banyak daun kering berserakan dan terinjak-injak orang yang datang ke alaun-alun kota. Lalu terjadilah dialog antara sang kakek dan cucunya. ”Apakah daun-daun kering yang berserakan ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?” tanya sang cucu sambil memperlihatan daun-daun kering. ”Ya, daun-daun itu adalah sisa jasad mereka dari pohon kehidupan.” ”Berarti  termasuk bekas jasad ayah ada di antara daun-daun kering itu?” lanjut sang cucu. ”Mungkin. Tetapi kakek kira, jasad ayahmu kini sudah menyatu kembali dengan tanah.” Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.” ”Tak perlu, karena lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”
”Kalau daun-daun yang mulai tampak kuning yang ada di atas sana itu milik siapa?” tanya sang cucu ” Itu semua milik orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.” ”Apakah mereka akan segera gugur.” Ya,”Tentu saja, karena gugur itu adalah nasib dan takdir mereka.” ”Apa kakek ada di antara salah satu daun kuning yang siap gugur?” ”Aku tidak tahu. Itu rahasia yang di atas, tidak seorang pun berhak tahu.”
Sang cucu kembali  menengadahkan kepala sambil mengamati, mencari-cari di mana letak daun milik kakeknya, daun miliknya, daun milik ibunya, dan daun dari sanak keluarganya.”
Apakah ”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini?” ”Ya. Benar, memang kenapa?” Ya, ”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?” ”Ya. Tentu saja lanjut kakek.” ”Wah itu artinya, masa gugurku masih sangat lama.”  ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”
Seminggu setelah kembali dari alun-alun kota, sang kakek menderita sakit. Makin hari kesehatannya memburuk. Sang cucu teringat akan kata-kata sang kakek sewaktu mereka berteduh di bawah pohon di tengah kota. Sang cucu lari ke pohon itu untuk mengamati apakah ada daun kuning yang akan gugur ditiup angin. Setelah satu jam menunggu di bawah pohon itu, sang cucu merasakan datangnya terpaan angin menghempas pohon itu. Tampak  olehnya beberapa daun kuning, daun segar, dan pucuk muda dari pohon itu gugur beterbangan lalu rebah ke tanah. Dia pulang dan dalam perjalanan ia mendengar tangisan karena ada anak kecil, orang dewasa yang meninggal. Lebih dari itu setiba di rumah ia menyaksikan kakeknya telah meninggal.
Kisah kakek dan cucu yang diangkat Mashdar Zainal melalui Cerpen Pohon Hayat (pohon hidup)  yang saya jadikan ilustrasi dalam reunungan ini adalah kisah yang sungguh bersentuhan langsung dengan dimensi terdalam atau hal pokok berkaitan dengan hidup dan kehidupan kita. Penulis cerpen ini mengabstrasikan kehidupan nyata melalui dua tokoh rekaannya yaitu kakek dan cucunya yang secara tepat menganalogikan hidup dan kehidupan kita dengan sebatang pohon di tengah alun-alun kota. Dialog antara kakek dan cucunya dalam cerpen tadi sudah menjadi renungan dan bahan refleksi untuk kita. Diri dan hidup kita bukanlah apa-apa. Kita hanyalah selembar daun yang tumbuh pada salah satu ranting pohon hidup yang juga cepat atau lambat akan menguning dan tua. Kapan gugurnya, kapan agin menerpa, dan menerbangkannya tidak ada yang tahu. Itu misteri yang Tuhan sembunyikan bagi semua kita manusia. Kita hanya bisa membaca gelaja alam  ketika daun mulai kuning kita bisa pastikan daun itu akan gugur. Daun kehidupan manusia menjadi kuning tidak bisa diartikan seperti warna lampu lalulintas, kuning siap berubah menjadi hijau. Warna kuning daun kehidupan manusia menjadi pratanda saat pulang, saat mudik, saat kembali yang bersifat abadi akan segera tiba.
Selembar daun pohon kehidupan telah gugur .... hari lalu dalam diri almarhum..... Dia gugur setelah melewati proses panjang dalam usia yang ia lewati. Dia telah gugur setelah mengisi hari kehidupannya bersama keluarga, keluarga besar, dan bersama semua orang yang telah mengenalnya. Dalam keluarga dan oleh keluarga almarhum bukan hanya sekadar selembar daun tetapi lebih dari itu ia telah menjadi sebatang pohon tempat sandaran dan berteduhnya orang yang dicintainmya. Sejak kepergian almarhum, kita semua disadarkan bahwa almarhum resmi kembali mengakrabi bumi asal. Dia datang dari tanah dan kembali ke tanah. .... hari lalu almarhum ibarat selembar daun yang gugur diterpa angin. Bagi keluarga dan yang sungguh mengenalnya, almarhum  lebih dari selembar daun, dia adalah sebatang pohon yang terus bertumbuh melahirkan pucuk-pucuk daun baru dalam diri anak dan semua kerutunannnya. Ia gugur sebagai daun tetapi ia tinggalkan segala hal yang baik kepada yang ditinggalkan. Karena itu, meski secara fisik ia telah hilang dari pandangan kita tetapi secara rohani ia tetap menjadi penyubur pohon kehidupan keluarga oleh teladan dan cara hidupnya yang baik
Daun kehidupan yang gugur yang kita kenangkan saat ini bukanlah daun tanpa arti untuk kehidupan kita dan keleuarga yang ditinggalkan. Almarhum mudik abadi .... hari lalu bukanlah pengembara tanpa tujuan. Bagi kita kepergiannya membuat kita sedih sebagai mansia,  tetapi kita yakin Tuhan mempunyai rencana indah bagi almarhum dan untuk kita. Mungkin kita merasa seperti hidup tanpa harapan tetapi nubuat Yesaya dalam bacaan pertama sungguh menguatkan kita karena Tuhan berkuasa mengubah segalanya. Tuhan berkuasa mengubah situasi gurun menjadi situasi yang membawa sukacita. Padang gurun dan padang kering akan bergirang, padang belantara akan bersorak-sorak dan berbunga; seperti bunga mawar ia akan berbunga lebat, akan bersorak-sorak, ya bersorak-sorak dan bersorak-sorai. Lebih dari itu Tuhan sendiri datang membawa pembalasan dan ganjaran dan membuka jalan bagi Kudus bagi orang benar. Di situ tidak akan ada singa, binatang buas karena orang-orang yang diselamatkan akan berjalan di situ, dan orang-orang yang dibebaskan TUHAN akan pulang dan masuk ke Sion dengan bersorak-sorai.
Gambaran sukacita padang gurun seperti yang dinubuatkan Yesaya ini jelas menjadi harapan kita semua bagi almarhum. Sukacita dan sorak sorai kemenangan itu tentu kita yakin didapat almarhum karena selama hidupnya almarhum telah menjadi pohon ara yang berbuah lebat dan manis dalam berbagai kebajikan dan kebaikan ia lakukan. Kita manusia boleh melupakan semua kebaikan yang dibuat almarhum terhadap siapa saja tetapi Tuhan tidak melupakan segala kebaikan itu.
Apa yang baik dan segala sesuatu yang baik yang manusia lakukan  selama hidup tidak akan dilupakan Tuhan. Tuhan  menghendaki agar manusia hidup sebagai pohon ara yang bisa menghasilkan buah dan buah itu demi kebaikan orang lain. Injil yang diperdengarkan untuk kita saat ini pada intinya mau mengatakan kepada kita bahwa manusia sebagai ciptaan  Tuhan harus memilki kebaikan atau sesuatu yang berguna untuk orang lain. Kisah dan kasus pohon ara yang diancam Yesus dalam injil tadi terjadi karena pohon ara itu menyalahi hukum musim dan hukum alam untuk berbuah. Pohon ara yang diancam Yesus adalah pohon ara tanpa kebaikan, pohon ara tanpa kebajikan.
Kisah Cerpen Pohon Hayat dalam ilustrasi awal tadi kiranya mendorong kita untuk memaknai perjalanan hidup kita. Dan kisah pohon ara dalam injil seharusnya mewajibkan kita untuk berkehidupan dengan buah-buah kebaikan dan kebajikan. Dan, saat perayaan misa arwah seperti ini kiranya menjadi saat rahmat yang membawa kita pada permenungan akan kualitas diri, pohon kehidupan kita. Kisah pohon ara malam ini menjadi kisah sarat makna untuk kita semua baik yang masih kecil, yang sudah dewasa maupun yang sudah lanjut usia. Setiap kita bisa menilai apakah daun pada pohon kehidupan kita baru bertumbuh ataukah sudah hijau ataukah sudah mulai berwana kuning. Ingat misteri daun gugur pada pohon kehidupan tidak memandang  umur. Bahwa daun kehidupan kita akan gugur itu sudah pasti tetapi bagaimana kita menyiapkan kepastian itu, itulah yang perlu kita antispasi dengan selalu mau menjadi pohon ara yang berbuah.
Kata-kata Yesus dalam injil tadi sebenarnya  biasa dan ringan adanya. Mengapa? Karena Yesus tidak mengatakan agar pohon ara itu kering dan mati. Yesus hanya mengatakan "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!". Itu artinya pohon ara itu masih dibolehkan hidup hanya tidak berbuah. Hal yang mengherankan kita justru dalam sekejap pohon itu menjadi kering. Pohon ara itu rupanya salah mengerti terhadap kata-kata Yesus. Mungkin juga pohon ara itu terlalu sensitif dan perasaannya sehingga reaksinya terhadap kata-kata Yesus sungguh ekstrem.
Mengapa pohon ara itu justru lebih memilih kering dan mati. Bagi pohon itu mati lebih baik  daripada hidup tanpa berbuah. Pilihan pohon ara itu mau menegaskan bahwa kita manusia ibaratnya pohon ara yang harusi menghasilkan buah kebaikan dan kebajikan selama hidup. Berbuah kebaikan dan kebajikan itulah yang Tuhan inginkan. Bukan sekadar hidup rimbun-rimbunan. Berbuah adalah panggilan kehidupan dan itu terjadi dalam kerja dan usaha. Akhirnya semoga sekembali dari tempat ini kita menata pohon ara kehidupan kita. Amin

No comments:

Post a Comment